201
Di dalam konteks VDP, ada dua pelajaran penting yang dibawa oleh studi tersebut. Pertama, menjadi tidak efisien jika VDP dirancang agar seluruh wajib
pajak dapat berpartisipasi. Kedua, peningkatan kemampuan mendeteksi pelanggaran pajak menjadi salah satu faktor penting dari keberlangsungan VDP.
Perluasan kedua dari model K-S yang dapat dijadikan justifikasi mengapa VDP diperlukan oleh Pemerintah Indonesia adalah studi yang dilakukan oleh
Langenmayr 2015 dan Schmittdiel 2015, dimana di dalam kedua studi tersebut mereka mengasumsikan bahwa wajib pajak memiliki rasa bersalah atau beban
moral setelah melakukan pelanggaran pajak, dimana rasa bersalah tersebut berbeda-beda dari satu wajib pajak ke wajib pajak yang lainnya. Berangkat dari
kondisi tersebut, wajib pajak dapat dibedakan ke dalam tiga kategori yang berbeda, yaitu mereka yang selalu jujur, mereka yang awalnya melakukan
pelanggaran dan kemudian mengakuinya, dan mereka yang merasa tidak bersalah karena telah melakukan pelanggaran.
Selain itu, kedua studi tersebut juga mengasumsikan bahwa persepsi dari wajib pajak mengenai kemungkinan pelanggarannya terdeteksi oleh ototoritas pajak
dapat berubah karena faktor-faktor eksogen. Asumsi terakhir ini menjadi penting karena keberlangsungan
tax amnesty atau VDP tidak hanya tergantung dari
keringanan hukuman yang diterima jika melakukan pembetulan laporan pajaknya, akan tetapi juga tergantung pada bagaimana wajib pajak melihat kemampuan
otoritas pajak dalam mendeteksi pelanggaran mereka ketika tidak secara sukarela melakukan pembetulan laporan pajak. Dengan kata lain, wajib pajak tidak bisa
secara pasti menentukan probabilitas dari terdeteksinya pelanggaran yang dilakukannya. Perbedaan mendasar antara Langenmayr 2015 dan Schmittdiel
2015 terletak pada penentuan sanksi. Di dalam studinya Langenmayr, keringanan sanksi ditentukan berdasarkan kemungkinan tertangkapnya, di
mana keringanan sanksi akan semakin besar jika kemungkinan pelanggarannya semakin sulit untuk terdeteksi.
6.0 Simpulan
Berdasarkan paparan di atas ahli berkesimpulan: •
Program Pengampunan Pajak bertolak dari problem empirik-konkret yang justru akan diatasi, yaitu keterbatasan kapasitas Pemerintah
melakukan pemungutan pajak
. Rendahnya rasio pajak, menurunnya tax
buoyancy ratio , stagnasi jumlah wajib pajak dan basis pajak, sulitnya
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
202
melakukan ekstensifikasi, kendala administrasi, dan lemahnya penegakan hukum – merupakan fakta lapangan yang tidak dapat diselesaikan dalam
waktu cepat, dan akan diatasi dengan pengampunan pajak. Pencapaian hingga 30 September 2016 menunjukkan bahwa alasan dan pertimbangan
untuk memberlakukan program pengampunan pajak dapat diterima dan dibenarkan.
• Problem ketersediaan data dan informasi merupakan konsekuensi dari pilihan Indonesia menerapkan sistem swanilai
self-assessment system yang
memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya.
Sebaliknya fungsi Ditjen Pajak sebagai pembina, pengawas, dan pelayan kurang optimal karena asimetri informasi yang terjadi. Faktanya, banyak sekali
dana milik WNI yang disimpan di luar negeri dan sulit dipajaki.
Kompleksitas konseptual antara tax planning, tax avoidance, dan tax evasion, birokrasi
penegakan hukum dan penyelesaian sengketa justru menjadi kendala bagi penegakan hukum yang efektif. Hal ini dapat berpotensi merugikan
negara karena ketentuan daluwarsa yang membatasi masa penegakan hukum
. •
Program Pengampunan Pajak yang bersifat mengampuni tidak bertentangan dengan sifat pajak yang memaksa. Kedua hal ini tidak
dapat dipertentangkan karena secara generik bukan konsep yang berlawanan
. Pajak mempunyai fungsi budgetair
mengisi kas negara dan regulerend
instrumen kebijakan publik. Pengampunan Pajak merupakan implementasi fungsi
regulerend guna mendukung optimalisasi fungsi
budgetair .
Sifat memaksa dalam sejarah perpajakan merupakan ciri pajak yang dapat dipaksakan dengan UU dan sanksi jika tidak dibayar, guna
memastikan negara mendapatkan haknya.
