commit to user 139
E. Faktor Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta
1. Aspek-aspek yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya
Terdapat beberapa aspek kultur yang mempunyai pengaruh besar terhadap komunikasi antarbudaya. Aspek-aspek tersebut adalah persepsi, proses verbal, proses
nonverbal, dan aspek konteks.
266
a. Persepsi
Salah satu aspek komunikasi antarbudaya adalah persepsi, dimana dalam aspek ini sebagai seorang individu, partisipan memilih, mengevaluasi,
dan mengorganisir rangsangan dari luar. Persepsi kultural berdasar pada kepercayaan, nilai-nilai, dan sistem tingkah laku.
267
Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial menjadi masuk akal. Seorang penulis Jerman mengatakan bahwa tidak ada
kenyataan, selain yang ada dalam diri seseorang. Samovar dkk menambahi
266
Samovar, et.al. 1998. Op. Cit. hlm. 51
267
Ibid.
commit to user 140
bahwa kenyataan itu ada pada diri seseorang, sebagian oleh budaya orang tersebut.
268
Gamble dan Gamble mengungkapkan bahwa persepsi merupakan proses seleksi, pengaturan, dan penginterpretasian data sensor dengan cara
yang memungkinkan seseorang mengerti dunia. Dengan kata lain, persepsi merupakan proses di mana orang-orang mengubah kejadian dan pengalaman
eksternal menjadi pemahaman internal yang berarti.
269
Persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Chiu dan Hong bahwa setiap proses kognitif dasar, seperti
perhatian dan persepsi merupakan hal yang lunak dan dapat diperoleh melalui pengalaman budaya.
270
Samovar dkk menyimpulkan bahwa ada dua cara bagaimana budaya mempengaruhi proses persepsi. Pertama, persepsi itu selektif. Hal itu berarti
bahwa terlalu banyak stimulus yang bersaing untuk merebut perhatian seseorang pada waktu yang sama. Seseorang hanya mengizinkan informasi
yang diseleksi melalui layar persepsi ke dalam pikiran sadar orang tersebut. Apa yang diijinkan masuk, sebagian ditentukan oleh budaya.
271
Kedua, pola persepsi seseorang dipelajari. Setiap orang lahir ke dunia tanpa suatu pemahaman. Budaya mengartikan sebagian besar pengalaman
268
Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 221
269
Ibid. hlm. 222
270
Ibid. hlm. 223
271
Ibid. hlm. 224
commit to user 141
seseorang. Dengan kata lain, persepsi adalah suatu hal yang ditentukan oleh budaya. Seseorang belajar untuk melihat dunia dengan suatu cara tertentu
yang didasarkan pada latar belakang budaya masing-masing. Sama seperti pada budaya yang lain, persepsi yang tersimpan pada manusia adalah dalam
bentuk kepercayaan dan nilai. Di mana kedua konsep tersebut bekerja sama membentuk sebuah pola budaya.
272
Rogers dan Steinfatt berpendapat bahwa kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran,
ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang. Kepercayaan adalah hal yang penting karena
kepercayaan diterima sebagai sebuah kebenaran. Kepercayaan biasanya mencerminkan tindakan dan perilaku komunikasi seseorang.
273
Orang Jepang memiliki kepercayaan yang kuat bahwa tepat waktu adalah hal yang penting. Hal tersebut bukan didasari dari agama namun oleh
doktrin yang terus diberikan kepada mereka sejak kecil. “Bahkan untuk masalah waktu itu memang sudah di doktrin sejak
kecil. Budaya menepati waktu itu memang sejak dari kecil. Tidak hanya waktu ya, menepati janji juga. Memang doktrin dari kecil ya, jadi mereka
berbuat seperti itu, jujur, tepat waktu itu memang tidak karena faktor agama, saya berdosa kalau ga tepat waktu, saya berdosa kalau bohong, itu
karena doktrin dari kecilnya seperti itu.”
274
272
Ibid.
