Ketidakjelasan dari pasal 149 juga bersumber dari hak istimewa atas objek – objek historis dan arkeologis yang diberikan kepada negara tertentu. Batasan hak
istimewa tersebut tidak diuraikan dengan jelas dan tidak ada aturan ketika lebih dari satu negara yang memiliki hak istimewa tersebut.
Sementara pasal 303 UNCLOS lebih mengatur secara umum mengenai objek – objek arkeologis maupun historis yang ditemukan di laut. Pasal ini
menyatakan “States have the duty to protect objects of an archaeological and historical nature found at sea and shall cooperate for this purpose
”, yang artinya “negara – negara memiliki kewajiban untuk melindungi objek – objek arkeologis
dan historis yang ditemukan di laut”.
44
2. Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah
Air 2001 UNESCO Convention on the Protection of the Underwater
Cultural HeritageUCH Convention
Pada dasarnya, UNCLOS 1982 ini sendiri mengatur masalah perlindungan warisan budaya bawah air dalam komunitas internasional secara umum, sehingga
dibutuhkan instrumen hukum internasional yang baru untuk secara khusus merumuskan perlindungan secara spesifik terhadap bangkai kapal beserta
muatannya.
Tanggal 02 November 2001, ditandai sebagai peristiwa yang sangat penting bagi seluruh komunitas yang peduli terhadap perlindungan budaya dan arkeologi
bawah air, dimana konferensi umum UNESCO mengesahkan Convention on the Protection of Underwater Cultural Heritage
dengan proses yang sulit dan kompleks. Negosiasi resmi yang berlangsung dalam UNESCO sendiri yaitu
44
Ibid., pasal 303
selama 4 tahun akhirnya selesai. Sebagai badan khusus bagian budaya dalam sistem PBB, UNESCO
merundingkan kerangka khusus tentang dimensi budaya dari warisan budaya bawah air dalam bentuk yang berbeda dari kerangka umum dalam UNCLOS.
Dalam struktur hukum laut yang sangat luas dan bersesuaian dengan keseimbangan kepentingan yang terdapat dalam UNCLOS, konvensi ini muncul
sebagai instrumen umum baru, yaitu sebagai lex specialis dari warisan budaya bawah air dan perlindungannya, dimana UNCLOS sebagai lex generalis dari
seluruh hukum laut. Tujuan awal UNESCO dalam perlindungan warisan budaya bawah air lebih
bersifat ke substansi dan lebih ekstensif dari hukum internasional sebelumnya. Peningkatan jumlah kegiatan pengrusakan dan penjarahan warisan budaya bawah
air menyiratkan kelemahan dari UNCLOS sendiri sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan menciptakan suatu rezim hukum baru yaitu UCH
Convention. Pencapaian terbesar konvensi UNESCO ini adalah bahwa konvensi ini
merupakan instrumen universal pertama dengan standar perlindungan terhadap warisan budaya bawah air yang ditawarkan kepada komunitas internasional.
Namun, konvensi ini memiliki sejumlah perbedaan dengan doktrin hukum intenasional lainnya dimana keefektifannya masih dipertanyakan.
45
Satu hal yang menarik dari UCH Convention ini adalah larangan eksploitasi komersial terhadap warisan budaya bawah air. Salah satu tujuan dan prinisp
umum konvensi ini adalah “Underwater cultural heritage shall not be
45
David J. Bederman, op. cit., hal. 140
commercially exploited ” yang artinya “bahwa warisan budaya bawah air tidak
boleh dieksploitasi secara komersial.”
46
Selanjutnya, pada bagian tambahan konvensi menggambarkan aturan yang harus diikuti, menyatakan bahwa
eksploitasi komersial warisan budaya bawah air untuk diperdagangkan adalah tidak sesuai dengan perlindungan dan pengelolaan warisan budaya bawah air.
Warisan budaya bawah air seharusnya tidak boleh diperdagangkan, dijual, dibeli atau ditukar dengan barang-barang komersil.
47
Dalam kompromi, konvensi ini memungkinkan penyimpanan warisan budaya bawah air yang dipulihkan selama proses penelitian.
48
Konvensi ini mengharuskan negara pihak bekerja sama dalam perlindungan warisan budaya bawah air,
Namun, penyimpanan ini tidak mencakup penjualan setiap barang yang termasuk warisan
budaya bawah air. Oleh sebab itu, akibat larangan eksploitasi komersial ini merupakan upaya untuk menghilangkan motif komersil pada perusahaan -
perusahaan komersil dalam upaya penyelamatan bangkai kapal. Sehingga, jika konvensi ini menjadi hukum kebiasaan internasional, konsekuensi dari larangan
eksploitasi komersial akan menjadi upaya pemusnahan industri penyelamatan bangkai kapal.
49
46
UCH Convention, op. cit., pasal 27
47
Ibid., Annex r. 2
48
Ibid., Annex, r. 2b
49
UCH Convention, op. cit., pasal 22
melestarikan warisan budaya bawah air untuk kepentingan kemanusiaan, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk
melindungi warisan budaya bawah air berdasarkan konvensi dan hukum internasional.
Namun, tanpa industri penyelamatan yang kompetitif, lebih sedikit dana yang akan diberikan ke dalam penelitian dan pengembangan teknologi baru
sehingga membutuhkan jumlah waktu yang lama untuk menemukan bangkai kapal, jika mereka ingin menemukannya. Selain itu, dengan menghilangkan
insentif keuntungan bagi perusahaan eksplorasi kapal karam komersil maka akan membatasi jumlah bangkai kapal yang dapat ditemukan, banyak bangkai kapal
dalam bahaya kerusakan dan kehancuran yang tidak akan menerima perlindungan sama sekali.
Para perancang konvensi tampaknya berasumsi bahwa karena tidak semua bangkai kapal dianggap berada dalam bahaya laut marine peril, semua bangkai
kapal benar-benar aman dalam kondisi mereka saat ini. Nyatanya, prinsip ini tidak dapat didukung. Gangguan manusia dalam bentuk pembuangan limbah dan
kegiatan mencari ikan di lokasi yang memiliki lalu lintas tinggi seperti Selat Inggris menempatkan bangkai kapal dalam bahaya serius.
50
Para pendukung konvensi kemungkinan akan menunjukkan bahwa konvensi ini membuka kemungkinan bagi upaya penyelamatan bangkai kapal jika mereka
benar-benar dalam bahaya. Pasal 12 konvensi ini mengizinkan semua Negara Pihak untuk melakukan upaya praktis untuk mencegah bahaya terhadap warisan
budaya bawah air, baik yang timbul dari aktivitas manusia maupun penyebab lainnya.
Sama halnya, dasar laut merupakan sasaran dari banyak bencana alam yang terjadi , seperti gunung
berapi dan gempa bumi bawah laut.
51
50
Sean A. Kingsley, loc. cit
51
UCH Convention, op. cit., pasal 123
Terdapat dua asumsi terhadap pasal ini. Pertama, kerumitan dalam konvensi membutuhkan konsultasi dan kesepakatan antara beberapa pemerintah
negara.
52
3. International Convention on Salvage 1989