Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran Sektor Formal Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

(1)

S E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N

A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK PEDAGANG ECERAN

SEKTOR FORMAL PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK

PRATAMA MEDAN BARAT

TESIS

Oleh

DEDI RUSLI

117018002

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK PEDAGANG ECERAN

SEKTOR FORMAL PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK

PRATAMA MEDAN BARAT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEDI RUSLI

117018002/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK PEDAGANG ECERAN SEKTOR FORMAL PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT

Nama Mahasiswa : Dedi Rusli

Nomor Pokok : 117018002

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui : Komisi Pembimbing,

(Dr. Bastari, SE, MM)

Ketua Anggota

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, MEc)

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Prof. Dr.Erman Munir, MSc)


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 19 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec

Anggota : 1. Dr. Bastari, SE, MM

2. Dr. Rahmanta, M.Si 3. Dr. Rujiman, MA 4. Dr. HB. Tarmizi, SU


(5)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK PEDAGANG ECERAN SEKTOR FORMAL PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK PEDAGANG ECERAN SEKTOR FORMAL

PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT

adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Agustus 2013

Dedi Rusli 117018002/MEP


(6)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK PEDAGANG ECERAN

SEKTOR FORMAL PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktivitas perekonomian suatu daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah menunjukkan semakin berkembangnya aktivitas perekonomian baik aktivitas produksi, konsumsi, investasi maupun perdagangan di daerah tersebut. Seperti kebanyakan kota lainnya, Medan sebagai kota terbesar di pulau Sumatera juga bergantung pada sektor perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada kontribusi sektor tersebut pada PDRB Medan tahun 2011 mencapai 20,68 persen (kontribusi sektor terbesar). Data Badan Pusat Statistik Kota Medan menunjukkan bahwa salah satu kecamatan yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Medan adalah Kecamatan Medan Barat. Melihat penerimaan pajak per sektor di Kecamatan Medan Barat yang merupakan wilayah kerja KPP Pratama Medan Barat, diketahui bahwa sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi yang paling besar bagi penerimaan KPP Pratama Medan Barat selama dua tahun terakhir yaitu tahun 2011 dan 2012. Walaupun sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan KPP Pratama Medan Barat pada tahun 2011 dan 2012, namun tingkat kepatuhan pembayaran pajak sektor perdagangan eceran masih rendah. Penelitian ini dilakukan di KPP Pratama Medan Barat dimulai bulan Maret 2013 sampai Juni 2013 dengan menggunakan data primer (kuesioner). Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak dan kepatuhan pembayaran pedagang eceran sektor formal pada KPP Pratama Medan Barat. Model analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan Strucktural Equation Modeling (SEM) dengan aplikasi Amos 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran KPP Pratama Medan Barat, sedangkan biaya kepatuhan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran KPP Pratama Medan Barat. Hasil penelitian juga menunjukkan kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak dan kesadaran Wajib Pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran di KPP Pratama Medan Barat.

Kata Kunci : kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan, sensus pajak nasional dan kesadaran wajib pajak.


(7)

THE ANALYSIS OF THE FACTORS WHICH INFLUENCE THE COMPLIANCE OF RETAILERS AS TAXPAYERS IN FORMAL

SECTOR IN PRATAMA TAX SERVICE OFFICE, MEDAN BARAT

ABSTRACT

Economic growth reflects economic activity development in a certain region. The higher the economic growth in a certain region is, the more developed it activity, production, investment, and commerce in that region. Like any other towns, Medan is the biggest town in Sumatera which also depends on the factor of commerce. It can be seen from its contribution in this sector in PDRB Medan in 2011 which reached 20.68% (the biggest contribution). The data from the Central Bureau of Statistics, Medan, showed that one of the subdistricts which gave the biggest contribution in establishing PDRB Medan in Medan Barat Subdistrict. Seen from the tax revenue per sector in Medan Barat Subdistrict which is in the working area of KPP Pratama, Medan Barat, it was found that big commerce and retails gave the biggest contribution to the revenue of KPP Pratama during the period of 2011 and 2012. Although the sector of big commerce and retails gave the biggest contribution to the revenue of KPP Pratama, Medan Barat, the level of compliance of taxpayers in the sector of retails was low. The research was conducted in the KPP Pratama, Medan Barat, from March to June, 2013, using primary data (questionnaires). The objective of the research was to analyze the influence of the facility of taxation, cost of tax compliance, taxation sanction, and National Tax Census on the awareness of Taxpayers and the compliance in paying tax in formal sector of retails in the KPP Pratama, Medan Barat., while the cost of tax compliance had negative and significant influence on the awareness of the taxpayers as retailers in the KPP Pratama, Medan Barat. The result of the research also showed that the facility of taxation, cost of tax compliance, and the awareness of taxpayers had positive and significant influence on the compliance in paying tax by retailers in the KPP Pratama, Medan Barat.

Keywords: Facility of Taxation, Cost of Tax Compliance, Taxation Sanction, National Tax Census, Awareness of Taxpayers


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT. Berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, mengenai isi maupun dalam pemakaian bahasa, sehingga penulis memohon kritikan yang membangun untuk penulisan lebih lanjut.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua pihak baik yang langsung atau tidak terkait dalam penyelesaian skripsi ini, berkat semua pihak yang telah memberi dorongan terhadap penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang antara lain :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Ramli, MS, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Bastari, SE, MM dan Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, MEc, selaku Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu dan fikiran untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini hingga selesainya tesis ini.

6. Bapak Dr. Rahmanta, M.Si, Bapak Dr. Rujiman, MA dan Bapak Dr. HB. Tarmizi, SU, selaku Komisi Pembanding, yang telah banyak memberikan saran-saran dan kritik membangun demi kesempurnaan penulisan tesis ini.


(9)

7. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar dan staf Administrasi di Program Magister Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Teristimewa terimakasih kepada istri dan anak tercinta, orang tua serta abang dan kakak-kakak tersayang, yang selalu memberikan do’a restu dan dukungan moril, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. 9. Seluruh teman-teman seperkuliahan di Program Magister Ekonomi

Pembangunan Angkatan 21, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, terimakasih atas kebersamaan yang selama ini terjalin dengan baik. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca serta menambah pengetahuan bagi penulis sendiri. Semoga kiranya Allah SWT memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

N a m a Lengkap : Dedi Rusli

Tempat / Tgl lahir : Belawan, 25 Desember 1978

Alamat Rumah : Jl. Kapten Mukhtar Basri No. 98-A Medan Timur

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Laki-laki

Nama Ayah : Muhammad Ali (alm) Nama Ibu : Rosdiana

Pendidikan :

1. SD Negeri No 060967 Belawan Tahun 1991

2. SMP Negeri Labuhan Deli Medan Tahun 1994

3. SMU Negeri 18 Medan Tahun 1997

4. Program Diploma I Spesialisasi Perpajakan Tahun 1998 4. Strata 1 (S-1) FE/Akuntansi UMSU Tahun 2005 5. Strata 2 (S-2) Ekonomi Pembangunan Tahun 2013


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGATAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Konsep Dasar Perpajakan ... 14

2.1.1. Pengertian Pajak ... 14

2.1.2. Wajib Pajak ... 15

2.1.3. Pengusaha Kena Pajak ... 15

2.1.4. Kebijakan Perpajakan Terhadap Pedagang Eceran .. 16

2.2. Pedagang Eceran Sektor Formal ... 19

2.3. Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 22

2.4. Teori Perilaku ... 25

2.4.1. Theory of Planned Behavior (TPB) ... 25

2.4.2. Theory of Reasoned Action (TRA) ... 26

2.4.3. Teori Atribusi ... 27

2.4.4. Teori Pembelajaran Sosial... 29

2.5. Kemudahan Perpajakan ... 30

2.6. Biaya Kepatuhan Pajak ... 35

2.7. Sanksi Perpajakan ... 39

2.8. Sensus Pajak Nasional ... 42

2.9. Kesadaran Wajib Pajak ... 44

2.10. Penelitian Terdahulu ... 46

2.11. Kerangka Konseptual ... 50

2.12. Hipotesis ... 51

BAB III METODE PENELIIAN ... 52

3.1. Jenis Penelitian ... 52

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52

3.3. Populasi dan Sampel ... 52

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 54

3.5. Definisi Operasional Variabel ... 54


(12)

