commit to user 131
“Iya. Kalau saya ada masalah, teman saya bisa bantu.”
241
“Ya. Kalau saya ada kesulitan, saya tanya ke suami saya.”
242
“Ya, kebanyaakan didapat dari komunikasi. Dari cerita-cerita dengan teman karawitan, keluarga, anak.”
243
Meski begitu, inspirasi tidaklah selalu datang dari rekan bicara.
Setidaknya, hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden.
“Iya, itu juga. Tapi inspirasi atau jalan keluar itu tidak harus saya dapatkan dari komunikasi saja. Ya, saya kalau ada masalah,
mendapat jalan keluar itu bukan dari teman curhat saya. Kadang-kadang dari tukang becak, supir taksi, atau kondektur bis. Tapi itu bukan berarti
saya cerita dengan mereka. Misalnya, mereka lagi ngomong apa apa apa, saya dengar, dan ternyata hal yang mereka bicarakan itu memberi saya
inspirasi. “Ooo, iya ya”. Dulu saya pernah, omongan supir bus itu mengena di hati saya, saat saya ada masalah. Inspirasi atau ilham itu kan
bisa datang dari mana-mana. Dari orang, kucing juga bisa.”
244
2. Fungsi Sosial
Selain memiliki fungsi pribadi, komunikasi antarbudaya juga mempunyai fungsi sosial bagi pelaku komunikasi tersebut. Fungsi sosial
tersebut terbagi menjadi beberapa fungsi yaitu: a. Pengawasan
241
Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden Kantin Sastra: Senin, 22 November 2010, jam 13.00
‐14.00
242
Wawancara dengan Naoko Ujiie, Responden Tempat tinggal Naoko Ujiie: rabu, 15 desember 2010,
jam 16.00‐16.30
243
Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November
2010, jam 17.00‐18.00
244
Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00
‐16.00
commit to user 132
Fungsi sosial yang pertamana adalah pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang
berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan
“perkembangan” tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan
peristiwa yang terjadi di sekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda. Akibatnya adalah kita
turut mawas diri seadainya peristiwa itu terjadi pula dalam lingkungan kita.
245
Semua warga Jepang yang tinggal di Surakarta mengaku ikut waspada jika membaca ataupun mendengar berita, misalnya tentang
perampokan. Namun, mereka menganggap hal tersebut terjadi di mana- mana. Mereka menjadi waspada, namun tidak berlebihan karena yakin
bahwa peristiwa semacam itu dapat menimpa semua orang dan tergantung dengan nasib.
“Hmm, kalau itu nasib ya. Jadi ga begitu takut.”
246
“Itu kan aku mikirnya, kalau di Jepang itu kan sama ya. Anoo..saya kira itu cuma nasib. Gimana ya, orang tidur di rumah saja bisa
mati lho, truknya masuk. Iya kan? Tidur-tidur enak, truknya masuk, mati
245
Alo Liliweri. Op. Cit. 40
246
Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00
‐16.00
commit to user 133
juga ada kan? Ya, namanya hidup itu kan ya waspada, hati-hati itu penting.”
247
b. Menjembatani Dalam proses komunikasi antarpribadi, termasuk komunikasi
antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara
mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir
atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.
248
Fungsi tersebut juga dirasakan oleh semua warga Jepang yang tinggal di Surakarta. Mereka mengamini bahwa dari kegiatan komunikasi
yang mereka lakukan, mereka menjadi terhubung dengan lingkungan sekitar meskipun memiliki perbedaan budaya.
c. Sosialisasi Nilai Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan
memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.
249
247
Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010,
jam 15.00‐16.00
248
Alo Liliweri. 2007. Loc. Cit.
249
Ibid. hlm. 41
commit to user 134
Selain dari hasil belajar sendiri dengan cara mengamati lingkungan, imigran Jepang yang tinggal di Surakarta mempelajari nilai-nilai sosial
yang berlaku di lingkungan mereka tinggal dengan berkomunikasi.
“orang sini sangat baik ya. Mungkin karena orang sini tahu kalau saya orang asing. Jadi, kalau kami ada salah, langsung dikasih
tahu.”
250
“Hmm, tentu saja ya, saya tanya-tanya kepada dosen tempat saya tinggal. Dan saya juga mengamati sendiri. Saya mendapat pengetahuan
tentang nilai yang ada dari dosen saya.”
251
“Ya, itu bisa. Tapi saya juga mengamati sendiri.”
252
“Ya semuanya, komunikasi dan belajar sendiri. Tentang sikap.”
253
“Mungkin kalau saya sendiri, ga bisa belajar apa-apa, semuanya ya oleh karena ada lawan bicara. Kalau saya sendiri mungkin ga begitu
sadar atau ga begitu sampai kesadaran, tapi kalau ada lawan bicara antara komunikasi, mungkin saya bisa menangkap perbedaan ada yang
persamaan. Kalau begitu ada perbedaan, harus belajar dari ini, apa yang berbeda apa yang dalam cara komunikasinya. Kalau saya ada di sini,
kadang-kadang harus mengetahui yang perbedaan itu.”
254
d. Menghibur
250
Wawancara dengan Mami Yamamura, Responden Kos Mami: Jumat, 19 November 2010, jam 20.00
‐21.00
251
Wawancara dengan Mika Masui, Responden Kantin sastra: Rabu, 17 November 2010, jam 12.00‐ 12.45
252
Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00
‐16.00
253
Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, Responden YMI: 30 November 2010, jam 17.00‐18.00
254
Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30
‐16.30
commit to user 135
Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya.
