Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Status Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun Di Wilayah Perairan Internasional

(1)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH

PERAIRAN INTERNASIONAL SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh: ELISA APRILIA

NIM: 110200194

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN ATAS PENEMUAN HARTA KARUN DI WILAYAH

PERAIRAN INTERNASIONAL SKRIPSI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh: ELISA APRILIA

NIM: 110200194

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui Oleh:

NIP. 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, SH, MHum

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H Arif, S.H., M.Hum NIP: 196207131988031003 NIP: 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI

STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH PERAIRAN INTERNASIONAL” ini sesuai dengan harapan.

Latar belakang penulisan skripsi ini tidak semata – mata untuk kelulusan kegiatan akademik belaka, tetapi penulis juga ingin mengkaji dan menelaah isu penting yang kian mendapat perhatian masyarakat internasional berkaitan dengan penemuan harta karun di perairan internasional. Penemuan harta karun dalam beberapa tahun terakhir oleh perusahaan – perusahaan pencari harta karun telah memicu timbulnya ketidakpastian peraturan internasional terhadap kepemilikan kapal – kapal karam yang ditemukan di perairan internasional. Karena seperti yang diketahui bahwa perairan internasional merupakan wilayah perairaan yang berada di luar yurisdiksi negara manapun dan merupakan warisan bersama umat manusia.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dan kekurangan, baik yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis maupun panasnya kontroversi pembahasan hukum internasional mengenai isu status hukum dan perlindungan yang selayaknya diberikan kepada orang – orang yang dipaksa meninggalkan negaranya dikarenakan lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan skripsi ini dan perkembangan hukum internasional pada umumnya.


(4)

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bentuan dan dukungan selama proses penulisan skripsi dan dalam pemebelajaran penulis yakni:

1. Prof. Dr. dr Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan;

2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

3. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU dan selaku Pensehat Akademik penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum USU;

4. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini;

5. Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi ini; 6. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI., selaku Pembina Tim USU

dalam Phillip C. Jessup International Moot Court Competition;

7. Dosen – dosen Fakultas Hukum USU yang telah menyumbangkan ilmu yang tidak ternilai bagi penulis;

8. Seluruh civitas Fakultas Hukum USU: jajaran staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum USU lainnya:


(5)

9. Orang tua penulis, Benno P. Sidabutar dan Rospita Panjaitan, terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan;

10. Saudara – saudara penulis, Togi Basthian, Roland, David, dan Wira untuk dukungan dan semangat yang diberikan selama ini;

11. Teman – teman penulis, Astriani Situngkir, Vivi Marbun, Nova Dina Tari, Riscia Gusti Bella, Christine Natalia, Eva Maria, beserta teman – teman Grup D dan ILSA;

12. Senior – senior dan teman – teman di Phillip C Jessup International Law

Moot Court Club (ILMCC), Heriyanto, Kak Paulina, Kak Yuthi, Kak

Jennifer, Bang Michael, Bang Herbert, Bang Henjoko, Yohana Rosendra, Assyfa Humairah, Frans Yoshua, Noviliana, Steven Martin;

13. Seluruh civitas GMKI Komisariat Fakultas Hukum USU;

14. Teman – teman Stambuk 2011 Fakultas Hukum USU, serta pihak – pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Medan, April 2014 Hormat Penulis,

NIM: 110200194 ELISA APRILIA


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iv

Abstraksi ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 9

1. Jenis Pendekatan ... 9

2. Data Penelitian ... 10

3. Teknik Pengumpulan Data ... 11

4. Analisis Data ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II EKSISTENSI HARTA KARUN DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 15

A. Ruang Lingkup Harta Karun ... 15

B. Sejarah Penemuan Harta Karun di Dunia ... 18


(7)

1. Konvensi PPB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention

on the Law of the Sea 1982/UNCLOS) ... 23

2. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001) ... 25

3. International Convention on Salvage 1989 ... 29

BAB III KONSEP KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN

DI PERAIRAN INTERNASIONAL ... 31 A. Pengertian Perairan Internasional ... 31 B. Kepemilikan Berdasarkan Hukum Bangsa – Bangsa (Law of Nations) .. 33

1. Hukum Penyelamatan (Law of Salvage) ... 35 2. Hukum Penemuan (Law of Finds) ... 41 C. Kepemilikan Menurut Konvensi – Konvensi Internasional ... 45

1. Warisan Bersama Umat Manusia (Principle of Common Heritage of Mankind) ... 46 2. Hak – Hak Istimewa Negara Asal (Preferential Rights of State of

Origin) ... 49 3. Kekebalan Berdaulat (Sovereign Immunity) ... 52

BAB IV PENYELESAIAN ISU KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG

DITEMUKAN DI PERAIRAN INTERNASIONAL ... 56 A. Latar Belakang Munculnya Isu Kepemilikan Terhadap Harta Karun yang


(8)

B. Berbagai Kepentingan (Competing Interest) Dalam Isu Kepemilikan Harta

Karun ... 58

1. Kepentingan Arkeologi (Archeological Interest) ... 59

2. Kepentingan Komersil (Commercial Interest) ... 61

3. Kepentingan Umum (Public Interest) ... 63

C. Bentuk Penyelesaian Isu Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun di Perairan Internasional ... 64

1. Melalui Pengadilan/Litigasi ... 65

2. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. KESIMPULAN ... 87

B. SARAN ... 88


(9)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH

PERAIRAN INTERNASIONAL

*) Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H **) Arif, S.H., M.Hum

***) Elisa Aprilia

ABSTRAKSI

Perkembangan teknologi khususnya di bidang eksplorasi laut dalam telah memicu timbulnya upaya manusia untuk mencari dan menyelamatkan kapal – kapal yang sudah karam serta muatannya dari dasar laut internasional. Hal ini dikarenakan penemuan tersebut mengandung nilai historis, arkeologis, sekaligus nilai komersil. Seiring dengan perkembangan ini, nilai komersil dari penemuan itu lebih banyak memberi insentif bagi penyelamat harta karun, khususnya perusahaan eksplorasi komersil, untuk lebih berusaha melakukan upaya pencarian dan penyelamatan harta karun. Kehadiran insentif inilah yang pada akhirnya menimbulkan kompetisi diantara berbagai pihak untuk dapat mengajukan klaim kepemilikan atas bangkai kapal maupun muatan yang ditemukannya. Karena peningkatan jumlah penemuan bangkai kapal di perairan internasional, maka hal ini mulai menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status kepemilikan atas penemuan tersebut karena banyaknya kepentingan dari berbagai pihak didalamnya, keberagaman instrumen hukum internasional, serta wilayah penemuan yang berada diluar yurisdiksi negara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana tinjauan umum harta karun, alasan penyelamatan dan kepentingan yang ada dalam harta karun berdasarkan hukum internasional, serta bagaimana status kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan – bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilimiah ini.

Hukum internasional memang tidak secara rinci mengatur dalam berbagai konvensi internasional mengenai kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional. Konvensi internasional seperti UNCLOS dan Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air lebih mengedepankan isu perlindungan harta karun, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai isu kepemilikan. Namun dalam perkembangannya, dengan adanya bentuk/model perjanjian kerjasama di bidang penyelamatan harta karun, seperti Sussex Agreement tahun 2002, seluruh kekurangan dari kerangka hukum yang berlaku saat ini dapat terselesaikan, dapat menampung seluruh kepentingan pihak – pihak terkait dengan cara yang lebih praktis, serta dapat menghindari proses litigasi yang rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Kata kunci: Harta Karun, Perairan Internasional, Kepemilikan *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II


(10)

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI STATUS KEPEMILIKAN HARTA KARUN YANG DITEMUKAN DI WILAYAH

PERAIRAN INTERNASIONAL

*) Prof. Dr Suhaidi, S.H., M.H **) Arif, S.H., M.Hum

***) Elisa Aprilia

ABSTRAKSI

Perkembangan teknologi khususnya di bidang eksplorasi laut dalam telah memicu timbulnya upaya manusia untuk mencari dan menyelamatkan kapal – kapal yang sudah karam serta muatannya dari dasar laut internasional. Hal ini dikarenakan penemuan tersebut mengandung nilai historis, arkeologis, sekaligus nilai komersil. Seiring dengan perkembangan ini, nilai komersil dari penemuan itu lebih banyak memberi insentif bagi penyelamat harta karun, khususnya perusahaan eksplorasi komersil, untuk lebih berusaha melakukan upaya pencarian dan penyelamatan harta karun. Kehadiran insentif inilah yang pada akhirnya menimbulkan kompetisi diantara berbagai pihak untuk dapat mengajukan klaim kepemilikan atas bangkai kapal maupun muatan yang ditemukannya. Karena peningkatan jumlah penemuan bangkai kapal di perairan internasional, maka hal ini mulai menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai status kepemilikan atas penemuan tersebut karena banyaknya kepentingan dari berbagai pihak didalamnya, keberagaman instrumen hukum internasional, serta wilayah penemuan yang berada diluar yurisdiksi negara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana tinjauan umum harta karun, alasan penyelamatan dan kepentingan yang ada dalam harta karun berdasarkan hukum internasional, serta bagaimana status kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan – bahan dari buku, jurnal, internet, instrumen hukum internasional dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilimiah ini.

Hukum internasional memang tidak secara rinci mengatur dalam berbagai konvensi internasional mengenai kepemilikan harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional. Konvensi internasional seperti UNCLOS dan Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air lebih mengedepankan isu perlindungan harta karun, tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai isu kepemilikan. Namun dalam perkembangannya, dengan adanya bentuk/model perjanjian kerjasama di bidang penyelamatan harta karun, seperti Sussex Agreement tahun 2002, seluruh kekurangan dari kerangka hukum yang berlaku saat ini dapat terselesaikan, dapat menampung seluruh kepentingan pihak – pihak terkait dengan cara yang lebih praktis, serta dapat menghindari proses litigasi yang rumit dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Kata kunci: Harta Karun, Perairan Internasional, Kepemilikan *) Dosen Pembimbing I

**) Dosen Pembimbing II


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum internasional mengatur bahwa yurisdiksi atau kedaulatan suatu negara hanya berlaku sampai kepada batas – batas teritorial negaranya sehingga tidak dapat mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayah kedaulatannya.1

Perkembanagan teknologi di bidang eksplorasi di dasar laut menyebabkan timbulnya usaha dari berbagai pihak untuk mencari dan menemukan bangkai – bangkai kapal yang telah karam di dasar laut selama beberapa waktu.

