Informan III inisial B, 37

dan mengalah ketika mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan tersebut, perlahan informan III 37 kehilangan kesabaran, ia memberontak dan terjadilah peristiwa penganiayaan guru oleh informan III 37. Hal ini ditunjukkan oleh informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Tapi khan mungkin nggak tahu terus saya yang kena, kemudian diemin sekali, dua kali, tiga kali. Lha ter us terjadilah kaya gitu.” Informan III, 114-117, 115-117 Setelah kejadian penganiayaan informan III 37 semakin sering keluar masuk lembaga pemasyarakatan, selama menjadi narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan ia berkenalan dengan banyak teman sesama narapidana, relasi terbangun hingga hingga ia keluar dari lembaga pemasyarakatan. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan beberapa saat kemudian beberapa teman datang ke rumah informan III 37 dan mulai menawarkan untuk ikut melakukan aksi kejahatan. Hal ini ditunjukkan oleh informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Ceritanya dari teman, khan saya juga... khan saya sliweran masuk, pas kemarin keluar saya ditawarin sama temen kerja, saya kerja. Setelah itu khan ada temen pada dateng semua dari mantan-mantan sini khan, terus... Ya khan saya keluar terus pernah dia datang aja.” Informan III, 22-27, 158-165 Informan III 37 menyadari semenjak ia memiliki banyak kenalan sesama narapidana, ia menjadi sering keluar masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Kutipan di bawah ini menunjukkan bagaimana informan III 37 menyadari secara utuh : “Setelah penganiayaan itu khan saya sering keluar masuk karena di dalam juga kenal banyak temen- temen.” Informan III, 144-146 Teman-teman informan III 37 menjadi semakin sering datang ke rumah dan menawarkan untuk ikut melakukan aksi kejahatan, informan III 37 pun secara sadar menerima ajakan dari teman-temannya. Pada saat itu ia memang belum menyiapkan rancangan kehidupan di masa yang akan mendatang, baginya cukup menjalani kehidupan saat ini dengan sebaik-baiknya, hal tersebut yang menjadi salah satu penyebab informan III 37 memilih untuk menerima ajakan temannya. Hal ini diceritakan oleh informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Habis itu karena sering, sering itu cuma ada teman datang terus diajak ya sama ngikut aja. Soalnya khan...” Informan III, 162-165 Pada saat itu, secara kebetulan informan III 37 juga sedang tidak memiliki pekerjaan apapun, sedangkan informan III 37 memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi dan keadaan perekonomian informan III 37 saat itu tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Kedua permasalahan tersebut yang mendorong dan menguatkan dirinya untuk menerima ajakan untuk melakukan aksi kejahatan Hal ini diungkapkan oleh infor man III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Itu ceritanya itu... dikenalin sama temen orang Wonosobo, namanya Danang. Nah itu... Waktu itu khan kebetulan saya juga nganggur, nggak kerja. “Kamu ikut saya kerja ya. Ikut aja.” dah gitu aja. Seet... tapi disitu nggak sebagai eksekutor, sopir aja.” Informan III, 186-192 Lemahnya ekonomi dan banyak kebutuhan yang harus dipenuhi tidak hanya berdiri sendiri sebagai faktor utama yang membuat informan III 37 terus menerus menerima ajakan teman-temannya untuk ikut bergabung ke dalam aksi kejahatan. Tercatat sebagai mantan narapidana membuat informan III 37 dan teman-temannya sulit untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Informan III 37 merasakan orang-orang memberikan persepsi negatif dan judegment kepada dirinya karena statusnya yang disandangnya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya seagai berikut : “Kemudian dari sana, wah kae bekas kono, kae bekas kene. Lha dikira nanti kok gek-gek... jadi prasangka buruk, makanya paling banter kerjaanya tukang bangunan. Bisa itu khan kalo di proyek khan bisa. Nggak mungkin ada prasangka buruk.” Informan III, 761-764, 766-770 Persepsi negatif dan judgement yang diberikan orang-orang membuat informan III 37 lama kelamaan merasa putus asa. Timbul learned helpesness dalam diri informan III 37 yang disebabkan oleh pengalaman- pengalamannya mendapatkan ketidakpercayaan dari orang lain yang berupa persepsi negatif dan judgment yang diberikan orang-orang. Keputusasaan tersebut membuat informan III 37 kemudian berpikiran dan menetapkan pilihannya untuk terus hidup dengan melakukan aksi kejahatan. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Ya kita mau cari kerja kadang ditolak. Gimana donk ya? Terus kadang khan kita timbul putus asa to? Ya udah g ini lagi aja lah.” Informan III, 758-768 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Selain itu informan III 37 juga menyadari yang membuat teman- temannya sering datang ke rumahnya, adalah karena teman-temannya percaya bahwa ia memiliki kemampuan dan pengalaman yang bagus di dunia kejahatan. Selain itu ia sadar jika dirinya selalu bermain sportif ketika melakukan aksi kejahatan hal ini kemudia dimanfaatkan teman-temannya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut : “Bisa, bisa, bisa semuanya. Diajak ya bisa. Istilahe bahasa kami itu Njongkini. Pinter... Nah itu pinter, kalau bahasa kami itu kayak gitu. Nah makane, wah itu aja kalo masuk nggak pernah nggigit orang lain. Makanya saya kemarin pindah, dari rumah itu pindah. Mending ngontrak supaya nggak tahu. Lha tapi kok ada temen yang tahu-tahu dateng. Gitu, jadi seperti ini lagi.” Informan III, 687-689, 690-692 “Karena mungkin dari kebanyakan pengalaman, mereka tahu saya track recordnya bagus. Jadinya...” Informan III, 722-724 Dalam keadaannya tersebut, informan III 37 memiliki keinginan dan harapan untuk bisa berubah menjadi seseorang yang lebih baik, secara jujur informan III 37 mengungkapkan keinginannya untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik sama seperti orang lain bukan sebagai seorang pelaku kejahatan. Secara langsung dalam kutipannya diungkapkan oleh informan III 37, sebagai berikut : “Sebetulnya nggak ingin, nggak ingin, nggak ingin banget. Ya nggak ingin banget.” Informan III, 343-344, 347 “He eh, pengennya kerja normal seperti orang biasa.” Informan III, 349- 350 “Kesannya nggak ada, cuma kalau yang ditanya yang disini, disemua penghuni, pertanyaannya mungkin sama, tahu jawabannya mungkin sama. Nggak mau ada yang seperti ini, nggak mau... Cuma karena pergaulan pertama, keduanya jangan, sudah.” Informan III, 483-490 Kejenuhan menjadi faktor selanjutnya yang mendorong informan III 37 berusaha untuk keluar dari dunia kejahatan. Istri informan III 37 mulai merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan seperti itu sehingga istrinya meminta informan III 37 untuk berhenti melakukan aksi kejahatan. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Ya mungkin dari dateng di rumah khan pada banyak temen pada dateng semua to... terus kan istri saya meresa jengah, terus saya ngontrak“ Informan III, 33-36 “Ya disuruh berhenti, nggak usah kayak gitu lagi. Memang sudah berhenti. Kemarin khan udah kerja.” Informan III, 280-282 Keinginan informan III 37 untuk berubah terlihat dengan sungguh- sungguh diuangkapkannya, ia pun berusaha keras untuk terus merubah dirinya menjadi lebih baik. Selain itu, informan III 37 sangat menginginkan kehidupan yang tentram bersama dengan keluarganya. Hal ini diungkapkan oleh informan III 37 dalam kutipannya sebagai berikut : “Nah itu pasti ada, tapi khan saya berusaha, berusaha untuk menyembuhkan itu. Menyembuhkan supaya nggak diulangi lagi.” Informan III, 630-634 “Saya cuman pengen hidup tentrem sama anak istri.” Informan III, 676-677 Sekian puluh tahun melakukan kejahatan, informan III 37 mulai merasakan perasaan-perasaan jenuh, lelah, dan bosan. Bosan mengalami pengalaman tiap pengalaman yang penuh dengan kekerasan dan tidak bermoral. Perasaan jenuh, lelah, dan bosan dengan dunia kejahatan Secara lebih eksplisit diungkapkan oleh informan III 37 dalam kutipannya sebagai berikut : “Dua puluh tahun saya sudah sudah mau minggir, udah capek. Hidup gini udah capek. Sudah capek saya hidup ini. Ditembak pernah, dipukul sering.” Informan III, 1362-1364, 1366-1367 Perasaan malu pun dirasakan oleh informan III, ia merasa malu dengan anak-anaknya, bagaimana sebenarnya pekerjaannya. Hal ini diungkapkan informan III 37 dalam kutipannya sebagai berikut : “Apalagi kalau pandangan dari massa, omongan saya nggak ada cuma kadang yang ditanya khan anak. Bapaknya kemana? Kerja tempate pak polisi. Khan malunya disitu.” Informan III, 435-437, 439-440, 442 Selain itu yang membuat informan III 37 merasa mulai tidak nyaman ketika terus menerus melakukan aksi kejahatan adalah ketakutan dan kekhawatiran jika nanti anaknya berprofesi sama sepertinya kelak. Hal ini diungkapkan informan III 37, sebagai berikut : “Ya itu pasti keta... apa... ada bayangan.” Informan III, 1350-1351 Informan III 37 menyadari bahwa jika ia ingin berubah hal yang harus dilakukannya adalah keluar dari lingkungan pertemanannya tersebut. Lingkungan pergaulan dengan teman-teman mantan narapidana dan pelaku kriminal menjadi salah satu faktor yang membuat dirinya terus berada di dalam lingkaran dunia kriminal. Perasaan jenuh mendorongnya untuk segera mengakhiri situasi ini, langkah yang ia pilih adalah tinggal di daerah yang jauh dari lingkungan pertemanannyatersebut. Keputusan besar ini diambil informan III 37 untuk memisahkan diri dari teman-teman lama dan mencari teman-teman baru yang bukan seorang residivis. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut : “Cuma karena pergaulan pertama, keduanya jangan, sudah.” Informan III, 488-490 “Nah itu, saya yang berusaha dari situ. Makanya saya memutus teman- teman yang lama. Pindah rumah. Iya. Saya punya rumah, tapi saya pindah, supaya temen-temen itu nggak tahu rumah saya. Yang tahu itu, saak... mungkin bilang ke yang orang tua mertua bilang aja saya pergi ke Lampung atau kemana. Saya cuman pengen hidup tentrem sama anak istri.” Informan III, 659-661, 668, 670-677 “Nah dari tahun 2013 kemarin sudah saya berusaha untuk memisah temen-temen yang lama, cari temen-temen yang lebih baik. Yang nggak, istilahnya bukan residivis. Yang baru-barulah. Yang lingkungan, lingkungan nggak ada kriminalitasnya. Itu aja.” Informan III, 927-934 Usaha Informan III 37 untuk berubah sering kali harus gagal karena tersudutkan oleh keadaan ekonominya yang lemah dan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Membuat informan III 37 akhirnya tergoda dan menerima ajakan temannya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Ya yang jelas khan kemarin diajak temen-temen dateng itu khan ekonomi otomatis khan tercukupi to, dirumah. Sekali, dua