3.6.1. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ... 59

3.6.2. Analisis StructuralEquation Modelling (SEM) ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70

4.1. Karakteristik Responden ... 71

4.2. Tabulasi Jawaban Responden ... 71

4.2.1. Tabulasi Kemudahan Perpajakan ... 71

4.2.2. Tabulasi Biaya Kepatuhan Pajak ... 73

4.2.3. Tabulasi Sanksi Perpajakan... 74

4.2.4. Tabulasi Sensus Pajak Nasional ... 76

4.2.5. Tabulasi Kesadaran Wajib Pajak ... 77

4.2.6. Tabulasi Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 78

4.3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 80

4.3.1. Hasil Uji Validitas ... 80

4.3.1.1. Kemudahan Perpajakan ... 81

4.3.1.2. Biaya Kepatuhan Pajak ... 81

4.3.1.3. Sanksi Perpajakan ... 82

4.3.1.4. Sensus Pajak Nasional... 82

4.3.1.5. Kesadaran Wajib Pajak ... 83

4.3.1.6. Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 83

4.3.2. Hasil Uji Reliabilitas ... 84

4.3.2.1. Kemudahan Perpajakan ... 84

4.3.2.2. Biaya Kepatuhan Pajak ... 85

4.3.2.3. Sanksi Perpajakan ... 85

4.3.2.4. Sensus Pajak Nasional... 86

4.3.2.5. Kesadaran Wajib Pajak ... 86

4.3.2.6. Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 87

4.4. Analisis Structural Equation Modelling (SEM) ... 87

4.4.1. Model Bersifat Aditif ... 88

4.4.2. Evaluasi Pemenuhan Asumsi Normalitas Data Evaluasi Atas Outlier ... 88

4.4.3. Confirmatory Factor Analysis (CFA) ... 93

4.4.3.1. CFA Variabel Kemudahan Perpajakan ... 94

4.4.3.2. CFA Variabel Biaya Kepatuhan Pajak ... 95

4.4.3.3. CFA Variabel Sanksi Perpajakan ... 95

4.4.3.4. CFA Variabel Sensus Pajak Nasional ... 96

4.4.3.5. CFA Variabel Kesadaran Wajib Pajak ... 97

4.4.3.6. CFA Variabel Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 98

4.4.4. Pengujian Kesesuaian Model (Goodness of Fit Model) ... 99

4.4.5. Uji Kesahian Konvergen dan Uji Kausalitas ... 104

4.4.6. Efek Langsung, Efek Tidak Langsung dan Efek Total ... 106

4.4.7. Pengujian Hipotesis ... 112

4.5. Pembahasan ... 116

4.5.1. Pengaruh Kemudahan Perpajakan Terhadap Kesadaran Wajib Pajak ... 116


(13)

4.5.2. Pengaruh Biaya Kepatuhan Pajak Terhadap

Kesadaran Wajib Pajak ... 118

4.5.3. Pengaruh Sanksi Perpajakan Terhadap Kesadaran Wajib Pajak ... 120

4.5.4. Pengaruh Sensus Pajak Nasional Terhadap Kesadaran Wajib Pajak ... 122

4.5.5. Pengaruh Kemudahan Perpajakan Terhadap Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran ... 124

4.5.6. Pengaruh Biaya Kepatuhan Pajak Terhadap Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran ... 126

4.5.7. Pengaruh Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran ... 129

4.5.8. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran ... 132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

5.1. Kesimpulan ... 135

5.2. Saran ... 136


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Penerimaan Bruto Per Sektor KPP Pratama Medan Barat

Tahun 2011 dan 2012 (Milyar ... 9

1.2 Jumlah dan Tingkat Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat ... 10

3.1 Populasi Penelitian ... 53

3.2 Sampel Penelitian ... 54

3.3 Variabel, Dimesi dan Pengukuran Model Penelitian ... 65

3.4 Persamaan Dalam Penelitian ... 66

3.5 Indeks Pengujian Kelayakan Model ... 69

4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Barang Dagangan Eceran ... 70

4.2 Tabulasi Jawaban Responden Kemudahan Perpajakan ... 72

4.3 Tabulasi Jawaban Responden Biaya Kepatuhan Pajak ... 73

4.4 Tabulasi Jawaban Responden Sanksi Perpajakan ... 75

4.5 Tabulasi Jawaban Responden Sensus Pajak Nasional ... 76

4.6 Tabulasi Jawaban Responden Kesadaran Wajib Pajak ... 77

4.7 Tabulasi Jawaban Responden Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 79

4.8 Hasil Analisis Validitas Item Pertanyaan Kemudahan Perpajakan .. 81

4.9 Hasil Analisis Validitas Item Pertanyaan Biaya Kepatuhan Pajak ... 81

4.10 Hasil Analisis Validitas Item Pertanyaan Sanksi Perpajakan ... 82

4.11 Hasil Analisis Validitas Item Pertanyaan Sensus Pajak Nasional .... 82

4.12 Hasil Analisis Validitas Item Pertanyaan Kesadaran Wajib Pajak ... 83

4.13 Hasil Analisis Validitas Item Pertanyaan Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 83

4.14 Hasil Analisis Reliabilitas Item Pertanyaan Kemudahan Perpajakan 84

4.15 Hasil Analisis Reliabilitas Item Pertanyaan Biaya Kepatuhan Pajak 85

4.16 Hasil Analisis Reliabilitas Item Pertanyaan Sanksi Perpajakan ... 85

4.17 Hasil Analisis Reliabilitas Item Pertanyaan Sensus Pajak Nasional 86

4.18 Hasil Analisis Reliabilitas Item Pertanyaan Kesadaran Wajib Pajak 86

4.19 Hasil Analisis Reliabilitas Item Pertanyaan Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 87

4.20 Normalitas Data Nilai Critical Ratio ... 90

4.21 Normalitas Data Nilai Outlier ... 91

4.22 Hasil Pengujian Kelayakan Model Penelitian Untuk Analisis SEM ... 101

4.23 Bobot Critical Ratio ... 104

4.24 Hasil Estimasi C.R (Critical Ratio) dan P-Value ... 105

4.25 Standardized Direct Effects ... 107

4.26 Standardized Indirect Effects ... 109

4.27 Standardized Total Effects ... 111


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Theory of Planned Behaviour ... 26

2.2 Kerangka Konseptual ... 50

3.1 Indikator Variabel Kemudahan Perpajakan ... 56

3.2 Indikator Variabel Biaya Kepatuhan Pajak ... 56

3.3 Indikator Variabel Sanksi Perpajakan ... 57

3.4 Indikator Variabel Sensus Pajak Nasional... 57

3.5 Indikator Variabel Kesadaran Wajib Pajak ... 58

3.6 Indikator Variabel Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran 59

3.7 Diagram Alur Model Penelitian ... 64

4.1 CFA Kemudahan Perpajakan ... 94

4.2 CFA Biaya Kepatuhan Pajak ... 95

4.3 CFA Sanksi Perpajakan ... 96

4.4 CFA Sensus Pajak Nasional. ... 97

4.5 CFA Kesadaran Wajib Pajak ... 98

4.6 CFA Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 99

4.7 Kerangka Output Amos ... 100

4.8 Direct Effect Sensus Pajak Nasional ... 105

4.9 Direct Effect Sanksi Perpajakan ... 108

4.10 Direct Effect Biaya Kepatuhan Pajak ... 108

4.11 Direct Effect Kemudahan Perpajakan ... 109

4.12 Direct Effect Kesadaran Wajib Pajak ... 109

4.13 Indirect Effect Kemudahan Perpajakan, Biaya Kepatuhan Pajak, Sanksi Pajak, dan Sensus Pajak Terhadap Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 110

4.14 Total Effect Kemudahan Perpajakan, Biaya Kepatuhan Pajak, Sanksi Perpajakan dan Sensus Pajak Nasional ... 112


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 145

2. Tabulasi Data Kemudahan Perpajakan ... 154

3. Tabulasi Data Biaya Kepatuhan Pajak ... 161

4. Tabulasi Data Sanksi Perpajakan ... 168

5. Tabulasi Data Sensus Pajak Nasional ... 175

6. Tabulasi Data Kesadaran Wajib Pajak ... 182

7. Tabulasi Data Kepatuhan Pembayaran Pajak ... 189

8. Data Pendukung AMOS ... 196

9. Output SEM ... 207


(17)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PEMBAYARAN PAJAK PEDAGANG ECERAN

SEKTOR FORMAL PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN BARAT

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktivitas perekonomian suatu daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah menunjukkan semakin berkembangnya aktivitas perekonomian baik aktivitas produksi, konsumsi, investasi maupun perdagangan di daerah tersebut. Seperti kebanyakan kota lainnya, Medan sebagai kota terbesar di pulau Sumatera juga bergantung pada sektor perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada kontribusi sektor tersebut pada PDRB Medan tahun 2011 mencapai 20,68 persen (kontribusi sektor terbesar). Data Badan Pusat Statistik Kota Medan menunjukkan bahwa salah satu kecamatan yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Medan adalah Kecamatan Medan Barat. Melihat penerimaan pajak per sektor di Kecamatan Medan Barat yang merupakan wilayah kerja KPP Pratama Medan Barat, diketahui bahwa sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi yang paling besar bagi penerimaan KPP Pratama Medan Barat selama dua tahun terakhir yaitu tahun 2011 dan 2012. Walaupun sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan KPP Pratama Medan Barat pada tahun 2011 dan 2012, namun tingkat kepatuhan pembayaran pajak sektor perdagangan eceran masih rendah. Penelitian ini dilakukan di KPP Pratama Medan Barat dimulai bulan Maret 2013 sampai Juni 2013 dengan menggunakan data primer (kuesioner). Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak dan kepatuhan pembayaran pedagang eceran sektor formal pada KPP Pratama Medan Barat. Model analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan Strucktural Equation Modeling (SEM) dengan aplikasi Amos 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran KPP Pratama Medan Barat, sedangkan biaya kepatuhan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran KPP Pratama Medan Barat. Hasil penelitian juga menunjukkan kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak dan kesadaran Wajib Pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran di KPP Pratama Medan Barat.

