166
dimiliki negara dan dipraktikkan secara top down
bahkan
dapat dipaksakan kepada warga negaranya
. Karakteristik memaksa melekat sejak pajak pertama kali dikenal dalam sejarah dan menjadi taken for granted sebagai prasyarat
eksistensi sebuah komunitasnegara. Tak puas dengan ketiga pendekatan tersebut, para pemikir mazhab
new fiscal sociology merancang sebuah metode
pendekatan yang lebih komprehensif dan kontekstual. Didorong motif mengatasi keterbatasan teori sosiologi tradisional, teoretikus
new fiscal sociology meletakkan pokok perhatian pada tiga hal.
Pertama
, fokus pada informal social
institutions karena praktik perpajakan seringkali tertanam relasi sosial informal
bukan yang tertulis dan terlembaga.
Kedua
, studi yang menaruh perhatian sungguh-sungguh terhadap konteks dan sekuensi historis.
New fiscal sociology memperlakukan aneka fakta dan disiplin ilmu sebagai sebuah tenunan gagasan
yang berkait kelindan dan saling mempengaruhi, bukan sesuatu yang berdiri sendiri.
Ketiga
, perhatian yang lebih besar pada level kemasyarakatan societal
daripada individual. Ranah seperti medan sosial, sistem perburuhan, corak ekonomi, sistem demokrasi dikaitkan erat dengan gejala perang,
perkembangan negara, dan solidaritas sosial. Semua aspek dan dimensi itu berpengaruh terhadap perkembangan sistem perpajakan.
3.2. Pajak dalam Negara Demokrasi
Saat ini berkembang teori baru yang mengaitkan pajak dan demokrasi. Secara empirik penelitian Kenny dan Winner membuktikan bahwa
terdapat kaitan yang erat dan berbanding lurus antara pengakuan hak dan kebebasan sebagai
bentuk demokrasi yang semakin baik dengan peningkatan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi
. Penelitian Boix juga menunjukkan hal positif di mana
pengeluaran untuk kesejahteraan meningkat dalam sistem demokratis
. Transisi menuju demokrasi membutuhkan peningkatan penerimaan pajak dan belanja publik sejalan dengan pemenuhan janji politik terhadap
konstituen. Penelitian Paola Profeta dan Simona Scabrosetti menunjukkan korelasi positif bahwa penerimaan pajak berbanding lurus dengan keterbukaan
ekonomi. Menggunakan data dari Polity IV dataset dan
The Freedom House ,
Profeta dan Simona juga menemukan hasil menarik.
Terdapat korelasi positif antara GDP Gross Domestic Product per pekerja dan kualitas demokrasi
sebuah negara. Negara kaya lebih demokratis dibandingkan negara miskin. Di samping itu hasil penelitian menunjukkan negara-negara yang lebih
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
167
demokratis memiliki tingkat penerimaan pajak yang lebih tinggi
Deborah Brautigam mendokumentasikan hasil penelitian
di negara-negara berkembang bahwa kebijakan perpajakan dan administrasi perpajakan yang
baik mendorong penguatan peran warganegara, prinsip demokrasi, dan kapasitas negara sekaligus
. Pemungutan pajak di negara-negara eks komunis pada umumnya cukup tinggi karena mewarisi paternalisme dan sistem
sentralistik, keberhasilan pengembangan sistem perpajakan di Afrika Timur yang mendorong partisipasi publik yang luas, khususnya terhadap sektor ekstraktif dan
penerapan
earmarking , keberhasilan Mauritius meningkatkan penerimaan pajak
dari pajak ekspor, dan Ghana yang berhasil memungut pajak dari sektor informal dengan pendekatan negosiasi dan pelibatan asosiasi-asosiasi usaha. Ia meyakini
sistem perpajakan yang baik dapat memainkan peran sentral dalam perkembangan dan keberlanjutan kekuatan negara dan masyarakat. Ini
tampak dalam dua prinsip,
pembebanan pajak sebagai proses negosiasi berbasis tawar-menawar revenue-bargaining policy akan mendorong
demokrasi partisipatif, dan pengembangan institusional yang memperkuat kapasitas negara untuk menjalankan fungsinya secara optimal bersumber
pendapatan pajak
. Negosiasi berbasis tawar-menawar
revenue-bargaining policy membutuhkan
cara pandang berbeda bahwa persoalan pajak bukan semata-mata persoalan ekonomi, yang dapat diserahkan begitu saja pada
penyelenggara negara dan diasumsikan netral dan serba jelas sebagaimana dipahami dalam corak pemerintahan teknokratik. Lebih dari itu
pajak adalah persoalan politik yaitu bagaimana kesetaraan politik warganegara juga
tercermin dalam kesetaraan kesejahteraan
. Brautigam menyimpulkan bahwa reformasi perpajakan terjadi merata dan menjanjikan keberhasilan. Ia melihat
kontestasi antara agenda global dan agenda negara berkembang. Ada tiga elemen pokok reformasi perpajakan sebagai agenda global: 1 Pajak
