commit to user 111
“Selain tatap muka? paling ya HP. Kalau dengan teman di Jepang tentunya pakai e-mail atau facebook.”
192
4. Hambatan
Gangguan komunikasi seringkali terjadi, baik gangguan bersifat teknis maupun semantik. Adanya gangguan komunikasi ini dapat
menyebabkan penurunan efektivitas proses komunikasi.
193
Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat
laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, atau paling fatal adalah mengurangi makna pesan antarbudaya.
194
Berdasarkan hasil penelitian, semua responden sepakat bahwa hambatan utama dalam komunikasi yang mereka lakukan adalah bahasa,
baik yang baru datang atau pun yang sudah tinggal dalam waktu yang lama. Meskipun beberapa orang telah lancar berbahasa Indonesia, namun dalam
pemahaman arti masih sering ditemukan kesulitan, baik sebagai penerima pesan maupun pemberi pesan. Hal tersebut dikarenakan perbedan persepsi
terhadap pesan yang dipertukarkan serta struktur bahasa Jepang dan bahasa Indonesia yang sangat berbeda.
“Pronunciation. Sekarang juga “l” dan “r” masih susah. Kata- katanya masih sedikit. Ya, masalah dengan bahasa.”
195
192
Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru Serizawa: Rabu, 24 November
2010, jam 15.00‐16.00
193
Suranto Aw. Op.Cit. Hlm. 7
194
Alo Liliweri. 2007. Op. Cit. Hlm. 30
195
Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010,
jam 11.00‐12.00
commit to user 112
“Bahasa ya. Tapi karena di sini dan karyawan saya tidak bisa bahasa Jepang, ya apa boleh buat.”
196
“Oh, masih tetep anu, kemampuan bahasa Indonesia. Lumayan bisa berkomunikasi sekarang. Tapi saat sungguh-sungguh mau
menyampaikan logika atau yang pendapat atau yang perasaan yang sesungguhnya itu kan sulit juga. Kalau penggunaan bahasanya benar, tapi
kan tetep pikirannya berbeda, apalagi yang bahasa asing. Semakin lama semakin merasa sulit. Kalau pada awalnya, ga begitu merasa sulit dengan
bahasa Indonesia. Pada awalnya ya, kok agak gampang belajar bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris, tapi semakin lama semakin merasa sulit.
Mungkin ya, itu mungkin karena sudah muncul keinginan saya ingin menyampaikan pendapatnya atau pikiran saya yang sebenarnya.”
197
Bahasa mempengaruhi komunikasi antarbudaya dengan dua cara yaitu masalah penerjemahan antara bahasa-bahasa dan bahasa sebagai
nasionalisme. Selayaknya komunikasi nonverbal, kata-kata sebagai simbol menjadi penghalang ketika arti sepenuhnya tidak dibagi. Bahkan pembicara
dari bahasa yang sama tidak membagi arti yang sama untuk setiap kata. Masalahnya tercampur ketika kita mengusahakan penerjemahan antar
bahasa. Cara yang kedua bahasa menjadi penghalang adalah saat penggunaan bahasa tertentu yang dipaksakan kepada masyarakat dengan
kekuasaan.
198
Bahkan ketika kebudayaan-kebudayaan berbicara dengan bahasa yang sama seperti Australia dan Amerika Serikat, bisa ada perbedan
kosakata. Saat kebudayaan-kebudayaan berbicara bahasa yang berbeda,
196
Wawancara dengan Akira Kawakami, responden Food Court SGM: Minggu 21 November 2010, jam
15.00‐16.00
197
Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30
‐16.30
198
Fred E. Jandt. Op. Cit. hlm. 142.
commit to user 113
terjemahan adalah hal yang kritis, tapi selalu tidak sempurna. Sechrest, Fay, dan Zaidi 1972 telah mengidentifikasi lima masalah terjemahan yang bisa
menjadi penghalang bagi komunikasi antarbudaya.
199
a Vocabulary Equivalent Hambatan pertama adalah kurangnya keseimbangan kosakata.
