Informan III inisial B, 37
dan mengalah ketika mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan tersebut, perlahan informan III 37 kehilangan kesabaran, ia memberontak
dan terjadilah peristiwa penganiayaan guru oleh informan III 37. Hal ini ditunjukkan oleh informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut :
“Tapi khan mungkin nggak tahu terus saya yang kena, kemudian diemin sekali, dua kali, tiga kali. Lha ter
us terjadilah kaya gitu.” Informan III, 114-117, 115-117
Setelah kejadian penganiayaan informan III 37 semakin sering keluar masuk lembaga pemasyarakatan, selama menjadi narapidana di dalam
lembaga pemasyarakatan ia berkenalan dengan banyak teman sesama narapidana, relasi terbangun hingga hingga ia keluar dari lembaga
pemasyarakatan. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan beberapa saat kemudian beberapa teman datang ke rumah informan III 37 dan mulai
menawarkan untuk ikut melakukan aksi kejahatan. Hal ini ditunjukkan oleh informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut :
“Ceritanya dari teman, khan saya juga... khan saya sliweran masuk, pas kemarin keluar saya ditawarin sama temen kerja, saya kerja. Setelah itu
khan ada temen pada dateng semua dari mantan-mantan sini khan,
terus... Ya khan saya keluar terus pernah dia datang aja.” Informan III, 22-27, 158-165
Informan III 37 menyadari semenjak ia memiliki banyak kenalan sesama narapidana, ia menjadi sering keluar masuk ke dalam lembaga
pemasyarakatan. Kutipan di bawah ini menunjukkan bagaimana informan III 37 menyadari secara utuh :
“Setelah penganiayaan itu khan saya sering keluar masuk karena di dalam juga kenal banyak temen-
temen.” Informan III, 144-146 Teman-teman informan III 37 menjadi semakin sering datang ke rumah
dan menawarkan untuk ikut melakukan aksi kejahatan, informan III 37 pun secara sadar menerima ajakan dari teman-temannya. Pada saat itu ia memang
belum menyiapkan rancangan kehidupan di masa yang akan mendatang, baginya cukup menjalani kehidupan saat ini dengan sebaik-baiknya, hal
tersebut yang menjadi salah satu penyebab informan III 37 memilih untuk menerima ajakan temannya. Hal ini diceritakan oleh informan III 37, dalam
kutipannya sebagai berikut : “Habis itu karena sering, sering itu cuma ada teman datang terus diajak ya
sama ngikut aja. Soalnya khan...” Informan III, 162-165 Pada saat itu, secara kebetulan informan III 37 juga sedang tidak
memiliki pekerjaan apapun, sedangkan informan III 37 memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi dan keadaan perekonomian informan III 37 saat itu
tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Kedua permasalahan tersebut yang mendorong dan menguatkan dirinya untuk menerima ajakan untuk melakukan
aksi kejahatan Hal ini diungkapkan oleh infor man III 37, dalam kutipannya sebagai berikut :
“Itu ceritanya itu... dikenalin sama temen orang Wonosobo, namanya Danang. Nah itu... Waktu itu khan kebetulan saya juga nganggur, nggak
kerja. “Kamu ikut saya kerja ya. Ikut aja.” dah gitu aja. Seet... tapi disitu nggak sebagai eksekutor, sopir aja.” Informan III, 186-192
Lemahnya ekonomi dan banyak kebutuhan yang harus dipenuhi tidak hanya berdiri sendiri sebagai faktor utama yang membuat informan III 37
terus menerus menerima ajakan teman-temannya untuk ikut bergabung ke dalam aksi kejahatan. Tercatat sebagai mantan narapidana membuat informan
III 37 dan teman-temannya sulit untuk mendapatkan suatu pekerjaan. Informan III 37 merasakan orang-orang memberikan persepsi negatif dan
judegment kepada dirinya karena statusnya yang disandangnya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya seagai berikut :
“Kemudian dari sana, wah kae bekas kono, kae bekas kene. Lha dikira nanti kok gek-gek... jadi prasangka buruk, makanya paling banter
kerjaanya tukang bangunan. Bisa itu khan kalo di proyek khan bisa.