255
Dari kegiatan yang mereka lakukan, para imigran tersebut mendapatkan sebuah hiburan.
“Iya, iya, iya. Bisa menikmati, bisa mendapat informasi. Ya, kalau bicara-bicara dengan orang-orang seni.”
256
“Ya, dari kegiatan kesenian itu saya mendapatkan hiburan.”
257
“Kalau tidak komunikasi, sepi ya.”
258
“Ya tetep ada. Ya memang terutama kan pekerjaanku, itu pekerjaan ya juga hiburan.”
259
D. Peran Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di
Surakarta
Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling mendasar. Manusia belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi
tehadap rangsangan dari lingkungan. Begitu juga bagi akulturasi. Proses akulturasi seseorang di lingkungan baru tidak bisa lepas kegiatan komunikasi. Proses
komunikasi dalam hal ini komunikasi antarbudaya menjadi dasar bagi proses akulturasi seorang imigran.
260
255
Alo Liliweri. 2007. Loc. Cit.
256
Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010,
jam 11.00‐12.00
257
Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00
‐16.00
258
Wawancara dengan Miki Orita, Responden D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐ 18.00
259
Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010,
jam 15.00‐16.00
260
Dedy Mulyana, dkk. 2003. Op. Cit. hlm. 139
commit to user 136
Dalam proses akulturasi warga Jepang di Surakarta, komunikasi antarbudaya yang terjadi memiliki peran yang sangat besar. Peran komunikasi antarbudaya dalam
memperlancar proses akulturasi tersebut antara lain: 1. Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
lingkungan fisik dan sosial seorang imigran.
261
Dari pengalaman berkomunikasi dengan penduduk sekitar, mereka mendapatkan pengetahuan mengenai lingkungan sekitar sehingga hal itu
menjadi bekal bagi mereka untuk menafsirkan hal-hal yang terjadi di lingkungan mereka. Pemahaman terhadap lingkungan dan sosio-budaya
sangat membantu mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga akulturasi semakin lancar.
2. Melalui komunikasi antarbudaya, imigran Jepang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan
keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi mereka.
262
Dari penjelasan mengenai fungsi komunikasi bagi warga Jepang di Surakarta telah dijabarkan bahwa mereka mendapatkan pengakuan oleh masyarakat
pribumi serta mengenalkan identitas diri mereka. Dengan pengenalan serta penerimaan warga pribumi terhadap imigran tersebut maka terbentuknya
261
Ibid. hlm. 137
262
Ibid.
commit to user 137
budaya C yang menjadi tujuan interaksi antarbudaya akan semakin mudah tercapai, dengan kata lain, akulturasi pun semakin lancar.
3. Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran Jepang juga memperoleh pola- pola budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Seorang imigran
akan mengatur dirinya untuk megetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain melalui komunikasi.
263
Dengan mempelajari pola-pola dan aturan-aturan komunikasi pribumi dan dengan berpikiran terbuka, imigran
menjadi toleran akan perbedaan-perbedan dan ketidakpastian situasi-situasi antarbudaya yang dihadapi.
264
Mereka menjadi semakin siap dan percaya diri dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar sehingga semakin mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berakulturasi. 4. Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi
tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi. Dalam menyiarkan pesan-pesan yang merefleksikan aspirasi-aspirasi, mitos-mitos,
kerja dan bermain, dan isu-isu spesifik serta peristiwa-pwristiwa dalam masyarakat pribumi, media secara eksplisit membawa nilai-nilai masyarakat
societal values, norma-norma perilaku, dan perspektif-perspektif tradisional untuk menafsirkan lingkungan.
265
Para imigran Jepang tersebut akan semakin tahu mengenai lingkungan tempat mereka tinggal dari pemberitaan-pemberitaan melalui koran, televisi,
263
Ibid.
264
Ibid. hlm. 147
265
Ibid. hlm. 139
commit to user 138
radio maupun media online. Mereka akan semakin paham bagaimana caranya bersikap dan beradaptasi di lingkungan baru dengan bekal
pengetahuan tersebut. Keempat peran tersebut sangat membantu imigran Jepang untuk membaur
dengan masyarakat sekitarnya. Mereka mampu menerima perbedaan makanan dan cenderung menyukainya misalnya gado-gado. Mereka juga mengikuti cara hidup
orang Jawa misalnya ada yang ikut jam karet, memakai kemeja saat kuliah, memakai pakaian batik ketika kuliah, bisa memakai kamar mandi yang berbeda dengan yang
biasa mereka gunakan ketika masih di Jepang, kebiasaan mandi dua kali sehari yang berbeda ketika masih di Jepang. Selain itu, mereka juga suka menyapa orang
meskipun belum mengenalnya serta basa-basi dengan teman atau tetangganya. Lalu, imigran Jepang yang menikah dengan pribumi pun mengikuti nilai-nilai yang berlaku
di lingkungan mereka misalnya dengan menghadiri pesta pernikahan tetangganya meskipun bukan teman mereka, ikut kegiatan seperti dharmawanita dan PKK.
Bila kita memandang akulturasi sebagai proses mengembangkan kecakapan berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, perlu ditekankan bahwa
kecakapan berkomunikasi sedemikian diperoleh melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi. Jika seseorang ingin mempertinggi akulturasinya dan secara sadar
berusaha mempermudah proses akulturasinya, maka ia harus menyadari pentingnya komunikasi sebagai mekanisme penting untuk mencapai tujuan tersebut. Dan,
komunikasi antarbudaya tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
commit to user 139
E. Faktor Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta
1. Aspek-aspek yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya