Informan II 39 Dinamika Pengalaman
berusaha dikontrolnya. Sebuah frustasi mampu mempengaruhi tindak kekerasan di sekolah dan kampus, sejumlah siswa yang melakukan kejahatan
dahulunya merupakan seseorang yang pernah menjadi objek ejekan dan bullying atau menganggap dirinya diperlakukan tidak adil Sears, Peplau,
Taylor, 2009. Terjadilah penganiayaan yang menjadi pengalaman pertama informan III 37 melakukan tindakan kejahatan dan menjadi narapidana.
Menjadi narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan membuatnya mengenal berbagai macam orang dengan latar belakang kejahatan yang
berbeda-beda, secara tidak disadari informan III 37 mulai tertarik masuk ke dalam dunia kejahatan.
Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, informan III 37 masih bergaul dengan teman-teman sesama narapidana, pergaulan menjadi salah satu
sebab informan III 37 mulai intens melakukan aksi kejahatan. Tawaran untuk melakukan aksi kejahatan datang dari teman-temannya silih berganti,
belum ada rancangan yang akan ia lakukan untuk kehidupan di masa depan karena bagi informan III 37 menjalani kehidupan saat ini dengan sebaik-
baiknya adalah satu hal yang dipikirkannya saat itu, sehingga ia memilih untuk menerima ajakan temannya. Selain itu informan III 37 memiliki
perasaan sungkan untuk dapat menolak tawaran dari temannya, ia akan semakin sungkan untuk menolak tawaran dari temannya ketika kata-kata
“tolong” terucap dari mulut temannya. Terdapat kemungkinan lain informan III 37 merupakan seseorang yang tidak suka jika ditolak dan sebagai
seseorang yang menyandang predikat pelaku kriminal dengan kemampuan yang baik serta selalu diandalkan membuat informan III 37 merasa memiliki
harga diri yang tinggi dan merasa diri sebagai tokoh heroik sehingga sulit baginya untuk menolak.
Kemampuan ekonomi informan III 37 kurang mendukung untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga, pengalaman kesulitan mendapatkan bantuan
uang dan situasi-situasi mendesak lainnya memberikan tekanan kepada informan III 37. Mulai setelah informan III 37 melakukan kejahatan dan
mudah mendapatkan uang, secara tidak benar-benar disadari ia menjadi seperti merasa ketagihan untuk menghasilkan uang dengan melakukan
kejahatan, perasaan ketagihan menghasilkan uang dengan melakukan kejahatan semakin diperkuat dengan perasaan putus asa dan stress, ia idak ada
pilihan lain selain menerima tawaran melakukan aksi kejahatan dari teman- temannya, sebab Informan III 37 mendapatkan stereotip sebagai mantan
narapidana dari masyarakat yang membuatnya kesulitan dalam mencari pekerjaan, beberapa kali ia mendapatkan judgment negatif karena stereotipnya
sebagai seorang mantan narapidana. Keputusasaan pun mulai dirasakan oleh informan III 37, keputusasaan dalam dirinya semakin bertambah menguat
ketika aparat masih terus menjadikan informan III 37 sebagai target operasi meskipun ia sudah tidak lagi melakukan tindakan kejahatan. Kesal, tidak
terima diperlakukan tidak adil, dan jenuh dirasakan olehnya berujung pada pendapat pribadi bahwa menjadi orang baik sangat sulit, kesimpulan yang
didapatkan dari pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut membuat informan III 37 berpikir lebih baik terus menjadi orang jahat daripada sudah
berusaha menjadi baik namun tetap mendapatkan label dan stereotip. Tidak memiliki keberanian untuk melangkah membangun suatu usaha juga
memperkuat informan III 37 mencari uang dengan melakukan kejahatan, terdapat kemungkinan informan III 37 malas untuk berusaha.
Seperti yang pernah dipaparkan di atas hal lain yang membuat informan III 37 menjadi sulit untuk keluar dari dunia kejahatan dan terus menerus
terlibat dalam aksi kejahatan adalah karena ia dianggap memiliki keahlian dan track reccord yang bagus di dunia kejahatan, sistem orang kepercayaan yang
dianut oleh para pelaku kejahatan membuat informan III 37 terus menerus dikejar oleh teman-temannya.
Keadaan ekonomi yang menghimpit, lingkungan yang kurang mendukung, serta pengalaman ketika kesulitan mendapatkan pinjaman uang
membuat informan III 37 membenarkan perbuatannya. Ia sadar dan paham bahwa perbuatannya salah namun tetap ia ambil. Bandura mengatakan
meskipun seseorang memiliki prinsip moral yang kuat, ada bebeapa mekanisme yang dapat dipakai untuk memisahkan tindakan tercela dengan
pencelaan diri. Mekanisme ini memungkinkan seseorang melanggar prinsip moral yang dimilikinya tanpa perlu ia merasa perlu mencela diri atau tanpa
merasa bersalah dalam Hergenhahn dan Olson, 2010. Mementingkan kebutuhan keluarga menjadi prioritas baginya untuk kemudian mengambil
jalan apapun ia pun melakukan justifikasi moral. Informan III 37 menjadikan tindakan yang tercela tersebut menjadi cara untuk mencapai