Persepsi Aspek-aspek yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya

commit to user 139

E. Faktor Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta

1. Aspek-aspek yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya

Terdapat beberapa aspek kultur yang mempunyai pengaruh besar terhadap komunikasi antarbudaya. Aspek-aspek tersebut adalah persepsi, proses verbal, proses nonverbal, dan aspek konteks. 266

a. Persepsi

Salah satu aspek komunikasi antarbudaya adalah persepsi, dimana dalam aspek ini sebagai seorang individu, partisipan memilih, mengevaluasi, dan mengorganisir rangsangan dari luar. Persepsi kultural berdasar pada kepercayaan, nilai-nilai, dan sistem tingkah laku. 267 Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Seorang penulis Jerman mengatakan bahwa tidak ada kenyataan, selain yang ada dalam diri seseorang. Samovar dkk menambahi 266 Samovar, et.al. 1998. Op. Cit. hlm. 51 267 Ibid. commit to user 140 bahwa kenyataan itu ada pada diri seseorang, sebagian oleh budaya orang tersebut. 268 Gamble dan Gamble mengungkapkan bahwa persepsi merupakan proses seleksi, pengaturan, dan penginterpretasian data sensor dengan cara yang memungkinkan seseorang mengerti dunia. Dengan kata lain, persepsi merupakan proses di mana orang-orang mengubah kejadian dan pengalaman eksternal menjadi pemahaman internal yang berarti. 269 Persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Chiu dan Hong bahwa setiap proses kognitif dasar, seperti perhatian dan persepsi merupakan hal yang lunak dan dapat diperoleh melalui pengalaman budaya. 270 Samovar dkk menyimpulkan bahwa ada dua cara bagaimana budaya mempengaruhi proses persepsi. Pertama, persepsi itu selektif. Hal itu berarti bahwa terlalu banyak stimulus yang bersaing untuk merebut perhatian seseorang pada waktu yang sama. Seseorang hanya mengizinkan informasi yang diseleksi melalui layar persepsi ke dalam pikiran sadar orang tersebut. Apa yang diijinkan masuk, sebagian ditentukan oleh budaya. 271 Kedua, pola persepsi seseorang dipelajari. Setiap orang lahir ke dunia tanpa suatu pemahaman. Budaya mengartikan sebagian besar pengalaman 268 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 221 269 Ibid. hlm. 222 270 Ibid. hlm. 223 271 Ibid. hlm. 224 commit to user 141 seseorang. Dengan kata lain, persepsi adalah suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Seseorang belajar untuk melihat dunia dengan suatu cara tertentu yang didasarkan pada latar belakang budaya masing-masing. Sama seperti pada budaya yang lain, persepsi yang tersimpan pada manusia adalah dalam bentuk kepercayaan dan nilai. Di mana kedua konsep tersebut bekerja sama membentuk sebuah pola budaya. 272 Rogers dan Steinfatt berpendapat bahwa kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang. Kepercayaan adalah hal yang penting karena kepercayaan diterima sebagai sebuah kebenaran. Kepercayaan biasanya mencerminkan tindakan dan perilaku komunikasi seseorang. 273 Orang Jepang memiliki kepercayaan yang kuat bahwa tepat waktu adalah hal yang penting. Hal tersebut bukan didasari dari agama namun oleh doktrin yang terus diberikan kepada mereka sejak kecil. “Bahkan untuk masalah waktu itu memang sudah di doktrin sejak kecil. Budaya menepati waktu itu memang sejak dari kecil. Tidak hanya waktu ya, menepati janji juga. Memang doktrin dari kecil ya, jadi mereka berbuat seperti itu, jujur, tepat waktu itu memang tidak karena faktor agama, saya berdosa kalau ga tepat waktu, saya berdosa kalau bohong, itu karena doktrin dari kecilnya seperti itu.” 274 272 Ibid. 273 Ibid. 274 Wawancara dengan Sutiman, Responden LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30 commit to user 142 Hal tersebut juga terlihat ketika peneliti membuat janji bertemu dengan orang Jepang. Mereka selalu datang tepat waktu. Apalagi bagi orang yang tinggal di Solo dengan urusan pekerjaan. Namun pernah ada suatu kejadian, ketika salah seorang responden datang telat selama satu jam. Hal tersebut bukan karena sengaja namun karena salah mengetik sms. Tapi orang Jepang tersebut tidak henti-hentinya minta maaf karena telah datang terlambat. Selain itu, mereka juga terbiasa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, jika memang tujuan datang ke Solo adalah untuk belajar, maka waktu yang ada benar-benar dimanfaatkan untuk belajar. Seperti yang diungkapkan oleh pengajar tari yang sering mengajar orang Jepang. “Yang Jepang itu luar biasa. Itu yang saya amati itu dia itu bener- bener belajar, waktu itu digunakan sebaik-baiknya. Tidak terlalu santai tapi ya tidak terlalu apa ya, serius sekali tapi dia kemampuannya itu luar biasa. Itu yang menjadi murid saya itu semuanya begitu sampai kalau mengajar orang Jepang itu sepertinya tidak terlalu beban. Karena dia juga mudah untuk diberi pemasukan, menerima.” 275 Berdasarkan kepercayaan tersebut, orang Jepang memiliki persepsi bahwa ketepatan waktu di Solo bukanlah prioritas utama dan hal tersebut sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka. Meski begitu, mereka tetap berusaha untuk tepat waktu karena kepercayaan yang telah didoktrinkan sejak kecil, tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Seperti pengakuan sebagian besar responden. 275 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30 commit to user 143 “Iya, di sini jamnya jam karet ya. Saya datang kuliah, tapi sampai di kelas belum ada siapa-siapa. Saya kaget. Tapi sekarang sudah biasa. Tapi saya tetap tepat waktu.” 276 Dalam penelitian, peneliti menemukan ada seorang yang menyesuaikan diri dengan keadaan ketepatan waktu yang berbeda tersebut. Salah seorang responden mengaku rugi jika datang tepat waktu di Solo. “Tepat waktu di sini itu rugi. Saya sudah datang, tapi masih belum ada siapa-siapa. Saya jadi belajar, kalau di Solo, janjian jam tiga berarti datangnya jam empat.” 277 Selain itu, berdasarkan pengalaman selama tinggal di Solo, warga Jepang memiliki persepsi terhadap orang-orang di lingkungan mereka tinggal adalah rata-rata baik. Mereka merasa nyaman tinggal di Solo karena suasana kota yang tidak ramai serta penduduk Solo yang ramah-ramah. Di mata mereka, warga Solo adalah orang yang baik dan suka membantu orang lain meskipun dengan orang yang belum di kenal. Hal tersebut membuat mereka nyaman untuk tinggal dan berkomunikasi dengan penduduk pribumi. “Kalau di sini, langsung membantu. “Ada apa? Ada kesulitan? Saya bisa bantu”. Misalnya saya, sering dulu naik sepeda onthel, sering bocor bannya, lalu saya ditunjukkan tempat tambal ban. Jadi, ya orangnya baik. Langsung kasih tahu di sana ada tambal ban. Sekarang sudah biasa tapi kalau di Jepang agak kurang senang itu mereka, tapi kalau di sini belum kenal, langsung mau membantu.” 278 276 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00 277 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00 ‐16.00 278 Wawancara dengan Miki Orita, Responden D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐ 18.00 commit to user 144 Sebaliknya, warga pribumi pun memiliki persepsi yang positif terhadap orang Jepang yang tinggal di dekat mereka. Warga Jepang tersebut dinilai memiliki sopan santun yang tinggi melebihi orang Jawa sendiri. Sikap tersebut sangat terlihat terlebih kepada orang yang dianggap sebagai guru. “Apalagi kalau dia ketemu dengan orang yang lebih tua kemudian ketemu dengan orang yang dia anggap sebagai guru, itu dia sangat hormat sekali. Walaupun mungkin, kalau antara murid dengan guru, walaupun dia lebih tua dari gurunya, dia tetep hormat. Iya, tetep hormat. Sampai sekarang, sampai ketika saya memberi les sama orang-orang Jepang, dia itu justru malah lebih hormat, menghargai seorang guru daripada orang Jawa yang diajar”. 