kali, tiga kali, akhirnya tergoda juga.” Informan III, 219-222, 288-289 Keadaan ekonomi yang menghimpit, lingkungan yang juga kurang mendukung, membuat informan III 37 menjadi membenarkan perbuatannya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ketika mau menerima ajakan untuk ikut dalam aksi kejahatan. Dengan pengalamannya kesulitan mendapatkan pinjaman uang, membuat informan III 37 merasionalisasikan perbuatannya benar meskipun jelas kenyataannya adalah salah, ia merasa melakukan aksi kejahatan menjadi masuk akal dan sah untuk dilakukan. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Rusak, sekarang gini... contoh dulu saya pernah ada anak kecil dirumah sakit, saya minta bantuan kesana-kemari untuk mbayar rumah sakit nggak ada, minta utangpun nggak ada. Sampai saya nggadaiin motorpun karena terpaksa. Saya gitu lagi untuk mbayar rumah sakit, udah. Cuma untuk mbelain anak aja.” Informan III, 493-501 Keadaan yang tidak mengenakkan tersebut membuat informan III 37 merasa cukup tertekan, tidak tahu lagi harus mengambil langkah apalagi. Perasaan tertekan tersebut muncul dalam kutipan informan III 37, sebagai berikut : “Nggak cukup, terus saya hutang mana-mana nggak mau, ya udah terus tak putuske. Tak putuske kembali ke jalan yang dulu-dulu. Akhirnya tak bayar. Istri juga nanya uang dari mana?. Pinjam Teman.” Informan III, 1302-1307 Keputusasaan pun terlihat di dalam kalimat berikut : “Saya minta bantuan kesana-kemari untuk mbayar rumah sakit nggak ada, minta utangpun nggak ada. Sampai saya nggadaiin motorpun karena terpaksa.” Informan III, 495-499 Mementingkan kebutuhan keluarga menjadi alasan informan III 37 merasionalisasikan perbuatannya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Nggak ada tapinya, emang karena mungkin kebutuhan.” Informan III, 352-353 “Ya memang murni untuk kebutuhan keluarga. Khan ada juga pekerjaan seperti ini dapet uang untuk foya-foya, untuk senang-senang banyak. Ada banyak juga. Ya tapi khan kalau saya memang untuk keluarga.” Informan III, 593-599 “Iya, itu ada yang nyandu. Kalo saya bukan nagih, karena cuma memang murni. Untuk anak aja. Kemarin sudah kerja, makanya khan diluar lama, biasanya diluar tiga bulan, empat bulan masuk. Di luar kemarin satu tahun dua bulan. Ya karena saya udah kerja. Ha karena ada temen dateng itu aja.” Informan III, 645-647, 649-654 Informan III 37 merasakan kesulitan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang baik dan berubah dari kebiasaan melakukan kejahatan, ia merasa bahwa jalannya untuk bisa keluar dari dunia kejahatan belum terlihat. Ketika ingin mencoba membuat sebuah usaha, seringkali akhirnya tidak dapa direalisasikan karena kurang memiliki keterampilan yang mendukung usaha tersebut. Pada akhirnya informan III 37 merasakan perasaan ragu untuk mencoba membuat usaha. Ungkapan perasaan sulit dan ragu diungkapkan informan III 37 dalam kutipan sebagai berikut : “Cuma jalannya kadang nggak ketemu kalau mau keluar.” Informan III, 755-756 “Misalnya kita mau jualan atau buka laundry, kita mau melangkahi ragu... udah ragu duluan itu khan kadang jalannya kaya susah. Kita udah berusaha padahal, tapi sepertinya jalannya susah.” Informan III, 805-810 Merasa kesulitan dan ragu untuk melangkah serta berpikiran bahwa jalan hidupnya sulit semakin memunculkan perasaan learned helpesness dalam diri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI informan III 37. Perasaan Learned helpesness tersebut yang mengantarkaan informan III 37 kembali ke pemikiran semula, lebih baik kembali melakukan aksi kejahatan. Hal ini terlihat