Kata Kunci : kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan, sensus pajak nasional dan kesadaran wajib pajak.


(18)

THE ANALYSIS OF THE FACTORS WHICH INFLUENCE THE COMPLIANCE OF RETAILERS AS TAXPAYERS IN FORMAL

SECTOR IN PRATAMA TAX SERVICE OFFICE, MEDAN BARAT

ABSTRACT

Economic growth reflects economic activity development in a certain region. The higher the economic growth in a certain region is, the more developed it activity, production, investment, and commerce in that region. Like any other towns, Medan is the biggest town in Sumatera which also depends on the factor of commerce. It can be seen from its contribution in this sector in PDRB Medan in 2011 which reached 20.68% (the biggest contribution). The data from the Central Bureau of Statistics, Medan, showed that one of the subdistricts which gave the biggest contribution in establishing PDRB Medan in Medan Barat Subdistrict. Seen from the tax revenue per sector in Medan Barat Subdistrict which is in the working area of KPP Pratama, Medan Barat, it was found that big commerce and retails gave the biggest contribution to the revenue of KPP Pratama during the period of 2011 and 2012. Although the sector of big commerce and retails gave the biggest contribution to the revenue of KPP Pratama, Medan Barat, the level of compliance of taxpayers in the sector of retails was low. The research was conducted in the KPP Pratama, Medan Barat, from March to June, 2013, using primary data (questionnaires). The objective of the research was to analyze the influence of the facility of taxation, cost of tax compliance, taxation sanction, and National Tax Census on the awareness of Taxpayers and the compliance in paying tax in formal sector of retails in the KPP Pratama, Medan Barat., while the cost of tax compliance had negative and significant influence on the awareness of the taxpayers as retailers in the KPP Pratama, Medan Barat. The result of the research also showed that the facility of taxation, cost of tax compliance, and the awareness of taxpayers had positive and significant influence on the compliance in paying tax by retailers in the KPP Pratama, Medan Barat.

Keywords: Facility of Taxation, Cost of Tax Compliance, Taxation Sanction, National Tax Census, Awareness of Taxpayers


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan salah satu kegiatan pemerintah yang berlangsung secara berkesinambungan. Usaha pemerintah agar bisa mandiri dalam pembiayaan pembangunan adalah dengan cara menggali sumber pendapatan pemerintah. Sumber pendapatan pemerintah berasal dari pendapatan pajak dan pendapatan non pajak. Pajak merupakan sumber penerimaan utama negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan nasional. Semakin besar pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk pembangunan nasional maka penerimaan negara dari pajak dituntut untuk terus ditingkatkan. Oleh karena itu, untuk mengumpulkan penerimaan negara dari perpajakan tersebut dibutuhkan peranan dari masyarakat yaitu kesadaran dan kepatuhan seluruh Wajib Pajak baik orang pribadi, badan usaha maupun bendaharawan pemerintah untuk mematuhi hukum pajak yang berlaku.

Akan tetapi besarnya penerimaan pajak masih belum diimbangi dengan peningkatan kepatuhan pajak masyarakat Indonesia. Fakta di Indonesia menunjukkan tingkat kepatuhan pajak masih rendah, ditandai belum optimalnya angka tax ratio (Jatmiko, 2006). Tax ratio merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio ini dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara.


(20)

Penelitian tentang kepatuhan Wajib Pajak sudah sering dilakukan. Beberapa peneliti juga menggunakan kerangka model Theory of Planned Behavior (TPB) yang menjelaskan tentang perilaku. Model TPB yang digunakan dalam penelitian memberikan penjelasan yang signifikan, bahwa perilaku tidak patuh (noncompliance) Wajib Pajak sangat dipengaruhi oleh variabel sikap, norma subjektif dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan. Bobek & Hatfield (2003), Blanthorne (2000), dan Hanno & Violette (1996) dalam Mustikasari (2007) telah memanfaatkan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan tentang kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi. Hasil temuan Bobek & Hatfield (2003), dan Hanno & Violette (1996) dalam Mustikasari (2007) adalah sikap berpengaruh terhadap niat ketidakpatuhan pajak. Sedangkan Blanthorne (2000) dalam Mustikasari (2007), tidak bisa membuktikan pengaruh sikap terhadap ketidakpatuhan terhadap niat karena model pengukuran sikap yang digunakan tidak valid.

Perkembangan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan masih rendahnya kepatuhan pajak diantaranya adalah kurangnya kemudahan perpajakan, tingginya biaya kepatuhan pajak, belum diterapkannya sanksi perpajakan dengan maksimal, sensus pajak yang kurang optimal dan kurangnya kesadaran Wajib Pajak.

Diakui atau tidak, Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya memang sangat rumit karena menyangkut banyak hal. Semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak yang terutang, dan menyetorkan jumlah pajak yang terutang. Menurut pendapat Aviantara (2009)


(21)

sistem perpajakan di Indonesia mempunyai kompleksitas yang tinggi, bukan hanya jumlah peraturannya yang sangat banyak, tetapi juga sering berubah dari waktu ke waktu, ditambah lagi dengan sosialisasi dari otoritas perpajakan dirasakan kurang optimal.

Menurut Sanjaya dalam Vanessa dan Priyo (2009) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pajak adalah persepsi terhadap kemudahan dalam pelaksanaan sistem perpajakan. Sejak tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia menganut self assesment system, dimana Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Sistem ini lebih ditekankan kepada kerelaan Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakannya. Untuk menunjang dari self assesment system tersebut Direktorat Jenderal Pajak membuat sistem pendukung yang diharapkan dapat memudahkan Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya yaitu adanya e-registration, e-SPT, e-filing, dropbox, online payment dan kring pajak 500200.

Sadhani (2004) mengemukakan bahwa guna melakukan penilaian tingkat efisiensi suatu sistem perpajakan, terdapat dua elemen dasar yang selalu menjadi acuan, yaitu (1) biaya administrasi perpajakan; dan (2) biaya kepatuhan perpajakan (compliance of taxation). Sistem perpajakan dikatakan efisien apabila biaya kedua elemen tersebut rendah. Beberapa Wajib Pajak beranggapan bahwa sistem perpajakan kita khususnya Pajak Penghasilan masih terlalu kompleks. Kompleksitas peraturan tersebut ternyata menimbulkan tingginya biaya yang harus dipikul oleh seorang Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Kemudian salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban


(22)

pajak adalah jumlah biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya yang dalam berbagai literatur disebut dengan compliance cost atau disebut juga sebagai biaya kepatuhan pajak.

Kenyataannya compliance cost begitu memberatkan dan menghambat Wajib Pajak. Menurut Sandford (1993) dalam Heriyanto (2012) biaya kepatuhan disini bukan hanya biaya dalam artian uang, tapi juga waktu dan pikiran. Dalam memenuhi kewajiban perpajakan, Wajib Pajak harus mengeluarkan uang selain untuk membayar pajak terutang, minimal untuk biaya perjalanan dan administrasi ke bank atau kantor pos untuk melakukan penyetoran, selain itu Wajib Pajak juga harus meluangkan waktu untuk membaca petunjuk pengisian SPT, mengisinya dan mengirimkannya ke Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak juga dibebani pikiran takut kalau-kalau pemahamannya atas peraturan perpajakan berbeda dengan pemahaman petugas pajak kemudian dituduh melakukan tax evasion.

Tingginya biaya kepatuhan pajak tersebut, menyebabkan orang enggan untuk membayar pajak. Idealnya biaya kepatuhan pajak tidak memberatkan dan menghambat Wajib Pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya. Sampai dengan saat ini memang belum ada studi yang komprehensif mengenai besaran biaya kepatuhan pajak di Indonesia, tapi bukan berarti biaya kepatuhan pajak tidak membebani Wajib Pajak (Prasetyo : 2008).

Pada hakekatnya pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (Wajib Pajak) yang dengan sukarela membayar pajak. Namun karena pajak adalah iuran yang sifatnya memaksa, maka sebenarnya negara tidak butuh “kerelaan Wajib Pajak”. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Untuk menimbulkan rasa ketaatan atau kepatuhan tersebut itulah diperlukan penegakkan hukum, diantaranya melalui pemberian sanksi. Penerapan


(23)

sanksi perpajakan baik administrasi (denda, bunga, dan kenaikan) dan pidana (kurungan atau penjara) mendorong kepatuhan Wajib Pajak (www.pajak.go.id)

Menyadari masih besarnya potensi perpajakan dan masih sedikitnya jumlah pembayar pajak, maka pemerintah melaksanakan kegiatan yang dinamakan Sensus Pajak Nasional (SPN). Dengan kegiatan ini diharapkan semua orang atau badan yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak dengan benar, dapat melaksanakannya sesuai kondisi atau potensi yang sebenarnya.

Sensus Pajak Nasional merupakan kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam rangka penggalian potensi Wajib Pajak. Selain itu, SPN memiliki tugas yang berat yaitu mengamankan target penerimaan pajak dan penerimaan negara. Tugas ini tidaklah mudah karena adanya kemungkinan hambatan atau masalah seperti respon negatif dari responden dengan menghindari petugas sensus, menjawab pertanyaan dengan asal, tidak bersedia menandatangani formulir sampai dengan tindakan konfrontatif terhadap petugas sensus (www.pajak.go.id). Jika kondisi ini terjadi Ditjen Pajak akan sangat dirugikan karena tidak akan memperoleh data yang diperlukan. Keberhasilan program Sensus Pajak Nasional tidak lepas dari persepsi masyarakat yang positif. Untuk mengatasi respon yang kurang baik dari para responden, selain teknik komunikasi yang baik petugas SPN juga diperlukan dukungan semua pihak terkait. Persepsi positif masyarakat terhadap SPN dan kesadaran perpajakan akan mendorong pada kepatuhan sukarela.

Sensus Pajak pada hakikatnya untuk menegakkan keadilan. Sungguh tidak adil apabila ada sebagian masyarakat yang telah membayar pajak tapi masih banyak lagi yang belum membayar pajak. Masyarakat haruslah memiliki rasa bangga ketika telah memenuhi kewajibannya membayar pajak. Melalui


(24)

Sensus Pajak Nasional yang dilaksanakan pemerintah, diharapkan seluruh masyarakat bisa mewujudkan kesadaran dan rasa bangga bayar pajak.

Kesadaran perpajakan masyarakat yang sangat rendah seringkali menjadi salah satu sebab banyaknya potensi pajak yang tidak dapat terjaring. Seperti yang dikemukakan oleh Santoso (2013) bahwa penerimaan pajak dibawah target yang dipatok pemerintah untuk tahun 2012 bukan sekedar dampak dari krisis perekonomian global yang berkepanjangan, namun juga masih terkendala dengan rendahnya kesadaran masyarakat melaksanakan kewajiban membayar pajak (m.sindowews.com/read/2013/01/08/16/704712/realisasi-pajak-melenceng).

Pentingnya peranan penerimaan pajak, mengharuskan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang merupakan instansi di bawah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menjalankan peranannya dengan baik dalam mengumpulkan penerimaan negara tersebut. Salah satu diantaranya adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat yang berada dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Utara I.

Pada awalnya Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat memiliki nama Kantor Inspeksi Pajak Medan Selatan, kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 94/KMK.01/1994 tanggal 29 Maret 1994 namanya menjadi Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat. Dalam perjalanannya, Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat mengalami 2 (dua) kali reorganisasi. Sesuai Keputuan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dipecah menjadi dua yaitu Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dan Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia. Setelah mengalami reorganisasi pertama tersebut, bahwa dalam rangka pelaksanaan modernisasi sistem administrasi perpajakan dan efektivitas organisasi


(25)

instansi vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.01/2008 tanggal 6 Mei 2008, Kantor Pelayanan Pajak Medan Barat dipecah lagi menjadi dua yaitu Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Petisah. Adapun wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat sekarang adalah Kecamatan Medan Barat yang terdiri dari :

1. Kelurahan Kesawan 2. Kelurahan Silalas 3. Kelurahan Glugur Kota 4. Kelurahan Pulo Brayan Kota 5. Kelurahan Karang Berombak 6. Kelurahan Sei Agul

Penerimaan pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya yaitu kondisi ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merefleksikan perkembangan aktivitas perekonomian suatu daerah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah menunjukkan semakin berkembangnya aktivitas perekonomian baik aktivitas produksi, konsumsi, investasi maupun perdagangan di daerah tersebut (Widodo, 2006). Sedangkan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerah dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan penghitungan atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi riil dari tahun ke tahun, dimana faktor perubahan harga telah dikeluarkan.


(26)

Seperti kebanyakan kota lainnya, Medan sebagai kota terbesar di pulau Sumatera juga bergantung pada sektor perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada kontribusi sektor tersebut pada PDRB Medan tahun 2011 mencapai 20,68 persen (kontribusi sektor terbesar). Statistik Daerah Kota Medan 2012 menunjukkan bahwa nilai tambah bruto sub sektor perdagangan besar dan eceran dalam PDRB Medan selalu meningkat secara nominal setiap tahunnya. Pada tahun 2009 NTB sektor ini berada pada kisaran 15,94 triliun rupiah, kemudian meningkat menjadi 18,17 triliun rupiah pada tahun 2010, selanjutnya pada tahun 2011 menjadi 19,36 triliun rupiah.

Data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2010 menunjukkan bahwa kecamatan yang memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Medan selama tahun 2009 adalah Kecamatan Medan Barat, menyumbang sebesar 15,22 triliun rupiah (20,95 persen) dari total PDRB Kota Medan atas dasar harga berlaku. Sedangkan berdasarkan harga konstan Kecamatan Medan Barat menyumbang sebesar 6,56 triliun rupiah (19,63 persen) dari total PDRB Kota Medan.

Dilihat penerimaan pajak per sektor di Kecamatan Medan Barat yang merupakan wilayah kerja KPP Pratama Medan Barat, diketahui bahwa sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi yang paling besar bagi

penerimaan KPP Pratama Medan Barat selama dua tahun terakhir. Adapun penerimaan pajak per sektor KPP Pratama Medan Barat untuk

tahun 2011 dan 2012 adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1. Penerimaan Bruto Per Sektor KPP Pratama Medan Barat Tahun 2011 dan 2012 (Milyar)


(27)

Kategori Klasifikasi Lapngan Usaha (KLU)

2011 2012

Rp % Rp %

G Perdagangan besar dan eceran 79,44 29,31 91,56 27,18

F Konstruksi 56,10 20,69 62,62 18,59

D Industri pengolahan 35,44 13,07 43,42 12,89

I Transportasi, pergudangan dan

komunikasi 34,68 12,79 39,50 11,72

K Real estate, usaha persewaan dan

jasa usaha 9,14 3,37 26,39 7,83

A Pertanian, perburuan dan

kehutanan 12,96 4,78 19,96 5,92

O Jasa kemasyarakatan, sosial dan

lainnya 5,28 1,95 7,91 2,35

J Perantara keuangan 5,26 1,94 5,82 1,73

L Administrasi pemerintahan,

pertahanan 3,09 1,14 4,54 1,35

E Listrik, gas dan air 3,66 1,35 4,40 1,30

P Jasa perorangan 1,98 0,73 2,99 0,89

H Penyediaan akomodasi dan

makan minum 1,05 0,39 1,14 0,34

M Jasa pendidikan 0,94 0,35 1,10 0,33

N Jasa kesehatan dan kegiatan

social 0,35 0,13 0,38 0,11

X Kegiatan yang belum jelas

batasannya 0,04 0,01 0,08 0,03

B Perikanan 0,01 0,00 0,01 0,00

C Pertambangan dan penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00

Non NPWP 16,76 6,18 19,19 5,70

Unknown NPWP 4,91 1,81 5,92 1,76

Grand Total 271,08 100,00 336,93 100,00

Sumber : Seksi PDI KPP Pratama Medan Barat

Walaupun sektor perdagangan besar dan eceran memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan KPP Pratama Medan Barat pada tahun 2011 dan 2012, namun tingkat kepatuhan pembayaran pajak sektor perdagangan eceran masih rendah. Dari database yang dimiliki KPP Pratama Medan Barat sampai dengan tahun 2012, Wajib Pajak dari sektor ini tercatat sebanyak 2.231 pedagang eceran, sedangkan yang aktif melakukan pembayaran pajak hanya 744 pedagang eceran saja.


