commit to user lxxiv
merupakan bagian dari harta mereka, dan dia berhak membuat aturan bagaimana perempuan harus bertindak bila ingin mendapat perlindungannya.
Aturan-aturan itu kemudian menjadi norma, tradisi, hukum adat yang mengatur perilaku kaum perempuan dalam kelompok itu Mohamad,
1998:38.
b. Patriarkhi dalam Masyarakat Jawa
Peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat tidak terlepas dari sistem sosial budaya. Dengan demikian, perubahan sosial budaya akan
mempengaruhi kedudukan dan peran perempuan. Dalam kebudayaan tradisional Jawa, seperti direfleksikan dalam kebudayaan priayi, kedudukan
dan peran perempuan didasarkan atas keturunan, status sosial keluarga dan status sosial orang tuanya Kartodirjo dan Tukiran, 2001:135.
Koentjaraningrat 1984:121 menuliskan bahwa hubungan-hubungan sosial pada masa emaja dalam system sosial Jawa erat sangkut pautnya
dengan proses tercapainya tingkat kedewasaan biologis. Dalam masyarakat
Jawa masalah seks tidak pernah dibicarakan terbuka. Akan tetapi berlawanan
dengan itu, Geertz 1961:119 menyatakan bahwa dalam kehidupan keluarga Jawa terdapat banyak lelucon mengenai seks. Orang Jawa sederajat sering kali
membicarakan masalah itu dan dengan cara itulah anak-anak pria ataupun wanita mengetahui permasalahan seksual dalam Abdullah dan Mudjajadi,
2001:228.
commit to user lxxv
Sikap orang Jawa dalam soal seksual memang tertutup dan ketertutupan itu pada akhirnya membawa konsekuensi bahwa segala sesuatu
yang berhubungan dengan hal itu selalu dianggap tabu dan tidak pantas untuk dikomunikasikan secara terbuka. Demikian juga dengan keluargasendiri,
terutama anak-anak mereka yang menginjak usia remaja Abdullah dan Mudjajadi, 2001:233.
Terdapat berbagai rintangan kultural dan institusional yang harus dihadapi oleh wanita Jawa. Mereka berpendapat bahwa system patriarkhi
merupakan halangan bagi wanita Jawa untuk mendapatkan status dan peranannya yang setara dengan laki-laki. System patriarkhi yang mangandung
nilai-nilai yang mengutamakan laki-laki sehingga mempengaruhi cara wanita dan laki-lakimempersiapkan status dan peranannya dalam keluarga dan
masyarakat serta menentukan citra masing-masing jenis kelamin dalam tatanan masyarakat Abdullah, 1997:84.
Dalam tatanan sosial yang dilandasi pada sistem hubungan yang patriarkhis, walaupun perempuan aktif dalam proses produksi dan tidak
menghadapi hambatan kultural dan sosial yng berarti dalam melakukan aktivitas diluar rumah atau dalam kegiatan-kegiatan non-domestik, namun
segala kegiatan perempuan dan persepsi masyarakat patriarkhis, yang memihak kepada pria. Nilai-nilai patriarkhis tersebut diinternalisasikan dan
dilanggengkan melalui berbagai institusi sosial seperti lembaga politik, pendidikan, maupun kepercayaan-kepercayaan, sehingga sub ordinasi tersebut
commit to user lxxvi
tidak dirasakan sebagai suatu system yang secara langsung sangat menekan dan memojokkan perempuan Abdullah, 1997:84.
Kedua pandangan diatas, yang tampaknya sangat berlawanan itu, sebenarnya merupakan perspektif yang saling melengkapi. Keduanya
menggambarkan dua sisi dari mata uang yang sama. Disatu pihak memang dilihat bahwa perempuan Jawa, khususnya perempuan di pedesaan Jawa
menempati posisi yang penting dalam masyarakat dan keluarga, namun dilain pihak perempuan tidak mendapatkan prestise, kesempatan dan kekuasaan
yang sebanding dengan laki-laki. Ideology gender yang hegemonis, ideology yang familialisme, yang menekankan peranan perempuan sebagai ibu dan
istri, merasuk dan mempengaruhi cara pandang maupun persepsi perempuan dan laki-laki terhadap pengalaman kesehariannya. Dua cara pandang tersebut
berguna untuk menganalisis status dan peranan perempuan pedesaan Jawa dalam masyarakat dan keluarga, walaupun untuk pendekatan itu memiliki
beberapa kelemahan. Pendekatan pertama lebih menitik beratka pada segi positif dan faktor-faktor menguntungkan bagi perempuan Jawa untuk
berperan dalam keluarga dan masyarakat tanpa menghambat perempuan. Pendekatan kedua ini menekankan pada adanya mekanisme structural dan
cultural serta ideology yang hegemonik yang melahirkan subordinasi terhadap wanita Abdullah, 1997:84.
Ideologi yang menekankan bahwa peran perempuan yang utama adalah di sekitar rumah tangga, sebagai ibu dan istri telah berabad-abad
commit to user lxxvii
disosialisasikan dan diinternalisasikan dalam masyarakat Jawa. Ideologi familialisme timbul dan dilestarikan melalui proses sejarah yang kompleks.
Dalam masyarakat Jawa, ideologi tersebut dilestaikan secara terus menerus diredefinisikan melalui hukum-hukum adat yang berlaku, kepercayaan-
kepercayaan serta egara dan pemerintah yang pernah ada dalam sejarah masyarakat Jawa. Ideologi yang menekankan pada peran reproduksi dan
domestik perempuan sangat ditekankan pada perempuan kelas atas di zaman kerajaan-kerajaan Jawa. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang
anggun, halus, rapi, tetapi tidak memiliki daya pikir yang tinggi dan kurang memiliki kemampuan serta kekuatan spiritual, sehingga ia dianggap tidak
mampu menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan dan masyarakat. Dengan demikian perempuan dianggap makhluk yang sekunder
atau the second sex Abdullah, 1997:90. Laki-laki dalam posisi sebagai suami dan ayah merupakan figure
sentral dalam keluarga. Kewibawaan, harga diri dan status ayah atau suami harus dijaga oleh anggota keluarga karena atribut-atribut tersebut sangat
menentukan status dan kedudukan keluarga dalam masyarakat. Ayah adalah pengayom dan pengambil keputusan utama dalam keluarga. Karena posisinya
yang keluarga, maka kedudukan laki-laki dalam keluarga memberikan legitimasi bagi laki-laki untuk mendapatkan prestise dan kekuasaan dalam
masyarakat Abdullah, 1997:92.
c. Khitan Perempuan dalam Budaya Patriarkhi