273
Ibid.
274
Wawancara dengan Sutiman, Responden LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30
commit to user 142
Hal tersebut juga terlihat ketika peneliti membuat janji bertemu dengan orang Jepang. Mereka selalu datang tepat waktu. Apalagi bagi orang
yang tinggal di Solo dengan urusan pekerjaan. Namun pernah ada suatu kejadian, ketika salah seorang responden datang telat selama satu jam. Hal
tersebut bukan karena sengaja namun karena salah mengetik sms. Tapi orang Jepang tersebut tidak henti-hentinya minta maaf karena telah datang
terlambat. Selain itu, mereka juga terbiasa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,
jika memang tujuan datang ke Solo adalah untuk belajar, maka waktu yang ada benar-benar dimanfaatkan untuk belajar. Seperti yang diungkapkan oleh
pengajar tari yang sering mengajar orang Jepang. “Yang Jepang itu luar biasa. Itu yang saya amati itu dia itu bener-
bener belajar, waktu itu digunakan sebaik-baiknya. Tidak terlalu santai tapi ya tidak terlalu apa ya, serius sekali tapi dia kemampuannya itu luar biasa.
Itu yang menjadi murid saya itu semuanya begitu sampai kalau mengajar orang Jepang itu sepertinya tidak terlalu beban. Karena dia juga mudah
untuk diberi pemasukan, menerima.”
275
Berdasarkan kepercayaan tersebut, orang Jepang memiliki persepsi
bahwa ketepatan waktu di Solo bukanlah prioritas utama dan hal tersebut sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka. Meski begitu, mereka tetap
berusaha untuk tepat waktu karena kepercayaan yang telah didoktrinkan sejak kecil, tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Seperti pengakuan
sebagian besar responden.
275
Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010,
jam 10.15‐10.30
commit to user 143
“Iya, di sini jamnya jam karet ya. Saya datang kuliah, tapi sampai di kelas belum ada siapa-siapa. Saya kaget. Tapi sekarang sudah biasa. Tapi
saya tetap tepat waktu.”
276
Dalam penelitian, peneliti menemukan ada seorang yang
menyesuaikan diri dengan keadaan ketepatan waktu yang berbeda tersebut. Salah seorang responden mengaku rugi jika datang tepat waktu di Solo.
“Tepat waktu di sini itu rugi. Saya sudah datang, tapi masih belum ada siapa-siapa. Saya jadi belajar, kalau di Solo, janjian jam tiga berarti
datangnya jam empat.”
277
Selain itu, berdasarkan pengalaman selama tinggal di Solo, warga
Jepang memiliki persepsi terhadap orang-orang di lingkungan mereka tinggal adalah rata-rata baik. Mereka merasa nyaman tinggal di Solo karena
suasana kota yang tidak ramai serta penduduk Solo yang ramah-ramah. Di mata mereka, warga Solo adalah orang yang baik dan suka membantu orang
lain meskipun dengan orang yang belum di kenal. Hal tersebut membuat mereka nyaman untuk tinggal dan berkomunikasi dengan penduduk pribumi.
“Kalau di sini, langsung membantu. “Ada apa? Ada kesulitan? Saya bisa bantu”. Misalnya saya, sering dulu naik sepeda onthel, sering bocor
bannya, lalu saya ditunjukkan tempat tambal ban. Jadi, ya orangnya baik. Langsung kasih tahu di sana ada tambal ban. Sekarang sudah biasa tapi
kalau di Jepang agak kurang senang itu mereka, tapi kalau di sini belum kenal, langsung mau membantu.”
278
276
Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010,
jam 11.00‐12.00
277
Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00
‐16.00
278
Wawancara dengan Miki Orita, Responden D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐ 18.00
commit to user 144
Sebaliknya, warga pribumi pun memiliki persepsi yang positif terhadap orang Jepang yang tinggal di dekat mereka. Warga Jepang tersebut
dinilai memiliki sopan santun yang tinggi melebihi orang Jawa sendiri. Sikap tersebut sangat terlihat terlebih kepada orang yang dianggap sebagai guru.
