Analisis Tema Analisis Tokoh dan Penokohan, Latar, dan Tema .1 Analisis Tokoh dan Penokohan

Pertempuran menghadapi penjajah memang tidak mudah. Dibutuhkan keberanian besar untuk bertempur melawan penjajah. Sroedji dan para pejuang juga memiliki rasa rela berkorban. Rela dianiaya dan disiksa demi kemerdekaan Indonesia. Melalui rasa itu, perjuangan mereka menjadi totalitas. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 191 “Dji…aku mau kabur saja. Tiap hari kita disiksa. Di bawah terik matahari kita disuruh lari sampai-sampai baju kita yang hijau jadi putih karena keringat yang mongering. Eh, malamnya kita juga masih harus menerima gebukan. Belum lagi tamparan, siksaan para bintara dan kopral Jepang sialan itu yang tambah hari semakin brutal” lanjut Murjani dengan nada geram sambil berusaha keras menahan air mata yang hendak runtuh Devita, 2014:55. 192 Melihat Murjani sudah tenang, Sroedji berbisik, “Mur, kita memang menderita secara fisik dan mental di sini. Tapi itu belum seberapa dibandingkan penderitaan bangsa Indonesia selama ratusan tahun Mur. Kita semua di sini punya semangat yang sama, semangat menjadi tentara yang kuat, untuk kemerdekaan Indonesia.” Devita, 2014:57. 193 “Cara mereka melatih memang sadis, bahkan di luar batas kemampuan kita. Tapi mereka benar.” Devita, 2014:57. Keberadaan para penjajah di bumi pertiwi memang sangat meresahkan rakyat Indonesia. Para pejuang bahu-membahu bekerja sama untuk mengusir penjajah. Tak terkecuali Titiwardoyo, lurah Tunjungrejo. Demi melindungi para pejuang yang bersembunyi di rumahnya, ia rela disiksa oleh para penjajah. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 194 Belum sempat Titiwardoyo menyelesaikan ucapannya, sangkur di tangan serdadu muka hitam itu berkelebat, menebas leher sang lurah. Darah seketika muncrat, mengucur deras dari leher Titiwardoyo. Namun tebasan sangkur itu sepertinya sengaja dibuat tidak fatal. Urat kehidupan sang lurah masih utuh. Rupanya si serdadu ingin menyiksa Titiwardoyo Devita, 2014:97. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan bahwa pengorbanan tidak saja dibuat oleh para pejuang yang bertempur di medan perang, tetapi rakyat awam pun juga mempunyai rasa rela berkorban. 195 “Argh…argh...” Meski darah tertelan di kerongkongan, Titiwardoyo memberanikan diri menjawab, “Bukan…bukan…Tuan. Itu…itu war…ga saya yang shaakiit…” Devita, 2014:98. 196 “Aku tak mau menyerah…toh sebentar lagi aku mau mati. Pejuang- pejuang itu harus selamat,” batin Titiwardoyo yang bersikeras meski napasnya tinggal satu-satu Devita, 2014:98. Sebagai seorang prajurit, Sroedji juga dituntut untuk rela berkorban. Bukan saja rela mengorbankan nyawanya, tetapi juga rela untuk berpisah dengan keluarga tercinta demi kemerdekaan Indonesia. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 197 “Aku sebenarnya juga tidak ingin meninggalkanmu dan anak-anak, Bu…Tapi aku ini prajurit. Seorang prajurit harus selalu siap menerima panggilan tugas,” ujar Sroedji sambil mengelus lembut kandungan Rukmini penuh kasih sayang Devita, 2014:136 – 137. 198 “Bu, aku minta pengertianmu…ini semua juga demi anak-anak, demi cucu-cucu kita. Aku ingin mereka nanti dapat menghirup nikmatnya kebebasan. Aku ingin mereka tidak mengalami sengsara, menjadi bangsa jajahan, bangsa babu .” Sroedji berusaha melunakkan hati Rukmini Devita, 2014:137. 199 “Jika keluargaku ikut, tentunya aku akan terfokus pada keselamatan mereka. Ini dapat memecah konsentrasiku. Lihat saja Pak Bandhi. Dia tinggalkan istri dan anak-anaknya tetap di Blitar. Alasannya pasti sama den ganku.” Devita, 2014:161 – 162. Rukmini, istri Sroedji, juga tidak luput dari pengorbanan Ia harus rela berpisah dengan Sroedji yang harus memimpin pasukannya untuk mengusir penjajah. Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut. 200 “Kau punya mimpi jadi tentara agar dapat membaktikan tenagamu kepada rakyat banyak. Mungkin inilah saat yang tepat untuk mewujudkannya. Menurutku, jika ingin merdeka Indonesia pastinya membutuhkan pasukan tentara yang dapat diandalkan,” kata Rukmini lembut sambil menyentuh lengan suaminya Devita, 2014:47. 201 “Menurutku, jika menjadi tentara adalah panggilan jiwamu sejak dulu, penuhilah, Pak. Seseorang akan berhasil jika melakukan pekerjaan sesuai hati nuraninya. Berangkatlah, Pak. Aku rela kau jalani kehidupan tentara. Enyahkan penjajah dari bumi pertiwi,” dukung Rukmini Devita, 2014:48. 202 “Pak, ikuti kata hatimu. Sudah jadi tekadmu menjadi pembela tanah air. Jangan khawatirkan Cuk, Pom, dan aku. Kami tidak pernah sendirian. Allah selalu beserta kita, Pak. Aku iklas,” ujar Rukmini mantap meski di relung hatinya sempat menyelinap perasaan sedih Devita, 2014:48.