Contohnya, bayangkan harus menerjemahkan semua pink, burgundy, orange-red, dan lain-lain ke dalam satu kata “merah”. Sebuah
pembatasan akan membuat frustasi jika kita terbiasa menggunakan kata- kata deskriptif yang lebih banyak. Bahasa yang sangat berbeda sering
kekurangan kata-kata yang bisa diterjemahkan secara langsung. Misalnya: seorang businessman Amerika Serikat mungkin menulis sebuah surat
untuk diterjemahkan dalam Bahasa Jepang dengan kalimat “We wonder if you would prepare an agenda for our meeting.” Kata “wonder” dan
konstruksi dari kalimat tersebut dimaksudkan sebagai cara yang sopan untuk memberitahukan kepada pihak Jepang untuk menyiapkan agenda.
Kata “wonder” dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan kata “gimon”, yang pada umumnya berarti “doubt”. Kalimat yang telah
diterjemahkan menjadi “We doubt that you would prepare an agenda for our meeting” Axtell, 1994.
200
199
Ibid. hlm. 143
200
Ibid. hlm. 144
commit to user 114
Hal tersebut juga dialami oleh warga Jepang yang tinggal di Solo. Ketika mereka harus mengungkapkan sesuatu namun menjadi sulit
karena belum mengetahui kata apa yang cocok untuk mengungkapkan maksud mereka.
“Misalnya kalau luka, di sini ada kata “parah” kan. Jadi, dulu belum tahu kata itu. Jadi kalau lukanya parah, saya bilangnya “lukanya
besaaaar dan sakiiiiiiit sekali”.”
201
b Idiomatic Equivalent Lee dalam Fred E. Jandt mengatakan bahwa mempelajari idiom
bahasa bisa menjadi cara yang efektif dalam mempelajari kebudayaan. Misalnya di Jepang terdapat idiom “Paku yang menonjol harus dipukul”,
di Indonesia idiom tersebut mungkin tidak ada yang memahami makna dibaliknya. Begitu juga dengan idiom Indonesia bagi warga Jepang.
Misalnya, “Air susu dibalas air tuba”, mungkin orang Jepang tidak mampu memahami makna yang terkandung dalam idiom tersebut.
c Grammatical-syntactical Equivalent Simpelnya berarti bahwa bahasa-bahasa tidak perlu memiliki
tatabahasa yang sama. Seringnya, kita perlu memahami tatabahasanya untuk mengerti arti dari kata-katanya.
202
Bahasa Indonesia dan bahasa Jepang memiliki tatabahasa yang berbeda. Jika bahasa Indonesia berpola SPO Subyek, Predikat, Obyek,
201
Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010,
jam 11.00‐12.00
202
Fred E. Jandt . Op.Cit hlm. 145
commit to user 115
bahasa Jepang berpola SOP Subyek, Obyek, Predikat. Dalam bahasa Jepang, kata kerja selalu ditempatkan di akhir kalimat. Misalnya: kalimat
“Saya makan nasi” jika dalam bahasa Jepang menjadi “Watashisaya ha gohannasi wo tabemasu makan”. Seperti juga yang dicontohkan oleh
salah seorang responden. “Itu bahasa Indonesia juga begitu, tapi kalau Bahasa Jepang
itu kan beda. Kalau misalnya ya, mau pinjam pulpen. “Mana pulpennya?” kalau itu dibahasa Jepangkan “Borupen wa doko?” kasar
banget. Borupen wa, borupen wa doko janai, “Borupen o kashite kudasai” yo, yo? Kalau begitu, mau pinjem pulpennya, kalau sini kan oya
tadi “mana pulpennya?”. Tapi kan itu kan namanya, pokoknya jangan ditransfer langsung, ya kan. Itu kan kata-kata sebetulnya bahasa
Indonesia, tapi beda.”
203
d Experiential Equivalent Jika sebuah objek atau pengalaman tidak ada pada kebudayaan
kita, sulit untuk menerjemahkan kata yang merujuk pada objek atau pengalaman tersebut ke dalam bahasa saat tidak ada kata-kata untuk
itu.
204
e Conceptual Equivalent Penghalang kelima adalah conceptual equivalent yang merujuk
pada ide-ide abstrak yang mungkin tidak ada dalam gaya yang sama dalam bahasa yang berbeda. Misalnya orang-orang AS memiliki
pemahaman yang unik terhadap kata “freedom”. Arti itu tidak dibagi
203
Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010,
jam 15.00‐16.00
204
Fred E. Jandt. Op.Cit. hlm. 145
commit to user 116
secara universal. Pembicara-pembicara dari bahasa lain mungkin mengatakan bahwa mereka bebas dan benar dalam budaya mereka, tapi
“freedom” yang mereka maksud tidak setara dengan “freedom” yang kita alami di AS.