Nggak mungkin ada prasangka buruk.” Informan III, 761-764, 766-770 Persepsi negatif dan judgement yang diberikan orang-orang membuat
informan III 37 lama kelamaan merasa putus asa. Timbul learned helpesness dalam diri informan III 37 yang disebabkan oleh pengalaman-
pengalamannya mendapatkan ketidakpercayaan dari orang lain yang berupa persepsi negatif dan judgment yang diberikan orang-orang. Keputusasaan
tersebut membuat informan III 37 kemudian berpikiran dan menetapkan pilihannya untuk terus hidup dengan melakukan aksi kejahatan. Hal ini
diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut : “Ya kita mau cari kerja kadang ditolak. Gimana donk ya? Terus kadang
khan kita timbul putus asa to? Ya udah g ini lagi aja lah.” Informan III,
758-768 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain itu informan III 37 juga menyadari yang membuat teman- temannya sering datang ke rumahnya, adalah karena teman-temannya percaya
bahwa ia memiliki kemampuan dan pengalaman yang bagus di dunia kejahatan. Selain itu ia sadar jika dirinya selalu bermain sportif ketika
melakukan aksi kejahatan hal ini kemudia dimanfaatkan teman-temannya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut :
“Bisa, bisa, bisa semuanya. Diajak ya bisa. Istilahe bahasa kami itu Njongkini. Pinter... Nah itu pinter, kalau bahasa kami itu kayak gitu. Nah
makane, wah itu aja kalo masuk nggak pernah nggigit orang lain. Makanya saya kemarin pindah, dari rumah itu pindah. Mending ngontrak
supaya nggak tahu. Lha tapi kok ada temen yang tahu-tahu dateng. Gitu,
jadi seperti ini lagi.” Informan III, 687-689, 690-692 “Karena mungkin dari kebanyakan pengalaman, mereka tahu saya track
recordnya bagus. Jadinya...” Informan III, 722-724 Dalam keadaannya tersebut, informan III 37 memiliki keinginan dan
harapan untuk bisa berubah menjadi seseorang yang lebih baik, secara jujur informan III 37 mengungkapkan keinginannya untuk memiliki pekerjaan
yang lebih baik sama seperti orang lain bukan sebagai seorang pelaku kejahatan. Secara langsung dalam kutipannya diungkapkan oleh informan III
37, sebagai berikut : “Sebetulnya nggak ingin, nggak ingin, nggak ingin banget. Ya nggak
ingin banget.” Informan III, 343-344, 347 “He eh, pengennya kerja normal seperti orang biasa.” Informan III, 349-
350
“Kesannya nggak ada, cuma kalau yang ditanya yang disini, disemua penghuni, pertanyaannya mungkin sama, tahu jawabannya mungkin
sama. Nggak mau ada yang seperti ini, nggak mau... Cuma karena pergaulan pertama, keduanya jangan, sudah.” Informan III, 483-490
Kejenuhan menjadi faktor selanjutnya yang mendorong informan III 37
berusaha untuk keluar dari dunia kejahatan. Istri informan III 37 mulai merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan seperti itu sehingga istrinya
meminta informan III 37 untuk berhenti melakukan aksi kejahatan. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut :
“Ya mungkin dari dateng di rumah khan pada banyak temen pada dateng semua to... terus kan istri saya meresa jengah, terus saya ngontrak“
Informan III, 33-36 “Ya disuruh berhenti, nggak usah kayak gitu lagi. Memang sudah
berhenti. Kemarin khan udah kerja.” Informan III, 280-282 Keinginan informan III 37 untuk berubah terlihat dengan sungguh-
sungguh diuangkapkannya, ia pun berusaha keras untuk terus merubah dirinya menjadi lebih baik. Selain itu, informan III 37 sangat menginginkan
kehidupan yang tentram bersama dengan keluarganya. Hal ini diungkapkan oleh informan III 37 dalam kutipannya sebagai berikut :
“Nah itu pasti ada, tapi khan saya berusaha, berusaha untuk menyembuhkan itu. Menyembuhkan supaya nggak diulangi lagi.”
Informan III, 630-634 “Saya cuman pengen hidup tentrem sama anak istri.”