Namun, perkembangan teknologi, khususnya di bidang eksplorasi laut dalam, tidak dapat membendung peningkatan aktivitas di luar wilayah teritotial negara. Aktivitas inilah yang kemudian menimbulkan isu ketidakpastian penerapan pengaturan mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal di perairan internasional.

2

Kapal – kapal yang telah karam di dasar laut ini merupakan situs penemuan yang sangat berharga pada saat ini,3 karena itu tidak bisa dibandingkan dengan situs – situs penemuan lainnya. Selain itu kapal - kapal tersebut memiliki berbagai macam muatan yang bernilai budaya, historis, serta arkeologis.4

Bangkai - bangkai kapal yang ada di dasar laut bukannya tidak mengalami berbagai macam bahaya, baik yang sedang terjadi ataupun yang akan terjadi.

5

1

United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), 1833 U.N.T.S. 3 [UNCLOS], pasal 86

2

Amber Crossman Cheng,

3

David J. Bederman, Historic Salvage and the Law of the Sea, 30 U. Miami Inter-Am. L.

Rev. 99 (1998), hal. 102

4

David Gibbins and Jonathan Adams, Shipwrecks and Maritime Archaeology, (United

Kingdom: Taylor & Francis, Ltd., 2001), hal. 280

5


(12)

Bahaya yang mengancam keberadaan bangkai – bangkai kapal ini merupakan hal sangat serius dan merupakan kewajiban seluruh masyarakat internasional untuk mencegah terjadinya kerusakan maupun kehancuran dari bangkai – bangkai kapal tersebut.

Bahaya yang terjadi di laut bisa terjadi karena peristiwa alam dan akibat perbuatan manusia. Gunung berapi dan gempa bumi bawah laut merupakan peristiwa alam yang berpotensi menimbulkan bahaya bagi bangkai – bangkai yang ada di dasar laut. Sementara perbuatan manusia yang berpotensi mengakibatkan kerusakan atau kehancuran bangkai – bangkai kapal tersebut misalnya pembuangan limbah serta aktivitas pencarian ikan yang menggunakan bahan – bahan peledak.6

Akibat kerentanan bangkai – bangkai kapal ini akan bahaya yang terjadi di laut, maka muncullah usaha dari berbagai pihak untuk menyelamatkan bangkai kapal beserta muatannya dari dasar laut. Upaya penyelamatan ini selain membutuhkan teknologi yang sangat canggih juga membutuhkan modal yang sangat besar pula. Keadaan ini memicu para penyelamat (salvors) untuk kemudian memperjualbelikan hasil penemuannya dengan maksud untuk membayar semua usaha yang telah mereka lakukan.7

Kebanyakan salvors berasal dari perusahaan – perusahaan komersil yang bergerak khusus dibidang eksplorasi laut dalam maupun kapal karam. Karena

salvors merupakan perusahaan, tentunya mereka harus memperoleh keuntungan

6

Sean A. Kingsley, Deep-Sea Fishing Impacts on the Shipwrecks of the English Channel &

Western Approaches, Odyssey Marine Exploration (2009), dapat diakses pada

http://shipwreck.net/pdf/OmePapers4Final_000. pdf [diakses tanggal 31 Februari 2015]

7

Jean F Rydstrom, Annotation, Nature and Extent of Peril Necessary to Support Claim for


(13)

atas usaha yang telah mereka jalankan tanpa memperhatikan nilai dan standar arkeologis dari penemuan tersebut.8

Di industri dengan modal besar seperti ini lazimnya investasi didasarkan pada pengembalian modal. Dalam pasar ekonomi klasik, jika modal berinvestasi di suatu perusahaan tidak menghasilkan lebih banyak uang daripada sektor lain maka tidak ada insentif untuk berinvestasi di sektor tersebut.

9

Meskipun begitu, ada juga perusahaan yang berdalih bahwa mereka merupakan perusahaan arkeologi – komersil, misalnya Odyssey Marine

Exploration Inc., dimana perusahaan semacam ini selain memandang penemuan

mereka sebagai barang – barang yang memiliki nilai komersil mereka juga memperhatikan aspek arkeologi serta historisnya dengan cara mendokumentasikan serta menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui akademik dan media lainnya untuk dipelajari lebih lanjut.

Karena adanya insentif keuntungan yang akan diperoleh dalam upaya penyelamatan bangkai kapal beserta muatannya telah menyebabkan ledakan teknologi dalam industri penyelamatan harta karun serta tanggung jawab untuk mencari bangkai kapal lebih banyak dari sebelumnya.

10

Kebutuhan akan dana yang besar dan waktu yang sangat lama dalam menemukan serta memulihkan bangkai kapal serta muatannya, membuat negara serta para arkeolog tidak dapat memainkan peran signifikan dalam upaya

8

Jeremy Neil,

Sch. L. Rev. 895 (2010), hal. 904

9 Andreas Tsavliris, President of International Salvage Union Paper for International Tug

Salvage and OSV Convention, The Challenges Facing The Salvage Industry (2012), dapat diakses

pada

28 Februari 2015]

10

A Commitment to Archaeology, Odyssey Marine Exploration, dapat diakses pada http


(14)

penyelamatan seperti yang dilakukan oleh salvors dari perusahaan komersil.11

Selama ini, pengaturan mengenai klaim kepemilikan bangkai kapal serta muatannya menggunakan yurisdiksi dari pengadilan domestik pihak yang menyelamatkan serta yang memulihkan penemuan tersebut.

Hal ini dikarenakan negara tidak dapat berfokus pada satu bidang saja dalam waktu yang cukup lama ditambah lagi dengan keharusan akan modal yang sangat besar, apalagi usaha tersebut dilakukan di perairan internasional. Begitu juga dengan arkeolog yang memiliki masalah dalam hal dukungan keuangan.

Selain itu isu mengenai kepemilikan atas penemuan bangkai kapal serta muatannya di perairan internasional merupakan hal yang krusial dalam hukum internasional. Beberapa konvensi internasional memang mengatur masalah perlindungan terhadap bangkai kapal serta muatannya yang berada di perairan internasional, diantaranya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea)/UNCLOS, dan Konvensi UNESCO

tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on

the Protection of Underwater Cultural Heritage)/UCH Convention. Namun

konvensi – konvensi ini tidak menyatakan secara rinci dan jelas mengenai status hak kepemilikan atas penemuan tersebut.

12

11

Elizabeth S. Greene, et al., Mare Nostrum? Ethics and Archaeology in Mediterranean

Water, 115 Am. J. Of Archaelogy 311 (2011), hal. 314

12

Brooke Wright. Keepers, Weepers, or No Finders at All: The Effect of International

Trends on the Exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive Law in the Salvage ofHistoric Wrecks, 33 Tul. Mar. L.J. 285 (2008), hal. 302

Namun, seperti yang diketahui bahwa yurisdiksi nasional suatu negara tidak termasuk ke dalam wilayah perairan internasional. Sementara penemuan bangkai kapal sendiri terjadi di dasar laut internasional yang bukan wilayah kedaulatan negara manapun.


(15)

Bangkai kapal memiliki informasi sejarah yang sangat penting yang merupakan suatu bukti adanya perdagangan dan pertukaran budaya. Sehingga banyak negara maupun masyarakatnya menganggap bahwa banyak kapal – kapal yang karam tersebut beserta muatannya merupakan bagian dari warisan budaya mereka. Karena memiliki nilai, ketika kapal karam ditemukan, banyak kepentingan yang timbul diantara pihak – pihak yang mengklaim kepemilikan dengan berbagai alasan.13

Status kepemilikan dalam hal penemuan bangkai kapal serta muatannya di perairan internasional memang merupakan hal penting sekaligus hal yang mendesak dalam hukum internasional, mengingat perkembangan teknologi yang secara signifikan telah menimbulkan peningkatan upaya penyelamatan harta karun di khususnya di perairan internasional. Isu mengenai penemuan bangkai kapal ini telah banyak menimbulkan klaim kepentingan antara salvors, pemilik asli (state of

orgin), pihak asuransi (insurers), negara, serta para arkeolog.

Kasus yang menggambarkan kompleksnya permasalahan mengenai klaim kepemilikan atas penemuan kapal karam dan muatannya adalah The Titanic dan The Black Swan. Kasus-kasus ini juga menyoroti inkonsistensi, ketidakjelasan dari peraturan yang tidak memadai ketika berhadapan dengan penemuan kapal yang karam perairan internasional.

14

Namun justru pengaturan internasional saat ini masih kabur dan belum secara penuh menyelesaikan klaim yang muncul akibat ketidakjelasan hukum internasional dalam mengatur kepemilikan atas penemuan bangkai kapal beserta muatannya tersebut.

13

Elizabeth Varmer, RMS Titanic: underwater cultural heritage's sacrifice, Journal of

Business Law 271 (2012), hal. 276

14

Craig Forrest,


(16)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana eksistensi harta karun dalam hukum internasional?

2. Bagaimana konsep kepemilikan terhadap harta karun yang ditemukan di wilayah perairan internasional?

3. Bagaimana bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain:

1. Untuk mengetahui eksistensi harta karun dalam hukum internasional. 2. Untuk mengetahui konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di

perairan internasional.

3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat


(17)

hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan dengan status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

2. Secara praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta aparat – aparat hukum yang terkait di tiap-tiap negara mengenai isu status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

D. Keaslian Penulisan

Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti kompetisi The Philip C.

Jessup International Law Moot Court Competition 2013. Penulis berupaya untuk

menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji isu status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional ini dengan instrumen hukum internasional yang mengaturnya, khususnya pro kontra yang ditinjau dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 dan Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001.

