241
3.2. Transisi ke Era Baru
Benar  bahwa  Indonesia  pernah  melakukan  program  pengampunan  pajak  di tahun 1964 dan 1984. Keduanya juga bisa dinyatakan kurang berhasil. Akan
tetapi,  program  tersebut  jelas  dilaksanakan  dalam
situasi pajak yang berbeda
dengan  saat  ini.  Kegagalan  pengampunan  pajak  di  tahun  1964 dikarenakan  ketidakstabilan  politik  di  penghujung  Orde  Lama.  Sedangkan
program 1984 gagal karena pada saat itu jumlah wajib pajak masih sedikit dan belum  terbiasa  dengan  sistem  administrasiyang  berlaku.  Selain  itu,  aktivitas
penegakan hukum pasca-pengampunan pajak juga tidak berjalan.
Lebih  lanjut  lagi,  kedua  program  tersebut  pada  dasarnya  diimplementasikan dengan tujuan sebagai masa transisi menuju ke sistem pajak yang baru atau
dianggap sebagai bagian dari reformasi pajak. Program tahun 1964 dilakukan untuk  menggantikan  sistem  pajak  peninggalan  Belanda,  sedangkan  program
pengampunan pajak di tahun 1984 dimaksudkan sebagai jembatan menuju era sistem pajak modern dan berbasis
self-assessment. Belajar  dari  kedua  program  tersebut,  justru  pengampunan  pajak  2016  dapat
dijustifikasi sebagai
upaya transisi ke era yang baru
. Era yang baru tersebut mencakup:  i  pertukaran  informasi  secara  otomatis  di  tahun  2018;  ii
transformasi kelembagaan otoritas administrasi pajak Indonesia menjadi lebih independen;  serta  iii  reformasi  pajak  secara  menyeluruh  yang  ditandai
dengan rencana revisi UU di bidang KUP, PPh, dan PPN. Singkatnya, upaya mengampuni ketidakpatuhan pajak di masa lalu dapat menjadi periode transisi
sebelum era transparansi, ‘kuatnya’ upaya penegakan hukum otoritas pajak di masa mendatang, serta perbedaan sistem pemungutan pajak.
3.3. Rekonsiliasi dan Pembaharuan Kontrak Fiskal
Pajak sendiri pada dasarnya merupakan bentuk
kontrak fiskal
antara negara dengan  masyarakat,  di  mana  bentuk  idealnya  mengacu  pada  adanya  suatu
kontribusi  dari  masyarakat  yang  kemudian  dipertukarkan  dengan  suatu layanan,  penyediaan  barang  publik  serta  manfaat  yang  disediakan  oleh
negara. Saat ini kontrak fiskal di Indonesia masih belum dalam kondisi ideal, ditandai  dengan  banyaknya
free rider yang  menikmati  fasilitas  publik  secara
gratis  tidak  membayar  pajak  dengan fair
serta  fasilitas  publik  yang  tidak merata.  Di  bawah  pemerintahan  Presiden  Joko  Widodo,  terdapat  keinginan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
242
yang kuat untuk
mewujudkan kontrak fiskal yang lebih baik
di mana negara dan  masyarakat  secara  bersama-sama  menciptakan  hubungan  timbal  balik
yang setara, saling percaya, dan menguntungkan.
Melalui  program  pengampunan  pajak,  pemerintah  juga  memberikan sinyalemen kepada wajib pajak bahwa ada suatu kepercayaan dan kemauan
untuk  “mengesampingkan  dosa  masa  lalu”  dari  wajib  pajak  sekaligus  juga menyiratkan  pengakuan  atas  kesalahan  otoritas  pajak  di  masa  lalu.
Pengampunan  pajak  juga  akan  membuka  ruang  rekonsiliasi  nasional  yang akan  memberikan  legitimasi  yang  lebih  besar  bagi  pemerintah  saat  ini.
Legitimasi  tersebut  merupakan  bentuk  kepercayaan  dan  bentuk  dukungan masyarakat  karena  adanya  kemauan  pemerintah  untuk  ‘menatap  ke  depan’.
Dengan  adanya  dukungan  tersebut,  pada  hakikatnya  telah  terjalin  suatu kontrak  fiskal  di  mana  kemudian  hari  para  pendukung
akan berkontribusi dengan membayar pajak
.  Akibatnya,  kebijakan  pajak  yang  terjadi  pada dasarnya adalah suatu kesepakatan formal dan mengikat antara warga negara
dengan negara.
3.4. Ketidakpastian dalam Pertukaran Informasi