193
menganggap bahwa program amnesti pajak yang diberlakukan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak adalah rencana yang baik, sebesar 11,4
menyatakan ketidaktahuannya dan sisanya hanya 9,8 yang menganggap hal tersebut sebagai rencana yang buruk.
5.2. Pengampunan Pajak dalam Konteks Sistem Swanilai dan Administrasi Pajak yang Lemah
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan kondisi objektif perpajakan Indonesia, termasuk kendala, tantangan, dan peluangnya. Dalam sistem swanilai, tanpa
informasi rinci tentang transaksi yang dilakukan, tidak ada seorang pun ada yang dapat mengetahui apakah laporan perpajakan yang diserahkan kepada otoritas
pajak tersebut adalah benar dan akurat. Jika informasi rinci tersebut dapat diperoleh secara tepat waktu dan dengan biaya yang murah, serta memiliki
akurasi yang baik, maka basis pajak mudah untuk diverifikasi.
Akan tetapi, ketika wajib pajak tersebut menjadi bagian dari sebuah transaksi yang berada di
luar jangkauan otoritas pajak dan statistik resmi, basis pajak hampir tidak mungkin untuk diverifikasi.
Wajib pajak dapat menggunakan ketiadaan informasi yang simetris dari basis pajak untuk keuntungan dirinya dengan cara melaporkan angka parsial atau salah
pada Surat Pemberitahuan Pajak SPT-nya. Pada saat yang bersamaan, otoritas pajak juga kesulitan untuk mengidentifikasi mana wajib pajak yang paling mungkin
untuk tidak patuh dan melakukan pelanggaran. Jadi problem perpajakan yang paling mendasar adalah
asimetri informasi
. Ketika keuntungan dari penggelapan pajak lebih besar daripada yang harus
dibayarkan, wajib pajak akan melakukan penyelewengan pajak, dan jika sebaliknya, maka dia akan mematuhi peraturan pajak. Dengan demikian, tingkat
hukuman yang lebih tinggi atau probabilitas deteksi cenderung untuk mencegah penggelapan.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
194
Di dalam skema regulasi yang menyertakan perilaku
self-reporting swalapor,
wajib pajak dapat didorong untuk melakukan pembetulan laporan pajaknya secara sukarela jika sanksi yang harus ditanggungnya tidak lebih besar
dibandingkan jika wajib pajak tersebut tertangkap melakukan kecurangan. Ada dua keuntungan langsung yang bisa didapatkan dari skema regulasi seperti ini:
Pertama, biaya penegakan hukum yang lebih murah karena mereka yang melakukan pelanggaran didorong untuk melakukan pelaporan secara sukarela,
yang artinya tidak ada sumberdaya yang perlu dihabiskan untuk mengidentifikasi wajib pajak yang melakukan penggelapan. Kedua, bagi para
wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran, mereka terhindar sanksi hukuman dari pelanggaran yang mereka telah lakukan dan cukup membayar
pajak yang tertunggak. Studi yang dilakukan Kaplow dan Shavell 1994 menyimpulkan bahwa cara
terbaik untuk memaksimalkan keuntungan dari skema regulasi yang menyertakan prilaku
self-reporting adalah dengan menerapkan sanksi
ex- ante dari wajib pajak
yang secara sukarela melakukan pembetulan laporan pajaknya tidak boleh melebihi sanksi
ex-post yang diharapakan akan diterimanya jika tertangkap
melakukan pelanggaran oleh otoritas pajak. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh pemerintah ketika seorang wajib
pajak mengakui pelanggaran pajaknya; pemerintah dapat menerapkan pengampunan berupa
Tax amnesty Pengampunan Pajak atau dengan
Voluntary Disclosure Program VDP, Program Pengungkapan Sukarela. Secara
umum keduanya dibedakan oleh fasilitas yang diberikan. Tax amnesty
memberikan keringanan berupa pengampunan pajak terutang, sanksi
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
195
administrasi, dan sanksi pidana pajak, sedangkan VDP pada umumnya hanya menghapuskan sanksi administrasi.
Ada dua alasan penting mengapa program semacam
Tax Amnesty atau VDP
perlu dilakukan. Pertama
, program pengampunan ini terjadi karena kondisi informasi yang tidak sempurna antara wajib pajak dan otoritas pajak. Jika otoritas
memiliki informasi yang sempurna, otoritas pajak dapat memilah secara pasti mana wajib pajak yang melakukan pelanggaran dan yang tidak.
Kedu a, setelah
seorang wajib pajak melakukan penggelapan pajak, sering kali wajib pajak tersebut menyesali tindakannya, oleh sebab itu penting bagi pemerintah untuk
mempermudah bagi wajib pajak tersebut untuk melakukan pembetulan laporan perpajakannya, terlepas dari alasan mengapa dia menyesali pelanggaran yang
telah dilakukannya. Pertanyaan terpenting yang harus dijawab adalah bagaimana membangun VDP tanpa mengurangi efek jera dari hukum pidana.