279 Kepercayaan adalah bagian dari suatu budaya dan seseorang tidak akan mempertanyakannya atau bahkan meminta bukti. Kepercayaan langsung diterima, karena seseorang tahu bahwa hal itu benar, sehingga kepercayaan itu tetap bertahan. 280 Berdasarkan pengalaman-pengalaman selama tinggal di Solo, mereka mulai memiliki kepercayaan-kepercayaan terhadap lingkungan baru mereka sehingga melahirkan sebuah persepsi terhadap lingkungan tersebut. Selain kepercayaan, aspek yang kedua adalah nilai yang terbentuk dari kepercayaan. Kepercayaan membentuk dasar nilai yang menyediakan aturan untuk membuat keputusan dan mengatasi konflik. Pentingnya nilai adalah bahwa nilai terdiri atas sistem yang mewakili apa yang diharapkan atau dibandingkan, dibutuhkan, dan dilarang. Bukan hanya laporan tentang 279 Wawancara dengan Hadi Boediono, responden Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45 280 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 225 commit to user 145 tingkah laku yang sebenarnya, namun sistem kriteria di mana tingkah laku dinilai dan sanksi diterapkan. 281 Hal yang penting mengenai nilai adalah bahwa nilai diterjemahkan dalam tindakan. Misalnya, orang Jepang sangat menghargai ketepatan waktu, disiplin, dan kerja keras. Hal itu sangat tampak dari bagaimana memanfaatkan waktu yang ada dan melakukan hal yang menjadi tujuannya dengan sungguh-sungguh. b. Proses Verbal Bahasa Proses verbal yaitu bagaimana kita bicara satu sama lain dan berpikir. Bahasa adalah aspek penting dalam belajar komunikasi antarbudaya. 282 Hampir setiap interaksi komunikasi antarbudaya melibatkan satu atau lebih individu yang menggunakan bahasa kedua. 283 Dalam penelitian ini, peneliti menjumpai bahwa bahasa kedua yang digunakan oleh orang Jepang untuk berkomunikasi adalah bahasa Indonesia karena lebih mudah dipelajari daripada bahasa Jawa. Sebelum tinggal di Solo untuk jangka waktu tertentu, warga Jepang tersebut telah memiliki bekal bahasa Indonesia. Begitu juga dengan orang Solo, mereka berkomunikasi dengan warga Jepang tersebut dengan bahasa Indonesia. Kecuali bagi mereka yang bisa berbahasa Jepang. 281 Samovar dkk. 2010. Op.Cit. 226 282 Ibid. hlm. 265 283 Ibid. hlm. 279 commit to user 146 Menurut orang-orang yang sering berinteraksi dengan warga Jepang di Solo, orang Jepang pun sangat santun ketika berbicara dengan orang lain, apalagi dengan orang yang lebih tua. Hal tersebut membuat orang-orang pribumi senang terhadap orang Jepang yang tinggal di dekat mereka. “Mungkin tidak terlalu berbeda ya bagi kita orang Indonesia. Yang sangat terasa apa, apabila dia berbicara dengan orang yang, mungkin orang-orang Barat. Karena dalam bahasa Jepang, orang Jepang itu banyak menggunakan yang namanya aizuchi. Aizuchi itu seperti “oh ya?”, “oh, begitu?”, “oh, masak sih?” gitu. Jadi tanggapan-tanggapan kecil seperti itu kan sama dengan kita, bahasa Indonesia. Bagi orang Jepang artinya saya mendengarkan, gitu.” 284 “Orang Jepang itu ketika diajak berbicara selalu memperhatikan. Dia ngerti atau tidak ngerti, itu dia dengarkan dulu. Bahkan, mereka ga mau nyela, tidak berani nyela pada saat kita ngobrol gitu.” 285 c. Proses Nonverbal. Aspek yang satu ini tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi dan setiap budaya memiliki arti yang berbeda-beda terhadap aksi nonverbal. Barnlund mengatakan: “Banyak arti penting yang dihasilkan dalam interaksi manusia dapat diperoleh dari sentuhan, lirikan, nuansa vokal, gerakan atau ekspresi wajah dengan atau tanpa pertolongan kata-kata. Mulai dari saat bertemu dan berpisah, orang-orang saling mengamati dengan semua indra mereka, intonasi, cara berpakaian dan sikap diri, mengamati lirikan dan ketegangan wajah, juga memilih kata-kata. Setiap tanda keharmonisan dan tidak keharmonisan mengarah pada interpretasi dari suasana hati yang ada. Di luar evaluasi kinetis, vokal, dan isyarat verbal, keputusan dibuat untuk disetujui atau dibantah, untuk ditertawakan atau dipermalukan, untuk 284 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐ 11.15 285 Wawncara dengan Mulyono, Responden Fujiyama Gakkou: Rabu, 19 januari 2011, jam 16.30‐ 16.45 commit to user 147 beristirahat atau ditentang, untuk memotong atau melanjutkan pembicaraan.” 286 Saat diajak berbicara, biasanya orang Jepang akan diam yang berarti dia sedang mendengarkan sungguh-sungguh apa yang hendak orang lain sampaikan pada mereka. Selain itu, sikap tubuh ketika bertemu dengan orang lain yang dihormati, mereka akan membungkukkan badan. Seperti yang mereka lakukan ketikan bertemu dengan orang yang lebih senior. “Iya. Misalnya, ketika akan mulai kelas, ketemu, dia pasti menyapa dulu. Dia duduk memberi hormat. Jadi, itu saya mengatakan cara yang tidak dimiliki oleh kita. Terus kemudian, setiap selesai les atau latihan, dia selalu mengucapkan terimakasih dan memberi hormat.” 287 Dari contoh tersebut terlihat bahwa, kebudayaan orang Jepang mempengaruhi komunikasi non-verbal mereka. Meskipun mereka sudah lama tinggal di Solo, namun budaya tersebut tidak mudah hilang. Meski begitu, hal tersebut tidak menghalangi akulturasi yang terjadi. Masyarakat Jawa merasa senang dengan sikap orang Jepang tersebut. Dengan adanya sikap tersebut, penduduk pribumi menganggap bahwa orang Jepang sangat sopan dan menghormati mereka. d. Konteks Semua interaksi manusia dipengaruhi oleh keadaan budaya, sosial dan fisik, di mana keadaan tersebut dinamakan konteks komunikasi. Budaya 286 Pernyataan Barnlund seperti yang dikutip oleh Samovar dkk 2010 dalam Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures, edisi 7 Jakarta: Salemba Humanika, 2010 hlm. 292 287 Wawancara dengan Hadi Boediono, responden Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45 commit to user 148 menetapkan perilaku komunikasi yang pantas dalam konteks sosial dan fisik yang beragam berdasarkan peraturan yang ada. 288 Seseorang akan berkomunikasi dengan cara yang berbeda tergantung pada setiap kondisi yang dihadapi. Begitu juga dengan warga Jepang yang tinggal di Solo. Mereka tahu bagaimana harus berkomunikasi dengan orang- orang dan keperluan yang berbeda. Dari hasil pengamatan, terlihat terdapat perbedaan komunikasi tersebut. Misalnya Hiromi Kano, ketika berbicara dengan orang yang lebih muda dari dirinya, ia bersikap santai tetapi ketika bertemu dengan guru sindennya, ia sangat hormat. Selain itu, peneliti sendiri mengalami hal yang menarik. Ketika pertama kali bertemu dengan para responden, setiap responden sangat terasa menjaga jarak dan belum bisa menerima peneliti sepenuhnya. Hal tersebut terlihat dari bagaimana mereka bersikap. Mereka lebih pasif dan tidak banyak bercanda atau tersenyum. Tetapi, pada interaksi selanjutnya peneliti merasa lebih diterima karena mereka menunjukkan perubahan sikap terhadap peneliti. Peneliti disambut dengan hangat, mereka pun sudah mulai bercanda dan berbicara dengan lebih santai. Serta mulai bertanya-tanya tentang peneliti. 