dalam ungkapan informan III 37, sebagai berikut : “Karena terus... mungkin ada keputusasaan, udah berdoa, udah semuanya, usaha sudah, terus nggak ada jalan bener, kembali kesitu lagi.” Informan III, 815-818 Ketika sedang berproses menjadi lebih baik, informan III 37 juga seringkali merasakan perasaan kesal dan tidak terima. Perasaan learned helpesness pun kembali muncul, ia merasa usahanya untuk menjadi lebih baik terasa sia-sia. Informan III 37 merasa menjadi orang baik sulit sekali. Informan III 37 pun kembali lagi berpikiran untuk menjadi orang jahat jika usahanya tidak pernah membuahkan hasil positif. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut : “Ora, sesuk tak mbaleni seperti yang dulu aja. Sudah berusaha insyaf tapi masih tetep ditangkep?” Informan III, 850-852 “Hmm... jadi istilahnya saya yang sudah mapan-mapan kerja, tapi kok masuk penjara lagi. Yawes sesuk kumat neh wae. Wong saiki kumat ra kumat podo wae. Saya menjadi orang benar itu emang susah mbak, uangel tenan. Jadi ini ya, ada pandangan kaya saya.. saya saja jadi orang baik tetep disalahin og. Nah itu sering.” Informan III, 1046-1054 Pada suatu ketika saat informan III 37 sedang menjauhkan diri dari lingkungan yang menjerumuskannya dan sudah mendapatkan sebuah pekerjaan yang baik, datang seorang teman yang membuat dirinya sekarang kembali masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Ia merasa sangat kecewa terhadap dirinya sendiri, ia kecewa karena perasaan sungkannya yang berlebihan membuat ia mengambil keputusan yang salah. Perasaan kecewa dan kesal terhadap diri sendiri tersebut diungkapkan informan III 37 secara jelas, sebagai berikut : “Datang sekali, dua kali, tiga kali sudah nolak. Dia malah pergi sendiri. Mencuri-mencuri, saya mbeli. Itulah, kesalahan saya disitu. Cuma satu itu, nggak ada salah lain.” Informan III, 948-952 Perasaaan sungkan membuat informan III 37 akhirnya mengambil keputusan yang salah. Kata-kata tolong menjadi sesuatu yang sensitif bagi informan III 37, hal tersebut menguatkan perasaan sungkan dalam diri informan III 37. Secara sadar informan III 37 menyatakan bahwa dirinya paling tidak bisa menolak untuk membantu seseorang ketika ada yang meminta tolong kepadanya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut : “Terus karena mungkin ada pertimbangan kemanusiaan, dulu pernah ditolong teman juga.” Informan III, 298-300 “Iya, makanya saya nggak enak itu. Akhirnya saya beli. Tolong, bilangnya tolonglah. Ya saya kira kalau sudah bilang tolong ya sudah.” Informan III, 958, 960-962 “Sebelumnya membeli itu karena buat nolong dia mau pulang ke Jakarta.” Informan III, 327-328 Informan III 37 berusaha memaknai pengalaman kejahatan yang sudah ia alami. Informan III 37 menangkap sebuah nilai dari hasil ia merefleksikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI seluruh pengalaman pribadinya terkait pengalaman kejahatan dan juga pengalaman temannya. Informan III 37 sadar bahwa semuanya kembali lagi ke diri sendiri dalam menyikapi sebuah keadaan. Bagaimana hati nurani masing-masing individu ikut berperan menentukan sebuah keputusan. Hal ini diucapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut : “Ya kadang seperti saya ni, seperti saya karena sering keluar-masuk pernjara karena pengaruhnya ada, khan di manfaatin sama orang luar juga. Pas saya keluar, mas itu mas dibunuh, tak bayar sekian milyar. Itu khan ada. Itu khan pemanfaatan namanya. Kalau kita mau ya kita otomatis harus kesini lagi to? Kalau gak mau ya gak to? Iya. Semuanya ya tergantung diri kita sendiri. Kayak si