Pengorbanan Sroedji dan para pejuang lainnya tidak berhenti pada tahap penyiksaan saja. Mereka juga harus rela mengorbankan nyawanya demi tanah air tercinta. Berikut
kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
203 “Pak Bandi gugur, pak” seru Abdul Syukur Devita, 2014:209.
204 “Ya Allah, mungkin ini sudah waktuku…Biarlah darahku menjadi
pupuk penyubur tanah tumpah dara h ini…” jerit hati Sroedji Devita,
2014:224. 205
Hasan, pada akhirnya, memberanikan diri buka suara, “Betul, Bu…Bapak gugur di Karang Kedawung sebulan lewat. Tepatnya
tanggal 8 Februari.” Devita, 2014:231
Rasa rela berkorban juga harus dimiliki oleh Sroedji dan para pejuang yang lain. Kutipan 191 sampai kutipan 193 meupakan bukti bahwa Sroedji dan para
pejuang rela menderita dan disiksa oleh penjajah untuk menjadi tentara demi mengusir penjajah. Demi melindungi pejuang tanah air pun seorang lurah harus rela
mengorbankan nyawanya. Kutipan 194 sampai kutipan 196 merupakan bukti bahwa rakyat Indonesia saling rela berkorban. Selain itu, Sroedji juga harus rela
berpisah dengan keluarga demi menjalankan tugasnya sebagai prajurit. Kutipan 197 sampai kutipan 199 meupakan bukti bahwa Sroedji rela mengorbankan keluarganya
demi amanat yang diembannya. Begitu pula Rukmini, ia juga harus rela berpisah dengan Sroedji. Kutipan 200 sampai kutipan 202 merupakan bukti bahwa
Rukmini juga harus rela mengorbankan suaminya menjadi parajurit untuk mengusir penjajah. Kutipan 203 sampai kutipan 205 merupakan bukti bahwa Sroedji dan
para pejuang lainnya rela mati di medan perang.
4.2.4.3 Cinta tanah air
Keberanian dan pengorbanan Sroedji serta para pejuang lainnya tidak akan pernah terjadi jika dalam diri mereka tidak dilandasi rasa cinta tanah air. Berdasarkan
rasa cinta tanah air lah Sroedji dan para pejuang lainnya berani bahkan mau mengorbankan segala-galanya demi bumi pertiwi. Termasuk menjadi seorang tentara
dan ikut berperang adalah bukti kecintaan Sroedji dan para pejuang lainnya terhadap tanah air Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
206 “Ya, aku akan sekolah Akan kugapai mimpiku, jadi tentara,” seru
Sroedji dalam hati Devita, 2014:10. 207
“Inilah saat yang tepat untukku menyumbangkan tenaga dan pikiran demi membela tumpah darahku,” bisik hati Sroedji Devita, 2014:46.
208 “Sekarang Bu…sekarang saatnya aku membaktikan diri, membela
tumpah darah,” kata Sroedji berapi-api. Telunjuknya menunjuk koran di tangan Rukmini Devita, 2014:47.
Berikut kutipan langsung yang mendukung bahwa Sroedji dan pejuang lainnya mencintai tanah air dan mereka ingin generasi penerusnya bisa hidup bahagia.
209 “Kita hidup di tanah Jawa. Bu…anak kita harus diajari bicara bahasa
Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari, bukan bahasa penjajah, dan bukan juga bahasa Madura…” Devita, 2014:35.
210 “Menjadi tentara dan membela tanah pertiwi memang cita-citaku. Aku
ingin anak-anak kita menjadi bangsa merdeka. Bukan menjadi babu di negeri sendiri.” Sroedji berhenti berbicara sejenak. Terpekur Devita,
2014:48.
211 “Kita harus merdeka, Bu Anak cucu kita harus bebas, menjadi tuan di
n egeri sendiri…” lanjut Sroedji berapi-api Devita, 2014:66.
212 “Beh…justru untuk memenuhi mimpi-mimpimu iku sekarang kita ada
di sini. Kemerdekaan sing wis iso kita rebut dengan susah payah itu harus bisa kita pertahankan,” sebuah suara ramah menimpali
pertanyaan Sersan Sakri Devita, 2014:168.
Kecintaan Sroedji dan para perjuang lain terhadap tanah pertiwi memang sangatlah besar. Mereka tidak pernah memikirkan imbalan untuk memerdekakan
Indonesia. Meskipun nyawa taruhannya, semangat Sroedji dan para pejuang lainnya tidak penah padam. Kutipan 206 sampai kutipan 208 merupakan bukti bahwa
Sroedji dan para pejuang lainnya memiliki rasa cinta tanah air dengan membaktikan diri menjadi seorang tentara dan siap bertempur di medan perang. Kutipan 209
sampai kutipan 212 merupakan bukti bahwa Sroedji dan para pejuang ingin anak cucunya bisa hidup bahagia di negeri sendiri.