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Status Kepemilikan Atas Penemuan Harta Karun di Wilayah Perairan Internasional” belum pernah ditulis sebelumnya.

Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak


(18)

administrasi bagian kemahasiswaan dan perpusatakaan Fakulatas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari sumber – sumber hukum internasional yang termaktub dalam pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu:15

15

Statute of the International Court of Justice (1945), pasal 38 ayat (1)

a. international conventions, whether general or particular, establishing rules

expressly recognized by the contesting states (Perjanjian – perjanjian

internasional);

b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law

(Hukum kebiasaan internasional);

c. the general principles of law recognized by civilized nations (Prinsip – prinsip

umum hukum internasional);

d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of

the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for

the determination of rules of law. (Putusan – putusan pengadilan internasional dan

ajaran-ajaran para sarjana terkemuka).

Pasal 149 Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, menyatakan: “Seluruh objek yang bersifat arkeologis dan historis yang ditemukan di Kawasan harus dilestarikan atau dilepaskan untuk kepentingan seluruh umat manusia’...


(19)

Sejalan dengan konvensi sebelumnya, pasal 2 ayat (3) Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001, juga mendukung pernyataan bahwa:

“Negara – negara harus harus melestarikan warisan budaya bawah air bagi kepentingan umat manusia sesuai dengan ketentuan konvensi ini.”16

Disamping pengaturan hukum berdasarkan konvensi internasional, terdapat juga pengaturan dalam bentuk hukum bangsa – bangsa (law of nations) dalam penentuan status kepemilikan harta karun, yaitu law of finds dan law of salvage. Kedua peraturan ini termasuk dalam jus gentium yang termasuk sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang banyak digunakan oleh pengadilan nasional dalam penentuan status kepemilikan penemuan harta karun.

17

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut:

1. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau

16

UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001 [UCH Convention], pasal 2(3)

17

Paul V. Niemeyer, Applying Jus Gentium to the Salvage of the R.M.S. Titanic in

International Waters yang memuat kuliah dari Nicholas J Healy, 36 J. Mar. L. & CoM. 431 (2005), hal. 439


(20)

data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah status kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional.

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber

bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:18

a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu: Berbagai dokumen peraturan internasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti UNCLOS, UCH

Convention, dan International Convention on Salvage serta berbagai putusan

internasional maupun nasional dan resolusi lainnya.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative

records) yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang isu perdebatan status hukum kepemilikan dan perlindungan terhadap bangkai – bangkai kapal yang berada di dasar laut internasional yang ditinjau dari sudut pandang hukum internasional seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet.Kedua, (Jakarta:


(21)

c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:

Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan

(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.


(22)

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:19

a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.

b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

19

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 10-11


(23)

Bab I Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang pemilihan judul, dimana penulis melihat adanya ketidakjelasan pengaturan hukum internasional dalam menentukan status kepemilikan atas klaim yang diajukan terhadap bangkai kapal beserta muatannya yang ditemukan di perairan internasional. Selanjutnya, bab ini diikuti dengan perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.

Bab II Di dalam bab ini, pengaturan harta karun berdasarkan hukum internasional dibahas secara komprehensif dan mendalam. Bab ini memaparkan tentang ruang lingkup, sejarah, serta konvensi yang mengatur tentang harta karun untuk memberi gambaran umum tentang eksistensi harta karun dalam hukum internasional

Bab III Bab III membahas konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional. Pertama – tama, bab ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan perairan internasional. Kemudian bab ini membahas mengenai konsep kepemilikan harta karun yang berdasarkan jus gentium/law of nations dan dalam sub bab terakhir membahas mengenai konsep kepemilikan berdasarkan konvensi – konvensi internasional.

Bab IV Bab ini membahas penyelesaian isu kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional. Bab ini membahas tentang latar belakang timbulnya isu kepemilikan. Kemudian menggambarkan berbagai kepentingan para pihak yang saling


(24)

bersaing dalam hal kepemilikan harta karun. Kemudian pada sub bab terakhir membahas bentuk/cara yang mungkin ditempuh para pihak yang terkait untuk menyelesaikan klaim kepemilikan diantara berbagai pihak.

Bab V Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup gagasan dan usulan dari penulis terhadap permasalahan yang dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya


(25)

BAB II

EKSISTENSI HARTA KARUN DALAM HUKUM INTERNASIONAL

D. Ruang Lingkup Harta Karun

Definisi harta karun dalam hukum internasional saat ini telah dikodifikasi ke dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air tahun 2001. Konvensi ini mendefinisikannya sebagai berikut:

Underwater cultural heritage means all traces of human existence having a cultural, historical or archaeological character which have been partially or totally under water, periodically or continuously, for at least 100 years such as: (i) sites, structures, buildings, artefacts and human remains, together with their archaeological and natural context; (ii) vessels, aircraft, other vehicles or any part thereof, their cargo or other contents, together with their archaeological and

natural context; and (iii) objects of prehistoric character.20

Rancangan pertama konvensi ini pada awalnya mendefinisikan warisan budaya bawah air sebagai seluruh jejak keberadaan manusia di bawah air.

(Warisan Budaya Bawah Air merupakan seluruh jejak eksistensi manusia yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam air, secara berkala, terus – menerus, setidaknya selama seratus tahun, seperti: (i) situs, struktur, bangunan, artefak – artefak dan sisa – sisa manusia yang bersifat arkeologis dan alamiah; (ii) kapal, pesawat terbang, transportasi lain atau bagian daripadanya, muatannya atau isi lainnya yang bersifat arkeologis dan alamiah; (iii) barang – barang yang bersifat prasejarah.)

Ruang lingkup harta karun dalam karya tulis ini sendiri membahas secara spesifik warisan budaya bawah air yaitu mencakup kapal beserta muatannya yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis yang karam di dasar laut perairan internasional.

21

20

UCH Convention, op. cit., pasal 1 ayat 1(a)

21

Cultural Heritage Law Comm., International Law Association, Buenos Aires Draft

Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage (1994), hal. 432, 434


(26)

hukum dari Emory University, yang mempertanyakan, apakah ini berarti bahwa potongan papan seluncur ataupun kaleng minuman soda yang dilemparkan ke laut akan diperhitungkan dalam rancangan UNESCO ini.22

Tidak dapat dihindari bahwa bangkai kapal memiliki peranan penting yang menjadi materi pembelajaran atas sisa – sisa aktivitas manusia di wilayah perairan.

Hal ini menunjukkan adanya dilema dalam perancangan konvensi itu sendiri, sehingga para perancang diharuskan untuk mengatasi pendefinisian warisan budaya bawah air, termasuk hal-hal yang belum diantisipasi sebelumnya. Para perancang konvensi akhirnya mempersempit definisi warisan budaya bawah air, namun penyempitan definisi tersebut masih terlalu luas. Saat ini konvensi menentukan warisan budaya bawah air sebagai semua jejak eksistensi manusia yang memiliki karakter budaya, historis atau arkeologis yang sebagian atau seluruhnya berada di bawah air, secara berkala atau terus-menerus, setidaknya selama 100 tahun.

Definisi ini telah dipersempit dari rancangan konvensi sebelumnya dengan menambahkan persyaratan bahwa warisan budaya bawah air harus memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis. Namun, dalam upaya untuk memperbaiki definisi sebelumnya, perancang memasukkan beberapa frasa baru yang pada akhirnya tidak terdefinisi dan terlalu luas. Misalnya, apa yang memiliki karakter budaya, historis, atau arkeologis?

23

22

David J. Bederman, op. cit., hal. 332

23

David Gibbins and Jonathan Adams, op. cit., hal. 279


(27)

monumen sejarah dan budaya lainnya, bangkai kapal memiliki potensi dalam menawarkan kilas balik masa lalu yang tidak ada bandingannya.24

Kapal – kapal karam memiliki banyak karakteristik yang memiliki nilai tambah. Pertama, artefak yang ditemukan di lingkungan berair secara umum memiliki signifikansi lebih terpelihara dibanding artefak lainnya yang ditemukan di lingkungan kering.

Menurut sejarah, wilayah perairan berperan sebagai sarana untuk menghubungkan kelompok masyarakat. Penggunaan laut sebagai jalur transportasi meningkatkan jumlah kapal yang hilang di laut. Para arkeolog menyatakan bahwa lebih banyak kapal – kapal karam sebagai lokasi arkeologi yang belum ditemukan daripada lokasi arkeologi lainnya yang memiliki arti yang sebanding. Lagipula, kapal – kapal karam secara konsisten menyimpan berbagai artefak yang lengkap yang memiliki kualitas yang tiada taranya, sehingga membuatnya menjadi lokasi arkeologi yang paling kompleks yang pernah diselidiki.

25

Kedua, kapal biasanya hilang akibat kecelakaan sehingga dianggap sebagai time-capsule atau closedfind, yaitu dimana keadaan pada saat itu seperti diawetkan dalam suatu tempat.26

Pada intinya, kapal – kapal karam bersejarah merupakan kilas balik masa lalu yang tidak dapat dinilai, yang memberikan kekayaan pengetahuan sejarah Ketiga, barang – barang yang ditemukan di dalam kapal merupakan barang keperluan sehari – hari yang memiliki fungsinya masing – masing. Hal ini memberikan banyak keuntungan dibandingkan dengan situs arkeologi lainnya.

24

Jonathan Adams, Ships and Boats as Archaeological Source Material, 32 World

Archaeology (2001), hal. 292-293

25

Ole Varmer,

C0m. 279 (1999), hal. 281

26


(28)

begitu juga dengan kekayaan yang sebenarnya yaitu emas, perak dan komoditi berharga lainnya.

