242
yang kuat untuk
mewujudkan kontrak fiskal yang lebih baik
di mana negara dan masyarakat secara bersama-sama menciptakan hubungan timbal balik
yang setara, saling percaya, dan menguntungkan.
Melalui program pengampunan pajak, pemerintah juga memberikan sinyalemen kepada wajib pajak bahwa ada suatu kepercayaan dan kemauan
untuk “mengesampingkan dosa masa lalu” dari wajib pajak sekaligus juga menyiratkan pengakuan atas kesalahan otoritas pajak di masa lalu.
Pengampunan pajak juga akan membuka ruang rekonsiliasi nasional yang akan memberikan legitimasi yang lebih besar bagi pemerintah saat ini.
Legitimasi tersebut merupakan bentuk kepercayaan dan bentuk dukungan masyarakat karena adanya kemauan pemerintah untuk ‘menatap ke depan’.
Dengan adanya dukungan tersebut, pada hakikatnya telah terjalin suatu kontrak fiskal di mana kemudian hari para pendukung
akan berkontribusi dengan membayar pajak
. Akibatnya, kebijakan pajak yang terjadi pada dasarnya adalah suatu kesepakatan formal dan mengikat antara warga negara
dengan negara.
3.4. Ketidakpastian dalam Pertukaran Informasi
Walau kerangka kerjasama pertukaran informasi secara otomatis memberikan suatu arah baru yang lebih baik, bukan berarti tidak ada kendala dalam
penerapannya, yaitu:
i
Tantangan dari internal domestik
. Saat ini, telah terdapat dua peraturan yang menjelaskan tata cara dan panduan teknis bagi otoritas pajak untuk
mengakses data perbankan, yaitu: i Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125 tahun 2015 mengenai Tata Cara Pertukaran Informasi; serta ii Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25 tahun 2015 mengenai Penyampaian Informasi Nasabah Asing terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau
Yurisdiksi Mitra. Walau demikian, secara kerangka hukum pelaksanaannya masih terganjal oleh UU Perbankan dan UU KUP.
Tidak mengherankan jika hingga saat ini Indonesia masih digolongkan sebagai negara dengan status ‘
partially compliant’ karena penerapannya masih
terhambat dengan akses data perbankan dalam negeri. Saat ini, terdapat rencana untuk merevisi kedua UU tersebut yang mana akan memuat suatu
akses data perbankan secara otomatis oleh otoritas perpajakan.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
243
ii
Tantangan eksternal mengenai efektivitas pertukaran informasi
juga masih membayangi. Walau sudah 104 negara yang berkomitmen, namun
jumlah tersebut baru 50 dari total negara di dunia. Padahal, dalam konteks penyelesaian persoalan pajak yang bersifat internasional dibutuhkan suatu
kesepakatan yang mengikat secara multilateral. Kesepakatan yang hanya dilakukan oleh sebagian negara
subset of countries tetap menyisakan celah
untuk adanya aliran dana ke tempat-tempat yang masih belum berpartisipasi dalam AEoI.
Dari 49 negara tax haven
yang ada, baru sekitar 30 negara yang terlibat. Itupun belum mempertimbangkan
preferential tax regime negara dengan
rezim ring fencing
atau wilayah dalam suatu negara yang sengaja dibentuk sebagai
offshore financial center seperti di Labuan Malaysia, Basque
Spanyol atau Delaware Amerika Serikat. Selain itu, tidak adanya mekanisme
punishment dari
Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes
juga menciptakan keraguan mengenai efektivitas AEoI
. Singkatnya, pertukaran informasi secara otomatis yang digaungkan
tersebut
masih memiliki unsur ketidakpastian
. Walaupun pengampunan pajak diajukan sebagai antisipasi ketidakpastian
implementasi pertukaran informasi secara otomatis di masa mendatang, namun
kehadirannya tidak dimaksudkan untuk menggagalkan hal tersebut
. Ide mengenai transparansi dan keterbukaan justru menjadi salah satu elemen penting dari program pengampunan pajak di Indonesia. Sebagai
contoh, hal tersebut terlihat dari kewajiban untuk membubarkan special
purpose vehicle SPV dan melakukan pengalihan hakbagi wajib pajak yang
memiliki harta tidak langsung melalui SPV. Akan tetapi, mempertimbangkan bahwa kehadiran SPV bukan selalu untuk kepentingan pajak, namun juga
untuk kebutuhan bisnis, maka keharusan untuk membubarkannya menjadi opsional. Ketentuan tersebut sekaligus juga menyeimbangkan antara
transparansi dan upaya untuk menjaga aktivitas ekonomi lintas yurisdiksi.
3.5. Penegakan Hukum Pasca Pengampunan Pajak