205
Sebaliknya, masyarakat pribumi yang sering berkomunikasi dengan mereka, mengaku tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka
mengakui bahwa warga Jepang yang hendak tinggal di Solo untuk jangka waktu tertentu telah memiliki bekal Bahasa Indonesia sebelumnya.
Walaupun bahasa yang dimiliki belum sempurna, namun sudah bisa menjadi modal untuk berkomunikasi dengan penduduk pribumi. Seperti yang diakui
oleh dosen karawitan maupun tari yang sering mengajar orang Jepang. “Kesulitan, kalau mereka yang belum apa, persiapan, itu memang
sulit. Tapi kebanyakan yang datang ke sini dia udah siap, dari segi bahasanya dia udah siap. Terus dari apa yang akan dia pelajari itu juga
sudah siap…. Bahasa tidak jadi kendala. Memang ada satu dua yang datang ke sini yang bahasanya pas-pasan, tapi selama ini dia yang datang
ada usaha sekali.”
206
“Kalau sulit saya kira, karena begini kalau orang Jepang ke sini, itu pasti dia sudah mempunyai bekal bahasa yang banyak ya. Jadi tidak
terlalu sulit untuk ngomong. Kadang-kadang dia malah sudah tahu bahasa Jawa.”
207
Sedangkan bagi warga pribumi yang bisa berbahasa Jepang, mengkaku tidak menemukan kesulitan yang berarti ketika berkomunikasi.
205
Ibid. hlm. 145.
206
Wawancara dengan Hadi Boediono, Responden Gedung Karawitan ISI Surakarta: Rabu, 19 Januari 2011,
jam 09.15‐09.45
207
Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010,
jam 10.15‐10.30
commit to user 117
Kesulitan yang mereka rasakan lebih kepada pemahaman terhadap maksud yang sebenarnya dari orang Jepang. Karena orang Jepang terkenal pandai
untuk menyembunyikan perasaan atau keinginan yang sebenarnya. Selain itu, menurut mereka kesulitan itu ada pada nuansa. Seperti yang diakui oleh
beberapa responden pribumi. “Kalau secara bahasa selama ini, tidak ada kesulitan yang
berarti…Pada awalnya mungkin kita kalau belum betul-betul mengenal orang-orang Jepang berkomunikasi itu sulit untuk menggali sebenarnya apa
maunya mereka, apa sesungguhnya kesenangan mereka, apa sesungguhnya isi hati mereka, gitu. Karena orang Jepang itu, suka atau tidak suka mereka
tidak mengatakan terus terang. Mereka sangat pintar menyembunyikan perasaan.”
208
“Ga ada, kalau kita sudah biasa ya. Kita kan rata-rata sudah pernah tinggal di Jepang minimal tiga tahun. Jadi, untuk hubungan
kerjasama atau hubungan dalam hal informal pun kita sudah biasa. Insyaallah kita ga ada kendala, kalau kita mendengarkan berita dalam
bahasa Jepang pun paling ga 80 kita bisa ngerti.”
209
“Masalah kedua pada nuansanya. Jadi nuansa bahasa. Nuansa berbahasa itu berbeda-beda, jadi misalkan kita ngomong “ya” begitu
terjemahan “ya” itu mempunyai arti yang bermacam-macam. Kalau kita tidak mengenal kultur mereka, bahkan kita ngomong “ya”-nya itu “ya”
yang seperti apa. Kita ngomong “ya, ya, saya siap” gitu, itu bagi mereka mengejek. “hai, hai” itu ga boleh. Sekali ngomong “hai” sekali thok. “hai”,
itu artinya iya, paham. Tapi kalau “hai, hai” “iya, iya” jadi kesannya sudah berbeda rasanya, gitu.”
210
208
Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden Kantor Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00
‐11.15
209
Wawancara dengan Sutiman, Responden LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30
210
Wawancara dengan Mulyono, Responden Fujiyama Gakkou, 19 Januari 2011, jam 16.30‐16.45
commit to user 118
5. Komunikan