Informan III, 676-677 Sekian puluh tahun melakukan kejahatan, informan III 37 mulai
merasakan perasaan-perasaan jenuh, lelah, dan bosan. Bosan mengalami pengalaman tiap pengalaman yang penuh dengan kekerasan dan tidak
bermoral. Perasaan jenuh, lelah, dan bosan dengan dunia kejahatan Secara lebih eksplisit diungkapkan oleh informan III 37 dalam kutipannya sebagai
berikut : “Dua puluh tahun saya sudah sudah mau minggir, udah capek. Hidup gini
udah capek. Sudah capek saya hidup ini. Ditembak pernah, dipukul sering.” Informan III, 1362-1364, 1366-1367
Perasaan malu pun dirasakan oleh informan III, ia merasa malu dengan
anak-anaknya, bagaimana sebenarnya pekerjaannya. Hal ini diungkapkan informan III 37 dalam kutipannya sebagai berikut :
“Apalagi kalau pandangan dari massa, omongan saya nggak ada cuma kadang yang ditanya khan anak. Bapaknya kemana? Kerja tempate pak
polisi. Khan malunya disitu.” Informan III, 435-437, 439-440, 442 Selain itu yang membuat informan III 37 merasa mulai tidak nyaman
ketika terus menerus melakukan aksi kejahatan adalah ketakutan dan kekhawatiran jika nanti anaknya berprofesi sama sepertinya kelak. Hal ini
diungkapkan informan III 37, sebagai berikut : “Ya itu pasti keta... apa... ada bayangan.” Informan III, 1350-1351
Informan III 37 menyadari bahwa jika ia ingin berubah hal yang harus
dilakukannya adalah keluar dari lingkungan pertemanannya tersebut. Lingkungan pergaulan dengan teman-teman mantan narapidana dan pelaku
kriminal menjadi salah satu faktor yang membuat dirinya terus berada di dalam lingkaran dunia kriminal. Perasaan jenuh mendorongnya untuk segera
mengakhiri situasi ini, langkah yang ia pilih adalah tinggal di daerah yang jauh dari lingkungan pertemanannyatersebut. Keputusan besar ini diambil
informan III 37 untuk memisahkan diri dari teman-teman lama dan mencari teman-teman baru yang bukan seorang residivis. Hal ini diungkapkan
informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut : “Cuma karena pergaulan pertama, keduanya jangan, sudah.”
Informan III, 488-490 “Nah itu, saya yang berusaha dari situ. Makanya saya memutus teman-
teman yang lama. Pindah rumah. Iya. Saya punya rumah, tapi saya pindah, supaya temen-temen itu nggak tahu rumah saya. Yang tahu itu,
saak... mungkin bilang ke yang orang tua mertua bilang aja saya pergi ke Lampung atau kemana. Saya cuman pengen hidup tentrem sama anak
istri.” Informan III, 659-661, 668, 670-677 “Nah dari tahun 2013 kemarin sudah saya berusaha untuk memisah
temen-temen yang lama, cari temen-temen yang lebih baik. Yang nggak, istilahnya bukan residivis. Yang baru-barulah. Yang lingkungan,
lingkungan nggak ada kriminalitasnya. Itu aja.” Informan III, 927-934 Usaha Informan III 37 untuk berubah sering kali harus gagal karena
tersudutkan oleh keadaan ekonominya yang lemah dan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Membuat informan III 37 akhirnya tergoda dan
menerima ajakan temannya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut :
“Ya yang jelas khan kemarin diajak temen-temen dateng itu khan ekonomi otomatis khan tercukupi to, dirumah. Sekali, dua kali, tiga kali,
akhirnya tergoda juga.” Informan III, 219-222, 288-289 Keadaan ekonomi yang menghimpit, lingkungan yang juga kurang
mendukung, membuat informan III 37 menjadi membenarkan perbuatannya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ketika mau menerima ajakan untuk ikut dalam aksi kejahatan. Dengan pengalamannya kesulitan mendapatkan pinjaman uang, membuat informan III
37 merasionalisasikan perbuatannya benar meskipun jelas kenyataannya adalah salah, ia merasa melakukan aksi kejahatan menjadi masuk akal dan sah
untuk dilakukan. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut :
“Rusak, sekarang gini... contoh dulu saya pernah ada anak kecil dirumah sakit, saya minta bantuan kesana-kemari untuk mbayar rumah sakit nggak
ada, minta utangpun nggak ada. Sampai saya nggadaiin motorpun karena terpaksa. Saya gitu lagi untuk mbayar rumah sakit, udah. Cuma untuk
mbelain anak aja.” Informan III, 493-501 Keadaan yang tidak mengenakkan tersebut membuat informan III 37
merasa cukup tertekan, tidak tahu lagi harus mengambil langkah apalagi. Perasaan tertekan tersebut muncul dalam kutipan informan III 37, sebagai
berikut : “Nggak cukup, terus saya hutang mana-mana nggak mau, ya udah terus
tak putuske. Tak putuske kembali ke jalan yang dulu-dulu. Akhirnya tak bayar. Istri juga nanya uang dari mana?. Pinjam Teman.”
