49
pembuat kebijakan, pemeriksa pajak sampai para petugas pajak di lapangan. Sangat disayangkan, dalam kurun waktu 32 tahun sejak ditetapkan, sistem
self assessment
cenderung mengalami stagnasi. Sampai dengan saat ini, wajib pajak belum sepenuhnya melakukan penghitungan, penyetoran maupun
pelaporan hutang pajaknya. Kecenderungan yang terjadi adalah sistem pemungutan pajak saat ini mengarah pada sistem
quasi self assessment dan
quasi official assessment . Terminologi
quasi yang diartikan semu
dipergunakan untuk menandakan bahwa sistem yang berjalan selama ini tidaklah murni.
Bahkan kesulitan aparatur dalam membangun kesadaran pajak para pengusaha kecil menengah, pada tahun 2013 pemerintah menetapkan PP 46
dengan mengenakan sebesar 1 dari omzet dan final. Hal ini sebagai cara praktis dalam menjaring para pengusaha kecil menengah.
Begitu pula Sistem quasi official assessment
juga dapat dilihat pada salah satu contoh dari upaya ekstensifikasi pajak yaitu melakukan kanvasing atau
penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena kanvasing justru menunjukkan tingkat kepatuhan perpajakan
tax compliance yang rendah karena dalam
metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
4. Dampak dari tolok ukur target penerimaan.
Dengan target pajak menjadi tolok ukur keberhasilan menjadikan mental yang terbangun mengarah pada cara mengejar target penerimaan setinggi-tinggina.
Untuk memenuhi target, fiskus melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Para kepala kantor mengakali penerimaan dan pengeluaran
pajak dengan menggunakan modus mempercepat penyelesaiaan kasus pemeriksaan, memaksakan pengenaan pajak yang bersifat
grey area ,
memajukan angsuran PPh 25, menunda pencairan restitusi, menolak keberatan, menolak permohonan pengurangan angsuran dll, demi pencapaian
target penerimaan tahun ini. Artinya Penerimaan pajak yang menjadi hak tahun depan dimajukan ke tahun sekarang. Sebaliknya pengeluaran tahun ini
di tunda ke tahun berikutnya. Modus ini marak terjadi sebelum reformasi birokrasi.
Target penerimaan yang belum tercapai terkadang juga membuat fiskus bersikap sangat selektif dalam menerima keberatan, terlebih apabila
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
50
menyangkut jumlah yang material. Seringkali kasus keberatan di tolak bukan karena tingkat kebenaan kasus tersebut, tapi lebih dikarenakan pertimbangan
dampak terhadap target penerimaan.
Walaupun hal tersebut tidak melanggar aturan, namun cara tersebut tidaklah sesuai dengan prinsip
self assessment system. Karena akan
menimbulkan efek negatif terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu juga dalam jangka panjang dapat menimbulkan kekacauan misalkan potensi pajak
masing-masing KPP sulit terukur, momentum pengenaan pajak menjadi tidak jelas, kesulitan dalam menilai prestasi kerja aparatur pajak, menyuburkan
terjadinya korupsi dll.
5. Maksimalisasi target penerimaan pajak.
Dengan prinsip sistem self assessment,
target penerimaan seharusnya mengarah pada titik paling optimum yang bisa digali
optimalisasi . Idealnya
pemungutan pajak tidak melebihi titik optimum atau bahkan melebihi potensi pajak sesungguhnya. Sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan
penggalian potensi penerimaan melalui profiling dan bencmarking wajib pajak potensial.
Profiling dilakukan untuk mengetahui profil setiap wajib pajak dan
akan dikelompokan berdasarkan jenis usaha yang sama, sehingga Ditjen Pajak memilliki acuan
benchmark mengenai kondisi usaha dan laba yang
diperoleh wajib pajak disektor tertentu. Kegiatan ini seharusnya lebih di intensifkan sehingga dapat memetakan potensi setiap wajib pajak, berapa
tingkat optimum pajak yang mampu mereka bayar.
Namun pada kenyataannya selama ini, kebijakan pajak lebih mengarah pada target penerimaan setinggi-tingginya
maksimalisasi . Hal ini tentunya dapat
memberatkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak fungsi pembinaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat akan pajak.
B. P embangunan