E. Sejarah Penemuan Harta Karun di Dunia

Banyak orang yang mengidentikkan harta karun dengan sosok sekumpulan bajak laut yang tengah mengarungi lautan dengan menggengam botol minuman, burung beo di pundak, serta sebuah peta letak harta karun yang lambangkan dengan simbol “X” sebagai tempat terkuburnya harta karun tersebut.27 Meskipun karakter tersebut merupakan fiktif belaka, namun keberadaan harta karun tersebut masih tetap ada sampai saat ini dalam sekitar tiga juta kapal karam yang berada didasar laut dan masih belum ditemukan. 28

Pada tahun 1488 penjelajah dari Portugis, Bartolomeus Dias, mengitari Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika, membuat kemungkinan penjelajahan Perkembangan di bidang teknologi, eksplorasi laut dalam, dan teknik penyelamatan yang mengarah kepada peningkatan pencarian dan penyelamatan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kapal – kapal karam bersejarah yang sebelumnya tidak pernah dapat diakses dan dianggap hilang selamanya di laut.

Lautan memisahkan sekaligus menghubungkan peradaban selama ribuan tahun dan telah menjadi media penjelajahan manusia. Sebagaimana peradaban manusia berkembang semakin maju, manusia mulai mengeksplor lautan luas.

27

Cathryn Henn, The Trouble With Treasure Historic Shipwrecks Discovered In

International Waters, 19 U. Miami Int'l & Comp. L. Rev. 141 (2012), hal. 142

28

Ulrike Guérin & Katrin Köller, Of Shipwrecks, Lost Worlds and Grave Robbers, A

World Of Sci., April – June 2009, hal 19 dan 22, dapat diakses pada http://portal.unesco.org /science/en/ev.php [diakses pada tanggal 31 Februari 2014]


(29)

melalui jalur laut ke wilayah Timur Jauh.29

Dalam kegiatan ekspedisi, selama berabad – abad, ditambah dengan adanya ledakan penduduk dan penggunaan laut sebagai jalur transportasi baik untuk barang maupun orang, belum lagi adanya perang dan pertempuran di laut, banyak kapal yang tenggelam di seluruh dunia. PBB memperkirakan bahwa ada lebih dari tiga juta kapal karam di area dasar laut.

Kemudian pada tahun 1492, perjalanan Colombus ke “dunia baru” dianggap sebagai momen munculnya penjelajahan ke wilayah Barat. Kemudian pedagang dari Bristol, wilayah barat daya Inggris, pertama kali menjelajahi Atlantik pada tahun 1480 dalam upaya menemukan pulau yang disebut Brazil dan mereka terus-menerus mengirimkan dua atau tiga kapal ke arah barat setiap tahunnya.

30

Dokos merupakan bangkai kapal tertua yang pernah ditemukan oleh para

arkeolog. Bangkai kapal tersebut merupakan kapal pada masa Proto Helladic yaitu pada tahun 2700-2200 sebelum masehi.

Dengan perkembangan teknologi setiap tahunnya para peneliti semakin mampu untuk memeriksa ke wilayah yang lebih dalam dari wilayah dasar laut sehingga lebih banyak menemukan kapal – kapal karam.

31

29

Professor Callum Roberts, The Unnatural History of the Sea 2nd ed.,(Washington D.C:

Island Press 2009), hal. 33

Sisa bangkai kapal tersebut berada pada sekitar 15 – 30 meter dibawah laut dari lepas pantai selatan Yunani dekat pulau Dokos. Pulau Dokos terletak di sekitar 60 mil bagian timur Sparta, Peloponnese.

30

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, The Protection of the

Underwater Cultural Heritage, Wrecks dapat diakses pada http://www.unesco.org /new/en/culture /themes/underwater-cultural-heritage/the-underwater heritage/wrecks/, [diakses tanggal 03 Maret 2014]

31

Proto Helladic adalah istilah arkeologi modern yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi urutan periode karakteristik daratan Yunani kuno selama zaman perunggu dapat diakses pad


(30)

Kapal tersebut sudah lama hilang, begitu juga dengan seluruh catatannya. Sisa – sisa muatan kapal ini berupa ratusan vas tanah liat dan barang – barang keramik lainnya yang merupakan bukti dari keberadaan kapal. Bangkai kapal berumur 4000 tahun tersebut ditemuan oleh Peter Throckmorton pada tanggal 23 Agustus 1975.32 Situs bangkai kapal Dokos secara ekstensif digali pada tahun 1989 – 1992 oleh Hellenic Institute of Marine Archaeology/HIMA.33

Berdasarkan informasi dari HIMA, tembikar Cycladic merupakan mutan kapal tersebut merupakan bukti yang berasal dari tahun 2200 sebelum masehi. Barang – barang seperti vas yang terbuat dari tembikar merupakan barang dagangan dari fasilitas manufaktur kuno Argolida. Muatan kapal tersebut diketahui terdiri dari salah satu koleksi terbesar pada zamannya.

Kemudian arkeolog, Dr. George Papathanasopoulos, Presiden HIMA, melaksanakan penggalian pertama dalam skala besar di lokasi bangkai kapal.

Selama penggalian dari tahun 1989 sampai 1992, HIMA telah berhasil memulihkan lebih dari 15.000 pecahan tembikar dan artefak. Mereka juga menemukan banyak batu pada situs yang diperkirakan digunakan sebagai bagian dari muatan kapal atau sebagai pemberat. Artefak – artefak ini kemudian diangkat dari dasar laut dan dibawa ke Museum Spetses. Disana, mereka akan dipelajari dan dimasukkan ke dalam konservasi.34

32

The Early Helladic Shipwreck, dapat diakses pada http://www.mhargolid.nl /data/webb1992.pdf

33

profit, didirikan tahun 1973, yang bertujuan untuk mempromosikan penelitian arkeologi maritim di wilayah Yunani dan membantu Menteri Kebudayaan Yunani dalam hal melestarikan, mempelajari dan memperkenalkan warisan maritim Yunani) [diakses tanggal 29 Februari 2015]

34

The Dokos Cargo Site, dapat diakses pad


(31)

Pada periode awal zaman modern, upaya penyelamatan sendiri dilakukan dengan melakukan penyelaman menggunakan diving bells.35 Pada 1658, Albrecht von Treileben dikontrak oleh Raja Gustavus Adolphus dari Swedia untuk menyelamatkan kapal perang Vasa, yang tenggelam di pelabuhan Stockholm pada pelayaran perdananya pada tahun 1628. Antara tahun 1663-1665 penyelam dari Von Treileben berhasil menyelamatkan sebagian besar meriam menggunakan

diving bells.36

Pada zaman modern, upaya penyelamatan adalah menggunakan diving

helmets yang ditemukan oleh Charles Deane, John Deane dan Augustus Siebe, di

tahun 1830-an. Diving helmets sendiri merupakan alat yang dipakai oleh penyelam profesional dengan menggunakan peralatan/helm yang diisi dengan udara untuk bernapas yang disediakan dari pusat penyelam dari permukaan, pinggir pantai atau kapal pendukung penyelam, kadang menggunakan diving bell secara tidak langsung.

Pada tahun 1687, Sir William Phipps menggunakan wadah terbalik untuk memulihkan £ 200.000 nilai harta dari kapal Spanyol yang tenggelam di lepas pantai San Domingo.

37

Royal George, kapal angkatan laut kerajaan Inggris memiliki 100 buah

senjata, tenggelam saat menjalani tugas rutinnya tahun 1782, dan Deane bersaudara ditugaskan untuk melakukan penyelamatan atas bangkai kapal tersebut. Menggunakan diving helmets barunya, mereka berhasil memulihkan sekitar dua lusin meriam.

35

Diving bell merupakan ruang yang kaku digunakan untuk mengangkut penyelam untuk kedalaman di laut, dapat diakses pad Maret 2015]

36

Vasa Museet, dapat diakses pad

37

Gernhardt, ML

dalamLang, MA and Smith, NE (eds). Proceedings of Advanced


(32)

Karena kesuksesan ini, Kolonel dari teknisi kerajaan, Charles Pasley, memulai operasi penyelamatan pertamanya pada tahun 1839. Rencananya adalah untuk menghancurkan bangkai Royal George dengan bubuk mesiu dan kemudian memulihkan properti dalam kapal sebanyak mungkin meggunakan penyelam. Pasley kemudian memulihkan 12 senjata lagi pada tahun 1839, 11 senjata pada tahun 1840 dan 6 sennjata pada tahun 1841. Pada tahun 1843 situs tersebut dinyatakan bersih.38

Beberapa operasi penyelamatan penting dalam sejarah diantaranya39

1. Operasi penyelamatan kapal karam terbesar dalam catatan sejarah adalah pengangkatan kapal armada Jerman yang tenggelam di Scapa Flow, Scotlandia pada tahun 1919.

:

2. Kapal perang Swedia abad 17, Vasa, dipulihkan pada bulan April 1961 di wilayah pelabuhan Stockholm yang tenggelam pada pelayaran pertamanya tahun 1628.

3. Pemulihan dan konservasi lebih lanjut dari Mary Rose, kapal angkatan laut Raja Henry VII yang tenggelam pada tahun 1545 di Solent, bagian utara Isle of Wight. Penyelamatan Mary Rose pada tahun 1982 merupakan operasi penyelamtan yang kompleks dan merupakan pencapaian utama di bidang arkeologi laut.

4. Pada tahun 1968 Shipwrecks Inc., yang dikepalai by

berhak atas penyelamatan berlisensi dari South Caroline terhadap bangkai kapal Perang Saudara, SS. Georgiana yang ditemukan pada tahun 1965,

38

Iron: An Illustrated Weekly Journal for Iron and Steel Manufacturers

(1843)

39

Dapat diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Marine_salvage [diakses tanggal 28 Februari 2015]


(33)

berdasarkan peraturan baru tentang barang – barang yang merupakan warisan budaya bawah air. Usaha ini merupakan penyelamatan arkeologi pertama yang terjadi di Amerika Serikat.40

5. Penemuan kapal

Spence beserta anak buahnya berhasil memulihkan sekitar 1.000.000 artefak, yang nilainya berkisar US$12.000.000. Artefak – artefak tersebut terbagi dalam tiga jenis, yaitu: obat – obatan, senjata, dan barang dagangan.

diklaim sebagai penemuan harta karun terbesar karena kapal tersebut membawa muatan yang diperkirakan bernilai million). Kemudian penemuan ini menimbulkan klaim dari berbagai pihak, mulai dari negara sampai kepada peruasahaan eksplorasi.