Sebagai pengimbang agar tidak sewenang-wenang dalam membebani warganegara, maka beban pajak harus
diatur melalui UU, sebagai perwujudkan persetujuan rakyat melalui wakilnya di DPR.
Sedangkan sifat mengampuni merupakan salah satu cara memungut pajak, dan secara inheren bahkan sudah terkandung dalam
konstruksi UU Perpajakan
, antara lain pengampunan terhadap wajib pajak yang melakukan tindak pidana pertama kali, yang terbukti melakukan tindak
pidana tapi membayar denda, dan pemberian keadilan melalui pemulihan rasa
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
203
keadilan dalam Pasal 36 UU KUP bahkan pada saat wajib pajak tidak mempunyai sarana penyelesaian sengketa secara formal. Penempatan sanksi
pidana sebagai
ultimum remedium juga menunjukkan prioritas pendapatan
negara di atas hasrat menghukum. • Keadilan pajak sangat erat kaitannya dengan konteks sehingga tidak bisa
digeneralisasi dan diabstraksi ke dalam satu konsep keadilan yang berlaku universal. Dalam konteks Indonesia, dengan proporsi pembayar pajak yang
tidak bertambah dan didominasi karyawan, justru tercipta ketidakadilan karena wajib pajak yang telah dipotong pajaknya dan tidak mempunyai ruang serta
kompetensi melakukan perencanaan pajak menanggung beban pajak lebih besar daripada kelompok kaya yang dapat melakukan penghindaran pajak.
Pengampunan Pajak sebagai respon kebijakan atas problem asimetri informasi yang menyebabkan mandulnya penegakan hukum pajak justru
berpeluang menjadi insentif agar para wajib pajak secara sukarela mengungkapkan hartanya sehingga terjadi pertambahan jumlah wajib
pajak, basis pajak, dan potensi pajak di masa mendatang. Pengampunan Pajak dapat menjadi sarana menuju keadilan pajak baru yang partisipatif.
Pemberian pengampunan pajak menjadi sarana mewujudkan keadilan distributif pajak sebagai instrumen kesejahteraan melalui keadilan
restoratif memulihkan kepada kondisi semula.
•
Secara teoretik, program pengampunan pajak dan VDP juga selaras dengan inisiatif global dan teori yang diajukan banyak ahli,
antara lain karena mengisi kekosongan keadaan sempurna, yakni keadaan di mana
otoritas pajak memiliki data dan informasi akurat tentang wajib pajak sehingga tidak membuka peluang bagi wajib pajak untuk melakukan
fraud .
Pengampunan Pajak juga dapat menjadi sarana bridging yang mengantarkan kepada reformasi perpajakan menyeluruh, karena telah
memberi kesempatan bagi wajib pajak untuk sukarela mengungkapkan harta dan membayar tebusan stick dan dapat melakukan penegakan
hukum pasca pemberlakuan Automatic Exchange of InformationAEoI carrot
. Reformasi Pajak justru menjadi mungkin dan dibenarkan karena secara sekuensial mendapatkan momentum yang tepat di masa transisi
menuju era keterbukaan. AEoI tidak dapat direkabayangkan sebagai panacea
yang menyelesaikan seluruh persoalan karena implementasinya sangat
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
204
bergantung pada pembuktian kesalahan wajib pajak, efektivitas inisiatif global, kepatuhan aturan domestik, kerja sama bilateral, ketersediaan data, efektivitas
law enforcement , dan asumsi
ceteris paribus atau
conditio sine qua non dengan prasyarat dan kebijakan lain. Cara berpikir yang simplistik ini
mengabaikan dinamika bahwa wajib pajak selalu mencari skema paling efektif dan tempat berlindung untuk menghindari pajak.
•
Realisasi program pengampunan pajak hingga 30 September 2016 menunjukkan deklarasi harta yang signifikan dan adanya penambahan jumlah
wajib pajak yang diperkirakan akan semakin meningkat. Hal ini menjadi modal besar bagi perbaikan sistem perpajakan yang lebih menjamin keberlanjutan
penerimaan pajak. Data amnesti membenarkan kemendesakan reformasi perpajakan yang komprehensif karena saat ini pemerintah
bahkan tidak mampu mengawasi wajib pajak yang menyimpan dana dan harta di dalam negeri karena keterbatasan akses dan kewenangan. Melalui
reformasi pajak, kepatuhan pajak dapat meningkat signifikan di masa mendatang dan menghasilkan
outcome berupa peningkatan penerimaan
pajak.
Program pengampunan pajak justru membawa manfaat yang sangat besar bagi bangsa Indonesia ke depannya karena mengubah
potensi menjadi realisasi secara efektif
.
3. Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak