Kompetensi Komunikasi Antarbudaya KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

commit to user 161 “Ya, sering. Karena kuliah saya kan pribadi jadi dengan dosen ya sering. Sekarang kan saya ada kebiasan menjadi penghubung antara pihak Japan dengan pihak Indonesia, jadi ya harus komunikasi. Pada awalnya, saya tinggal langsung di rumah teman saya. Itu artinya, tidak ada orang asing di tempat saya. Makanya, harus diajak berbicara atau harus berkomunikasi untuk kehidupan. Jadi, makanya sebenarnya itu kan sudah ada keperluan untuk hidup.” 324 “Sering sekali ya. Dengan lingkungan sekitar rumah maupun sesama teman seniman. Kalau ada keperluan juga.” 325 “Berapa kali? Ga bisa dihitung. Kalau aku disini, terus ada yang lewat, menegur gitu kan? Ya, ya, jadi seperti itu kalau aku tidak sakit. Kalau sakit, di kamar terus jadi ga da komunikasi sama orang. Tapi kalau ga sakit, sepanjang hari buka mulut. Lebih, lebih, 20 kali aja lebih. Melebihi daripada burung og, iya.” 326 “Kan, di sini kan toko. Jadi, ya setiap hari.” 327 Sebagai inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang menghubungkan individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya mereka. Pentingnya komunikasi bagi akulturasi tidak perlu diragukan lagi. 328

4. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Spitzberg mengatakan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Kim memberikan definisi yang lebih detil ketika dia menuliskan bahwa kompetensi antarbudaya merupakan kemampuan internal suatu individu untuk mengatur fitur utama dari 324 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30 ‐16.30 325 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00 ‐16.00 326 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00 327 Wawancara dengan Naoko Ujiie, Responden Tempat tinggal Naoko Ujiie: rabu, 15 desember 2010, jam 16.00‐16.30 328 Deddy Mulyana. Op. Cit hlm. 148 commit to user 162 komunikasi antarbudaya: yakni, perbedaan budaya dan ketidakbiasaan, postur inter-group, dan pengalaman stress. Apa yang dinyatakan dua definisi itu adalah bahwa menjadi komunikator yang kompeten berarti memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dan sesuai dengan anggota dari budaya yang memiliki latar belakang linguistik-kultural. 329 Banyak penelitian dalam kompetensi komunikasi antarbudaya mengungkapkan lima komponen kompetensi yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya yang lain. 330 Kelima komponen tersebut adalah: a Motivasi untuk berkomunikasi Merupakan hal yang logis dan alami untuk mengasumsikan seseorang termotivasi untuk berinteraksi dengan orang yang dekat dengan orang tersebut baik secara fisik maupun emosional. Walaupun hal ini merupakan reaksi yang normal, hal ini kadang menjauhkan seseorang dari usaha untuk memahami pengalaman orang-orang. Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya mengungkapkan bahwa motivasi dalam hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya berarti seseorang memiliki keingian pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasi. 331 Seperti hal yang diungkapkan oleh salah seorang responden. Pada mulanya, dia berkomunikasi hanya untuk sekedar berkomunikasi dengan orang 329 Samovar, dkk. 2010. Op. Cit. 460 330 Ibid. 331 Ibid. hlm. 461 commit to user 163 lain. Tapi lama-kelamaan, keinginan untuk berinisiatif dan meningkatkan kemampuan komunikasi muncul. “Kalau pada awalnya, ga begitu merasa sulit dengan bahasa Indonesia. Pada awalnya ya, kok agak gampang belajar bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris, tapi semakin lama semakin merasa sulit. Mungkin ya, itu mungkin karena sudah muncul keinginan saya ingin menyampaikan pendapatnya atau pikiran saya yang sebenarnya. Kalau dulu kan, intinya mau komunikakai kan? Makanya tidak perlu yang sesungguhnya. Kalau ini kan setelah bisa komunikasi, ada muncul keinginan untuk itu. Makanya merasa sulit. Yang lain tidak begitu ada kesulitan, kalau saya.” 332 Sebagai komunikator yang penuh motivasi, seseorang menunjukkan ketertarikannya, berusaha untuk berbicara serta mengerti, dan menawarkan bantuan. Selanjutnya, orang tersebut menunjukkan bahwa dia ingin berhubungan dengan orang lain dalam level personal dan memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang-orang dari kebudayaan yang berbeda. 333 “Jika saya sudah tertarik dengan orang ini, tetep berusaha untuk sering bertemu. Kalau sekali berbicara mungkin ga bisa paham tentang dalam berbicara. Tapi jika tidak tertarik juga tidak perlu sih. Soalnya kalau untuk komunikasi, kan memang harus anu, harus ada waktu lama.” 334 Sebagai contoh lain, seorang responden menawarkan bantuannya kepada peneliti untuk memperkenalkan kepada orang-orang Jepang lain yang tinggal di Solo. b Pengetahuan yang cukup mengenai budaya 332 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30 ‐16.30 333 Samovar, dkk. Loc. Cit. 334 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30 ‐16.30 commit to user 164 Komponen pengetahuan dalam kompetensi komunikasi antarbudaya berarti bahwa seseorang menyadari dan memahami peraturan, norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan dengan orang tersebut. 335 Dalam penelitian ini, pihak yang harus memiliki pengetahuan tersebut adalah warga Jepang. Mereka harus memahami bagaimana kondisi sekitar baik peraturan maupun norma. Sehingga komunikasi yang efektif dapat terjalin dan mendukung potensi akulturasi. c Kemampuan komunikasi yang sesuai Sebagai seorang komunikator yang kompeten seseorang harus mampu mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan serta mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan orang tersebut untuk mencapai tujuannya. 336 Dari hasil penelitian, setiap individu warga Jepang mengindikasikan kemampuan tersebut. Mereka pro aktif terhadap lingkungan. Ada keinginan dan usaha untuk menjadi komunikator yang kompeten. Mereka menerapkan apa yang telah mereka pelajari tentang lingkungannya agar bisa diterima dan menyatu dengan lingkungannya. 335 Samovar, dkk. Loc. Cit. 336 Samovar, dkk. 2010. Op. Cit. 462 commit to user 165 Hal tersebut terlihat dari keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh dan keinginan untuk mencapai kehidupan yang harmonis dengan masyarakat. d Sensitivitas Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi yang sensitive satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan dalam suatu interaksi. Sensitivitas, menurut Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya, meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya yang lain, terbuka pada perbedaan, dan merasa nyaman dengan yang lain. 337 Sensitivitas tersebut juga dimiliki oleh imigran asal Jepang yang tinggal di Solo. Hal tersebut terlihat dari bagaimana mereka berusaha memahami lawan bicara dan lingkungan sekitar sehingga komunikasi berjalan lancar. Mereka semua merupakan individu yang mampu menerima perbedaan yang ada di sekitar mereka. Spencer-Roberts dan McGovern menambahkan bahwa komunikator yang sensitif memiliki rasa toleransi terhadap ambiguitas. Hal tersebut berarti, saat seseorang melihat suatu kebiasaan dan perilaku yang aneh dan tidak biasa, orang itu tidak akan bingung karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi atau menentang perilaku dan kebiasaan tersebut. Hal ini mengarah pada pemikiran lain oleh Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya yang percaya bahwa komunikator 337 Samovar, dkk. 2010. Loc. Cit. commit to user 166 yang sensitif harus lebih toleran terhadap orang lain dan budaya lain serta mengembangkan perasaan allophilia, yaitu menyukai yang lain dan perilaku yang menginspirasi. 338 e Karakter Seorang filsuf dan guru dari Amerika P.B. Fitzwater mengatakan karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya adalah bagaimana seseorang melaksanakan pilihan tersebut ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda budayanya. Mungkin salah satu sifat yang paling penting yang diasosiasiakan dengan karakter adalah apakah mereka dapat dipercaya atau tidak. Sifat yang kadang diasosiasikan dengan orang yang terpercaya adalah kejujuran, peghargaan, kewajaran, dan kemampuan untuk melakukan pilihan yang tepat, dan juga kehormatan, mementingkan kepentingan orang lain, ketulusan, dan niat baik. 339 Karakter imigran Jepang lebih mudah diterima oleh masyarakat Surakarta. Mereka dinilai memiliki unggah-ungguh seperti orang Jawa yang membuat orang yang berhubungan dengan mereka merasa senang. Serta orang Jepang yang datang dengan tujuan belajar sangat menghormati orang yang menjadi gurunya dan lebih serius dalam mempelajari kesenian serta bidang yang dipelajari lainnya. “Tapi kalau tentang ngajeni itu ya, malah ngajeni orang di sana daripada orang di sini. Ramah-tamahnya, orang ramah-ramahnya itu di sana itu 338 Ibid. 339 Ibid. commit to user 167 malah lebih sekali. Terus kalau dia itu menganggap dia guru, kalau orang sini seumpama saya ya, mahasiswa ketemu saya, ya udah “ya bu Kur”, tapi kalau di sana pasti “Ibu, apa kabar?” ini, ini, ini. Ya itu bedanya di situ. Jadi, yang saya rasakan itu kok malah lebih menghormat daripada orang Indonesia kalau dengan pengajarnya.” 340 “Lain dengan, sama-sama orang asing, misalnya Eropa, orang Jepang itu lain. Bedanya itu, sikapnya menghargai lain, cara duduknya juga lain. Kalau Jepang itu duduknya betul-betul, apa ya, kalau mungkin timpuh ya. Itu, kebanyakan kalau orang Jepang itu timpuh. Dan itu, mungkin kalau orang asing lain, begitu ketemu masuk kelas, latihan, ya udah. Kalau udah jam pulang ya udah. Jadi ga ada hormatnya.” 341 “Terus dia sangat teliti sekali, lain dengan Dharmasiswa yang dari Eropa. Yang Jepang itu luar biasa. Itu yang saya amati itu dia itu bener-bener belajar, waktu itu digunakan sebaik-baiknya. Tidak terlalu santai tapi ya tidak terlalu apa ya, serius sekali tapi dia kemampuannya itu luar biasa.” 342 “Memang orang Jepang itu kalau saya bandingkan dengan orang- orang asing yang lain yang belajar gamelan, dia lebih siap. Makanya, kepandaian orang Jepang dengan kepandaian orang-rang asing lainnya tentang gamelan, dia lebih unggul.” 343

5. Faktor Pendukung Akulturasi potensi akulturasi individu

Dokumen yang terkait

Analisis Hubungan Kecemasan Dan Ketidakpastian Terhadap Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang Di Indonesia

8 87 179

Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)

17 176 147

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 12

PENDAHULUAN Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 2 24

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 13

PERAN IDENTITAS SUKU JAWA DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Peran Identitas Suku Jawa Dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif Kualitatif Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putri yang ada di Demak).

0 1 14

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA JEPANG DI SURABAYA (Studi Kualitatif Proses Penyesuaian Diri Mahasiswa Jepang).

0 0 10

ADAPTASI ANTARBUDAYA MAHASISWA ASING UNS (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Hambatan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asing dalam Beradaptasi di Solo Tahun 2015).

0 2 13

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA ASING (Studi Tentang Kecenderungan-kecenderungan Komunikasi Antarbudaya Yang Berkembang Di Kalangan Mahasiswa Asing Di Surakarta).

0 0 16

Proses Komunikasi antarbudaya dalam proses

0 0 5