5.13. Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove
Lahan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur dari tahun-ketahun semakin berkurang luasannya. Hal ini disebabkan berubahnya fungsi kawasan
lahan hutan mangrove menjadi lahan pertanian, sementara luas kawasan pertanian berubah juga fungsinya terkonversi menjadi areal pemukiman. Di sisi
lain masalah jumlah penduduk di kawasan Kabupaten Aceh Timur semakin meningkat. Dari fenomena tersebut kita dapat melihat bahwa kebutuhan akan
lahan untuk beraktivitas maupun untuk bermukim akan semakin tinggi seiring makin tingginya pertambahan jumlah penduduk
. Perubahan penggunaan lahan
yang disebabkan oleh fenomena alam dan aktifitas manusia tersebut akan menyebabkan degradasi lahan. Tanpa adanya usaha perbaikan, lahan yang ada
akan semakin menurun kualitasnya dan pada akhirnya akan menjadi lahan kritis di Kabupaten Aceh Timur.
Secara umum lahan kritis merupakan salah satu indikator adanya degradasi penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak dari berbagai jenis
pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana. Dalam penelitian ini tingkat kekritisan lahan mangrove ditentukan berdasarkan penggabungan jumlah
dari tiga kriteria, yaitu Jenis tutupan lahan Jpl, Kerapatan tajuk Kt, dan Ketahanan tanah terhadap abrasi Kta.
Berikut ini akan disajikan data tingkat kekritisan lahan mangrove di Kabupaten Aceh Timur berikut dengan luasnya. Untuk memudahkan dalam
melakukan analisis, maka data disajikan dalam bentuk tabel seperti Tabel 34. Peta Kekritisan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam disajikan pada Gambar 31. Tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Aceh Timur diklasifikasikan menjadi 3 kategori kerusakan yaitu rusak berat, rusak
dan tidak rusak. Hasil perhitungan tingkat kekritisan lahan mangrove di Kabupaten Aceh
Timur bahwa kategori kerusakan yang paling luas yaitu kategori rusak berat, merupakan kategori kerusakan yang memiliki luas yang terbesar di seluruh
kecamatan. Adapun luasnya adalah, 36.064 ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 49,85 . Kecamatan yang memiliki kategori rusak berat dalam jumlah
yang besar adalah Pante Bidari. Adapun luas kerusakkanya adalah 12.374 ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori rusak berat yang terdapat di
Kecamatan Pante Bidari disajikan pada Gambar 32.
Gambar 32. Lahan mangrove kategori rusak berat Gambar 32 menunjukkan lahan mangrove yang telah di konversi menjadi
areal perkebunan kelapa sawit. Hutan mangrove yang secara alami terdapat di sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu lhutan
mangrove terbaik yang dimiliki oleh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bahkan ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa hutan mangrove Aceh
Timur merupakan hutan mangrove terbaik di Indonesia. Namun, sejak awal tahun 1980an dengan dikeluarkannya izin HPH kepada beberapa perusahaan dalam
pengelolaan hutan mangrove yang merupakan bahan baku untuk pembuatan arang sebagian untuk di ekspor telah menyebabkan terjadinya kerusakan
ekosistem hutan mangrove secara berkala. Perusahaan yang memegang izin HPH juga memperkerjakan masyarakat wilayah pesisir Kabupaten Aceh Timur
diperusahaannya didalam pembuatan arang mangrove. Pembuatan arang mangrove skala rumah tangga yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten
Aceh Timur pada saat ini disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33. Pembuatan arang mangrove skala rumah tangga.
Hal ini diperparah lagi dengan masuknya perusahaan-perusahaan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak udang yang
diusahakan secara intensif. Pada akhir tahun 1990an banyak perusahaan yang meninggalkan areal HPH dan areal tambak udang. Hal ini terjadi selain karena
tidak menguntungkan lagi secara ekonomis hutan mangrove sudah rusak sehingga tidak ada lagi bahan baku untuk pembuatan arang dan udangnya
banyak yang diserang penyakit, juga disebabkan oleh situasi keamanan yang tidak kondusif. Maka semakin banyak juga hutan mangrove yang telah berubah
menjadi areal terbuka akibat dari perbuatan oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tidak kondusifnya keamanan untuk memperkaya diri sendiri tanpa
mengindahkan arti pentingnya hutan mangrove. Apalagi permintaan ekspor arang mangrove dari negara tetangga Malaysia dan Singapura semakin tinggi.
Pada awal tahun 2000an, seiring dengan kondusifnya keamanan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada umumnya dan Kabupaten Aceh Timur
pada khususnya telah mengundang kembali perusahaan-perusahaan luar daerah untuk mencari keuntungan sesaat dengan cara membeli izin untuk mengkonversi
kembali hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini didorong oleh faktor sangat sesuainya kelapa sawit tumbuh di sebagian besar wilayah
Kabupaten Aceh Timur, juga disebabkan semakin sempitrnya areal perkebunan kelapa sawit di daerah lain dan tingginya harga CPO dipasaran dunia. Land
clearing hutan mangrove menjadi areal perkebunan kelapa sawit disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34. Pekerjaan land clearing hutan mangrove Latar belakang alat berat Becko.
Tabel 34. Hasil penilaian kekritisan ekosistem mangrove di wilayah Kabupaten Aceh Timur.
No Kecamatan Luas ha Setiap Tingkat Kekritisan
Total Rusak Berat
Rusak Tidak
Rusak 1
Banda Alam 1.635
1.635 2
Bireum Bayeun 598
1.960 4.756
7.314 3
Darul Aman 1.768
244 2.012
4 Idi Rayeuk
2.052 2.052
5 Julok 1.776
1.200 2.976
6 Nurussalam 2.542
385 2.927
7 Pante Beudari
12.374 13.403
940 26.717
8 Peudawa 102
102 9
Peureulak 1.279 2.155
3.434 10
Peureulak Barat 865
177 1.041
11 Peureulak Timur
1.202 1.484
53 2.740
12 Rantau Selamat
2.740 646
1.189 4.575
13 Ranto Peureulak
303 1.924
2.228 14
Simpang Ulim 2.734
1.897 211
4.842 15
Sungai Raya 3.856
3.256 399
7.511
Jumlah
36.064 28.729
7.548 72.341
Sumber : Hasil interpretasi citra satelit landsat tahun 2005. Luas kategori kerusakan yang memiliki wilayah terluas kedua adalah
rusak. Adapun luasnya adalah 28.729 ha atau bila dipersentasekan adalah sebesar 39,71 . Kecamatan yang memiliki kategori rusak dalam jumlah yang
besar adalah Pante Bidari. Adapun luas kerusakannya adalah 13.403 ha. Kerusakan lahan mangrove dalam kategori rusak yang terdapat di Kecamatan
Pante Bidari disajikan pada Gambar 35.
Gambar 35. Lahan mangrove kategori rusak Kategori kerusakan lahan hutan mangrove dalam kriteria tidak rusak
merupakan jenis kerusakan yang memiliki luas terkecil yang terdapat di lahan
hutan mangrove Kabupaten Aceh Timur. Adapun luasnya adalah 7.548 ha atau bila dipersentasekan sebesar 10,43 . Kecamatan yang memiliki kategori tidak
rusak dalam jumlah yang besar adalah Bireum Bayeun dan Rantau Selamat. Adapun luasnya adalah 4.756 ha dan 1.189 ha. Kerusakan lahan mangrove
dalam kategori tidak rusak yang terdapat di Kecamatan Bireum Bayeun disajikan pada Gambar 36.
Gambar 36. Lahan mangrove kategori tidak rusak Rehabilitasi lingkungan yang dilakukan berupa penghijauan kawasan
pesisir sebagai green belt yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Timur, beberapa lembaga lokal yang bekerjasama dengan lembaga asing
maupun lokal melalui penglibatan masyarakat secara aktif dan pasif. Kegiatan penghijauan pesisir yang dilakukan berupa penanaman mangrove, dan tanaman
pantai lainnya.
Gambar 37. Kegiatan penghijauan dengan mangrove jenis Rhizopora mucronata
Gambar 37 menunjukkan kegiatan penghijauan dengan mangrove dari jenis Rhizopora mucronata pada lahan bekas tambak. Kegiatan penghijauan
pesisir diharapkan dapat menahan laju abrasi, intrusi air laut, dan sebagai pelindung kawasan pemukiman dari hembusan angin laut. Fungsi penting
vegetasi pantai sangat dirasakan oleh masyarakat saat vegetasi tersebut rusak. Hembusan angin yang membawa udara panas dari arah laut sangat dirasakan
oleh masyarakat terutama pada musim angin barat Juli-November. Musim tersebut hembusan angin kencang dari Selat Malaka menerjang kawasan
Kabupaten Aceh Timur wilayah pesisir tanpa ada penghalang. Pada musim ini gelombang laut oleh angin dapat mencapai ketinggian + 3 meter.
Rehabilitasi lingkungan terutama kegiatan rehabilitasi mangrove pada umumnya dilakukan dengan penanaman mangrove jenis Rhizophora sp.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa jenis Rhizophora yang ditanam berasal dari jenis Rhizopora mucronata. Pemilihan jenis ini selain ketersediaan
bibit yang relatif mudah juga didasarkan pada kondisi substrat pasir berlumpur dan kemampuan tumbuh jenis ini yang tinggi. Tanpa disadari kegiatan rehabilitasi
mangrove telah mengarah kepada monospecies. Kondisi ini dalam jangka pendek dapat memberikan keuntungan terhadap ekosistem mengingat
pertumbuhan mangrove jenis Rhizopora sp lebih cepat dan daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dibandingkan dengan mangrove jenis lainya. Dalam
jangka panjang dikhawatirkan terjadi pengurangan spesies mangrove alami akibat dominansi satu jenis tanaman. Kekhawatiran lainnya adalah rentannya
mangrove rehabilitasi terhadap serangan hama akibat sistem monospecies. Disarankan kepada pelaku rehabilitasi untuk menanam mangrove dari berbagai
jenis sesuai dengan kesesuaian lahan untuk lokasi penanaman.
Gambar 31. Peta kekritisan mangrove Kabupaten Aceh Timur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5.14. Arahan Pengembangan Mangrove 5.14.1. Tujuan Pengembangan Pengelolaan Mangrove