Pertambahan Nilai yang berorientasi pada liberalisasi perdagangan yang menyebar secara cepat di seluruh dunia, 2 penyederhanaan sistem perpajakan
yang bermakna menjadi pajak lebih jelas, transparan, dapat diramalkan, dan murah, 3 penekanan berlebihan pada aspek administratif. Sebagai alternatif bagi
wacana global, Brautigam mengusulkan empat kanal reformasi perpajakan yang dapat dikelola oleh negara berkembang untuk meningkatkan
state-building, yaitu
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
168
1 penyediaan pendapatan yang memadai dengan meningkatkan tax ratio
, 2 menggeser sumber penerimaan yang memadai yaitu memajaki sektor informal,
memajaki kekayaan orang pribadi taxing urban property
, pengurang pajak
tax exemption bagi tujuan-tujuan sosial- kemanusiaan,3
menciptakan administrasi perpajakan yang efektif – seperti The South African
Revenue Service SARS,
Uganda Revenue Authority URA, dan SUNAT
National Superintendency of Tax Administration di Peru,4 menciptakan
pelembagaan state-society
yang konstruktif untuk isu perpajakan. Ahmed Riahi-Belkaoui secara empirik menunjukkan
kaitan antara kepatuhan pajak, korupsi, dan birokrasi
. Ia ingin menjawab mengapa individu melakukan penolakan untuk patuh terhadap pajak. Adalah Belkaoui yang menunjukkan
bahwa
ketika pemerintah melakukan debirokratisasi dan meningkatkan kontrol terhadap korupsi, kepatuhan pajak mencapai tingkat tertinggi
. Artinya kepatuhan pajak berkorelasi positif terhadap kontrol terhadap korupsi dan
sebaliknya berkorelasi negatif dengan derajat birokratisasi. Dari 30 negara maju dan berkembang yang diteliti, Indonesia tercacat berada pada level kontrol
terhadap korupsi terendah skor - 0.79885, negara paling birokratis ke-3 skor 17.6, dan level kepatuhan pajak skor 2.53 di urutan ke-19. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa
agenda reformasi perpajakan yang penting untuk meningkatkan
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tax compliance adalah iklim dan moral perpajakan tax morale and climate
yang melindungi pembayar pajak dari korupsi dan birokrasi yang tidak efektif
. Terkait dengan
tax morale moralitas pajak dan kaitannya dengan kepatuhan
pajak, penelitian Benno Torgler menunjukkan bahwa pembayar pajak lebih terdorong untuk patuh terhadap undang-undang jika pertukaran antara pajak yang
dibayar dan kinerja pelayanan pemerintah berimbang. Torgler juga menemukan korelasi positif antara relijiusitas dengan tingkat kepatuhan pajak. Terkait
dengan institusi, ditemukan fakta bahwa demokrasi langsung, tingkat kepercayaan pada pemerintah, sistem hukum dan peradilan. Salah satu ukuran
rendahnya moralitas pajak adalah tingginya tingkat ekonomi informal
shadow economy
. Secara relasional, tingkat kepatuhan pajak juga dipengaruhi perilaku sesama pembayar pajak. Jika penghindaran pajak ditoleransi, maka cenderung
mendorong ketidakpatuhan pembayar pajak. Di sisi lain ditunjukkan bahwa
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. 021 23529000, Fax 021 3520177, Email: sekretariatmahkamahkonstitusi.go.id
169
apabila administrasi perpajakan mencoba untuk bersikap jujur, informatif, tanggap dalam melayani, bertindak sebagai institusi pelayan, dan
memperlakukan pembayar pajak sebagai mitra – pembayar pajak cenderung ingin bekerjasama dengan otoritas. Valerie Braithwaite juga mengelaborasi sebuah
pendekatan baru tentang model
tax compliance . Bertolak dari pengalaman
Australia dan Selandia Baru yang memiliki sistem kepatuhan yang baik, Braithwaite mengusulkan pendekatan perilaku
behavioural approach yang
sudah dipakai otoritas perpajakan Australia dikaji ulang. Kesimpulannya,
mengapa orang membayar pajak harus didekati secara
komparatif dan multidisiplin untuk memperoleh pemahaman yang utuh dan benar karena memperhitungkan kompleksitas aspek dan dimensi. Ada
ketegangan antara hegemoni dan dominasi, kesukarelaan dan paksaan, ilusi dan harapan – dan jawaban atas pertanyaan itu ditemukan dalam pencarian
kontekstual-historis. Bahwa sifat pajak yang memaksa dan bersemayam dalam pola hubungan negara-warganegara yang bersifat atas-bawah selalu diimbangi
dengan tuntuan perumusan prinsip-prinsip memungut pajak yang adil. Atau dalam bahasa Aristides – Bapak Keadilan Pajak –
memungut pajak yang baik bukan sekedar dilakukan dengan cara-cara yang adil dan berintegritas,
melainkan sekaligus menyenangkan semua pihak
.
3.3. Prinsip Memungut Pajak yang Adil