Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Bentuk Penyelesaian Isu Kepemilikan Atas Harta Karun di Perairan

melestarikan nilai arkeologi dari bangkai kapal dan muatannya. Bagi salvor bekerja dalam skala yang besar atau operasi yang sulit, mempertahankan keseimbangan ini mungkin sangat sulit. Terutama dalam situasi seperti RMS Titanic Inc. , dimana pihaknya telah menghabiskan biaya penyelamatan yang besar tetapi setuju untuk tidak mengksploitasi penemuan secara komersil. Namun law of salvage yang bersifat tradisional tidak cukup untuk menyelesaikan dilema yang dihadapi oleh historic salvage, sehingga pengadilan harus mencari solusi yang tepat. Pengadilan kemudian memberikan hak fotografi kepda RMS Titanic Inc. sebagai cara bagi salvor untuk melanjutkan upaya penyelamatannya, dan sebagai konsekuensinya memberikan insentif potensial bagi para salvor lainnya di kemudian hari untuk menemukan dan menyelamatkan apa yang sebelumnya merupakan bangkai kapal yang tidak menguntungkan.

2. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama

Sebuah bentuk kerjasama berdasarkan perjanjian antara penemu kapal karam bersejarah dan negara asal bangkai kapal akan mewakili seluruh kepentingan dan menyelesaikan banyak kekurangan – kekurangan pada kerangka hukum saat ini. 209 Bentuk kerjasama seperti itu akan memajukan kerjasama antara perusahaan eksplorasi kapal karam komersil, komunitas arkeologi, pengaturan pemerintah, dan pengelolaan warisan budaya. 210 Pertama, perjanjian akan menghindari kerumitan proses pengadilan dan membiarkan para pihak untuk mengatur hasilnya. Litigasi memerlukan waktu Suatu perjanjian memiliki beberapa keuntungan dibanding dengan kerangka hukum yang berlaku saat ini. 209 Jeremy Neil, op. cit., hal. 921 210 Ibid., hal. 919 yang lama, biaya, dan tenaga, sementara para pihak tidak mendapat kepastian atas hasilnya. 211 Proses persiapan untuk melaksankan sidang ke pengadilan dalam menyelesaikan kedudukan sebuah kapal yang tenggelam akan memakan waktu beberapa tahun sebelum kasus tersebut disidangkan dan diputuskan. Ini adalah bukti dari kasus Black Swan. Selanjutnya, proses litigasi yang panjang akan membebankan biaya bagi para pihak. Selain itu, para pihak harus tunduk pada kehendak pengadilan seperti stndar hukum seperti apa yang diberlakukan atau cerita hukum apa yang akan dijelaskan untuk mendukung putusan akhir pengadilan. Hal demikian merupakan bentuk investasi yang buruk bagi suatu perusahaan eksplorasi kapal karam komersil untuk menghabiskan beberapa tahun untuk mencari sebuah kapal karam tanpa mengetahui hukum apa yang akan diberlakukan oleh pengadilan. 212 Pada akhirnya, apapun hasilnya, putusan pengadilan akan dipaksakan kepada para pihak. Para pihak diperbolehkan untuk bernegosiasi kepentingan mereka masing – masing dan menjadi penentu akhir dari perjanjian. 213 Kedua, suatu bentuk kerjasama akan terhindar dari masalah dalam UCH Convention . Konvensi ini berlaku untuk menghilangkan motif keuntungan dari perusahaan eksplorasi kapal karam komersil, memberi beban pada negara untuk menginvestasikan keperluan untuk penelitian, pencarian, dan mengeksplorasi kapal, dengan demikian menghambat kemampuan dunia untuk menemukan, melindungi, melestarikan dan mempelajari kapal karam bersejarah tersebut. Para pihak akan menghemat waktu dan biaya, karena negosiasi dalam suatu bentuk kerjasama akan dapat dicapai lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan dalam proses litigasi. 