48
kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan”. Jadi
fungsi pembinaan adalah membangun kesadaran wajib pajak agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya.
Selama ini fungsi pembinaan pajak tidak dilakukan secara terencana, bersinambungan dan terintegrasi. Pembinaan masih terbatas pada kegiatan
mengkampanyekan pajak. Seharusnya diperlukan bimbingan dan pendampingan yang terus menerus karena pajak merupakan masalah yang
rumit. Hal ini penting mengingat, masyarakat Indonesia yang majemuk sehingga perlu arah dan strategi tepat. Begitu pula generasi terus berganti,
yang tua suatu saat akan digantikan generasi berikutnya. Yang tadinya anak- anak satu saat menjadi wajib pajak berpotensi untuk menjadi pembayar pajak.
Dari pembinaan yang terencana, berkensinambungan dan terintegrasi akan dapat dipetakan tingkat kepatuhan masyarakat pajak Indonesia. Hal ini akan
memudahkan aparatur dalam mengawasi wajib pajak.
2. Pembentukan Account Representative
Setelah reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak menyediakan Account
Representative AR, untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. AR berperan
sebagai konsultan yang akan memberikan arahan bagi wajib pajak agar mampu menjalankan kewajiban pajaknya.
Namun keberadaan AR kurang mendapat tanggapan secara positif dari masyarakat. Dalam perkembangannya, ternyata peran AR seringkali tidak
jelas dilapangan, batas wewenang dan tanggung jawabnya. Mereka bukan lagi sebagai penyuluh tapi lebih sebagai petugas pengawas pajak, agar
wajib pajak dapat dikenakan pajak. Tentu saja peran AR tersebut menyalahi prinsip
self assessment system . Peran AR yang harusnya dapat membangun
kesadaran wajib pajak, tapi pada kenyataannya lebih sebagai petugas pajak yang mencari-cari kelemahan wajib pajak demi target penerimaan pajak. Hal
ini mengakibatkan, sistem pajak Indonesia rentan penyimpangan.
3. Menjauhnya prinsip self assesment system
Sejak tax reform
tahun 1984, sistem pajak Indonesia tidak sepenuhnya dibangun dengan prinsip
self assessment system . Bahkan semakin lama
perkembangannya semakin menjauh dari prinsip-prinsip self assessment
system. Seharusnya penyelenggaraan pelaksanaan pemungutan pajak harus
memperhatikan prinsip tersebut, termasuk mental yang terbangun dari
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
49
pembuat kebijakan, pemeriksa pajak sampai para petugas pajak di lapangan. Sangat disayangkan, dalam kurun waktu 32 tahun sejak ditetapkan, sistem
self assessment
cenderung mengalami stagnasi. Sampai dengan saat ini, wajib pajak belum sepenuhnya melakukan penghitungan, penyetoran maupun
pelaporan hutang pajaknya. Kecenderungan yang terjadi adalah sistem pemungutan pajak saat ini mengarah pada sistem
quasi self assessment dan
quasi official assessment . Terminologi
quasi yang diartikan semu
dipergunakan untuk menandakan bahwa sistem yang berjalan selama ini tidaklah murni.
Bahkan kesulitan aparatur dalam membangun kesadaran pajak para pengusaha kecil menengah, pada tahun 2013 pemerintah menetapkan PP 46
dengan mengenakan sebesar 1 dari omzet dan final. Hal ini sebagai cara praktis dalam menjaring para pengusaha kecil menengah.
Begitu pula Sistem quasi official assessment
juga dapat dilihat pada salah satu contoh dari upaya ekstensifikasi pajak yaitu melakukan kanvasing atau
penyisiran potensi wajib pajak baru. Fenomena kanvasing justru menunjukkan tingkat kepatuhan perpajakan
tax compliance yang rendah karena dalam
metode ini lebih menunjukkan upaya fiskus dibandingkan upaya wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
4. Dampak dari tolok ukur target penerimaan.