4.2.5 Relevansi Hasil Penelitian sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di SMA
Rahmanto 2005:15 berpendapat bahwa pengajaran sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang penting, karena karya sastra mempunyai relevansi dengan
masalah-masalah dunia nyata. Oleh sebab itu sastra bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran mengenai nilai-nilai kehidupan. Agar pesan yang dikemas dalam
pembelajaran sastra tersampaikan, Rahmanto 2005:27 – 28 mengklasifikasikan tiga
aspek penting dalam memilih pengajaran sastra, yaitu: pertama dari segi bahasa, kedua dari segi kematangan jiwa psikologi, dan ketiga dari segi latar belakang
kebudayaan para siswa. 1.
Bahasa Penggunaan bahasa perlu diperhatikan dalam pembelajaran sastra. Hal ini
berpengaruh pada pemahaman peserta didik. Jika pengarang menggunakan bahasa yang terlalu sulit, peserta didik pun akan kesulitan dalam memahami isi novel. Novel
Sang Patriot menggunakan bahasa yang mudah dan dapat dimengerti. Pengarang
menggunakan bahasa daerah Jawa Tengah dan bahasa daerah Jawa Timur. Meskipun demikian, maksudnya masih dapat dimengerti oleh peserta didik tingkat SMA.
Berikut kutipan-kutipan yang menggunakan bahasa daerah Jawa Tengah. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
213 “Cup…cup…cup…Nduk…,ono opo tho?” Rukmini meraih bayi dari
buaian dan mencari apakah ada semut ataukah binatang lain yang menggigit bayinya Devita, 2014:231.
214 “Yo tenan…Ya benar…Iki lho…Ini lho,,,wacanen selebaran iki Baca
saja selebaran iki Dhelekon… Lihat saja” Karto dengan bangga
mengacungkan selebaran sebagai bukti Devita, 2014:195. 215
“Bu, kathah tiyang londo wonten ngajeng. Banyak orang Belanda di depan,” mata Mbok Din yang bulat makin membesar karena terbelalak
ketakutan Devita, 2014:178.
216 “Opo sing dhadhi karepmu, tho Pom?” Rukmini yang baru saja
melahirkan merasa bingung dan gundah melihat Pom tak kunjung sembuh Devita, 2014:141.
Selain menggunakan bahasa daerah Jawa Tengah, Pengarang juga menggunakan bahasa daerah Jawa Timur. Berikut kutipan langsung yang medukung pernyataan
tersebut.
217 “Koen iku, kok moro-moro dadi cilik ati ngono to Kri?” Sersan Paimin
menganggapi sembari tetap sibuk mengelus-elus senapannya Devita, 2014:167.
218 Lha…yok opo ndak ngono, Min…Bayangno, kita ini sudah ngider
kesana kemari. Dari Jember harus hijrah ke Tulungagung dan Blitar, berjalan sangat jauh. Baru beberapa bulan di sana dan mencoba hidup
nyaman dengan membuka hutan, eee…sekarang harus ke Jember lagi. Wingate action
kata Pak Raji. Opo to sebenere keinginannya para pemimpin kita itu?”
219 “Ealaaaah, Ngger…Ngger…Koen lak wis tak kandani, ojo mangan
kuwi nek durung digodok. Kamu kan sudah dikasih tau, jangan makan
itu sebelum digodok.Getahnya, Le…getahnya beracun. Makane…nek
wis dilarang simbok ojo nglawan ta lah Makanya, kalau sudah
dilarang ibu, jangan melawan. Iki akibate ndak manut karo wong tuwo.
Ini akibatnya kalau tidak menurut sama orangtua,” omel Minah
Devita, 2014:192. 220
“Mo…koen wis moco durung…? Kamu sudah baca belum? Wis ono pasukan Damarwulan. Pasukannya guedhee banget, siap nyerang
Belanda.” Penuh semangat Karto bertanya kepada Atmo temannya Devita, 2014:194
– 195.
Kutipan 213 sampai kutipan 216 merupakan bukti bahwa pengarang menggunakan bahasa daerah Jawa Tengah. Kutipan 217 sampai kutipan 220
merupakan bukti bahwa pengarang juga menggunakan bahasa daerah Jawa Timur. Meskiun demikian bahasa-bahasa tersebut masih bisa dipahami dan dimengerti oleh
peserta didik anak SMA. 2.
Kematangan jiwa Kematangan jiwa seorang peserta didik juga harus diperhatikan dalam
pembelajaran sastra. Hal ini karena akan berpengaruh pada kemampuan berpikirnya, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan dalam memecahkan suatu masalah. Usia
peserta didik pada tingkat SMA adalah 16 tahun ke atas. Rahmanto 2005: 30 berpendapat bahwa usia 16 tahun ke atas merupakan tahap generalisasi, dimana anak
tidak hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Berikut kutipan tidak
langsung yang mendukung dalam pemilihan aspek kematangan jiwa.