211 Ibid 212 Ibid 213 Ibid Seperti yang dikatakan sebelumnya, motif keuntungan ini sangat penting terhadap keberlanjutan industri eksplorasi kapal karam dan untuk melanjutkan pencarian kapal – kapal tenggelam lainnya. Dengan persaingan yang sedikit, permintaan teknologi baru akan semakin sedikit, dan lebih sedikit lagi kapal karam yang ditemukan. 214 Kapal – kapal karam yang tidak ditemukan ini tengah dalam bahaya kehancuran dan akan hilang selama – lamanya. Sebuah bentuk kerjasama antara kemauan para perusahaan dan negara asal akan menuju pada peningkatan kompetisi diantara perusahaan yang bersaing untuk perjanjian upaya penyelamatan dengan pemerintahan, yang berakibat pada peningkatan jumlah kapal – kapal perusahaan eksplorasi yang melakukan pencarian kapal – kapal karam, ledakan teknologi, dan kebutuhan bagi para salvors untuk menggunakan cara – cara yang lebih efisien untuk mencari dan memulihkan artefak – artefak budaya bawah air. 215 Selain itu, peningkatan kompetisi diantara para salvors akan berkaitan dengan pemerintah yang meminta keuntungan yang lebih tinggi sekaligus standar arkeologi yang tinggi dalam pemulihan artefak. Saat perjanjian berlaku, pengaturan internasional tidak akan diperlukan, memudahkan proses pelaksanaan tanpa adanya pengaturan yang mengintervensi. 216 214 Christopher R. Bryant, loc. cit 215 Jeremy Neil, op. cit., hal. 920 216 David J. Bederman, op. cit., hal. 205 Ketiga, suatu perjanjian kerjasama akan menghilangkan masalah kekeliruan saat ini, ketiadaan teknik dan standar penyelamatan yang seragam, dan kebutuhan partisipasi komunitas arkeologi. Contoh terbaik dalam bentuk perjanjian kerjasama dalam penemuan harta karun di perairan internasional adalah Sussex Agreement. Pada tahun 2001, OME menemukan sebuah bangkai kapal yang diyakini sebagai HMS Sussex di perairan internasional dari pesisir pantai Gibraltar. 217 Pada tahun berikutnya, OME membuat Sussex Agreement, sebuah perjanjian kerjasama penggalian arkeologi pertama yang pernah ada. 218 HMS Sussex merupakan kapal perang Inggris berukuran 157 kaki, berisi 80 jenis senjata, dan terdiri dari 500 awak kapal yang hilang pada tahun 1694 dalam badai parah di bagian barat Mediterania. 219 Sejak 1995, OME sudah aktif mencari HMS Sussex. OME melakukan ekpedisi antara tahun 1998 dan 2001 meliputi 400 mil persegi dasar laut sebelah barat Mediterania. Selama masa pencarian, OME berusaha untuk memetakan Menurut penelitian dokumenter, HMS Sussex diluncurkan pada tanggal 11 April 1693 yang menjadi kapal ketujuh dari total tiga belas kapal khusus armada angkatan laut yang ditugaskan melawan ekspansi Perancis di bawah Raja Louis XIV. Pada Desember 1693, HMS Sussex berlayar ke Mediterania dengan membawa suap untuk bangsawan Savoy dari Inggris. Saat kapal melewati teluk Gibraltar, sebuah badai yang sangat buruk bertiup di lepas pantai Afrika. Pada tanggal 19 Februari 1694, tanpa adanya pertahanan, HMS Sussex pun tenggelam. Untuk itu suap dari pihak Perancis kepada bangsawan Savoy tersebut tidak sampai. 217 Craig Forrest, op. cit., hal. 351; HMS Sussex Project Overview, Odyssey Marine Exploration dapat diakses pada http:www.shipwreck.nethmssussex.php [diakses tanggal 04 Februari 2015] 218 Jeremy Neil, op. cit., hal. 917 219 HMS Sussex Project Overview, loc. cit; HMS Sussex Historical Overview, Odyssey Marine Exploration dapat diakses pada http:www.shipwreck.net hmssussexhistoryoverview.php [diakses tanggal 28 Februari 2015]; William J. Broad, Seeking Pirate Treasure: Captain Kidds Sunken Ship , N.Y. Times, Feb. 22, 2000, hal. 1 wilayah pencarian dan menentukan target pencarian. Kemudian, robot air dikirim ke dalsar laut untuk menyelidiki lokasi pencarian. 