“Apalagi kalau dia ketemu dengan orang yang lebih tua kemudian ketemu dengan orang yang dia anggap sebagai guru, itu dia sangat hormat
sekali. Walaupun mungkin, kalau antara murid dengan guru, walaupun dia lebih tua dari gurunya, dia tetep hormat. Iya, tetep hormat. Sampai
sekarang, sampai ketika saya memberi les sama orang-orang Jepang, dia itu justru malah lebih hormat, menghargai seorang guru daripada orang Jawa
yang diajar”.
279
Kepercayaan adalah bagian dari suatu budaya dan seseorang tidak
akan mempertanyakannya atau bahkan meminta bukti. Kepercayaan langsung diterima, karena seseorang tahu bahwa hal itu benar, sehingga
kepercayaan itu tetap bertahan.
280
Berdasarkan pengalaman-pengalaman selama tinggal di Solo, mereka mulai memiliki kepercayaan-kepercayaan terhadap lingkungan baru mereka
sehingga melahirkan sebuah persepsi terhadap lingkungan tersebut. Selain kepercayaan, aspek yang kedua adalah nilai yang terbentuk
dari kepercayaan. Kepercayaan membentuk dasar nilai yang menyediakan aturan untuk membuat keputusan dan mengatasi konflik. Pentingnya nilai
adalah bahwa nilai terdiri atas sistem yang mewakili apa yang diharapkan atau dibandingkan, dibutuhkan, dan dilarang. Bukan hanya laporan tentang
279
Wawancara dengan Hadi Boediono, responden Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011,
jam 09.15‐09.45
280
Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 225
commit to user 145
tingkah laku yang sebenarnya, namun sistem kriteria di mana tingkah laku dinilai dan sanksi diterapkan.
281
Hal yang penting mengenai nilai adalah bahwa nilai diterjemahkan dalam tindakan. Misalnya, orang Jepang sangat menghargai ketepatan
waktu, disiplin, dan kerja keras. Hal itu sangat tampak dari bagaimana memanfaatkan waktu yang ada dan melakukan hal yang menjadi tujuannya
dengan sungguh-sungguh. b. Proses Verbal Bahasa
Proses verbal yaitu bagaimana kita bicara satu sama lain dan berpikir. Bahasa adalah aspek penting dalam belajar komunikasi antarbudaya.
282
Hampir setiap interaksi komunikasi antarbudaya melibatkan satu atau lebih individu yang menggunakan bahasa kedua.
283
Dalam penelitian ini, peneliti menjumpai bahwa bahasa kedua yang digunakan oleh orang Jepang untuk berkomunikasi adalah bahasa Indonesia
karena lebih mudah dipelajari daripada bahasa Jawa. Sebelum tinggal di Solo untuk jangka waktu tertentu, warga Jepang tersebut telah memiliki
bekal bahasa Indonesia. Begitu juga dengan orang Solo, mereka berkomunikasi dengan warga Jepang tersebut dengan bahasa Indonesia.
Kecuali bagi mereka yang bisa berbahasa Jepang.
281
Samovar dkk. 2010. Op.Cit. 226
282
Ibid. hlm. 265
283
Ibid. hlm. 279
commit to user 146
Menurut orang-orang yang sering berinteraksi dengan warga Jepang di Solo, orang Jepang pun sangat santun ketika berbicara dengan orang lain,
apalagi dengan orang yang lebih tua. Hal tersebut membuat orang-orang pribumi senang terhadap orang Jepang yang tinggal di dekat mereka.
“Mungkin tidak terlalu berbeda ya bagi kita orang Indonesia. Yang sangat terasa apa, apabila dia berbicara dengan orang yang, mungkin
orang-orang Barat. Karena dalam bahasa Jepang, orang Jepang itu banyak menggunakan yang namanya aizuchi. Aizuchi itu seperti “oh ya?”, “oh,
begitu?”, “oh, masak sih?” gitu. Jadi tanggapan-tanggapan kecil seperti itu kan sama dengan kita, bahasa Indonesia. Bagi orang Jepang artinya saya
mendengarkan, gitu.”