Slamet juga kalau dia nggak mau ya mungkin nggak masuk sini. Ya tergantung diri kita sendiri. Kembali ke hati nurani kita sendi ri.” Informan III, 1280-1294 Penyesalan karena tidak mendengarkan orang lain untuk berhenti melakukan aksi kejahatan menjadi salah satu nilai yang didapatkan informan III 37 dari hasil ia merefleksikan pengalaman kejahatannya ketika sekarang mendekam di dalam lembaga pemasyarakatan : “Sedangkan aku disini. Padahal aku disini nggak ngapa-ngapain, kok diluar kadang tak sia-siakan, nah itu. Contohnya, saya dibilangin udah nggak usah bergaul sama orang lain, nggak usah Temen-temen kamu ditinggal. Tapi s aya tetep masih bergaul.” Informan III, 1169-1176

4. Informan IV inisial R , 24

Melihat paparan informan IV 24 tindakan-tindakan kejahatan yang dilakukannya dapat disimak dari ketiga hal yang meliputi motif, lingkungan dan jenis tindakannya. Dinamika ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan atau dilihat seagai bagian-bagian yang terpisah. Secara keseluruhan komponen di dalam pengalaman informan IV 24 terdiri atas pengalaman psikologis emosi, pikiran, dll yang saling berkaitan. Peneliti akan mengkonstruksikan kembali agar mudah dipahami mengenai apa yang sudah diceritakan oleh informan IV 24 seputar pengalaman kejahatannya dari awal melakukan aksi kejahatan hingga saat informan IV 24 di wawancarai. Informan IV 24 merupakan seorang laki-laki berumur 24 tahun yang berasal dari Jawa Tengah, Purwokerto. Sebelum masuk ke dalam dunia kejahatan, di tempat asalnya ia bekerja di sebuah bengkel selama lima bulan. Kemudian memilih untuk pergi ke kota Yogyakarta untuk mencari saudaranya, informan IV 24 merupakan korban perceraian kedua orang tuanya, setelah beberapa selang waktu kejadian perceraian kedua orang tuanyaIa mulai merantau dari tempat asalnya sejak tahun 2008 hingga sekarang 2015. Di Yogya, informan IV 24 tinggal bersama dengan saudaranya di daerah jalan Kaliurang, kemudian informan IV 24 tergabung dalam sebuah sanggar di daerah Timoho yang beranggotakan sekelompok pemuda yang berjumlah sekitar 23 orang dengan mata pencaharian sebagai pengamen jalanan. Pernah terlibat kasus kejahatan sebanyak dua kali. Yang pertama kasus pencurian dan yang kedua adalah kasus perampokan 2 buah minimarket,bersama dengan teman-temannya mampu mengantongi sekitar 35 juta dan beberapa benda berharga lainnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ketika di tempat asalnya ia tidak memiliki saudara, timbulah perasaan kesepian dalam diri informan. Hal ini diungkapkan oleh informan IV 24 dalam kutipannya sebagai berikut : “Sebelumnya saya disini khan dari rumah saya ke sini kan niatnya kan... nggak ada saudara kan mbak, nyari saudara saya.” Informan IV, 45-48 Perasaan kesepian yang dirasakan oleh informan IV 24 menjadi awal ia merantau ke Yogyakarta, tanpa memiliki bekal pengalaman yang cukup menjadi awal dimana dirinya masuk ke dalam dunia kejahatan. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya di benak informan IV 24 untuk kemudian masuk ke dalam dunia kejahatan, perasaan kesepian dan kebutuhan untuk berada di dalam suatu kelompok sosial membuat informan IV 24 akhirnya bertemu dengan teman-teman baru yang juga memiliki perasaan sama atau senasib, kedua belah pihak saling berbagi cerita dan “nongkrong” bersama secara intensif, terbangunlah sebuah empati dan kedekatan serta rasa percaya di antara satu dengan yang lainnya. Perasaan tersebut semakin menguat, berawal dari pengalaman yang sama membuat informan IV 24 bersama teman-temannya seperti memiliki dukungan satu