Latar Tempat Analisis Latar

142 Pasukan Inggris mulai merangsek ke selatan Surabaya. Di sana, di Sidoarjo, sudah penuh sisa-sisa pejuang yang dipaksa mundur oleh gempuran luar biasa tentara Inggris Devita, 2014 : 81. 143 Lepas tengah malam, kala lenguh burung hantu saling timpal dengan dengkungan kodok, di bawah jembatan yang melintang di atas kali Brantas berkelebat bayangan hitam Devita, 2014 : 81. 144 Arus sungai Brantas menderas, turut menyambut kemenangan pejuang Devita, 2014 : 86. Pertempuran demi pertempuran terus terjadi. Sroedji dan para pejuang lainnya harus masuk keluar hutan dan kota-kota yang diserang oleh penjajah. Blitar, juga menjadi sasaran para penjajah. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 145 Sroedji menjadi komandan Satuan Gabungan Angkatan Perang dalam penumpasan ekor PKI di Blitar Devita, 2014 : 147. 146 Selama dua bulan operasi berlangsung, Blitar berhasil dibersihkan dari pengaruh PKI dalam waktu dua minggu Devita, 2014 : 147. Setelah menjadi istri seorang tentara, kehidupan Rukmini ikut menjadi tidak tenang. Ia pun harus mau berpindah-pindah tempat guna mengelabui para penjajah yang mencarinya. Ketika Jember dirasa sudah tidak aman lagi, Sroedji menyuruh Rukmini untuk pindah ke Kediri. Di Kediri, Sroedji tinggal di sebuah rumah peninggalan orangtuanya. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 147 Rukmini mendapat kesempatan berkumpul dengan Sroedji setelah melalui perjalanan darat, dua ratus kilometer berjalan kaki dari Jember ke Kediri Devita, 2014 : 132. 148 Di Kediri, Sroedji sekeluarga menempati sebuah rumah besar yang berdiri di atas lahan seluas seribu meter persegi peninggalan orangtuanya di desa Gurah, kampung Kauman Devita, 2014 : 132. Perjuangan para pejuang memang tidak mudah. Banyak hal yang harus dikorbankan. Demikian pula dengan Sroedji. Ia harus berpindah-pindah tempat untuk mengusir penjajah. Kali ini Tempursari menjadi tempat bertandang Sroedji. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 149 Jelang saat yang rawan, di Tempursari, Letkol Mochammad Sroedji alias Pak Raji meminpin rapat gabungan staf Brigade III dan Brigade IV Devita, 2014 : 183. 150 Penjagaan di pos Belanda di Tempursari nyatanya tidak terlalu kuat. Hanya ada dua peleton pasukan di sana Devita, 2014 : 184. Penanggal juga menjadi saksi bisu pertempuran Sroedji melawan penjajah. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 151 Setiba di Penanggal, ketiga batalion disambut kabar dari warga setempat bahwa Belanda sudah pergi memusatkan kekuatan di Pasirian Devita, 2014 : 194. 152 Melalui pertempuran hebat di desa Pronojiwo, Jarit, dan Candipuro, akhirnya brigade yang dikomandani Sroedji berhasil merebut dan menduduki desa Penanggal Devita, 2014 : 198. Karang Kedawung menjadi saksi bisu terakhir perjuangan Sroedji. Di Karang Kedawunglah Sroedji meninggal. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 153 Beberapa belas pejuang yang selamat atau sekadar terluka memilih mundur, buru-buru meninggalkan Karang Kedawung Devita, 2014 : 234. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan bahwa Sroedji meninggal di Karang Kedawung. 154 “Benar ini mayat Sroedji, hah?” bentak serdadu KNIL berwajah bengis kepada wanita warga Karang Kedawung yang berjongkok di barisan paling depan Devita, 2014 : 235.

4.2.2.2 Latar Waktu

Latar waktu dalam novel Sang Patriot karya Irma Devita dijelaskan secara rinci oleh pengarang. Secara garis besar keterangan waktu dalam novel dimulai dari masa kecil Sroedji, perjuangan-perjuangannya, sampai ia meninggal. Untuk lebih jelasnya keterangan waktu dalam novel tersebut akan dijabarkan. Sroedji adalah bocah laki-laki yang suka bermain perang-perangan di siang hari bersama teman-temannya. Ia sangat menyukai permainan tersebut. Seolah- olah ia sedang berada di medan pertempuran yang sesungguhnya. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 155 Di suatu siang yang terik, sekelompok bocah lelaki usia tujuh tahunan bermain perang-perangan di antara rumpun tebu Devita, 2014 : 5. Sroedji berprofesi sebagai mantri malaria. Ia selalu membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Setiap siang hari Sroedji selalu menjalankan tanggung jawabnya sebagai mantri. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 156 Siang itu, seperti biasa Rumah Sakit Umum Kreongan ramai orang yang membawa keluhan bermacam penyakit yang diderita Devita, 2014 : 43. 157 Setelah menjalani kesibukan sesiangan, saat mencatat stok obat benak Sroedji kembali dipenuhi pikiran tentang pertemuannya dengan kawan-kawan sesama eks Hizbul Wathan Devita, 2014 : 44. Sroedji memang laki-laki yang mempunyai keinginan besar untuk mengusir penjajah. Ia akan melakukan segala cara guna mencapai keinginannya tersebut. Di bawah ini akan dipaparkan mengenai perjalanan perjuangan Sroedji dalam mengusir penjajah. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 158 Adalah Gatot Mangunpradja yang mengawalinya. Dia menyurati Gunseikan pada tanggal 7 September 1943 dan menganjurkan dibentuknya tentara sukarela Pembela Tanah Air Devita, 2014 : 41. 159 Sroedji tak menjawab pertanyaan kawannya. Ia ambil koran itu dari tangan Supardi, edisi terbaru tanggal 3 Oktober 1943 Devita, 2014 : 44. 160 Esoknya, Sroedji mendatangi lokasi perekrutan PETA Devita, 2014 : 48. 161 Lapangan Ikada, 8 Desember 1943. Hari yang bersejarah bagi para calon perwira PETA Devita, 2014 : 59. Perjuangan panjang Sroedji beserta anak buahnya memang sangat berat. Di tengah-tengah kerasnya medan pertempuran, mereka selalu berharap akan datang waktunya bahwa Indonesia benar-benar merdeka. Pengorbanan Sroedji terbayar sudah pada tanggal 27 Desember 1949. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 162 Perjuangan dan pengorbanan para syuhada tidak sia-sia. Setelah melalui perjuangan dan perundingan yang panjang, akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara de jure dan de facto mengakui kedaulatan Republik Indonesia Devita, 2014 : 252.