F. Pengaturan Harta Karun Dalam Hukum Internasional

1. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS)

Salah satu sumber hukum internasional yang mengatur tentang kapal karam beserta muatannya adalah UNCLOS. Konvensi ini sendiri tidak menyebutkan kapal karam beserta muatannya secara langsung melainkan memasukkan sebagai objek – objek yang memiliki historis dan arkeologis.

Pembentukan UNCLOS sendiri merupakan suatu peristiwa sejarah, dimana konvensi ini merupakan perjanjian pertama dari jenisnya.41

40

E. Lee Spence, Underwater Archeology in South Carolina, The Conference on Historic

Site Archeology Papers 1970, (1971), Volume 5, Part 1

41

Louis B. Sohn & John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea 2nd ed.,

(Leiden, Netherlands: Traansnational Publishers Inc., 2004), hal. 13


(34)

UNCLOS sudah diterima secara luas dalam hukum kebiasaan dan dirujuk sebagai konstitusi laut yang komprehensif.42

“All objects of an archaeological and historical nature found in the Area shall be preserved or disposed of for the benefit of mankind as a whole, particular regard being paid to the preferential rights of the State or country of origin, or the State

of cultural origin, or the State of historical and archaeological origin” yang

artinya “seluruh objek yang bersifat arkeologis dan historis yang ditemukan di Kawasan harus dilestarikan ataupun dilepaskan untuk kepentingan seluruh umat manusia, khususnya terhadap hak – hak istimewa negara atau negara asal (country

of origin), atau negara asal budaya, atau negara asal historis dan arkeologis.”

Meskipun UNCLOS mengatur seluruh aspek hukum laut, namun pengaturan tentang kapal karam dalam dua pasal ini sedikit kabur yakni pasal 149 dan 303. Ketentuan dari kedua pasal tersebut memiliki makna ambigu, yang tidak memberikan panduan umum yang jelas.

Pada dasarnya UNCLOS tidak mengatur dengan jelas terkait dengan penemuan harta karun di wilayah perairan internasional. Pasal 149 menyatakan:

43

42 Ibid 43

UNCLOS, op. cit., pasal 149

Hal ini menimbulkan persoalan terhadap apa yang merupakan kepentingan umat manusia dan apa yang dimaksud dengan objek yang memiliki nilai arkeologis dan nilai historis tersebut. Namun kedua hal itu tidak diatur dalam konvensi. Sehingga pengaturannya tergantung kepada interpretasi masing – masing negara, dimana interpretasi tersebut tentu saja diwarnai dengan latar belakang budaya maupun filosofis suatu negara.


(35)

Ketidakjelasan dari pasal 149 juga bersumber dari hak istimewa atas objek – objek historis dan arkeologis yang diberikan kepada negara tertentu. Batasan hak istimewa tersebut tidak diuraikan dengan jelas dan tidak ada aturan ketika lebih dari satu negara yang memiliki hak istimewa tersebut.

Sementara pasal 303 UNCLOS lebih mengatur secara umum mengenai objek – objek arkeologis maupun historis yang ditemukan di laut. Pasal ini menyatakan “States have the duty to protect objects of an archaeological and

historical nature found at sea and shall cooperate for this purpose”, yang artinya

“negara – negara memiliki kewajiban untuk melindungi objek – objek arkeologis dan historis yang ditemukan di laut”.44

2. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air 2001 (UNESCO Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage/UCH Convention)

Pada dasarnya, UNCLOS 1982 ini sendiri mengatur masalah perlindungan warisan budaya bawah air dalam komunitas internasional secara umum, sehingga dibutuhkan instrumen hukum internasional yang baru untuk secara khusus merumuskan perlindungan secara spesifik terhadap bangkai kapal beserta muatannya.

Tanggal 02 November 2001, ditandai sebagai peristiwa yang sangat penting bagi seluruh komunitas yang peduli terhadap perlindungan budaya dan arkeologi bawah air, dimana konferensi umum UNESCO mengesahkan Convention on the

Protection of Underwater Cultural Heritage dengan proses yang sulit dan

kompleks. Negosiasi resmi yang berlangsung dalam UNESCO sendiri yaitu

44


(36)

selama 4 tahun akhirnya selesai.

Sebagai badan khusus bagian budaya dalam sistem PBB, UNESCO merundingkan kerangka khusus tentang dimensi budaya dari warisan budaya bawah air dalam bentuk yang berbeda dari kerangka umum dalam UNCLOS.

Dalam struktur hukum laut yang sangat luas dan bersesuaian dengan keseimbangan kepentingan yang terdapat dalam UNCLOS, konvensi ini muncul sebagai instrumen umum baru, yaitu sebagai lex specialis dari warisan budaya bawah air dan perlindungannya, dimana UNCLOS sebagai lex generalis dari seluruh hukum laut.

Tujuan awal UNESCO dalam perlindungan warisan budaya bawah air lebih bersifat ke substansi dan lebih ekstensif dari hukum internasional sebelumnya. Peningkatan jumlah kegiatan pengrusakan dan penjarahan warisan budaya bawah air menyiratkan kelemahan dari UNCLOS sendiri sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan menciptakan suatu rezim hukum baru yaitu UCH Convention.

Pencapaian terbesar konvensi UNESCO ini adalah bahwa konvensi ini merupakan instrumen universal pertama dengan standar perlindungan terhadap warisan budaya bawah air yang ditawarkan kepada komunitas internasional. Namun, konvensi ini memiliki sejumlah perbedaan dengan doktrin hukum intenasional lainnya dimana keefektifannya masih dipertanyakan.45

Satu hal yang menarik dari UCH Convention ini adalah larangan eksploitasi komersial terhadap warisan budaya bawah air. Salah satu tujuan dan prinisp umum konvensi ini adalah “Underwater cultural heritage shall not be

45


(37)

commercially exploited” yang artinya “bahwa warisan budaya bawah air tidak boleh dieksploitasi secara komersial.”46 Selanjutnya, pada bagian tambahan konvensi menggambarkan aturan yang harus diikuti, menyatakan bahwa eksploitasi komersial warisan budaya bawah air untuk diperdagangkan adalah tidak sesuai dengan perlindungan dan pengelolaan warisan budaya bawah air. Warisan budaya bawah air seharusnya tidak boleh diperdagangkan, dijual, dibeli atau ditukar dengan barang-barang komersil.47

Dalam kompromi, konvensi ini memungkinkan penyimpanan warisan budaya bawah air yang dipulihkan selama proses penelitian.

48

Konvensi ini mengharuskan negara pihak bekerja sama dalam perlindungan warisan budaya bawah air,

Namun, penyimpanan ini tidak mencakup penjualan setiap barang yang termasuk warisan budaya bawah air. Oleh sebab itu, akibat larangan eksploitasi komersial ini merupakan upaya untuk menghilangkan motif komersil pada perusahaan - perusahaan komersil dalam upaya penyelamatan bangkai kapal. Sehingga, jika konvensi ini menjadi hukum kebiasaan internasional, konsekuensi dari larangan eksploitasi komersial akan menjadi upaya pemusnahan industri penyelamatan bangkai kapal.

49

46

UCH Convention, op. cit., pasal 2(7)

47

Ibid., Annex r. 2

48

Ibid., Annex, r. 2(b)

49

UCH Convention, op. cit., pasal 2(2)

melestarikan warisan budaya bawah air untuk kepentingan kemanusiaan, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi warisan budaya bawah air berdasarkan konvensi dan hukum internasional.


(38)

Namun, tanpa industri penyelamatan yang kompetitif, lebih sedikit dana yang akan diberikan ke dalam penelitian dan pengembangan teknologi baru sehingga membutuhkan jumlah waktu yang lama untuk menemukan bangkai kapal, jika mereka ingin menemukannya. Selain itu, dengan menghilangkan insentif keuntungan bagi perusahaan eksplorasi kapal karam komersil maka akan membatasi jumlah bangkai kapal yang dapat ditemukan, banyak bangkai kapal dalam bahaya kerusakan dan kehancuran yang tidak akan menerima perlindungan sama sekali.

Para perancang konvensi tampaknya berasumsi bahwa karena tidak semua bangkai kapal dianggap berada dalam bahaya laut (marine peril), semua bangkai kapal benar-benar aman dalam kondisi mereka saat ini. Nyatanya, prinsip ini tidak dapat didukung. Gangguan manusia dalam bentuk pembuangan limbah dan kegiatan mencari ikan di lokasi yang memiliki lalu lintas tinggi seperti Selat Inggris menempatkan bangkai kapal dalam bahaya serius.50

Para pendukung konvensi kemungkinan akan menunjukkan bahwa konvensi ini membuka kemungkinan bagi upaya penyelamatan bangkai kapal jika mereka benar-benar dalam bahaya. Pasal 12 konvensi ini mengizinkan semua Negara Pihak untuk melakukan upaya praktis untuk mencegah bahaya terhadap warisan budaya bawah air, baik yang timbul dari aktivitas manusia maupun penyebab lainnya.

Sama halnya, dasar laut merupakan sasaran dari banyak bencana alam yang terjadi , seperti gunung berapi dan gempa bumi bawah laut.

51

50

Sean A. Kingsley, loc. cit

51

UCH Convention, op. cit., pasal 12(3)

Terdapat dua asumsi terhadap pasal ini. Pertama, kerumitan dalam konvensi membutuhkan konsultasi dan kesepakatan antara beberapa pemerintah


(39)

negara.52

3. International Convention on Salvage 1989

Tidaklah realistis bagi pemerintah untuk dapat bersama-sama menyelamatkan kapal terancam rusak atau hancur dengan cepat. Upaya penyelamatan bangkai kapal merupakan upaya yang memakan banyak waktu dan birokrasi yang diciptakan dalam konvensi mencegah pihak – pihak untuk bertindak cepat. Kedua, kenyataan bahwa bangkai kapal yang ditemukan dalam bahaya semakin menurun karena karena penurunan jumlah industri penyelamatan komersil.