284
“Orang Jepang itu ketika diajak berbicara selalu memperhatikan. Dia ngerti atau tidak ngerti, itu dia dengarkan dulu. Bahkan, mereka ga mau
nyela, tidak berani nyela pada saat kita ngobrol gitu.”
285
c. Proses Nonverbal. Aspek yang satu ini tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi dan
setiap budaya memiliki arti yang berbeda-beda terhadap aksi nonverbal. Barnlund mengatakan:
“Banyak arti penting yang dihasilkan dalam interaksi manusia dapat diperoleh dari sentuhan, lirikan, nuansa vokal, gerakan atau ekspresi wajah
dengan atau tanpa pertolongan kata-kata. Mulai dari saat bertemu dan berpisah, orang-orang saling mengamati dengan semua indra mereka,
intonasi, cara berpakaian dan sikap diri, mengamati lirikan dan ketegangan wajah, juga memilih kata-kata. Setiap tanda keharmonisan dan tidak
keharmonisan mengarah pada interpretasi dari suasana hati yang ada. Di luar evaluasi kinetis, vokal, dan isyarat verbal, keputusan dibuat untuk
disetujui atau dibantah, untuk ditertawakan atau dipermalukan, untuk
284
Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐ 11.15
285
Wawncara dengan Mulyono, Responden Fujiyama Gakkou: Rabu, 19 januari 2011, jam 16.30‐ 16.45
commit to user 147
beristirahat atau ditentang, untuk memotong atau melanjutkan pembicaraan.”
286
Saat diajak berbicara, biasanya orang Jepang akan diam yang berarti dia sedang mendengarkan sungguh-sungguh apa yang hendak orang lain
sampaikan pada mereka. Selain itu, sikap tubuh ketika bertemu dengan orang lain yang dihormati, mereka akan membungkukkan badan. Seperti
yang mereka lakukan ketikan bertemu dengan orang yang lebih senior. “Iya. Misalnya, ketika akan mulai kelas, ketemu, dia pasti menyapa
dulu. Dia duduk memberi hormat. Jadi, itu saya mengatakan cara yang tidak dimiliki oleh kita. Terus kemudian, setiap selesai les atau latihan, dia selalu
mengucapkan terimakasih dan memberi hormat.”
287
Dari contoh tersebut terlihat bahwa, kebudayaan orang Jepang mempengaruhi komunikasi non-verbal mereka. Meskipun mereka sudah
lama tinggal di Solo, namun budaya tersebut tidak mudah hilang. Meski begitu, hal tersebut tidak menghalangi akulturasi yang terjadi.
Masyarakat Jawa merasa senang dengan sikap orang Jepang tersebut. Dengan adanya sikap tersebut, penduduk pribumi menganggap bahwa orang
Jepang sangat sopan dan menghormati mereka. d. Konteks
Semua interaksi manusia dipengaruhi oleh keadaan budaya, sosial dan fisik, di mana keadaan tersebut dinamakan konteks komunikasi. Budaya
286
Pernyataan Barnlund seperti yang dikutip oleh Samovar dkk 2010 dalam Komunikasi Lintas Budaya:
Communication Between Cultures, edisi 7 Jakarta: Salemba Humanika, 2010 hlm. 292
287
Wawancara dengan Hadi Boediono, responden Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011,
jam 09.15‐09.45
commit to user 148
menetapkan perilaku komunikasi yang pantas dalam konteks sosial dan fisik yang beragam berdasarkan peraturan yang ada.