Informan III, 1302-1307 Keputusasaan pun terlihat di dalam kalimat berikut :
“Saya minta bantuan kesana-kemari untuk mbayar rumah sakit nggak ada, minta utangpun nggak ada. Sampai saya nggadaiin motorpun karena
terpaksa.” Informan III, 495-499 Mementingkan kebutuhan keluarga menjadi alasan informan III 37
merasionalisasikan perbuatannya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipannya sebagai berikut :
“Nggak ada tapinya, emang karena mungkin kebutuhan.” Informan III, 352-353
“Ya memang murni untuk kebutuhan keluarga. Khan ada juga pekerjaan seperti ini dapet uang untuk foya-foya, untuk senang-senang banyak. Ada
banyak juga. Ya tapi khan kalau saya memang untuk keluarga.” Informan III, 593-599
“Iya, itu ada yang nyandu. Kalo saya bukan nagih, karena cuma memang murni. Untuk anak aja. Kemarin sudah kerja, makanya khan diluar lama,
biasanya diluar tiga bulan, empat bulan masuk. Di luar kemarin satu tahun dua bulan. Ya karena saya udah kerja. Ha karena ada temen dateng
itu aja.” Informan III, 645-647, 649-654 Informan III 37 merasakan kesulitan untuk bisa mendapatkan pekerjaan
yang baik dan berubah dari kebiasaan melakukan kejahatan, ia merasa bahwa jalannya untuk bisa keluar dari dunia kejahatan belum terlihat. Ketika ingin
mencoba membuat sebuah usaha, seringkali akhirnya tidak dapa direalisasikan karena kurang memiliki keterampilan yang mendukung usaha tersebut. Pada
akhirnya informan III 37 merasakan perasaan ragu untuk mencoba membuat usaha. Ungkapan perasaan sulit dan ragu diungkapkan informan III 37
dalam kutipan sebagai berikut : “Cuma jalannya kadang nggak ketemu kalau mau keluar.”
Informan III, 755-756 “Misalnya kita mau jualan atau buka laundry, kita mau melangkahi ragu...
udah ragu duluan itu khan kadang jalannya kaya susah. Kita udah berusaha padahal, tapi sepertinya jalannya susah.”
Informan III, 805-810 Merasa kesulitan dan ragu untuk melangkah serta berpikiran bahwa jalan
hidupnya sulit semakin memunculkan perasaan learned helpesness dalam diri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
informan III 37. Perasaan Learned helpesness tersebut yang mengantarkaan informan III 37 kembali ke pemikiran semula, lebih baik kembali melakukan
aksi kejahatan. Hal ini terlihat dalam ungkapan informan III 37, sebagai berikut :
“Karena terus... mungkin ada keputusasaan, udah berdoa, udah semuanya, usaha sudah, terus nggak ada jalan bener, kembali kesitu lagi.”