288 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 343 commit to user 149 Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi konteks komunikasi yaitu: 1 Keformalan dan Ketidakformalan Budaya memiliki pandangan mengenai suatu kejadian dan manusia, mulai dari yang sangat tidak formal hingga yang sangat formal. Manifestasi keformalan dan ketidakformalan bisa terjadi dalam banyak bentuk. 289 Jika Amerika Serikat terkenal dikenal sebagai budaya yang informal, maka berkebalikan dengan Jepang. Formalitas juga merupakan bukti dari bagaimana cara memanggil seseorang dalam suatu budaya. Di Jepang, terdapat sebutan sensei, -sama, senpai, -san, -kun, dan –chan untuk memanggil seseorang tergantung dari derajad orang tersebut. Bangsa Jepang dicirikan seperti buah kelapa yang keras di luar. Bangsa Jepang menggunakan formalitas sebagai cangkang untuk menjaga jarak dengan seseorang sambil memutuskan apakah ia menginginkan suatu hubungan dengan orang tersebut. Sekali cangkang itu ditembus, bagaimanapun, bangsa Jepang akan menjadi sangat mengasihi, murah hati, dan kelemahan pribadi bukanlah suatu masalah. 290 289 Ibid. hlm. 347 290 Ibid. hlm. 348 commit to user 150 Hal tersebut juga diakui oleh orang-orang yang sering berinteraski dengan orang Jepang. Misalnya, sangatlah sulit mendapatkan kepercayaan dari orang Jepang, namun begitu kepercayaan itu di dapat, orang Jepang akan sangat mempercayai orang tersebut. “Yang jelas, kalau orang Jepang, untuk merintis mendapatkan kepercayaan itu sulit sekali. Tapi, setelah kita mendapatkan kepercayan itu orang Jepang itu bisa merekomendasikan ke orang lain. Dalam artian orang Jepang itu mau berhubungan dengan kita itu kalau tanpa rekomendasi dari orang Jepang juga ga mau dia. Jadi, setelah kita dapat satu klien orang Jepang, dapat kolega orang Jepang, itu asal kita ga membuat kesalahan, asal kita bekerja sesuai dengan keinginan mereka, mereka itu dipakai untuk merekomendasikan ke orang lain.” 291 Selain itu sikap jaga jarak itu juga terlihat dari bahasa yang digunakan. Jika mereka menggunkan keigo bahasa hormat, itu menunjukkan mereka ingin menjaga jarak dengan lawan bicaranya. Walaupun keigo juga disebut sebagai bahasa hormat, namun selain untuk menghormati, keigo juga digunakan untuk menjaga jarak dengan orang lain. “Jadi seperti kalau dia menggunakan Keigo atau bahasa halus itu sama seperti karma inggil punya orang Jawa, artinya dia sangat menjaga jarak. Meskipun keigo itu katanya bahasa hormat, bukan berarti dia menghormati, ya mungkin ada rasa hormat tapi sebenarnya itu dia menjaga jarak, artinya dia tidak ingin akrab gitu. Sedangkan dengan teman yang sudah akrab apalagi misalnya kita terhadap orang asing pun kalau dia sudah menggunakan bahasa biasa, bahasa teman ya kalau misalnya bahasa Jawanya bahasa ngoko artinya dia membuka diri.” 292 291 Wawancara dengan Sutiman, Responden LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30 292 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐ 11.15 commit to user 151 2 Ketegasan dan Keharmonisan Interpersonal Dimensi kedua yang mempengaruhi konteks komunikasi adalah cara seseorang menyatakan diri kepada orang lain. Walaupun ada banyak aspek gaya komunikasi, ketegasan dan keharmonisan interpersonal secara langsung mempengaruhi ruang lingkup antarbudaya. 293 Budaya Amerika Serikat dikenal luas, karena gaya komunikasinya yang tegas. Sedangkan di Asia Timur dan Asia Tenggara, perjanjian yang menguntungkan, kesetiaan, dan kewajiban timbal balik merupakan hal yang penting untuk suatu hubungan yang harmonis. 294 Mempertahankan hubungan yang harmonis dan menghindari apa yang kelihatannya merupakan perilaku yang agresif juga merupakan perhatian penting di antara bangsa Jepang. Begitu kuatnya perhatian akan perasaan orang lain, sehingga orang Jepang terkenal menghindari kata “tidak” yang mereka anggap kasar. 295 Hal itu juga diakui oleh orang-orang yang sering berinteraksi dengan warga Jepang. 293 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm 349 294 Ibid. 295 Ibid. commit to user 152 “Misalnya dia bilang “no” itu sudah sangat tegas. Tapi kalau kita tidak tahu karakter orang Jepang, kita tidak bisa paham. Jadi, “no” itu tidak secara nyata tapi secara implicit, kita sudah harus paham.” 296 3 Hubungan Status Egalitarian dan Hierarkis Variabel ketiga yang mempengaruhi semua konteks komunikasi berhubungan dengan persepsi dan respons budaya terhadap status. Setiap budaya dan organisasi memiliki protokol yang didasarkan pada budaya untuk mengarahkan interaksi antara orang-orang yang posisinya bervariasi. Menggunakan skala klasifikasi yang luas, suatu budaya secara umum dapat dikelompokkan sebagai egalitarian dengan sedikit perhatian terhadap perbedaan sosial atau hierarkis yang menenkankan pada status dan tingkatan. Negara Jepang adalah negara yang menganut hierarkis. Di Jepang, perbedaan status terlihat jelas melalui protokol yang mengatur aktivitas interpersonal dan oraganisasi. Interaksi antara bawahan dan senior dilaksanakan dalam cara yang formal dan gelar selalu digunakan. Senior diharapkan untuk melakukan peranan patriarchal sebagai respon terhadap rasa hormat anggota yang lebih rendah. Dalam budaya yang menggunakan status sebagai tanda, seperti Jepang, guru diperlakukan dengan sangat hormat, bahkan dalam situasi ketika mahasiswa tidak diharapkan menjawab pertanyaan dosennya. 297 296 Wawancara dengan Sutiman, Responden LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30 297 Samovar dkk. 2010. Op.Cit. hlm. 353 commit to user 153 Warga Jepang yang tinggal di Solo untuk tujuan belajar sangatlah menghormati orang yang menjadi gurunya. Dan hal tersebut membuat sang guru tersebut merasa dihormati dan menilai bahwa orang Jepang memiliki kesopanan yang tinggi bahkan melebihi warga Jawa sendiri. Hal tersebut sangatlah cocok dengan budaya Indonesia yang juga menganut pandangan hierarkis.

2. Sikap saat berkomunikasi

Dokumen yang terkait

Analisis Hubungan Kecemasan Dan Ketidakpastian Terhadap Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang Di Indonesia

8 87 179

Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)

17 176 147

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 12

PENDAHULUAN Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 2 24

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 13

PERAN IDENTITAS SUKU JAWA DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Peran Identitas Suku Jawa Dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif Kualitatif Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putri yang ada di Demak).

0 1 14

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA JEPANG DI SURABAYA (Studi Kualitatif Proses Penyesuaian Diri Mahasiswa Jepang).

0 0 10

ADAPTASI ANTARBUDAYA MAHASISWA ASING UNS (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Hambatan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asing dalam Beradaptasi di Solo Tahun 2015).

0 2 13

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA ASING (Studi Tentang Kecenderungan-kecenderungan Komunikasi Antarbudaya Yang Berkembang Di Kalangan Mahasiswa Asing Di Surakarta).

0 0 16

Proses Komunikasi antarbudaya dalam proses

0 0 5