Sederhananya, dengan lebih sedikit orang yang mencari kapal karam bersejarah, ada kemungkinan bahwa lebih sedikit bangkai kapal yang akan ditemukan. Pada akhirnya akan lebih banyak kemungkinan bangkai kapal yang dalam bahaya akan menjadi rusak atau hancur tanpa sepengetahuan siapa pun, daripada masyarakat internasional bersama-sama menyelamatkan bagkai kapal dari kehancuran berdasarkan konvensi ini.

Jawaban dalam masalah perlindungan kapal karam bersejarah adalah tidak boleh membatasi jumlah entitas dalam mencari bangkai kapal, tetapi untuk memberikan perlindungan yang lebih memadai sekaligus memaksimalkan kesempatan akan penemuan bangkai kapal.

Pada tahun 1989, International Maritime Organization, sebuah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) ditugaskan menciptakan pengaturan mengenai pengaturan tentang kapal, dan kemudian mereka sampai kepada kesimpulan, yaitu International Convention on Salvage tahun 1989.53

52

Ibid., pasal 12(4)

53

Nicholas J.J. Gaskell, The International Salvage Convention of 1989, 4 Int'l J. Estuarine

& Coastal L. (1989), hal 268; Brian F. Binney,


(40)

Konvensi ini menggantikan Brussels Convention on Salvage tahun 1910, yang sama sekali tidak mengatur ketentuan mengenai kapal karam bersejarah.

Konvensi ini mempunyai pengaturan yang berbeda terhadap harta karun, dimana konvensi ini berfokus pada upaya penyelamatan terhadap bangkai kapal beserta muatannya dalam ruang lingkup yang lebih spesifik dibanding konvensi – konvensi lain. Jadi konvensi ini berbeda dengan konvensi yang sudah dijelaskan sebelumnya yang hanya mengatur tentang perlindungan terhadap kapal karam beserta muatannya bagi kepentingan umat manusia tanpa mengatur secara jelas tentang upaya penyelamatan. Upaya penyelamatan dimaksudkan sebagai tindakan atau kegiatan untuk membantu kapal berserta muatannya yang sedang dalam bahaya.54

Ketentuan dalam konvensi ini mengatur mengenai imbalan bagi salvor yang berhasil melakukan pemulihan atas bangkai kapal beserta muatannya

55

, kriteria pemberian imbalan,56 serta pemberian imbalan khusus.57

Konvensi ini juga mengatur mengenai pemberian imbalan khusus, yaitu jika

salvor melakukan upaya untuk mencegah terjadinya polusi di lingkungan laut

namun tidak berhasil melakukan upaya penyelamatan, konvensi ini memberikan sedikit imbalan bagi salvor tersebut, meskipun hanya memiliki sedikit keberhasilan pemulihan bangkai kapal beserta muatannya.

Konvensi ini memiliki istilah no cure, no pay, yang berarti salvor hanya akan diberi penghargaan/imbalan atas jasanya menemukan bangkai kapal, dengan kata lain jika upaya pemulihan berhasil dilakukan.

54

International Convention on Salvage 1989, 1953 UNTS 193, S. Treaty Doc. No. 102-12, 102d Cong., 1st Sess. (1991), pasal 1(1)

55

Ibid., pasal 12

56

Ibid., pasal 13

57


(41)

BAB III

KONSEP KEPEMILIKAN HARTA KARUN DI WILAYAH PERAIRAN INTERNASIONAL

D. Pengertian Perairan Internasional

Lokasi dan status dari bangkai kapal adalah hal penting dalam menentukan siapa yang memiliki hak untuk menemukan kapal. Misalnya, sebuah bangkai kapal ditemukan di wilayah suatu negara akan tunduk kepada hukum domestik negara tersebut.58 Beberapa negara seperti Inggris, Australia, Perancis, Italia, Spanyol, Belanda, Denmark, dan Norwegia telah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang kapal karam bersejarah yang diabaikan atau arkeologi berharga yang ditemukan di dalam yurisdiksi mereka.59 Amerika Serikat sendiri mengaturnya melalui Abandoned Shipwreck Act tahun 1987 (ASA). ASA mengatur kapal karam yang diabaikan dalam konteks yang lebih luas dari program pelestarian sejarah nasional Amerika Serikat.60 Namun bagian dari peraturan tersebut mencerminkan kekhawatiran domestik dalam menjaga kapal karam, kapal karam yang ditemukan di perairan internasional menjadi tidak terlindungi.61

Namun isu mengenai bangkai kapal yang ditemukan di perairan internasional tidaklah jelas pengaturannya, terkadang ada berbagai klaim

58

Louis B. Sohn & John E. Noyes, op. cit., hal. 645

59

Alexander Korthals Altes, Submarine Antiquities: A Legal Labyrinth, 4 Syracuse J. Intl’l.

& Com. 77 (1976), hal. 84-93

60

61

See Bernard H. Oxman,


(42)

kepentingan antara salvors, pemilik asli, pihak asuransi, negara, dan pemerintah negara.62

Perairan internasional merupakan perairan yang berada di luar yurisdiksi nasional suatu negara.63 Dalam hukum internasional, perairan yang berada diluar yurisdiksi negara disebut dengan laut lepas. Laut lepas sendiri merupakan wilayah yang terbuka bagi seluruh negara64, sehingga tidak ada satu negarapun yang dapat mengklaim wilayah laut lepas sebagai wilayah kedaulatannya.65

Bangkai kapal beserta muatannya sendiri tidak mengambang di atas laut, khususnya di laut lepas, namun berada didasar laut atau disebut dengan kawasan (area). Kawasan sendiri merupakan dasar laut atau samudera dan lapisan tanah dibawahnya yang berada diluar batas yurisdiksi nasional suatu negara,

Berkaitan dengan kegiatan/operasi pencarian harta karun di wilayah laut lepas, maka upaya tersebut dapat dikatakan sah – sah saja dalam hukum internasional.

66

yaitu di luar batas – batas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai. Sama seperti laut lepas, negara juga tidak dapat mengklaim kedaulatan di wilayah kawasan ini.67

Kawasan dasar laut sendiri merupakan wilayah yang sumber – sumber kekayaan alamnya diperuntukkan bagi kepentingan umat manusia dan tidak ada satu negara pun yang dapat melakukan klaim atau melaksanakan kedaulatannya atas bagian, wilayah, dan sumber – sumber alamnya, karena semua sumber daya wilayah ini merupakan warisan bersama umat manusia (common heritage of

62

Craig Forrest, loc. cit

63

Dapat diakses pad Maret 2015]

64

UNCLOS pasal 87

65

Ibid., pasal 89; Malcolm N. Shaw, International Law, 6th ed., (United Kingdom:

Cambridge University Press, 2008), hal. 492

66

UNCLOS, op. cit., pasal 1 (1); UCH Convention, op. cit., pasal 1 (5)

67


(43)

mankind).68 Di wilayah ini sendiri terdapat suatu badan administratif yang bertugas mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan di wilayah kawasan, disebut Otoritas Dasar Laut Internasional (The International Seabed Authority).69

E. Kepemilikan Berdasarkan Hukum Bangsa – Bangsa (Law of Nations)/Jus Gentium

Karena tidak satupun negara yang dapat mengklaim bahwa wilayah kawasan merupakan wilayah kedaulatannya, maka negara juga tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya atas wilayah tersebut. Untuk itu pada bagian selanjutnya dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana hukum internasional yang ada saat ini dalam mengatur isu jika individu, perusahaan, atau badan/organisasi menemukan benda/objek di wilayah kawasan dan hendak mengklaim kepemilikan atas objek tersebut, dalam hal ini bangkai kapal berserta muatannya.

Kepemilikan merupakan suatu kepentingan yang diakui oleh sistem hukum dewasa ini,70

Menurut tradisi, negara – negara dengan sistem hukum common law cenderung lebih memperhatikan hak – hak privat pemilik dan kurang memperhatikan upaya perlindungan atas penemuan harta karun. Memang, sistem hukum civil law sering memberikan kekayaan yang merupakan bagian dari suatu dan suatu kepemilikan adalah sah, dalam pengertian dapat ditegakkan berdasarkan hukum.

68

Ibid., pasal 137 (2)

69 Ibid 70

A.M. Honoré, Ownership, dalam Anthony Gordon Guest, Oxford Essays in


(44)

warisan budaya menjadi milik negara, karena menganggap hal ini sebagai cara terbaik untuk memberikan perlindungan.

Pada sistem hukum common law, hak kepemilikan sering diberikan kepada pemilik hak atas kekayaan tersebut. Termasuk juga hak untuk mengawasi, yang di dalamnya terdapat hak untuk melarang pihak lain turut campur dalam proses kepemilikan harta; hak untuk memindahkan hak kepemilikan; hak untuk memanfaatkan; dan hak untuk menghancurkannya.

Karena sebuah kapal terletak di perairan internasional yaitu berada di luar kekuasaan eksklusif pengadilan suatu negara, keberlakuan keputusan seperti itu membutuhkan, setidaknya, persetujuan dan penerimaan dari negara-negara lain, dan pada dasarnya, suatu keputusan berdasarkan hukum akan diterima oleh negara – negara berkepentingan lainnya.71

Laut lepas bukannya tanpa hukum yang dapat ditegakkan, karena law of

salvage dan law of finds merupakan bagian dari jus gentium. Misalnya dalam

kasus R.M.S. Titanic, Inc v. Haver, Fourth Circuit menyelidiki hukum maritim internasional dari masa lalu sampai sekarang. Hakim Niemeyer menjelaskan bahwa prinsip-prinsip jus gentium ini telah berevolusi dari hukum Romawi dan masih aktif sampai hari ini.

72

Dalam hukum Roma kuno, jus gentium diciptakan sebagai suatu bentuk hukum yang digunakan sebagai hukum yang diterapkan terhadap yang bukan warga negara (non citizens).73

71

Brooke Wright. Keepers, Weepers, or No Finders at All: The Effect of International

Trends on the Exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive Law in the Salvage ofHistoric Wrecks,

33 Tul. Mar. L.J. 285 (2008), hal. 299

72

Paul V. Niemeyer, op. cit., hal. 437

73

Brooke Wright, op. cit., hal. 300; Craig Forrest, op. cit., hal. 356.