(28)

Berikut adalah jumlah dan tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran pada tahun 2010 - 2012 :

Tabel 1.2. Jumlah dan Tingkat Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat

Tahun Pedagang

Eceran Terdaftar

Pedagang Eceran Melakukan Pembayaran

Tingkat Kepatuhan Pembayaran Pajak

2010 2.081 793 38,10%

2011 2.188 764 34,92%

2012 2.231 744 33,35%

Sumber : Modul Penerimaan Negara, 15 Januari 2013

Berdasarkan tabel 2 di atas diketahui masih rendahnya tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran. Dimana perbandingan antara pedagang eceran yang melakukan pembayaran dan yang terdaftar sangat rendah yaitu 38,10% pada tahun 2010, kemudian terus menurun menjadi 34,92% pada tahun 2011 dan turun kembali 33,35% pada tahun 2012. Turunya tingkat kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran tersebut disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah kurangnya kemudahan perpajakan, tingginya biaya kepatuhan pajak, belum diterapkannya sanksi perpajakan dengan maksimal, sensus pajak yang kurang optimal dan kurangnya kesadaran Wajib Pajak.

Rendahnya kepatuhan pajak dari pelaku pedagang eceran yang ada di KPP Pratama Medan Barat, sementara mereka mendominasi peran dalam perekonomian Kecamatan Medan Barat menimbulkan efek pada rasa keadilan. Pelaku pedagang eceran yang tidak membayar pajak, misalnya, akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang membayar pajak. Pelaku usaha yang membayar pajak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan menambah harga jual ke konsumen, sementara pelaku usaha yang tidak membayar pajak tidak


(29)

melakukannya untuk barang yang sama. Di pihak lain, pelaku usaha yang membayar pajak harus menyisihkan penghasilan yang diperoleh untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) terutang, sementara pelaku usaha yang tidak membayar pajak dapat menikmati seluruh penghasilan yang diperolehnya.

Distorsi yang terjadi antara pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak dengan pedagang eceran yang tidak membayar pajak ini, dalam jangka panjang, akan mengurangi kemampuan pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak dalam persaingan di pasar. Distorsi juga akan menimbulkan disinsentif bagi kepatuhan pajak pedagang eceran yang melakukan pembayaran pajak. Untuk mampu bersaing dalam pasar dengan pelaku usaha yang tidak membayar pajak, mereka akan cenderung untuk menyelewengkan kewajiban perpajakannya, misalnya tidak memungut PPN atau tidak membayar pajak terutang. Menjadi tantangan bagi administrasi pajak untuk bagaimana membuat para pedagang eceran yang belum patuh pajak menjadi patuh pajak dan pedagang eceran yang sudah patuh untuk tetap patuh.

Atas dasar itulah, maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini menjadi sebuah penelitan yang diberi judul “Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pembayaran Pajak Pedagang Eceran Sektor Formal pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas adapun yang menjadi rumusan masalah adalah :


(30)

1. Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal ?

2. Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran sektor formal ?

3. Apakah ada pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak melalui kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal.

2. Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran sektor formal.

3. Untuk menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan dan Sensus Pajak Nasional terhadap kepatuhan pembayaran pajak melalui kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal.


(31)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak mengenai pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan pajak, sanksi perpajakan, Sensus Pajak Nasional, terhadap kepatuhan pembayaran pajak melalui kesadaran Wajib Pajak pedagang eceran sektor formal.

2. Untuk menambah wawasan, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain terutama didalam menganalisis pengaruh kemudahan perpajakan, biaya kepatuhan perpajakan, sanksi perpajakan, Sensus Pajak Nasional, kesadaran Wajib Pajak terhadap kepatuhan pembayaran pajak pedagang eceran sektor formal.

3. Bagi penelitian selanjutnya, sebagai acuan/bandingan/referensi bagi penelitian yang relevan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Perpajakan 2.1.1. Pengertian Pajak

Pengertian pajak sebagai sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh warga negara dalam sebuah negara yang berdaulat telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Kesemua pengertian yang dikemukakan oleh para ahli memiliki definisi prinsipil yang tidak jauh berbeda.


(32)

Definisi pajak menurut Adriani adalah: "Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan" (Waluyo dan Ilyas, 2000)

Rochmat Soemitro memberikan definisi pajak sebagai ”iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (Mardiasmo, 2006).

Sedangkan pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah “ Kontribusi wajib yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.


(33)

2.1.2. Wajib Pajak

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 1 Ayat 2 UU KUP).

Menurut Soemitro (Devano dan Rahayu, 2006: 144) Wajib Pajak adalah orang atau badan yang bertempat tinggal di Indonesia, yang menerima atau memperoleh penghasilan bagi perorangan yang jumlah setahun melampui batas pajak, yaitu yang mempunyai penghasilan melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mempunyai NPWP walaupun kepadanya belum atau tidak dikenakan pajak atau belum atau tidak diberikan Surat Ketetapan Pajak.

Wajib Pajak dapat dikelompokkan menjadi : Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Pemungut/Pemotong (Bendaharawan).

2.1.3. Pengusaha Kena Pajak

Undang-undang PPN tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 memberikan definisi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Batasan pengusaha kecil sebagaimana dimaksud, terakhir ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 yaitu sebesar Rp 600.000.000.


(34)

PKP sebagaimana dimaksud diatas merupakan Wajib Pajak yang selanjutnya dengan sukarela atau atas ketetapan jabatan dikukuhkan sebagai PKP. PKP selanjutnya berkewajiban untuk:

1. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang.

2. Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak. 3. Membuat nota retur dalam hal terdapat pengembalian BKP.

4. Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya. 5. Menyetor PPN dan PPnBM yang terutang

6. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.

2.1.4. Kebijakan Perpajakan Terhadap Pedagang Eceran

Perekonomian Indonesia didominasi oleh kegiatan usaha yang berbasis pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), diantaranya yaitu perdagangan eceran. Dominasi ini seharusnya juga tercermin pada penerimaan pajak. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa sebagian besar penerimaan pajak didominasi oleh

Wajib Pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1% (Rakhmad, 2012). P

1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Dalam peraturan ini diatur bahwa besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, enarikan pajak dari sektor perdagangan eceran bukanlah satu hal yang mudah. Untuk itu pemerintah nasional dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan terkait pedagang eceran tersebut baik menyangkut Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai. Kebijakan terkait yang dikeluarkan selama lima tahun terakhir diantaranya yaitu :


(35)

ditetapkan sebesar 0,75 (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha. Peraturan ini berlaku sejak tanggal 12 Juli 2010.

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai. Dalam peraturan ini diatur bahwa pengusaha kecil yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tidak wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukannya.

3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu. Dalam peraturan ini diatur bahwa PPN yang wajib disetor pada setiap masa pajak untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak adalah 4% (empat persen) dari Dasar Pengenaan Pajak, sedangkan yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak adalah 3% (tiga persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Kegiatan Usaha Tertentu. Dalam peraturan ini diatur bahwa PPN yang wajib disetor pada setiap masa pajak untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara


(36)

eceran adalah 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak, sedangkan yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran adalah 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah Sebagaimana Telan Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam peraturan ini diatur bahwa pedagang eceran yang membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual (faktur pajak tidak lengkap), tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak atas faktur pajak tersebut. 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang

Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (lebih dikenal dangan pajak bagi Usaha Kecil dan Menengah / UKM). Dalam peraturan ini diatur atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha (tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan pekerjaan bebas) dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam satu tahun pajak, dikenakan tarif Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dan bersifat final.


(37)

2.2. Pedagang Eceran Sektor Formal

Dalam bahasa inggris, perdagangan eceran disebut dengan retailing. Retail berasal dari bahasa Perancis yaitu “retailer” yang berarti memotong menjadi kecil-kecil (Risch, 1991). Sedangkan menurut Gilbert (2003) retail adalah semua usaha bisnis yang secara langsung mengarahkan kemampuan pemasarannya untuk memuaskan konsumen akhir berdasarkan organisasi penjualan barang dan jasa sebagai inti dari distribusi. Dalam kamus Bahasa Inggris – Indonesia, retail bisa juga diartikan sebagai eceran. Pedagang eceran bisa didefenisikan sebagai suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir. Pedagang eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dari produsen sampai ke konsumen. Pedagang eceran sangat penting artinya bagi produsen karena melalui pengecer produsen memperoleh informasi berharga tentang barangnya.

Ciri-ciri perusahaan retail sesuai dengan kategori menurut Yong (2011) adalah : 1. Discount stores, adalah toko pengecer yang menjual berbagai macam barang

dengan harga yang murah dan memberikan pelayanan yang minimum.

2. Speciality stores, merupakan toko eceran yang menjual barang-barang jenis lini produk tertentu saja yang bersifat spesifik.

3. Departemen stores, adalah suatu toko eceran berskala besar yang pengelolaannya dipisah dan dibagi menjadi bagian departemen-departemen yang menjual macam barang yang berbeda-beda.

4. Convenience stores, adalah toko pengecer yang menjual jenis item produk yang terbatas, bertempat ditempat yang nyaman dan jam buka yang panjang. 5. Catalog stores, merupakan suatu jenis toko yang banyak memberikan

informasi produk melalui media catalog yang dibagikan kepada para konsumen potensial.


(38)

6. Chain store, adalah toko pengecer yang memiliki lebih dari satu gerai dan dimiliki oleh perusahaan yang sama.

7. Supermarket, adalah toko eceran yang menjual berbagai macam produk makanan dan juga sejumlah kecil produk non makanan dengan sistem konsumen melayani dirinya sendiri (swalayan).

8. Hypermarkets, adalah toko eceran yang menjual jenis barang dalam jumlah yang sangat besar atau lebih dari 50.000 item dan mencakup banyak produk. Hypermarket merupakan gabungan antara retailer toko diskon dengan hypermarket.

9. Minimarket, merupakan semacam toko kelontong yang menjual segala macam barang dan makanan, namun tidak sebesar dan selengkap supermarket. Minimarket menerapkan sisstem swalayan.

sektor usaha formal merupakan usaha perorangan maupun badan hukum ekonomi yang didirikan secara resmi, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (berbadan hukum). Sethruman (1986) dalam ekhardhi.blog (2010) mendefenisikan sektor formal adalah kegiatan usaha yang terjamin dengan baik, dan kegiatan pemasarannya berdasarkan jaringan khusus, pada umumnya memiliki izin usaha, memiliki teknologi canggih, jam kerjanya terjadwal, modal relatif besar dan skala garansinya juga besar. Ciri-ciri sektor formal yaitu :

1. Adanya izin mendirikan usaha dari pemerintah; 2. Modal yang dibutuhkan relatif besar;

3. Kewajiban membayar pajak; 4. Perolehan laba relatif besar;


(39)

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 menyebutkan bahwa pengusaha kena pajak pedagang eceran adalah pengusaha kena pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaan melakukan :

a. penyerahan barang kena pajak dengan cara sebagai berikut :

1) melalui suatu tempat penjualan eceran atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;

2) dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan

3) pada umumnya penyerahan barang kena pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual atau pembeli langsung menyerahkan atau membawa barang kena pajak yang dibelinya; atau

b. penyerahan jasa kena pajak dengan cara sebagai berikut :

1) melalui suatu tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;

2) dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan

3) pada umumnya pembayaran atas penyerahan JKP dilakukan secara tunai. Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pedagang eceren sektor formal adalah suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir dalam bentuk perorangan maupun badan hukum ekonomi, yang didirikan secara resmi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.


(40)

2.3. Kepatuhan Pembayaran Pajak

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia ”Kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan” (Badudu dan Zain, 1994). Kepatuhan adalah motivasi seseorang kelompok; atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Perilaku kepatuhan seseorang merupakan interaksi antara perilaku individu, kelompok dan organisasi (Robbins, 2001).

Menurut Nurmantu dalam Sofyan (2005), ”Kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”. Terdapat dua macam kepatuhan menurut Safri Nurmantu dalam Sofyan (2005), yakni: Kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila Wajib Pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan formal, akan tetapi isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar Surat Pemberitahuan (SPT) sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.


(41)

Menurut Nasucha dalam dalam Sofyan (2005) : Kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.

Menurut James et al yang dikutip oleh Gunadi (2005) dalam Santoso (2008), pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.

Kemauan membayar pajak (willingness to pay tax) dapat dibedakan menjadi 2 (dua) subkonsep yaitu konsep kemauan membayar dan konsep pajak. Konsep kemauan membayar adalah suatu keadaan dimana seseorang rela untuk mengeluarkan dan mengorbankan uangnya untuk memperoleh sesuatu barang dan jasa. Sedangkan konsep pajak menurut Taylor dalam Waluyo (2007) adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh negara dan terhutang kepada pengusaha tanpa suatu kontrapestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran umum.

Walaupun beberapa laporan atau artikel, baik yang diterbitkan oleh instansi pemerintah maupun majalah ilmiah menunjukkan bahwa masih banyak perusahaan yang tidak mematuhi peraturan perpajakan, akan tetapi masih relatif sedikit penelitian secara akademis melakukan pengujian secara ilmiah terhadap fenomena tersebut untuk perusahaan yang berskala kecil.


(42)

The General Accounting Office (1990) dalam Siahaan (2005) telah menemukan bahwa perusahaan manufaktur memiliki tingkat kepatuhan terhadap peraturan perpajakan yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan perusahaan jasa (service) dan dagang eceran (retail). Rice (1992) dalam Siahaan (2005) telah melakukan penelitian terhadap tingkat kepatuhan perusahaan-perusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan. Rice menemukan bahwa 2/3 dari perusahaan kecil yang diteliti tidak mematuhi peraturan perpajakan. Faktor-faktor yang siginifikan yang ditemukan dalam hubungannya dengan tingkat kepatuhan perusahaan-perusahaan kecil terhadap peraturan perpajakan adalah pengungkapan laporan keuangan kepada publik (memiliki hubungan positif), Marginal Tax Rate (memiliki hubungan negatif), ukuran perusahaan (memiliki hubungan positif) dan lokasi yang diidentifikasi oleh IRS yang masuk dalam Poor Compliance Region (memiliki hubungan negatif).

Apakah yang menjadi kriteria atau tolak ukur bagi Wajib Pajak sehingga disebut sebagai Wajib Pajak Patuh ? Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/PMK.03/2007 yang telah dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 menyebutkan bahwa Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;


(43)

c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan

d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

2.4. Teori Perilaku

2.4.1. Theory of Planned Behavior (TPB)

Theory of Planned Behavior menerangkan bahwa perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan muncul niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu: (1) behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation), (2) normatif beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normatif beliefs and motivation to comply), dan (3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power).

Hambatan yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subyektif (subjective norm) dan control beliefs


(44)

menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002)

Sumber : Ajzen, Icek (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes

Gambar 2.1 Theory of Planned Behaviour

2.4.2. Theory of Reasoned Action (TRA)

Teori ini dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yang mendasari psikologi sosial. Model ini menjelaskan hubungan antara kepercayaan, sikap, norma, tujuan, dan perilaku individual. Berdasarkan model ini, perilaku seseorang ditentukan oleh minat dan tujuan perilaku untuk melakukan atau tidak melakukannya. Menurut Theory of Reasoned Action (TRA), Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat menentukan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Ajzen (1980) mengemukan bahwa niat seseorang dipengaruhi oleh dua penentu utama yaitu (Jogiyanto 2007) :

1. Sikap

Merupakan gabungan dari evaluasi atau penilaian positif maupun negatif dari faktor-faktor perilaku dan kepercayaan tentang akibat dari perilaku.


(45)

2. Norma subjektif

Merupakan gabungan dari beberapa persepsi tentang tekanan/aturan dan norma sosial yang membentuk suatu perilaku. Fisben dan Ajzen menggunakan istilah motivation to comply, yaitu apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam hidupnya atau tidak. Tujuan dari perilaku, menurut Fishbein dan Ajzen (1975), merupakan kekuatan seseorang untuk melakukan tindakan yang ditentukan. Tujuan perilaku tersebut didefinisikan sebagai perasaan positif atau negatif mengenai suatu tindakan. Relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa seseorang dalam menentukan perilaku patuh atau tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dipengaruhi rasionalitas dalam mempertimbangkan manfaat dari pajak dan juga pengaruh lingkungan yang berhubungan dengan pembentukan norma subjektif yang mempengaruhi keputusan perilaku.

2.4.3. Teori Atribusi

Kepatuhan Wajib Pajak terkait dengan sikap Wajib Pajak dalam membuat penilaian terhadap pajak itu sendiri. Persepsi seseorang untuk membuat penilaian mengenai orang lain sangat dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal orang tersebut. Teori atribusi sangat relevan untuk menerangkan maksud tersebut. Pada dasarnya teori atribusi menyatakan bahwa bila individu-individu mengamati perilaku seseorang, mereka mencoba untuk menentukan apakah perilaku itu ditimbulkan secara internal atau eksternal (Robbins, 2001). Perilaku yang disebabkan secara internal adalah perilaku yang diyakini berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri, sedangkan perilaku yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa


(46)

berperilaku karena situasi atau lingkungan. Penentuan faktor internal atau eksternal menurut Robbins (2001) tergantung pada tiga faktor yaitu :

1. Kekhususan (Kesendirian atau Distinctiveness)

Kekhususan artinya seseorang akan mempersepsikan perilaku individu lain secara berbeda-beda dalam situasi yang berlainan. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu hal yang tidak biasa, maka individu lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan atribusi eksternal terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya jika hal itu dianggap hal yang biasa, maka akan dinilai sebagai atribusi internal.

2. Konsensus

Konsensus artinya jika semua orang mempunyai kesamaan pandangan dalam merespon perilaku seseorang jika dalam situasi yang sama. Apabila konsensusnya tinggi, maka termasuk atribusi eksternal. Sebaliknya jika konsensusnya rendah, maka termasuk atribusi internal.

3. Konsistensi

Konsistensi yaitu jika seseorang menilai perilaku-perilaku orang lain dengan respon sama dari waktu ke waktu. Semakin konsisten perilaku itu, orang akan menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab internal, dan sebaliknya. Teori atribusi mengelompokkan dua hal yang dapat memutarbalikkan arti dari atribusi. Pertama, kekeliruan atribusi mendasar yaitu kecenderungan untuk meremehkan pengaruh faktor-faktor eksternal daripada faktor internalnya. Kedua, prasangka layanan dari seseorang cenderung menghubungkan kesuksesan karena akibat faktor-faktor internal, sedangkan kegagalannya dihubungkan dengan faktor-faktor eksternal.


(47)

2.4.4. Teori Pembelajaran Sosial

Teori pembelajaran sosial mengatakan bahwa seseorang dapat belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung (Bandura dalam Robbins, 2001). Teori ini merupakan perluasan teori pengkondisian operan dari Skinner (dalam Robbins, 2001) yaitu teori yang mengandaikan perilaku sebagai suatu fungsi dari konsekuensi-konsekuensinya. Menurut Bandura dalam Robbins (2001), proses dalam pembelajaran sosial meliputi :

1. Proses perhatian (attentional)

Proses perhatian yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang atau model, jika mereka telah mengenal dan menaruh perhatian pada orang atau model tersebut.

2. Proses penyimpanan (retention)

Proses penyimpanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi mudah tersedia.

3. Proses reproduksi motorik

Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi perbuatan.

4. Proses penguatan (reinforcement)

Proses penguatan adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif atau penghargaan supaya berperilaku sesuai dengan model. Teori pembelajaran sosial ini relevan untuk menjelaskan perilaku Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya.


(48)

2.5. Kemudahan Perpajakan

Kemudahan menurut kamus Bahasa Indonesia berarti mudah atau tidak sulit. Kemudahan perpajakan berarti mudah atau tidak sulit dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakan. Lewis (1982) dalam Purnomo (2012) mengemukakan untuk merangsang timbulnya kegairahan membayar pajak, salah satunya dengan menawarkan berbagai aspek kemudahan, baik kemudahan mendapatkan SPT maupun pengisiannya. Purnomo (2012) dalam kompasiana mengemukakan, kemudahan bagi Wajib Pajak diharapkan menepis skeptis masyarakat pembayar pajak. Sifat skeptis artinya sifat meragukan sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas.

Terkait dengan kemudahan dan dalam rangka meraih kepercayaan masyarakat, DJP melakukan program modernisasi perpajakan secara komprehensif yang meliputi modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan, modernisasi Organisasi dan Sistem Informasi dan modernisasi Kualitas Sumber Daya Manusia. Akibat dari modernisasi tersebut memberikan kemudahan perpajakan bagi semua Wajib Pajak. Kemudahan perpajakan tersebut antara lain adalah :

1. Tempat Pelayanan Terpadu

Untuk meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dibentuk suatu tempat pelayanan terpadu di setiap KPP seperti penerimaan dokumen atau laporan perpajakan yang diserahkan langsung oleh Wajib Pajak. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-27/PJ/2003 Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) adalah suatu tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi pada KPP dengan menggunakan Sistem Informasi Perpajakan/Sistem


(49)

Administrasi Perpajakan Terpadu untuk memberikan pelayanan perpajakan. Adanya TPT juga untuk memudahkan pengawasan terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak.

2. Pojok Pajak

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2008 pojok pajak adalah sarana penyuluhan dan pelayanan perpajakan bagi masyarakat dan/atau Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yang ditempatkan di pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat bisnis, pameran-pameran atau tempat-tempat tertentu lainnya di seluruh Indonesia.

3. E-registration

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2009 sistem e-registration adalah sistem pendaftaran Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan perubahan data Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak melalui internet yang terhubung langsung secara on-line dengan Direktorat Jenderal Pajak. Sistem ini terbagi dua bagian, yaitu sistem yang dipergunakan oleh Wajib Pajak yang berfungsi sebagai sarana pendaftaran Wajib Pajak secara online dan sistem yang dipergunakan oleh petugas pajak yang berfungsi untuk memproses pendaftaran Wajib Pajak.

4. E-filling

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-47/PJ/2008 e-filing adalah suatu cara penyampaian SPT dan penyampaian Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik yang dilakukan secara online dan realtime melalui Penyedia Jasa Aplikasi (ASP). Online berarti bahwa Wajib Pajak dapat melaporkan pajak melalui internet dimana saja dan kapan saja. Sedangkan kata realtime berarti bahwa konfirmasi dari DJP dapat diperoleh


(50)

saat itu juga apabila data-data Surat Pemberitahuan (SPT) yang diisi dengan lengkap dan benar telah sampai dikirim secara elektronik. Wajib Pajak tidak perlu lagi datang ke KPP jika sudah menggunakan fasilitas e-filing sehingga penyampaian SPT menjadi lebih mudah dan cepat. Hal ini karena pengiriman data SPT dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja serta dikirim langsung ke database DJP dengan fasilitas internet.

5. Kring Pajak 500200

yaitu pusat layanan untuk memudahkan komunikasi dan interaksi antara Wajib Pajak yang ingin menanyakan hak dan kewajibannya. Kring Pajak 500200 bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat karena dalam spanduk dan iklan pajak dewasa ini, nama tersebut selalu dicantumkan. Semangat dan jiwa melayani yang tinggi yang dinilai DJP berlandaskan prinsip transparansi, partisipasi, profesionalisme, efektivitas dan akuntabilitas, tertuang dalam perwujudan Kring Pajak 500200.

Kring Pajak 500200 sendiri merupakan sebuah nama dari unit contact center DJP yang didirikan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, dimana DJP diharapkan memberikan pelayanan informasi perpajakan kepada masyarakat luas berupa pendirian contact center yang harus beroperasi paling lambat bulan Maret 2008.

Contact center DJP resmi berdiri pada tanggal 8 Januari 2008 dan diberi nama Kring Pajak 500200. Kring Pajak 500200 sebagai contact center DJP dapat diakses dari seluruh Indonesia baik menggunakan fixed line dengan menggunakan nomor 500200 maupun telepon selular dengan menambahkan kode area penelepon sebelum menekan nomor 500200.


(51)

Kring Pajak 500200 memiliki dua jenis layanan utama yaitu layanan informasi dan layanan pengaduan. Kedua jenis layanan tersebut ditangani oleh masing-masing kelompok agen/petugas yang berbeda.

1) Layanan Infomasi

Layanan informasi Kring Pajak 500200 mencakup layanan inbound (panggilan masuk) yang terdiri dari tiga jenis layanan sebagai berikut : a. Layanan informasi melalui mesin menjawab otomatis (Interactive

Voice Response/IVR), yang memberikan layanan informasi mengenai kurs pajak, NPWP, SPT, dan PBB. Layanan melalui mesin penjawab otomatis ini berlaku 24 jam sehari selama 7 hari dalam seminggu.

b. Layanan facsimile, berupa layanan pencetakan salinan SPPT untuk permintaan data PBB.

c. Layanan informasi perpajakan oleh petugas/agen, yang terdiri dari dua jenis layanan informasi perpajakan umum dan layanan aplikasi elektronik. Layanan informasi ini didukung dengan aplikasi Tax Knowledge Base yang mutakhir sebagai referensi para petugas dalam melayani permintaan informasi maupun menjawab pertanyaan dibidang perpajakan.

2) Layanan Pengaduan

Sampai dengan saat ini pengaduan masyarakat yang diterima dan ditangani oleh Pusat Pengaduan Pajak Kring Pajak 500200 pada umumnya hal sebagai berikut :

a. Keluhan tentang penerapan peraturan perpajakan yang tidak konsisten; b. Indikasi penggelapan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak;


(52)

d. Hambatan dan ketidakprofesionalan dalam pelayanan prima kepada masyarakat;

e. Sarana kantor yang tidak memadai dalam memberikan pelayanan prima.

