229
Kelompok 1 Selalu patuh
Memiliki keinginan untuk patuh
Memutuskan untuk tidak patuh
Hanya patuh jika terdeteksi oleh otoritas pajak
Perilaku Kepatuhan
Semakin patuh
Gambar 1 – Piramida Kepatuhan Wajib Pajak
Sumber: OECD, Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax
Compliance , Paris: OECD, 2004.
Situasi pajak di Indonesia justru cenderung memperlihatkan tingginya jumlah wajib pajak yang ingin patuh, namun memiliki kendala kelompok 2, serta
wajib pajak yang akan patuh jika ada perhatian khusus dari Ditjen Pajak kelompok 3. Hal ini terutama bermuara pada faktor
belum terbentuknya masyarakat melek pajak
di Indonesia yang dapat dapat ditinjau dari berbagai faktor, mulai dari rendahnya jumlah wajib pajak, rendahnya jumlah wajib pajak
yang melaporkan SPT secara rutin, maupun rendahnya jumlah tenaga ahli pajak di Indonesia. Padahal
tax morale motivasi atau nilai-nilai untuk
mematuhi ketentuan pajak di Indonesia sangat baik, yaitu di skala 1.55 pada periode 1991-2011 skala 1: sangat baik, hingga skala 10: sangat buruk.
Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia sesungguhnya
tidak mentolerir ketidakpatuhan pajak, namun terkendala oleh berbagai faktor, salah
satunya adanya informasi yang asimetri
.
1.3. Struktur Penerimaan Pajak yang Tidak Berimbang
Penyebab lainnya terletak pada struktur penerimaan pajak yang tidak berimbang dan
terlalu tergantung pada penerimaan PPN dan PPh Badan
. Kedua jenis pajak tersebut lebih elastis terhadap pertumbuhan dan gejolak
ekonomi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika penerimaan pajak
Kelompok 2 Kelompok 3
Kelompok 4
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
230
Indonesia pasca commodity boom
tidak pernah mencapai target karena adanya perlambatan ekonomi baik secara global maupun domestik.
Rendahnya penerimaan pajak dari PPh Orang Pribadi
juga tidak sesuai dengan pertumbuhan populasi dan angkatan kerja yang berarti adanya
peningkatan jumlah basis pajak serta pertumbuhan ekonomi yang sejak tahun 2007 selalu berada di atas 5 per tahun kecuali pada tahun 2009 sebesar
4,6 dan 2015 sebesar 4,7. Pertumbuhan ekonomi juga dapat dijadikan indikasi adanya gairah aktivitas ekonomi, yang secara sederhana dapat
diartikan sebagai semakin tingginya pendapatan perkapita, sehingga potensi penerimaan PPh Orang Pribadi juga membesar. Angka tersebut juga tidak
selaras dengan perkembangan jumlah kelas menengah hingga rasio angka penduduk usia produktif
age dependency ratio .
Di berbagai negara maju, tingginya penerimaan PPh Orang Pribadi banyak disumbang oleh kelompok super kaya
high net worth individual HNWI.
Namun, hal yang sama tidak ditemui di Indonesia. Padahal, di Indonesia, terdapat 48.000 individu yang memiliki kekayaan lebih dari USD1 juta 2015.
Total kekayaan yang dimiliki oleh HNWI tersebut adalah USD161 miliar. Rendahnya partisipasi dari kelompok ini ditenggarai karena mereka memiliki
kesempatan lebih besar untuk melakukan perencanaan pajak secara agresif. Bahkan, HNWI menjadi pasar utama yang kedua untuk perencanaan pajak
yang agresif.
HNWI sendiri dapat diartikan sebagai orang-orang yang memiliki keunggulan dalam kekayaan dan pendapatan, hubungan sosial yang lebih baik, akses ke
konsultan pajak yang lebih baik, akses yang lebih mudah pada lembaga permodalan di berbagai negara, dan aktivitas yang ruang lingkupnya
mengglobal. HNWI memiliki sumber pendapatan yang luas yang tersebar secara internasional dengan struktur bisnis yang kompleks. HNWI memiliki
bentuk investasi bisnis yang beragam, bahkan investasi tersebut tidak hanya ditanamkan di satu negara, melainkan di beberapa negara, sehingga dari sisi
perpajakan internasional akan muncul isu-isu mengenai
tax treaty , status
residen, dan yang paling penting negara mana yang akan berhak memajaki penghasilannya.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
231
1.4. Globalisasi dan Kebocoran Pajak