Hal ini didasarkan pada tujuan mendasar dan prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan untuk semua orang terlepas dari


(45)

asal atau kewarganegaraan. Hal Ini merupakan suatu bentuk hukum yang berbeda, tidak tertulis, dan universal yang berlaku bagi semua bangsa dan masyarakat, berdasarkan akal sehat dan alasan yang tepat. Termasuk juga dalam hukum universal ini yaitu hukum para pedagang dan hukum maritim tradisional. Ini memungkinkan hukum maritim tradisional menjadi prinsip universal yang berlaku bagi semua orang sebagai hukum laut yang patut dihormati.74

Bahkan lebih jauh, sifat hukum maritim internasional mengharuskan pembentukan jus gentium karena pengadilan telah menyatakan bahwa hukum domestik mengenai salvage (domestic salvage law) berasal dari law of salvage yang merupakan bagian dari jus gentium. Oleh karena itu, ketika pengadilan mempertimbangkan hukum yang berlaku bagi kapal-kapal yang ditemukan di perairan internasional, pengadilan biasanya akan memberlakukan hukum nasionalnya yang berkaitan dengan law of salvage dan/atau law of finds.

75

1. Hukum Penyelamatan (Law of Salvage)

Secara umum, law of salvage merujuk kepada konsep upaya penyelamatan terhadap nyawa dan harta dari bahaya – bahaya yang terjadi di laut.76 Prinsipnya adalah bahwa pihak tertentu yang berhasil menyelamatkan seseorang atau kekayaan dari laut berhak atas sebuah penghargaan dari pemilik kekayaan yang diselamatkan.77

74

Paul V. Niemeyer, op. cit., hal 440

75

Brooke Wright, op. cit., hal. 302

76

Rob Regan,

Tache, The

(1984), hal. 82 – 84

77

Edgar Gold, et al, Maritime Law (Essential of Canadian Law), (Toronto, Canada: Irwin


(46)

Hukum yang berkaitan dengan salvage telah menjadi pelengkap hukum maritim di kalangan pelaut – pelaut nasional sejak pedagang – pedagang dari berbagai negara pertama kali berdangang satu sama lain dengan menggunakan kapal. Peraturan tertulis tertua yang pernah ada yang berkaitan dengan salvage secara khusus adalah Hukum Rhodian (Rhodian Code), yang berasal dari sekitar tahun 800 Sebelum Masehi dan kemudian diadopsi kedalam berbagai undang – undang Eropa, seperti England’s Law of Oleron :

Pasal 45: “Jika sebuah kapal tersentak akibat angin puyuh, atau telah menjadi bangkai kapal, setiap orang yang menyelamatkan sesuatu dari bangkai kapal tersebut, berhak atas seperlima dari apa yang dia selamatkan.”

Pasal 47: “Jika emas atau perak, atau benda apapun yang diangkat keluar dari laut sedalam delapan hasta, dia yang mengangkat benda tersebut berhak atas sepertiganya, dan jika lima belas hasta, dia berhak atas setengahnya.”78

Salvage merupakan kompensasi yang diberikan kepada orang-orang yang

atas bantuannya kapal atau muatannya telah diselamatkan secara keseluruhan atau sebagian dari bahaya di laut yang akan datang, atau dalam memulihkan kekayaan tersebut dari kerugian yang sebenarnya, misalnya dalam kasus kapal karam atau kapal terlantar.

79

Pada dasarnya, law of salvage adalah bentuk imbalan yang diberikan oleh hukum maritim dalam menyelamatkan kekayaan maritim yang berisiko oleh mereka yang tidak memiliki kewajiban hukum untuk membantu.

80

Pada umumnya, para penyelamat (salvagers) tidak memperoleh hak atas kekayaan yang diselamatkan dan pemilik asli tetap mempertahankan haknya

78

R.M.S. Titanic, Inc. v. Haver, [1999] 171 F.3d 943 (United States 4th Cir.), hal. 962

79

The Blackwall, [1869] 77 U.S. 10 Wall. 1 (US Supreme Court), hal 12

80


(47)

sampai kekayaan tersebut diabaikan.81 Kapal penyelamat (salvor) memegang hak jaminan atas kekayaan tersebut, sehingga memungkinkan untuk melakukan gugatan terhadap kapal kargo yang diselamatkan (in rem action)82. Salvor juga memiliki hak kepemilikan atas kekayaan tersebut sampai imbalan atas upaya penyelamatan tersebut diadili (possessory right). Possessory right tersebut mencakup banyak hak istimewa termasuk akses ke dalam kapal dan pengawasan atas wilayah di sekitar lokasi kapal.83

Sepanjang sejarah, law of salvage terus berkembang sementara kebijakan hukumnya tetap sama. Dalam hukum maritim Romawi, law of salvage dikembangkan untuk melindungi kapal – kapal berserta muatannya dari bahaya di laut untuk menjaga kekayaan tersebut dari aliran perdagangan, mencegah pencurian, dan untuk mengembalikan kekayaan yang diselamatkan kepada pemiliknya.84

81

Kevin Berean, Sea Hunt, Inc. v. Unidentified Shipwrecked Vessel or Vessels: How The

Fourth Circuit Rocked the Boat, 67 Brook. L. Rev. 1249 (2002), hal. 1254

82

Ibid 83

Justin S. Stern, Smart Salvage: Extending Traditional Maritime Law to Include

Intellectual Property Rights in Historic Shipwrecks, 68 Fordham L. Rev. 2489 (2000), hal. 2498

84 Ibid

Demikian pula, di zaman modern, kebijakan publik atas penghargaan terhadap upaya penyelamatan adalah untuk menyelamatkan kekayaan dari bahaya di laut sekaligus mengurangi ketidakjujuran dan penggelapan oleh salvagers.

Penghargaan atas upaya penyelamatan dimaksudkan sebagai insentif bagi

salvagers agar dengan sukarela mengambil risiko untuk menyelamatkan

kapal-kapal yang dalam bahaya. Ketika tidak ada kontrak/perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang terkait mengenai upaya penyelamatan, ada tiga unsur untuk mengklaim upaya penyelamatan yang sah, yaitu kekayaan tersebut harus:


(48)

1) dalam risiko/bahaya laut (marine peril);

2) berhasil diselamatkan secara keseluruhan atau sebagian; 3) dilakukan dengan sukarela oleh salvagers.85

Namun, apabila terdapat kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian antara para pihak sebelumnya, maka imbalan/pembayaran yang dimaksud akan dikesampingkan, kecuali kinerja yang diberikan oleh salvagers melebihi dari apa yang diperjanjikan dalam kontrak.86

Ketika menentukan marine peril, pertama pengadilan harus menentukan status kapal. Untuk dikategorikan dalam bahaya, kapal harus mengalami kerusakan atau musibah terlebih dahulu, dimana kapal tersebut akan hancur jika tindakan upaya penyelamatan tidak dimulai.

Ketiga unsur tersebut telah dikodifikasi sebagai bagian dari 1910

Assistance and Salvage Convention yaitu pada pasal 7 dan 8, dan dalam

perkembangannya konvensi ini telah digantikan oleh Salvage Convention 1989.

87

Keberhasilan upaya penyelamatan tergantung pada kekayaan yang diselamatkan dan dibawa ke dalam yurisdiksi pengadilan.

Api, badai, atau pembajakan merupakan contoh dari marine peril, dan standarnya adalah apakah bahaya tersebut dapat cukup wajar untuk menghancurkan kapal.

88

85

Thomas J. Schoenbaum, Admiralty and Maritime Law 4th ed., (United States:Thomson West, 2004), section 16 – 1

86

International Convention on Salvage 1989 op. cit., pasal 17

87

Kevin Berean, loc. cit

88 Ibid

Jadi jika salvagers tidak berhasil memulihkan kekayaan tersebut, bahkan jika dia telah menghabiskan


(49)

waktu yang lama dan biaya yang mahal, dia tetap tidak berhak untuk mengklaim penghargaan/imbalan atas usahanya tersebut.89

Unsur terakhir, bahwa kegiatan penyelamatan harus dilakukan secara sukarela, yang berarti tidak ada kewajiban sebelumnya atau kewajiban hukum untuk menyelamatkan.

90

Meskipun merupakan konsep hukum yang umum, law of salvage telah menjadi bagian dari hukum internasional berdasarkan Salvage Convention 1989.

Salvage Convention 1989 yang menggantikan Assistance and Salvage Convention

1910 diberlakukan karena dua hal.91 Pertama, karena adanya kebutuhan untuk mengatasi peningkatan risiko yang dihadapi oleh salvagers karena peningkatan lalu lintas pengiriman kapal. Hal ini menimbulkan keraguan bagi salvagers untuk melakukan upaya penyelamatan, karena imbalan yang akan mereka terima tidak mencakup tanggung jawab dalam hal terjadi kecelakan.92 Kedua, karena adanya kekhawatiran bahwa upaya penyelamatan akan merusak lingkungan, sehingga perlu dibuat ketentuan untuk memastikan bahwa salvagers akan bertindak lebih tanggap terhadap bahaya polusi.93

Ketika menentukan penghargaan atas penyelamatan yang telah dilakukan,

Salvage Convention 1989 menetapkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi

94

, yaitu:

89

Vickey L. Quinn, Comment,

90

Kevin Berean, loc. cit

91

Brian F. Binney, loc. cit

92

E. Jane Ellis,

Envt’l L. & Pol'y 31 (1995), hal. 43

93

Nicholas J.J. Gaskell, op. cit., hal. 15

94


(50)

1. Nilai kapal yang diselamatkan dan kekayaan lainnya

2. Keterampilan serta usaha dari salvors dalam mencegah atau meminimalisir kerusakan lingkungan

3. Ukuran keberhasilan yang diperoleh salvors 4. Sifat dan tingkat bahaya yang dihadapi

5. Kemampuan serta usaha dari salvors dalam menyelamatkan kapal, kekayaan lain dan nyawa

6. Waktu yang digunakan dan biaya serta kerugian yang dialami oleh salvors 7. Resiko tanggung jawab dan resiko lainnya yang dialami oleh penyelamat atau

peralatan mereka

8. Ketepatan layanan yang diberikan

9. Ketersediaan dan penggunaan kapal atau peralatan lain yang dimaksudkan untuk operasi penyelamatan

10. Kesiagaan dan efisiensi peralatan salvors dan nilainya.

Ketika pemberian kompensasi, pengadilan dapat menggunakan dua metode. Pengadilan dapat mengeksekusi hak jaminan dengan memutuskan penjualan kekayaan dan hasilnya jatuh ke tangan salvager. Atau, pengadilan dapat mengalihkan hak kekayaan kepada salvager jika penjualan tidak menghasilkan imbalan yang memadai.95 Umumnya, ketika kapal dipulihkan dari dasar laut, dan

law of salvage diterapkan, salvagers berhak mendapatkan imbalan penyelamatan

dengan sangat bebas.96

Mayoritas pengadilan kelautan memilih untuk menerapkan law of salvage terhadap warisan budaya bawah air, meskipun hukum ini perlu sedikit perubahan.