6. E-payment

Menurut Iwan (2012) e-payment adalah sistem pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang dilakukan melalui sistem on-line yang realtime.

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-22/PJ/2008 disebutkan bahwa Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui bank persepsi atau bank devisa persepsi atau kantor pos persepsi dengan sistem pembayaran secara online dan Surat Setoran Pajaknya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, maka Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. Dengan adanya online payment ini, berarti memberi kemudahan kepada Wajib Pajak karena mereka tidak lagi perlu melaporkan pajak yang telah dibayar mereka ke Kantor Pelayanan Pajak.

7. Dropbox

Satu lagi inovasi yang dibuat oleh DJP sebagai upaya meningkatkan pelayanan dan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak saat penyampaian SPT Tahunan, yaitu penyediaan tempat khusus penerimaan SPT Tahunan yang disebut dropbox, yang ditempatkan di KPP, pusat perbelanjaan, pusat bisnis dan lokasi strategis lainnya.

Mulai tahun 2009 Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Tahunannya secara langsung melalui dropbox SPT di lokasi dimana saja. Hal ini memberikan


(53)

keleluasaan kepada Wajib Pajak, karena tidak harus menyampaikan SPT Tahunan di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar tetapi dapat disampaikan di tempat yang terdekat dengan aktivitas harian mereka. Dengan adanya dropbox SPT, Wajib Pajak juga akan lebih merasa nyaman dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, karena mereka tidak lagi perlu menghadapi antrian yang sangat panjang menjelang tenggat waktu penyampaian SPT Tahunan. 8. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-32/PJ/2010, Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha pedagang pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha. Pedagang eceran adalah orang pribadi yang melakukan :

a. Penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau b. Penyerahan jasa,

melalui suatu tempat usaha.

Bentuk kemudahan dari peraturan ini adalah besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha. Jadi Wajib Pajak tidak perlu menghitung jumlah pegawai, biaya listrik dan pengeluaran lainnya untuk membayar pajak penghasilan terutang.

2.6. Biaya Kepatuhan Pajak

Untuk mewujudkan pemasukkan pajak ke dalam kas negara, maka dibutuhkan biaya-biaya, yang dalam literatur perpajakan disebut tax operating cost, yang terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk memungut


(54)

pajak yang disebut sebagai administrative cost dan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya yang disebut compliance cost atau biaya kepatuhan.

Biaya kepatuhan adalah semua biaya baik secara pisik maupun psikis yang harus dipikul oleh Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannnya. Biaya kepatuhan antara lain terdiri dari fee untuk konsultan/akuntan, biaya pegawai, biaya transport ke kantor pajak/bank/kas negara, dan biaya foto copy sebagai biaya pisik, dan biaya psikis berupa stres, keingintahuan dan kekhawatiran. Makin rendah biaya kepatuhan, makin mudah bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Permintaan lembar foto kopi lebih dari satu kali oleh seksi/petugas kantor pajak dibawah satu atap merupakan contoh

dari biaya kepatuhan yang tidak perlu (

pascasarjana-stiami.ac.id/2010/12/kepatuhan-perpajakan/).

Sebagai ilustrasi, menurut laporan IFA (International Fiscal Association) dalam kongresnya tahun 1989 yang dilangsungkan di Rio de Janeiro, Brazil, biaya kepatuhan Inggris, Norwegia dan Swedia lebih besar jika dibandingkan dengan administrative cost dengan perpandingan sebagai berikut : di Inggris 2,2 : 1, di Swedia 1,2 : 1 dan di Norwegia 2,5 :1. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa besarnya tax operating cost di Inggris tahun 1986 – 1987 adalah 4% dari total penerimaan pajak atau 1,5% dari GDP. Suatu angka yang pantastis. Di Indonesia belum ada hasil penelitian mengenai tax operating cost, khususnya mengenai compliance cost. Namun demikian jika prosentasi angka di Inggris tersebut diaplikasikan pada rencana penerimaan tahun 2013, maka akan ditemukan angka : 4% x Rp 1.042,28 triliun = Rp 41,69 triliun.


(55)

Penelitian dari Prasetyo (2008) dalam disertasinya yang berjudul “Pengaruh Uniformity dan Kesamaan Persepsi, Serta Ukuran Perusahaan Terhadap Kepatuhan Pajak” mengungkapkan bahwa rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak disebabkan sifat dasar manusia yang wanprestasi sehingga perlu layanan yang maksimal dari pengelola pajak. Biaya kepatuhan pajak, yang ditanggung oleh Wajib Pajak, menurut penelitiannya berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pajak dengan pengaruh negatif. Sehingga, semakin besar biaya kepatuhan pajak, maka tingkat kepatuhan juga semakin rendah. Oleh karena itu, maka ia berharap pemerintah dapat menekan biaya kepatuhan pajak seminimal mungkin supaya kepatuhan pajak juga maksimal.

Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak atau compliance cost menurut Seandford, et al yang dikemukakan kembali oleh Rahayu dan Suhayati (2009)mendefinisikan bahwa compliance cost atau biaya kepatuhan Wajib Pajak adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam memenuhi syarat-syarat perhitungan perpajakan.

Menurut Seandford biaya kepatuhan pajak dibagi menjadi :

a) Direct money cost, yaitu biaya yang berhubungan dengan perhitungan pajak, yaitu biaya pengarsipan (kuitansi-kuitansi, tanda terima, dan catatan-catatan penting), biaya penyelesaian penulisan berkas pajak pendapatan, biaya konsultan pajak, dan biaya tak terduga (surat menyurat, telepon, perjalanan, dan komunikasi dengan pejabat perpajakan), biaya pengumpulan, pembayaran, dan perhitungan pajak produk, pendapatan perusahaan, dan gaji karyawan.


(1)

butir 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 1 .4 .4 .4

3 6 2.3 2.3 2.7

4 160 61.5 61.5 64.2

5 93 35.8 35.8 100.0

Total 260 100.0 100.0

butir 6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 1 .4 .4 .4

3 23 8.8 8.8 9.2

4 154 59.2 59.2 68.5

5 82 31.5 31.5 100.0

Total 260 100.0 100.0

Reliability Data Y1

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 260 100.0

Excludeda 0 .0

Total 260 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items


(2)

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

butir 1 21.6192 4.129 .590 .775

butir 2 21.6269 4.320 .472 .800

butir 3 21.6846 4.209 .510 .792

butir 4 21.6385 3.923 .649 .761

butir 5 21.6808 4.017 .630 .766

butir 6 21.7885 3.920 .569 .780

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(3)

Frequency Table

butir 1

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 4 1.5 1.5 1.5

3 6 2.3 2.3 3.8

4 139 53.5 53.5 57.3

5 111 42.7 42.7 100.0

Total 260 100.0 100.0

butir 2

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 4 1.5 1.5 1.5

3 1 .4 .4 1.9

4 143 55.0 55.0 56.9

5 112 43.1 43.1 100.0

Total 260 100.0 100.0

butir 3

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 2 .8 .8 .8

3 10 3.8 3.8 4.6

4 156 60.0 60.0 64.6

5 92 35.4 35.4 100.0

Total 260 100.0 100.0

butir 4

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 1 .4 .4 .4

3 9 3.5 3.5 3.8

4 164 63.1 63.1 66.9

5 86 33.1 33.1 100.0


(4)

butir 5

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 2 .8 .8 .8

3 24 9.2 9.2 10.0

4 155 59.6 59.6 69.6

5 79 30.4 30.4 100.0

Total 260 100.0 100.0

butir 6

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2 5 1.9 1.9 1.9

3 5 1.9 1.9 3.8

4 160 61.5 61.5 65.4

5 90 34.6 34.6 100.0

Total 260 100.0 100.0

Butir 7

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 3 5 1.9 1.9 1.9

4 165 63.5 63.5 65.4

5 90 34.6 34.6 100.0

Total 260 100.0 100.0

Butir 8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 3 14 5.4 5.4 5.4

4 158 60.8 60.8 66.2

5 88 33.8 33.8 100.0


(5)

Reliability Data Y2

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 260 100.0

Excludeda 0 .0

Total 260 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics Cronbach's

Alpha N of Items

.856 8

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

butir 1 30.0808 8.430 .518 .849

butir 2 30.0577 8.279 .603 .838

butir 3 30.1538 8.038 .692 .828

butir 4 30.1654 8.494 .581 .841

butir 5 30.2577 7.991 .641 .834

butir 6 30.1654 8.285 .578 .841

Butir 7 30.1269 8.613 .592 .840

Butir 8 30.1692 8.396 .597 .839

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(6)