sama lain atas pengalaman-pengalaman yang senasib. Baik informan IV 24 dan teman- temannya sama-sama jauh dari kedua orang tuanya dan mau tidak mau harus mampu menghidupi diri sendiri. Hal ini diungkapkan informan IV 24 dalam kutipannya sebagai berikut : PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI “Keluar, habis itu keluar khan ketemu sama anak-anak yang istilahnya eks-eksnya disini khan mbak, yang pernah masuk disini. Ya akhirnya kumpul- kumpul diluar lagi, malah...” Informan IV, 157-161 “Iya, namanya orang sabar kan mesti kan banyak saling cerita temen- temen yang kenal disitu, akhirnya ya udah.” Informan IV, 105-108 “Ya, satu... karena kita khan udah jauh dari orang tua semua khan mbak. Disini khan kita juga istilahnya kaya hidup sendiri tu lho, tanpa tanggungan kedua orang tua atau saudara gitu.” Informan IV, 231-236 Pengalaman senasib yang dimiliki keduanya adalah sama-sama jauh dari kedua orang tua dan mau tidak mau harus menghidupi diri sendiri. Informan IV 24 di umurnya yang masih sangat belia mendapati pengalaman yang tidak seharusnya dialami oleh bocah seusianya, kedua orang tuanya memilih untuk bercerai, ayah dan ibunya kemudian tinggal secara terpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing, setelah peristiwa perceraian kedua orang tuanya telah sama-sama memiliki pasangan baru. Setelah pengalaman informan IV tersebut, ia tidak melanjutkan studinya di SMU. Informan IV 24 merasa sepi dan sendirian, dengan keadaannya informan IV 24 membutuhkan perlindungan dan dukungan sehingga ia memilih untuk merantau ke kota Yogyakarta untuk mencari keluarganya. Saat sudah berpindah informan IV 24 menjadi pengamen jalanan dan tidak lama setelahnya ia terlibat dalam kasus pencurian yang sama sekali tidak ia sadari. Pada saat itu informan IV 24 tidak paham jika temannya akan melakukan aksi kejahatan. Ketidaktahuan informan IV 24 dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi diungkapkannya dalam kutipan sebagai berikut : PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI “Aaa... nek itu cuma satu kok mbak. Itu aja yang nyuri khan temen, saya jadi di motor. Teman saya lari, saya di pegang dimotor itu.” Informan IV, 140-143 Informan IV 24 merasa bahwa ia tidak tahu apa-apa dan juga tidak merasa melakukan suatu perbuatan yang buruk. Kasus perampokan tersebut menjadi pengalaman pertama dan pintu masuk ia terjun ke dalam dunia kejahatan. Setelah bebas dari hukuman pidana penjara, informan IV 24 berteman dengan teman-teman baru yang dulunya adalah bekas narapidana, dengan intensitas pertemuan dan perasaan senasib membuat keduanya akhirnya memiliki gagasan untuk melakukan aksi kejahatan. Keadaan sama-sama jauh dari kedua orang tua dan harus menghidupi diri sendiri diyakini dan dijadikan oleh informan IV 24 sebagai pembenaran atas perbuatan kejahatan yang ia lakukan bersama dengan teman- temannya. Hal ini diungkapkan informan IV 24 dalam kutipannya sebagai berikut : “Ya, satu... karena kita khan udah jauh dari orang tua semua khan mbak. Disini khan kita juga istilahnya kaya hidup sendiri tu lho, tanpa tanggungan kedua orang tua atau saudara gitu. Makan sendiri, nyari uang sendiri. Ya udah itu karena kebutuhan ekonomi.” Informan IV, 231-238 Dengan menganalisa data dari sisi psikologis informan IV 24, maka dapat ditarik sebuah benang merah, bagaimana informan IV 24 berusaha memaknai penglaman kejahatannya. Didapatkan suatu makna yang melatar belakangi informan IV 24 masuk ke dalam dunia kejahatan, yaitu berawal dari sebuah pengalaman kurang menyenangkan yang ia dapatkan ketika