Informan III, 815-818 Ketika sedang berproses menjadi lebih baik, informan III 37 juga
seringkali merasakan perasaan kesal dan tidak terima. Perasaan learned helpesness pun kembali muncul, ia merasa usahanya untuk menjadi lebih baik
terasa sia-sia. Informan III 37 merasa menjadi orang baik sulit sekali. Informan III 37 pun kembali lagi berpikiran untuk menjadi orang jahat jika
usahanya tidak pernah membuahkan hasil positif. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut :
“Ora, sesuk tak mbaleni seperti yang dulu aja. Sudah berusaha insyaf tapi masih tetep ditangkep?” Informan III, 850-852
“Hmm... jadi istilahnya saya yang sudah mapan-mapan kerja, tapi kok masuk penjara lagi. Yawes sesuk kumat neh wae. Wong saiki kumat ra
kumat podo wae. Saya menjadi orang benar itu emang susah mbak, uangel tenan. Jadi ini ya, ada pandangan kaya saya.. saya saja jadi orang
baik tetep disalahin og. Nah itu sering.” Informan III, 1046-1054 Pada suatu ketika saat informan III 37 sedang menjauhkan diri dari
lingkungan yang menjerumuskannya dan sudah mendapatkan sebuah pekerjaan yang baik, datang seorang teman yang membuat dirinya sekarang
kembali masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Ia merasa sangat kecewa terhadap dirinya sendiri, ia kecewa karena perasaan sungkannya yang
berlebihan membuat ia mengambil keputusan yang salah. Perasaan kecewa dan kesal terhadap diri sendiri tersebut diungkapkan informan III 37 secara
jelas, sebagai berikut : “Datang sekali, dua kali, tiga kali sudah nolak. Dia malah pergi sendiri.
Mencuri-mencuri, saya mbeli. Itulah, kesalahan saya disitu. Cuma satu itu, nggak ada
salah lain.” Informan III, 948-952
Perasaaan sungkan membuat informan III 37 akhirnya mengambil keputusan yang salah. Kata-kata tolong menjadi sesuatu yang sensitif bagi
informan III 37, hal tersebut menguatkan perasaan sungkan dalam diri informan III 37. Secara sadar informan III 37 menyatakan bahwa dirinya
paling tidak bisa menolak untuk membantu seseorang ketika ada yang meminta tolong kepadanya. Hal ini diungkapkan informan III 37, dalam
kutipan sebagai berikut : “Terus karena mungkin ada pertimbangan kemanusiaan, dulu pernah
ditolong teman juga.” Informan III, 298-300 “Iya, makanya saya nggak enak itu. Akhirnya saya beli. Tolong,
bilangnya tolonglah. Ya saya kira kalau sudah bilang tolong ya sudah.” Informan III, 958, 960-962
“Sebelumnya membeli itu karena buat nolong dia mau pulang ke Jakarta.” Informan III, 327-328
Informan III 37 berusaha memaknai pengalaman kejahatan yang sudah
ia alami. Informan III 37 menangkap sebuah nilai dari hasil ia merefleksikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seluruh pengalaman pribadinya terkait pengalaman kejahatan dan juga pengalaman temannya. Informan III 37 sadar bahwa semuanya kembali lagi
ke diri sendiri dalam menyikapi sebuah keadaan. Bagaimana hati nurani masing-masing individu ikut berperan menentukan sebuah keputusan. Hal ini
diucapkan informan III 37, dalam kutipan sebagai berikut : “Ya kadang seperti saya ni, seperti saya karena sering keluar-masuk
pernjara karena pengaruhnya ada, khan di manfaatin sama orang luar juga. Pas saya keluar, mas itu mas dibunuh, tak bayar sekian milyar. Itu
khan ada. Itu khan pemanfaatan namanya. Kalau kita mau ya kita otomatis harus kesini lagi to? Kalau gak mau ya gak to? Iya. Semuanya
ya tergantung diri kita sendiri. Kayak si Slamet juga kalau dia nggak mau ya mungkin nggak masuk sini. Ya tergantung diri kita sendiri. Kembali ke
hati nurani kita sendi
ri.” Informan III, 1280-1294 Penyesalan karena tidak mendengarkan orang lain untuk berhenti
melakukan aksi kejahatan menjadi salah satu nilai yang didapatkan informan III 37 dari hasil ia merefleksikan pengalaman kejahatannya ketika sekarang
mendekam di dalam lembaga pemasyarakatan : “Sedangkan aku disini. Padahal aku disini nggak ngapa-ngapain, kok
diluar kadang tak sia-siakan, nah itu. Contohnya, saya dibilangin udah nggak usah bergaul sama orang lain, nggak usah Temen-temen kamu
ditinggal. Tapi s
aya tetep masih bergaul.” Informan III, 1169-1176