Affirmative Action. Penjelasan Terkait Dengan UU Pengampunan Pajak

305 teori tersebut berdasarkan asumsi bahwa orang mengambil keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat berdasarkan pertimbangan cost and benefit. Dalam soal perpajakan, orang tidak akan menghindari jika keuntungan yang diharapkan dari kepatuhan akan lebih besar dibanding biaya yang timbul. Terdapat 2 dua cost yang timbul jika menghindari pajak dan melarikannya ke luar negeri, yaitu: a. Kemampuan aparat untuk menegakkan hukumnya dan memaksa pembayar pajak memenuhi kewajibannya probability to adjudicate= P; b. Hukuman denda maksimum yang diharapkan=[ Sanction ]. Perkalian faktor inilah yang membentuk biaya cost yang diperhitungkan akan timbul bagi seseorang yang ingin menghindari pajak. Seandainya biaya tersebut disebut C, maka C adalah P kemampuan aparatur pajak untuk menegakkan kewenangannya dikalikan denda maksimum S. Berdasarkan dalil tersebut, maka dalam kondisi pendapatan yang di investasikan di luar wilayah hukum NKRI, menjadikannya diluar kompetensi aparatur pajak untuk memaksakan dan menegakkan sanksi, sehingga C= P x S, menyebabkan tetap menguntungkan untuk terus menempatkan uang yang dibawa dari Indonesia tersebut berada dan ditanam di luar wilayah NKRI, karena aman dari jangkauan hukum Indonesia dan menguntungkan. Dengan tax amnesty yang memberikan kemudahan dan jaminan- jaminan hukum di Indonesia jika modal tersebut di repatriasi, dengan pengenaan denda tebusan yang sangat rendah, maka dari analisis cost and benefit, respon wajib pajak yang di luar jangkauan hukum pajak Indonesia, dengan rasionalitas sebagai maximizer of benefit , akan berubah sikap karena akan meningkatkan kepuasannya akan benefit yang diperoleh. Fakta empirik dalam tahap pertama tax amnesty, menjadi bukti yang nyata.

2. Affirmative Action.

Dalil para Pemohon tentang UU Tax Amnesty yang mendiskriminasikan pembayar pajak yang taat, maka sesungguhnya tidak merupakan issue yang timbul dari Undang-Undang a quo , karena semua berhak untuk meminta tax amnesty dengan mengungkap harta dan pembayaran pajak yang masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jikalau seandainya terjadi – terutama ketika pembayar pajak yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 306 taat yang telah membayar kewajiban pajaknya selama ini sesuai dengan tarif yang ditentukan UU KUP yang berlaku, tetapi kemudian terjadi pengampunan kepada mereka yang tidak taat dengan tarif yang berbeda, maka kondisi demikian merupakan hal yang dilihat dari dampak suatu kebijakan yang diambil dalam apa yang sering disebut sebagai affirmative action. Tujuan utama affirmative action adalah untuk memungkinkan suatu negara mencapai potensinya secara penuh, dalam hal ini di bidang perpajakan, dengan jumlah pembayar pajak yang memiliki NPWP, diharapkan akan mendukung kehidupan sektor ekonomi dan sosial. Dengan demikian mempeprluas basis ekonomi dan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. a. Affirmative action dirancang untuk memperbaiki penerimaan pajak dari semua sektor untuk optimalisasi potensi sumber daya yang ada dengan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pembayaran pajak; b. Affirmative action merupakan seperangkat aturan, kebijakan, pedoman serta praktek administratif yang bermaksud mengakhiri ketidakadilan dalam perpajakan; c. Tax amnesty bukan amnesti kepada tindak pidana korupsi yang jika ada dilakukan menjadi masalah tersendiri. Pengampunan pajak Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 3 ayat 1 UU Pengampunan Pajak, yang dianggap bertentangan dengan Pasal 23 ayat 1 UUD 1945 bahwa “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Adalah keliru untuk memahami arti “hukum memaksa” dalam Pasal 23 ayat 1 UUD 1945, karena frasa “hukum memaksa” dalam Pasal tersebut adalah suatu pembedaan yang dikenal dalam ilmu hukum tentang pembagian bidang hukum dalam “ dwingend recht” yang diterjemahkan sebagai hukum memaksa yang umumnya berada dalam hukum publik, dan “ aanvullend recht” yang disebut sebagai hukum mengatur, yang hanya operasional jika para pihak belum mengaturnya sendiri dalam transaksi mereka. Karena sifatnya demikian jenis hukum mengatur aanvullend recht yang sifatnya privaatrehtelijk , dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak, sedang “ dwingend recht” yang umumnya bersifat publik, tidak. Tentang frasa “memaksa” dalam pasal tersebut adalah menunjuk karakter hukum yang mengaturnya sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id 307 bersifat memaksa yang berasal dari apa yang disebut 2 karakter norma hukum, yang disebut hukum memaksa dwingend recht , sebagai norma hukum yang mengikat secara wajib dan tidak dapat dikesampingkan pihak-pihak. Hukum mengatur anvullend recht yang hanya berlaku ketika pihak-pihak memiliki kebebasan mengatur sendiri dan mengesampingkan aturan yang sifatnya aanvullend recht. Sifat memaksa yang dimaksud menyatakan bahwa dasar hukum pajak dan pungutan lain, harus didasarkan kepada undang-undang dan tidak ada pilihan dengan hukum yang bersifat aanvullend. Dengan demikian tampak tidak ada pertentangan karena jikalau pengenaan pajak dengan undang- undang dengan sifat memaksa, maka juga pengampunan harus didasarkan dengan Undang-Undang yang sifatnya memaksa, dan tidak terdapat aanvullend recht yang digunakan.

3. Keseimbangan dan Proporsionalitas Hak dan Kewenangan Konstitusional.