Dalam jangka pendek, baik
tax amnesty maupun VDP dapat menambah
penerimaan pajak. Dan pada jangka panjang, dapat menarik wajib pajak yang sebelumnya tidak terdaftar dalam sistem perpajakan, memperluas basis data
perpajakan, meningkatkan kepatuhan pajak, atau juga dapat digunakan sebagai langkah awal kebijakan rezim baru untuk menerapkan sanksi lebih besar.
Pelaporan harta yang belum tercatat juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dana repatriasi dapat masuk ke berbagai instrumen investasi untuk
pembiayaan berbagai proyek pembangunan dan mendorong peran swasta. Lebih lanjut, di sisi moneter, masuknya dana dari luar negeri juga berpotensi
menguatkan nilai tukar mata uang domestik. Urgensi penerapan pengampunan bagi wajib pajak yang melakukan
repatriasi harta dari luar negeri juga didorong oleh momentum keterbukaan informasi yang mulai digalakkan berbagai negara di dunia. Di antaranya adalah
upaya multilateral juga digagas OECD dengan merancang
Common Reporting Standard
CRS yang mengatur bahwa setiap yurisdiksi berkomitmen untuk mempertukarkan informasi keuangan nasabah asing setiap tahunnya secara
otomatis mulai akhir tahun 2017. Seorang ahli pajak, Vokidjon Urinov, menyebut kebijakan pengampunan pajak sebagai jembatan antara menuju era keterbukaan
informasi di 2018. Dari perspektif teori paradigma yang diperkenalkan ilmuwan Thomas Kuhn, pengampunan pajak dapat menjadi paradigma antara
meso- paradigm
yang memungkinkan kondisi-kondisi empirik yakni keterbatasan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
196
dan problem perpajakan micro-paradigm
ditransformasikan menuju reformasi perpajakan yang ideal
macro- paradigm .
Dasar dari kerangka analisis mengenai kepatuhan terhadap hukum adalah hasil studi yang dilakukan oleh Becker 1968, di mana premis dasar dari studi tersebut
menggunakan konsep
utilitarian —bahwa seseorang yang rasional akan berusaha
untuk memaksimalkan utilitas mereka diharapkan. Dalam konteks kepatuhan pajak, pilihan seorang wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak atau tidak
tergantung pada pilihan mana memiliki prospek yang lebih baik untuk meningkatkan utilitas wajib pajak tersebut, apakah patuh atau tidak patuh.
Dengan kata lain, Becker kembali ke prinsip dasar dari
utilitarian yang
menunjukkan bahwa seorang individu memutuskan apakah akan melakukan kejahatan atau mematuhi hukum berdasarkan pada perhitungan biaya dan
manfaat dari masing-masing pilihan. Fokus pada biaya dan manfaat yang terkait dengan perilaku manusia,
deterrence hypothesis
muncul. Jika individu pengambil keputusan bersifat rasional dan berusaha untuk memaksimalkan utilitas yang diharapkannya, maka untuk
mendorong individu tersebut patuh terhadap hukum adalah dengan cara memastikan bahwa utilitas yang akan didapatkan dari ketidakpatuhan akan lebih
rendah daripada utilitas yang akan didapatkan jika patuh. Lebih lanjut, Becker menganjurkan agar sumber daya publik seharusnya dialokasikan dua jenis
kegiatan: 1 kegiatan yang bertujuan mendeteksi wajib pajak yang tidak patuh; dan 2 kegiatan untuk merancang konsekuensi yang memberatkan
bagi wajib pajak yang tidak patuh. Allingham dan Sandmo 1972 mengembangkan hasil studi dari Becker 1968
dengan menggunakan teori pengambilan keputusan di dalam kondisi yang memiliki resiko. Model mereka mengeksplorasi keputusan untuk menghindari
pajak ketika wajib pajak yang mengisi SPT-nya. Isu kepatuhan pajak disajikan sebagai masalah alokasi portofolio, dimana wajib pajak harus memutuskan
berapa bagian dari sumber daya yang dimilikinya untuk dialokasikan pada berbagai kegiatan, seperti melaporkan pendapatan sebenarnya kepada otoritas
pajak atau berusaha mengisi SPT secara tidak benar. Secara khusus, model Allingham dan Sandmo A-S bagaimana kepatuhan pajak dipengaruhi oleh
langkah-langkah penegakan hukum, seperti probabilitas audit, tingkat keparahan sanksi, dan tarif pajak yang berlaku.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
197
Lebih detailnya, model A-S menggunakan kerangka sequential game theory
, di mana otoritas pajak terlebih dahulu memutuskan aturan perpajakan dan
mekanisme penegakan aturan tersebut. Wajib pajak diasumsikan memiliki pemahaman yang cukup mengenai undang-undang pajak, probabilitas audit,
pajak yang harus dibayarkannya, dan sanksi yang dia terima jika dia tidak patuh terhadap aturan perpajakan dan tertangkap melakukan hal tersebut. Selain itu,
wajib pajak juga diasumsikan sebagai individu yang selalu berusaha menghindarimeminimalkan risiko
risk-averse individual [
Dari sudut pandangan teoritis, risk-averse individual memiliki arti bahwa wajib pajak bertindak sesuai
dengan aksioma Von Neumann- Morgenstern ketika dihadapkan pada kondisi yang tidak pasti memiliki risiko. Jika wajib pajak tersebut bertindak sesuai
dengan aksioma Von Neumann-Morgenstern, maka ada di satu waktu dimana wajib pajak tersebut tidak akan memilih sebuah pilihan yang punya hasil tidak
pasti karena risiko yang harus dibayarkannya terlalu besar ]. Pajak yang dibahas
didalam model A-S adalah pajak penghasilan dan penghasilan tersebut bersifat eksogen. Otoritas pajak tidak mengetahui berapa besarnya penghasilan dari
seorang wajib pajak, hanya wajib pajak seorang yang mengetahui secara pasti penghasilan yang dia terima. Pajak penghasilan bersifat proporsional atas
penghasilan yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada otoritas pajak. Dengan probabilitas konstan, otoritas pajak akan menyelidiki laporan penghasilan yang
masuk, jika ditemukan penggelapan laporan pajak, maka wajib pajak yang tertangkap harus membayarkan pajak dari penghasilan yang digelapkan dengan
menggunakan tarif sanksi pajak yang tarifnya jauh lebih mahal dari tarif pajak yang normal. Wajib pajak dihadapkan pada keputusan apakah menghindari atau
mematuhi aturan perpajakan yang sudah ditentukan.
Kerangka berpikir dari model A-S menyiratkan bahwa wajib pajak tergoda untuk melakukan penggelapan pajak jika hasil yang diterima dari
penggelapan tersebut layak untuk didapatkan walaupun ada kemungkinan tertangkap dan mendapatkan hukuman dari otoritas pajak
. Dengan kata lain, wajib pajak membandingkan keuntungan dari penggelapan pajak yang telah
terdiskonto dengan probabilitas tidak terdeteksi oleh otoritas pajak dengan hukuman yang telah terdiskonto dengan probabilitas tertangkap, dimana
hukuman yang diterima oleh wajib pajak jika tertangkap membayar penalti untuk menghindari pajak dan ditambah dengan kekurangan pajak yang belum
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
198
dibayarkan. Ketika keuntungan dari penggelapan pajak lebih besar daripada yang harus dibayarkan, wajib pajak akan melakukan penyelewengan pajak, dan jika
sebaliknya, maka dia akan mematuhi peraturan pajak. Model A-S menegaskan analisis Becker bahwa tingkat hukuman yang lebih tinggi atau probabilitas deteksi
cenderung untuk mencegah penggelapan. Walaupun model A-S mampu menjelaskan dampak dari hukuman dan
probabilitas tertangkap terhadap kepatuhan pajak, akan tetapi data pajak menunjukan bahwa perbaikan di kedua faktor tersebut masih belum mampu
mengurangi perbedaan antara pajak yang terutang dan pajak yang dikumpulkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah langkah yang diambil sejauh ini cukup
untuk meringankan masalah ketidakpatuhan pajak.
Braithwaite 1985 menunjukkan bahwa perluasan analisis kepatuhan pajak tradisional dengan
memasukkan unsur regulasi yang bersifat responsif dapat menghasilkan metode yang lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Salah satu
fenomena yang tidak tersentuh dari model A-S adalah prilaku self-reporting.
Perilaku self-reporting
ini adalah fitur yang biasa ditemukan di dalam konteks penegakan hukum, contohnya, perusahan yang melaporkan pelanggaran di
bidang pelestarian lingkungan dan keselamatan kerja, atau perilaku menyerahkan diri ketika melakukan pelanggaran kepada pihak yang berwenang. Salah bentuk
regulasi yang bersifat responsif adalah penerapan VDP, di mana program tersebut bisa digunakan sebagai media untuk memfasilitasi perilaku
self-reporting .
Pada bagian berikut akan menjelaskan dasar teori mengapa program yang memungkinkan seorang wajib pajak untuk melakukan pembetulan laporan
pajaknya tanpa terkena hukuman sangat diperlukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Perlu diingat bahwa kerangka berpikir dari sub-bagian berikut
adalah perluasan dari kerangka berpikir model A-S.
5.3. Penegakan Hukum dan Perilaku Self-Reporting Swalapor