220 Lokasi tersebut dipercaya sebagai tempat tenggelamnya HMS Sussex yaitu pada kedalaman 3000 kaki dibawah Samudera Atlantik, sebelah timur Selat Gibraltar. Saat diketahui bahwa bagnkai kapal tersebut adalah HMS Sussex, OME secepatnya memulai perundingan dengan Inggris dan pada September 2002 OME menandatangani Sussex Agreement, sebuah terobosan kerjasama dengan pemilik HMS Sussex , pemerintahan Inggris dan Nothern Island, dikenal sebagai pemerintahan Yang Mulia Ratu Her Majesty’s GovernmentHMG. 221 Pertama, OME diminta untuk menyerahkan penggalian Rencana Proyek kepada HMG, yang memuat peralatan, personil, dan metodologi yang akan digunakan dalam eksplorasi HMS Sussex, konservasi dan dokumentasi setiap artefak yang mungkin diperolah. Sussex Agreement merupakan suatu inovasi yang dapat membuktikan kesuksesan dalam menyeimbangkan kepentingan komersil, kepentingan komunitas arkeologi, dan kepentingan budaya masyarakat dunia. 222 HMG kemudian memiliki waktu empat puluh lima hari untuk mengomentari Rencana Proyek tersebut dan seratus hari untuk memberikan persetujuan, atau Sussex Agreement akan secara otomatis berakhir. 223 Selama fase ini, OME diizinkan dan berhasil menyelesaikan survei tanpa gangguan, 224 220 Ibid 221 Ibid tetapi setuju untuk tidak melakukan kegiatan apapun di lokasi 222 Partnering Agreement Memorandum Concerning the Shipwreck of the HMS Sussex, antara Pemerintah Inggris Irlandia Utara Odyssey Marine Exploration, Inc. Sep. 27, 2002 dapat diakses pada http:www.shipwreck.netpam [diakses tanggal 04 Maret 2015] [Sussex Agreement] 223 Ibid 224 Sussex Agreement, loc. cit sampai, dan jika, Rencana Proyek disetujui. 225 Persetujuan rencana ini penting karena memastikan hal itu memastikan bahwa eksplorasi dan penemuan HMS Sussex dilakukan dengan sikap yang sopan bagi mereka pelaut yang tewas di kapal. Selain itu, ia juga memastikan bahwa benda cagar budaya nasional digali dengan cara yang memungkinkan para ilmuwan untuk belajar dari mereka dan benar melestarikannya. Rencana Proyek memberikan OME manfaat keamanan pada kepentingannya dalam penggalian situs terhadap pemburu harta karun lainnya. Sussex Agreement juga merinci garis besar tentang kewajiban keuangan kedua belah pihak. OME diharuskan membayar HMG: biaya lisensi yang tidak dapat dikembalikan; setoran biaya £250,000 dalam hal eksplorasi tidak memberikan pendapatan yang cukup untuk membayar biaya Pemerintah yang berkaitan dengan Perjanjian; dan deposit konservasi 100.000 untuk menjamin Pemerintah yang mendanai bersedia untuk konservasi dan dokumentasi artefak yang diperoleh dari situs tersebut. Saat ini, HMG telah menyetujui Rencana Proyek, dan OME telah menyelesaikan survei dan saat ini tengah melakukan percobaan penggalian di situs tersebut. Dengan persetujuan Rencana Proyek, OME menerima keamanan dalam bentuk hak eksklusif dalam penggalian oleh HMG. 226 Selain itu, OME bertanggung jawab atas semua biaya, termasuk biaya keuangan berhubungan dengan proyek. Yang terpenting, OME dan HMG setuju atas keuntungan yang dibagi, dimana para pihak akan membagi keuntungan yang diperoleh dari artefak berdasarkan harga jual. 227 225 Ibid 226 Jeremy