95

Justin S. Stern, op. cit., hal. 2499

96

Columbus-America Discovery Group v. Atlantic Mut. Ins. Co., (1992) 974 F.2d 450 (US 4th Cir.), hal 459


(51)

Ketika pengadilan menerapkan law of salvage, secara efektif menolak law of finds karena unsur-unsur kedua hukum ini bertentangan.

2. Hukum Penemuan (Law of Finds)

Konsep lama tentang ‘penemu, penjaga’ (finders, keepers) diwujudkan dalam law of finds. Menurut tradisi, hukum ini berlaku terhadap kekayaan maritim, seperti ikan atau tanaman laut, yang tidak dimiliki oleh siapapun. Jika kekayaan diabaikan oleh pemiliknya, law of finds memperlakukannya seolah-olah kekayaan tersebut kembali ke keadaan awal tanpa ada pemilik sebelumnya.97 Bahkan jika ada pemilik kekayaan tersebut, pengadilan menganggap bahwa pemilik tersebut tidak ada lagi. Karena pengadilan menganggap tidak ada lagi pemilik, salvager diberikan hak penuh atas kapal bukan sekedar possessory rights seperti dalam law of salvage.98

Penemu pertama yang secara sah memperoleh penguasaan secara nyata atau pengawasan atas kekayaan yang terabaikan memperoleh hak atas kekayaaan tersebut.99 Untuk memperoleh hak, penemu harus mencari bangkai kapal, berada diatasnya saat proses penyelamatan, memiliki kemampuan untuk memulihkan bangkai kapal, dan telah mengurangi jumlah kepemilikan artefak dengan signifikan.100 Jika penemu meninggalkan lokasi penyelamatan atau menghentikan kegiatan, pengadilan menganggap kapal tersebut tidak jadi digugat dan mengizinkan pencari lain untuk menggugat hak tersebut.101

97

Hener v. United States, (1981) 525 F. Supp. 350 (United State District Court New York), hal. 354

98

James Paul, Salvaging Sunken Shipwrecks: Whose Treasure Is It? A Look at the

Competing Interests for Florida’s Underwater Riches, 9 J. Land Use & Envt’l. L. 347 (1994), hal. 349

99

Kevin Berean, op. cit., hal. 1252

100

John P. Fry, The Treasure Below: Jurisdiction Over Salving Operations in International

Waters, 88 Colum. L. Rev. 863 (1988), hal. 877

101


(1)

Richmond, Allison Leigh (2010)

Rydstrom, Jean F, Annotation, Nature and Extent of Peril Necessary to Support Claim for Marine Salvage, 26 A.L.R. Fed. 858 (2002)

Siegler, Todd B., Finders Keepers Revised for the High Seas: Columbus-America Discovery Group v. Atlantic Mutual Insurance, 17 Tul. Mar. L.J. 353 (1993) Spence, E. Lee, Underwater Archeology in South Carolina, The Conference on

Historic Site Archeology Papers 1970, (1971)

Stern, Justin S., Smart Salvage: Extending Traditional Maritime Law to Include Intellectual Property Rights in Historic Shipwrecks, 68 Fordham L. Rev. 2489 (2000)

Tache, Simon W., The

Tsavliris, Andreas, President of International Salvage Union, Paper for International Tug Salvage and OSV Convention, The Challenges Facing The Salvage Industry (2012)

Varmer, Elizabeth, RMS Titanic: underwater cultural heritage's sacrifice, Journal of Business Law 271 (2012)

Varmer, Ol L. & C0m. 279 (1999)

Wright, Brooke, Keepers, Weepers, or No Finders at All: The Effect of International Trends on the Exercise of U.S. Jurisdiction and Substantive Law in the Salvage ofHistoric Wrecks, 33 Tul. Mar. L.J. 285 (2008)


(2)

3. Instrumen Hukum Internasional International Convention on Salvage 1989

Statute of the International Court of Justice (1945)

Treaty of Friendship and General Relations Between the United States of America and Spain, U.S. – Spain , Art. X, July 1902, 33 Stat. 2105

UNESCO Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage 2001 United Nations Convention on the Law of the Sea (1982)

4. Instrumen Hukum Nasional

Historic Shipwrecks Act 1976, Australia Acts No. 190

5. Dokumen PBB

United Nations General Assembly Resolution 2749 (XXV), Declaration of the Principles Governing the Seabed and the Ocean Floor, and the Subsoil Thereof, Beyond the Limits of National Jurisdiction, U.N. Doc. A/RES/2749 (January 1, 1970)

United Nations General Assembly Resolution 34/68, Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies, U.N. Doc. A/RES/34/68, (Dec. 5, 1979)

6. Putusan Pengadilan Internasional

Case Concerning Fisheries Jurisdiction Case (United Kingdom v. Iceland), Merits, ICJ Reports 1974


(3)

7. Putusan Pengadilan Nasional

California v. Deep Sea Research (1998), 523 U.S. 491 (United States 9th Cir.), Columbus-America Discovery Group v. Atlantic Mut. Ins. Co., (1992) 974 F.2d

450 (United State 4th Cir.)

Hener v. United States, (1981) 525 F. Supp. 350 (United State District Court New York)

Odyssey Marine Exploration, Inc. v. Unidentified Shipwrecked Vessel (2011), 657 F.3d 1159 (United States 11th Cir.)

Odyssey Marine Exploration, Inc. v. Unidentified, Shipwrecked Vessel (2009), 675 F.Supp.2d 1126 (U.S. Middle District of Florida.)

R.M.S. Titanic, Inc. v. Haver (1999) 68 U.S.L.W. 3223 (United State) (No. 98-2058).

R.M.S. Titanic, Inc. v. Haver, (1999) 171 F.3d 943 (United States 4th Cir.)

R.M.S. Titanic, Inc. v. The Wrecked and Abandoned Vessel, (1996) 924 F. Supp. 714 (United States 4th Cir)

R.M.S. Titanic, Inc. v. The Wrecked and Abandoned Vessel, (1998) 9 F. Supp.2d 624, (U.S. Eastern Distrik of Virginia)

R.M.S. Titanic, Inc. v. Wrecked & Abandoned Vessel (2006), 435 F.3d 521 (United State 4th Cir.)

The Blackwall, (1869) 77 United States. 10 Wall. 1 (U.S. Supreme Court) The Schooner Exch. v. McFadden (1812) 11 U.S. 116 (United States)

Treasure Salvors, Inc. v. Unidentified Wrecked & Abandoned Sailing Vessel (1978), 569 F.2d 330 (United State 5th Cir.)


(4)

8. Laporan Badan – Badan Internasional

UNESCO Committee on Cultural Heritage Law, Int’l Law Ass’n, Buenos Aires Draft Convention on the Protection of the Underwater Cultural Heritage (1994)

9. Internet

A Commitment to Archaeology, dapat diakses pada: http:

Black Swan Project Overview, dapat diakses pada:

http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratificat ions.htm

Early Helladic Shipwreck, dapat diakses pada:

HMS Sussex Historical Overview, dapat diakses pada:

http://www.shipwreck.net/hmssussexhistoryoverview.php HMS Sussex Project Overview, dapat diakses pada:

http://www.shipwreck.net/hmssussex.php International Waters, dapat diakses pada:

Marine Salvage, dapat diakses pada:


(5)

The Dokos Cargo Site, dapat diakses pada:

United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, The Protection of the Underwater Cultural Heritage, Wrecks dapat diakses pada

Vasa Museet, dapat diakses pada:

10. Sumber – Sumber Lain

Accord Plaintiff Odyssey Objections to Magistrate Judge's June 3, 2009 Report and Recommendations, Odyssey Marine Exploration, Inc. v. Unidentified Shipwrecked Vessel, No. 8:07-cv-614-T-23MAP

Al Goodman, CNN. High Court Rejects Stay in Spanish Sunken Treasure Case, Februari 10, 2012

James P. Delgado, The Trouble With Treasure, Naval History: Augustus 2010, Vol. 24 Issue 4

Plaintiff Odyssey Marine Exploration, Inc.'s Objections to Magistrate Judge's June 3, 2009 Report and Recommendation, Odyssey Marine Exploration, Inc. v. Unidentified, Shipwrecked Vessel, No. 8:07-CV-614-T-23MAP

Press Release, Odyssey Marine Exploration, Odyssey to Request En Banc Hearing in Black Swan Case to Address Contradictions in Eleventh Circuit's Ruling (Sept. 21, 2011)


(6)

Press Release, Odyssey Marine Exploration, Odyssey Will Object to Magistrate's Recommendation to Dismiss Black Swan Case (June 3, 2009) http://www.shipwreck.net/prl 80.php

Ulrike Guérin & Katrin Köller, Of Shipwrecks, Lost Worlds and Grave Robbers, A World Of Sci., Apr.-June 2009

, Iron: An Illustrated Weekly Journal for Iron and Steel Manufacturers (1843)

William J. Broad, Seeking Pirate Treasure: Captain Kidd's Sunken Ship, N.Y. Times, Feb. 22, 2000