288
Seseorang akan berkomunikasi dengan cara yang berbeda tergantung pada setiap kondisi yang dihadapi. Begitu juga dengan warga Jepang yang
tinggal di Solo. Mereka tahu bagaimana harus berkomunikasi dengan orang- orang dan keperluan yang berbeda. Dari hasil pengamatan, terlihat terdapat
perbedaan komunikasi tersebut. Misalnya Hiromi Kano, ketika berbicara dengan orang yang lebih muda dari dirinya, ia bersikap santai tetapi ketika
bertemu dengan guru sindennya, ia sangat hormat. Selain itu, peneliti sendiri mengalami hal yang menarik. Ketika
pertama kali bertemu dengan para responden, setiap responden sangat terasa menjaga jarak dan belum bisa menerima peneliti sepenuhnya. Hal tersebut
terlihat dari bagaimana mereka bersikap. Mereka lebih pasif dan tidak banyak bercanda atau tersenyum. Tetapi, pada interaksi selanjutnya peneliti
merasa lebih diterima karena mereka menunjukkan perubahan sikap terhadap peneliti. Peneliti disambut dengan hangat, mereka pun sudah mulai
bercanda dan berbicara dengan lebih santai. Serta mulai bertanya-tanya tentang peneliti.
288
Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 343
commit to user 149
Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi konteks komunikasi yaitu:
1 Keformalan dan Ketidakformalan Budaya memiliki pandangan mengenai suatu kejadian dan manusia,
mulai dari yang sangat tidak formal hingga yang sangat formal. Manifestasi keformalan dan ketidakformalan bisa terjadi dalam banyak bentuk.
289
Jika Amerika Serikat terkenal dikenal sebagai budaya yang informal, maka berkebalikan dengan Jepang. Formalitas juga merupakan bukti dari
bagaimana cara memanggil seseorang dalam suatu budaya. Di Jepang, terdapat sebutan sensei, -sama, senpai, -san, -kun, dan –chan untuk
memanggil seseorang tergantung dari derajad orang tersebut. Bangsa Jepang dicirikan seperti buah kelapa yang keras di luar.
Bangsa Jepang menggunakan formalitas sebagai cangkang untuk menjaga jarak dengan seseorang sambil memutuskan apakah ia menginginkan suatu
hubungan dengan orang tersebut. Sekali cangkang itu ditembus, bagaimanapun, bangsa Jepang akan menjadi sangat mengasihi, murah hati,
dan kelemahan pribadi bukanlah suatu masalah.
290
289
Ibid. hlm. 347
290
Ibid. hlm. 348
commit to user 150
Hal tersebut juga diakui oleh orang-orang yang sering berinteraski dengan orang Jepang. Misalnya, sangatlah sulit mendapatkan kepercayaan
dari orang Jepang, namun begitu kepercayaan itu di dapat, orang Jepang akan sangat mempercayai orang tersebut.
“Yang jelas, kalau orang Jepang, untuk merintis mendapatkan kepercayaan itu sulit sekali. Tapi, setelah kita mendapatkan kepercayan itu
orang Jepang itu bisa merekomendasikan ke orang lain. Dalam artian orang Jepang itu mau berhubungan dengan kita itu kalau tanpa rekomendasi dari
orang Jepang juga ga mau dia. Jadi, setelah kita dapat satu klien orang Jepang, dapat kolega orang Jepang, itu asal kita ga membuat kesalahan,
asal kita bekerja sesuai dengan keinginan mereka, mereka itu dipakai untuk merekomendasikan ke orang lain.”
291
Selain itu sikap jaga jarak itu juga terlihat dari bahasa yang digunakan. Jika mereka menggunkan keigo bahasa hormat, itu
menunjukkan mereka ingin menjaga jarak dengan lawan bicaranya. Walaupun keigo juga disebut sebagai bahasa hormat, namun selain untuk
menghormati, keigo juga digunakan untuk menjaga jarak dengan orang lain. “Jadi seperti kalau dia menggunakan Keigo atau bahasa halus itu
sama seperti karma inggil punya orang Jawa, artinya dia sangat menjaga jarak. Meskipun keigo itu katanya bahasa hormat, bukan berarti dia
menghormati, ya mungkin ada rasa hormat tapi sebenarnya itu dia menjaga jarak, artinya dia tidak ingin akrab gitu. Sedangkan dengan teman yang
sudah akrab apalagi misalnya kita terhadap orang asing pun kalau dia sudah menggunakan bahasa biasa, bahasa teman ya kalau misalnya bahasa
Jawanya bahasa ngoko artinya dia membuka diri.”