Neil, op. cit., hal 918; Sussex Agreement, loc. cit 227 Ibid Jika nilai artefak yang diperoleh bernilai 45 atau lebih sedikit, HMG akan menerima 20 dari keuntungan dan OME menerima 80; jika nilai artefak berkisar antara 45 juta sampai 500 juta, HMG dan OME akan menerima masing – masing 50 keuntungan; jika nilai artefak diatas 500 juta, HMG akan menerima 60 keuntungan dan OME menerima 40. Sussex Agreement menyatakan bahwa kapan pun, HMG harus dianggap sebagai pemilik bangkai kapal dan berhak untuk menunjuk perwakilan untuk memonitor dan mencatat eksplorasi untuk menentukan apakah kegiatan tersebut sudah dilakukan sesuai dengan Rencana Proyek. HMG telah menekankan pentingnya aspek arkeologi proyek tersebut dan memastikan bahwa pemerintah mempekerjakan arkeolog untuk mengawasi penggalian. 228 HMG menyadari, bahwa satu – satunya cara untuk menyelamatkan artefak yang bernilai budaya demi kepentingan penduduknya adalah dengan bekerja sama dengan OME, yang memiliki teknologi, kemampuan keuangan, dan alasan untuk menemukan dan menggali HMS Sussex, sementara HMG tidak mampu secara fisik dan keuangan. Karena kenyataan bahwa HMS Sussex berada di perairan Sussex Agreement merupakan suatu perjanjian penting dan inovatif karena menciptakan sebuah contoh yang mengakui pentingnya pendidikan budaya, memberikan ruang pengawasan oleh pemerintah dan arkeolog, dan tetap mempertahankan rangsangan nilai komersil bagi perusahaan. Sussex Agreement menyatukan kepentingan seluruh kelompok, dengan menghindari biaya dan waktu yang lama dalam suatu pengadilan. 228 Sarah Dromgoole, Murky Waters for Government Policy: The Case of a 17th Century British Warship and 10 Tonnes of Gold Coins , 28 Marine Poly 189 2004, hal. 192 internasional, HMG tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan OME atau pun perusahaan sejenis lainnya untuk mencari kapal – kapal yang tenggelam. Sebaliknya, OME menyadari bahwa dengan mengikutsertkan dan bernegosiasi dengan HMG dari awal adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan memperoleh artefak dan menghasilkan keuntungan atas waktu dan usahanya. 229 Disamping melihat motif keuntungan sebagai sesuatu yang buruk, justru hal itu memenuhi kebutuhan ekonomi industri ekplorasi kapal karam komersil, mengetahui kesulitan dalam menemukan kapal karam, dan ketidakmampuan keuangan dan teknologi negara untuk melakukan upaya ini sendirian. Selain itu, keperluan partisispasi aktif komunitas arkeologi dapat ditampung dan memperluas pendidikan budaya bagi masyarakat. Perjanjian kerjasama jauh lebih unggul dibandingkan dengan law of salvage dan law of finds serta UCH Convention. Model perjanjian seperti ini memberikan hasil terbaik dengan menyatukan kepentingan dari setiap kelompok dengan cara yang lebih praktis. Melalui kerjasama dengan HMG, OME dapat menghindari proses litigasi yang panjang dan mahal untuk memperoleh hak atas penyelamatan di sistem pengadilan Amerika Serikat. Selain itu, Sussex Agreement memastikan bahwa pencarian artefak bersejarah dan memiliki nilai budaya tersebut sesuai dengan standar arkeologi, sehingga masyarakat umum dapat belajar dari mereka. Kesimpulannya, bentuk perjanjian seperti ini akan menyediakan sistem yang mendorong para perusahaan komersil untuk mencari dan memulihkan artefak untuk kepentingan seluruh umat manusia. 