4.2.2.3 Latar Sosial

Latar sosial pada novel ini mengacu pada kehidupan masyarakat pada zaman penjajahan. Dimana sekolah-sekolah belum bisa dinikmati oleh semua kalangan, sistem perjodohan masih terjadi, anak perempuan tidak boleh sekolah terlalu tinggi, dan masih banyak lagi. Berikut kutipan tidak langsung mengenai pendidikan di zaman penjajahan. 163 Namun penjajahan Belanda hanya memungkinkan orang-orang tertentu yang bisa sekolah. Meski Gubernur Jendral Daendels memerintahkan para bupati sepulau Jawa untuk menyebarkan pendidikan bagi kalangan rakyat, tetapi perintah itu seakan berlaku sebagai angin lalu saja. Hanya para priyayi dari golongan ningrat yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Anak bupati, keturunan raja-raja Jawa, dan anak-anak pribumi yang orangtuanya bekerja untuk Belanda yang dapat bersekolah Devita, 2014 : 10. 164 Beruntung keluar kebijakan diferensiasi sekolah untuk Bumi Putera: sekolah kelas I untuk golongan priyayi dan sekolah ke II sekolah ongko loro untuk rakyat jelata Devita, 2014 : 10. Anak perempuan pada zaman itu tidak boleh sekolah terlalu tinggi. Rukmini tidak luput dari keadaan itu. Sekolah terlalu tinggi bagi perempuan akan membuat laki-laki enggan mendekatinya. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 165 “Tidak bisa Bu…aku tahu Rukmini sangat cerdas. Tapi perempuan seperti itu akan sulit dapat jodoh. Laki-laki takut menghadapi perempuan yang terlalu pintar. Perempuan seperti itu biasanya sulit diatur dan mendengarkan kata-kata suami. Kamu ingin melihat anak kita perawan tua seumur hidup?” timpal Tajib Devita, 2014 : 27. 166 “Apalagi nanti kalau dia sudah sekolah lebih tinggi…pasti syaratnya akan semakin macam- macam…bisa-bisa, baginya tidak ada laki- laki Madura yang pantas jadi suami,” gerutu Mas Tajib lagi Devita, 2014 : 28. Perjodohan pada masa itu bukanlah menjadi hal yang tabu. Banyak orangtua yang mengkhawatirkan anaknya tidak berkeluarga daripada melihat anaknya menjadi orang sukses. Hal ini juga terjadi pada diri Rukmini. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 167 Sang ayah mengabarkan bahwa Rukmini dilamar orang dan harus segera menikah bulan depan. Rukmini serasa disambar guntur di siang bolong mendengarnya. Hatinya gusar. Menikah berarti harus berhenti sekolah, padalah ia tidak ingin itu terjadi Devita, 2014 : 26. 168 Jadilah Rukmini menyerah untuk dijodohkan dengan seorang lelaki yang bahkan wajahnya pun belum pernah ia lihat. Ada rasa takut terselip dalam hati kecil Rukmini Devita, 2014 : 29. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan bahwa perjodohan terjadi pada masa penjajahan. 169 “Semua temannya sudah menikah sejak mereka baru lima belas tahun, Bu. Ini anak perempuan tertua kita, sudah delapan belas tahun, kok masih belum mau menikah. Harusnya dia sudah menggendong cucu kita,” tambah Mas Tajib dengan nada meninggi Devita, 2014 : 27. Pendidikan pada masa penjajahan memang sangat sulit didapat bagi rakyat biasa. Tidak heran jika sebagian besar rakyat Indonesia mudah ditipu oleh para penjajah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membaca maksud pemikiran para penjajah. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 170 Awalnya, orang-orang tertarik dengan iming-iming upah yang sesuai. Jepang menyebarkan propaganda bahwa mereka akan diperbantukan untuk tugas suci bersama: kemakmuran Asia Raya. Kebohongan tak terkira, mereka dijadikan romusha. Mereka tidak pernah dibayar, bahkan diperlakukan sangat buruk. Banyak beredar kabar, tenaga kerja yang direkrut tidak pernah bisa pulang karena tewas entah di mana. Sejarah mencatat, dari 1,5 juta romusha, hanya 70 ribu yang kembali ke tempat asal. Itu pun dalam kondisi