292
291
Wawancara dengan Sutiman, Responden LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30
292
Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐ 11.15
commit to user 151
2 Ketegasan dan Keharmonisan Interpersonal Dimensi kedua yang mempengaruhi konteks komunikasi adalah cara
seseorang menyatakan diri kepada orang lain. Walaupun ada banyak aspek gaya komunikasi, ketegasan dan keharmonisan interpersonal secara langsung
mempengaruhi ruang lingkup antarbudaya.
293
Budaya Amerika Serikat dikenal luas, karena gaya komunikasinya yang tegas. Sedangkan di Asia Timur dan Asia Tenggara, perjanjian yang
menguntungkan, kesetiaan, dan kewajiban timbal balik merupakan hal yang penting untuk suatu hubungan yang harmonis.
294
Mempertahankan hubungan yang harmonis dan menghindari apa yang kelihatannya merupakan perilaku yang agresif juga merupakan
perhatian penting di antara bangsa Jepang. Begitu kuatnya perhatian akan perasaan orang lain, sehingga orang Jepang terkenal menghindari kata
“tidak” yang mereka anggap kasar.
295
Hal itu juga diakui oleh orang-orang yang sering berinteraksi dengan warga Jepang.
293
Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm 349
294
Ibid.
295
Ibid.
commit to user 152
“Misalnya dia bilang “no” itu sudah sangat tegas. Tapi kalau kita tidak tahu karakter orang Jepang, kita tidak bisa paham. Jadi, “no” itu
tidak secara nyata tapi secara implicit, kita sudah harus paham.”
296
3 Hubungan Status Egalitarian dan Hierarkis Variabel ketiga yang mempengaruhi semua konteks komunikasi
berhubungan dengan persepsi dan respons budaya terhadap status. Setiap budaya dan organisasi memiliki protokol yang didasarkan pada budaya
untuk mengarahkan interaksi antara orang-orang yang posisinya bervariasi. Menggunakan skala klasifikasi yang luas, suatu budaya secara umum dapat
dikelompokkan sebagai egalitarian dengan sedikit perhatian terhadap perbedaan sosial atau hierarkis yang menenkankan pada status dan tingkatan.
Negara Jepang adalah negara yang menganut hierarkis. Di Jepang, perbedaan status terlihat jelas melalui protokol yang mengatur aktivitas
interpersonal dan oraganisasi. Interaksi antara bawahan dan senior dilaksanakan dalam cara yang formal dan gelar selalu digunakan. Senior
diharapkan untuk melakukan peranan patriarchal sebagai respon terhadap rasa hormat anggota yang lebih rendah. Dalam budaya yang menggunakan
status sebagai tanda, seperti Jepang, guru diperlakukan dengan sangat hormat, bahkan dalam situasi ketika mahasiswa tidak diharapkan menjawab
pertanyaan dosennya.
297
296
Wawancara dengan Sutiman, Responden LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30
297
Samovar dkk. 2010. Op.Cit. hlm. 353
commit to user 153
Warga Jepang yang tinggal di Solo untuk tujuan belajar sangatlah menghormati orang yang menjadi gurunya. Dan hal tersebut membuat sang
guru tersebut merasa dihormati dan menilai bahwa orang Jepang memiliki kesopanan yang tinggi bahkan melebihi warga Jawa sendiri. Hal tersebut
sangatlah cocok dengan budaya Indonesia yang juga menganut pandangan hierarkis.
2. Sikap saat berkomunikasi