230 229 Jeremy Neil, op cit., hal. 918 230 Cathryn Henn, op. cit., hal. 196 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Harta karun sendiri telah dikodifikasi ke dalam pengaturan internasional, yakni terdapat dalam ketentuan UNCLOS, UCH Convention 2001, serta International Convention on Salvage 1989. Pengaturan hukum internasional mengenai harta karun menjadikan perlindungan dan pelestarian harta karun itu sendiri menjadi hal prioritas dalam daftar kewajiban masyarakat internasional khususnya terhadap bangkai kapal beserta muatannya yang berada di perairan internasional. Meskipun masih terdapat kekurangan dalam pengaturan harta karun dalam ketentuan konvensi – konvensi tersebut, hal ini tetap menunjukkan bahwa harta karun sendiri sudah menjadi isu internasional. 2. Wilayah penemuan harta karun yang berada di luar yurisdiksi negara manapun merupakan kesulitan tersendiri dalam menentukan kepemilikan. Sehingga diperlukan pengaturan yang dapat menyelesaikan masalah kepemilikan atas penemuan tersebut. Namun, pada kenyataannya terdapat keberagaman konsep kepemilikan harta karun yang ditemukan di perairan internasional, sementara klaim kepemilikan terus meningkat. Keberagaman konsep itu terjadi dalam lingkup hukum nasional maupun konvensi - konvensi internasional. Konsep – konsep tersebut sebenarnya dalam hukum internasional sama – sama merupakan sumber hukum internasional berdasarkan statuta Mahkamah Internasional. Namun pada akhirnya, keberagaman ini menciptakan suatu keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat internasional, karena tidak adanya kepastian hukum apa yang harus diterapkan dalam hal penentuan kepemilikan secara seragam. 3. Peningkatan klaim kepemilikan terhadap penemuan bangkai kapal di perairan internasional, khususnya pada jalur litigasi, merupakan akibat dari ketidakpastian penerapan hukum apa yang harus diterapkan dalam dalam menentukan kepemilikan harta karun tersebut. Klaim kepemilikan melalui proses litigasi ini pada akhirnya akan sangat merugikan berbagai pihak, tidak hanya dalam masalah biaya yang mahal, namun juga upaya penyelamatan menjadi tertunda. Sehingga muncullah suatu gagasan untuk dapat menghidari kerugian yang lebih banyak nantinya, yaitu dengan cara melakukan perjanjian kerjasama antara penemu bangkai kapal dengan pemiliknegara asal bangkai kapal berserta muatannya tersebut untuk mewakili seluruh kepentingan dan menyelesaikan banyak kekurangan – kekurangan pada kerangka hukum saat ini. Bentuk perjanjian seperti itu pada akhirnya akan menyatukan berbagai kepentingan, misalnya antara perusahaan eksplorasi kapal karam komersil, komunitas arkeologi, pemerintah, dan pengelolaan warisan budaya dengan cara yang lebih praktis. B. SARAN 1. Bagi hukum internasional positif, sebaiknya perlu diadakan penambahan konsep kepemilikan yang jelas, diantaranya pengaturan yang lebih rinci mengenai kepemilikan privat dan kepemilikan publik terhadap kapal – kapal yang karam di dasar laut lepas internasional, sehingga para penegak hukum dapat memutus berdasarkan peraturan yang seragam di setiap negara tanpa adanya penafsiran yang berbeda – beda. Selain itu perlu adanya pembaharuan masalah larangan eksploitasi komersil atas warisan budaya bawah air, karena baik kepentingan komersil maupun arkeologihistoris bangkai kapal beserta muatannya masih dapat dilaksanakan secara bersamaan tanpa merugikan salah satu pihak. 