227
Walau ketergantungan penerimaan pajak semakin meningkat, kinerja penerimaan pajak di Indonesia dapat dikatakan kurang menggembirakan.
Selama tiga tahun terakhir, rasio penerimaan pajak terhadap PDB hanya sekitar 11 saja. Tidak hanya itu, Indonesia hanya memiliki
tax effort sebesar
0,47, atau penerimaan pajak masih setengah dari apa yang menjadi potensinya. Terdapat beberapa hal yang ditenggarai sebagai penyebab kinerja
yang buruk tersebut.
1.1. Besarnya Shadow Economy
Di banyak negara, komponen terbesar dari tax gap,
yaitu perbedaan antara jumlah aktual pajak yang dipungut dan jumlah potensi pajak yang seharusnya
dapat dipungut, berasal dari aktivitas
shadow economy . Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari masih banyaknya sektor-sektor yang sulit untuk dipajaki baik itu sektor informal,
black market, UMKM, dan sebagainya.
Shadow economy sendiri dapat didefinisikan sebagaisemua aktivitas ekonomi
yang berkontribusi terhadap perhitungan Pendapatan Nasional Bruto PNB maupun Pendapatan Domestik Bruto PDB, tetapi aktivitas tersebut sama
sekali tidak terdaftar. Salah satu karakteristik terpenting dari
shadow economy adalah: mereka enggan untuk menyediakan informasi yang relevan kepada
otoritas pajak, sehingga timbul kesulitan bagi otoritas pajak dalam mengakses informasi.
Ukuran shadow economy
di berbagai negara sangat bervariasi. Walau demikian, jumlah
shadow economy di negara berkembang pada umumnya
lebih besar daripada di negara maju karena struktur perekonomiannya masih didominasi oleh sektor tradisional dan non-formal. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Schneider, Buehn dan Montenegro, rata-rata jumlah transaksi
shadow economy di Indonesia pada kurun waktu antara tahun 1999-2007
mencapai angka 18,9 dari Produk Domestik Bruto PDB.
1.2. Rendahnya Kepatuhan Pajak
Persoalan kedua, terletak pada rendahnya kepatuhan pajak. Pada tahun 2015, jumlah angkatan kerja di Indonesia adalah 120,85 juta orang, sedangkan yang
terdaftar dalam sistem pajak hanyalah 27,57 juta wajib pajak orang pribadi. Di sisi lain, jumlah wajib pajak badan sebesar 2,47 juta atau sekitar 71,8 dari
total jumlah usaha industri di Indonesia yang sebesar 3,44 juta 2013. Dari
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
228
wajib pajak yang ada, hanya kurang dari 50 saja yang menyampaikan SPT. Namun, itupun belum tentu patuh secara material. Artinya, sistem pajak di
Indonesia justru ditopang hanya oleh
segelintir
masyarakat saja dan masih banyak pihak yang tidak patuh dan menikmati hasil pembangunan tanpa mau
membayar pajak padahal punya kemampuan untuk membayar pajak free
rider .
Akan tetapi, kita tidak bisa terburu-buru menyatakan bahwa pihak yang selama ini tidak membayar dan melaporkan pajak dengan benar sebagai
‘pengemplang
tax evaders ’ maupun ‘penghindar pajak’. Menurut OECD,
perilaku wajib pajak dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yang digambarkan dalam suatu piramida model kepatuhanpada Gambar 1.
Pertama
, kelompok Wajib Pajak yang selalu mengikuti ketentuan pajak yang berlaku selalu patuh.
Kedua
, adalah kelompok wajib pajak yang memiliki keinginan yang besar untuk patuh namun dalam kenyataannya upaya tersebut
tidak selalu membuahkan hasil yang positif terutama karena adanya kendala- kendala lain, misalkan akibat sistem pelaporan yang kompleks ataupun
tingginya biaya kepatuhan
cost of compliance . Hampir serupa dengan
kelompok kedua, kelompok ketiga juga tidak memiliki perilaku yang konsisten: kadang patuh, kadang tidak.
Kelompok
ketiga
memiliki kecenderungan untuk tidak patuh, namun bisa berubah menjadi patuh jika terdapat perhatian lebih atau khusus dari otoritas.
Perhatian lebih tersebut dilakukan melalui pemeriksaan.
Terakhir
, adalah kelompok wajib pajak yang memang telah memutuskan untuk tidak patuh
terhadap ketentuan pajak. Mengacu pada klasifikasi OECD tersebut, kita tidak bisa menyederhanakan dikotomi kelompok wajib pajak hanya menjadi dua:
patuh kelompok 1 dan tidak patuh kelompok 4,
tanpa melihat
kemungkinan wajib pajak pada kelompok 2 dan 3.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
229
Kelompok 1 Selalu patuh
Memiliki keinginan untuk patuh
Memutuskan untuk tidak patuh
Hanya patuh jika terdeteksi oleh otoritas pajak
Perilaku Kepatuhan
Semakin patuh
Gambar 1 – Piramida Kepatuhan Wajib Pajak
Sumber: OECD, Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax
Compliance , Paris: OECD, 2004.
Situasi pajak di Indonesia justru cenderung memperlihatkan tingginya jumlah wajib pajak yang ingin patuh, namun memiliki kendala kelompok 2, serta
wajib pajak yang akan patuh jika ada perhatian khusus dari Ditjen Pajak kelompok 3. Hal ini terutama bermuara pada faktor
belum terbentuknya masyarakat melek pajak
di Indonesia yang dapat dapat ditinjau dari berbagai faktor, mulai dari rendahnya jumlah wajib pajak, rendahnya jumlah wajib pajak
yang melaporkan SPT secara rutin, maupun rendahnya jumlah tenaga ahli pajak di Indonesia. Padahal
tax morale motivasi atau nilai-nilai untuk
mematuhi ketentuan pajak di Indonesia sangat baik, yaitu di skala 1.55 pada periode 1991-2011 skala 1: sangat baik, hingga skala 10: sangat buruk.
Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia sesungguhnya
tidak mentolerir ketidakpatuhan pajak, namun terkendala oleh berbagai faktor, salah
satunya adanya informasi yang asimetri
.
1.3. Struktur Penerimaan Pajak yang Tidak Berimbang