2. Sudah saatnya bagi perusahaan eksplorasi kapal karam yang melakukan operasi penyelamatan harta karun untuk mencegah timbulnya sengketa atas penemuannya dengan cara mengadakan perjanjian kerjasama dengan pihak lain yang sudah teridentifikasi memiliki hubungan dengan objek temuan tersebut. Begitu juga sebaliknya agar negara melakukan upaya pendekatan serupa kepada perusahaan komersil untuk bersama – sama mengadakan perjanjian kerjasama. Dengan cara inilah maka seluruh pihak terkait akan terhindar dari proses litigasi yang rumit serta mengatasi kekurangan kerangka hukum yang berlaku saat ini. 3. Perlu adanya kewenanganyurisdiksi yang jelas dalam memutus sengketa yang berkaitan dengan penemuan harta karun di perairan internasional. Seperti yang diketahui bahwa pengadilan nasional setiap negara memiliki derajat yang sama, sehingga belum tentu putusan pengadilan suatu negara dapat diterima diterima di negara lain. Untuk itu perlu adanya kehadiran suatu lembagabadan khusus yang bertugas untuk menyelesaikan klaim kepemilikan terhadap harta karun yang ditemukan di perairan internasional. Baik dengan membuat komisi baru di lembaga yang sudah ada, misalnya ISA International Seabed Authority yang akan bertugas menangani klaim – klaim kepentingan dalam penemuan harta karun, atau dengan membentuk badanlembaga baru yang independen. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Brice, Geoffrey, Maritime Law of Salvage, 3rd ed., London: Sweet and Maxwell, 1999 Gibbins, David dan Jonathan Adams, Shipwrecks and Maritime Archaeology, United Kingdom: Taylor Francis, Ltd., 2001 Gold, Edgar, et al, Maritime Law Essential of Canadian Law, Toronto, Canada: Irwin Law, 2003 Honoré, A.M., Ownership, in: Oxford Essays in Jurisprudence: A Collaborative Work , Anthony Gordon Guest, eds., New York: Oxford University Press, 1961 Koh, Tommy T.B., A Constitution for the Oceans, in: Connvention on the Law of the Sea 1982: A Commentary , Myron H. Nordquist, eds., Leiden, Netherlands:Martinus Nijhoff, 1985 L., Gernhardt M., Biomedical and Operational Considerations for Surface- Supplied Mixed-Gas Diving to 300 FSW, in: O’Keefe, Patrick J., Shipwrecked Heritage: A Commentary on the UNESCO Convention on Underwater Cultural Heritage , United Kingdom: Institute of Art and Law, 2002 Proceedings of Advanced Scientific Diving Workshop, Lang M.A and Smith N.E eds., Washington, DC: Smithsonian Institution, 2006 Oppeinheim, et al., Oppenheims International Law, 9th ed., United Kingdom: Longmans, 1996 Roberts, Professor Callum, The Unnatural History of the Sea 2nd ed.,Washington D.C: Island Press 2009 Schoenbaum, Thomas J., Admiralty and Maritime Law 4th ed., United States: Thomson West, 2004 Shaw, Malcolm N., International Law, 6th ed., United Kingdom: Cambridge University Press, 2008 Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986 Sohn, Louis B. dan John E. Noyes, Cases and Materials on The Law of the Sea 2nd ed ., Leiden, Netherlands: Transnational Publishers Inc., 2004 Strati, Anastasia, The Protection of the Underwater Cultural Heritage: An Emerging Objective of the Contemporary Law of the Sea, 1st ed., New York: Springer, 1995 Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2003 Vigni, Patrizia, Historic Shipwrecks and the Limits of the Flag-State Exclusive Rights Cultural Heritage, Cultural Rights, Cultural Diversity New Developments in International Law 2012, in: Cultural Heritage, Cultural Rights, Cultural Diversity. New Developments in International Law , Borelli S. and Lenzerini F. eds ., Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2012,

2. Jurnal