Mitos Keperawanan dalam Budaya Patriarkhi

commit to user lxxii

a. Mitos Keperawanan dalam Budaya Patriarkhi

Pandangan masyarakat terhadap hubungan seks sebelum menikah juga mempunyai bias gender. Hubungan seks sebelum menikah merupakan tindakan yang dilarang dalam banyak masyarakat di dunia, dan dianggap sebagai perilaku menyimpang dari norma masyarakat. Tetapi hukuman dan kutukan akan lebih berat ditimpakan kepada perempuan daripada kepada laki- laki. Dalam banyak masyarakat, keperawanan yang secara keliru diwakili oleh keutuhan selaput dara sampai saat perkawinan merupakan syarat yang secara ketat disampaikan pada anak perempuan dan tidak pada anak laki-laki. Syarat keperawanan sebagai lambang kesucian secara universal dapat diterima. Namun menggunakan selaput dara sebagai satu-satunya indikator keperawanan dan “indicator kesucian” secara psikologis tidak masuk akal dan secara etis timpang karena hanya dapat diterapkan pada perempuan dan tidak pada laki-laki Mohamad 1998:22. Nilai kesucian telah tertanam dalam pikiran orang Asia, sehingga seorang perempuan yang sudah tidak perawan akan merasa tetrap kotor atau tercemar sepanjang hidupnya. Bahkan kecemasan akan dituduh sudah tidak perawan itu tetap menghantui, meskipun mereka benar-benar masih perawan. Banyak diantara mereka yang khawatir bila pada malam pertama ia dengan suaminya ia tidak mengeluarkan darah Mohamad, 1998:41. Sifat egois dan pandangan yang bias gender menghasilkan aturan bahwa kesucian seorang perempuan diartikan sebagai belum pernah commit to user lxxiii melakukan seks dengan laki-laki ditandai dengan selaput dara yang masih utuh. Dapat dilihat bahwa kesucian disini dilihat dari aspek seksualnya saja yang menandakan bahwa banyak masyarakat yang melihat seks adalah sesuatu yang kotor. Tradisi pula yang kemudian mendikte agar perempuan selalu menjaga keperawanan sampai saat hati perkawinannya, demi menjaga kehormatan keluarga dan sekaligus menjamin bahwa anak yang dilahirkannya kelak adalah anak suaminya. Ironisnya aturan seperti ini tidak diterapkan bagi kaum laki-laki Mohamad 1998:40. Dalam jurnalnya, Oka Negara menyebutkan pada satu sisi keperawanan sesuatu yang baik karena dianggap suci, tetapi misterius sebab suatu tanda hak milik perempuan yang harus diberikan pada mereka laki- laki dengan “tetap utuh”. Pada sisi lainnya kemudian menghadirkan suatu kejahatan malapetaka yang tak dikenal karena dihubungkan ada atau tidak adanya pendarahan yang mengerikan Negara, 2005:111. Dalam masyarakat primitif dan masyarakat tradisional, laki-laki cenderung menganggap perempuan sebagai mesin reproduksi dan sekaligus sebagai alat pemuas nafsu seks saja. Laki-laki akan menjaga hal itu secara ketat dengan penuh kecemburuan. Sikap ini tercermin dalam norma-norma yang mereka tetapkan bagi seksualitas dan perilaku seks perempuan yang dalam banyak hal tidak memperhatikan hak-hak si perempuan. Perasaan bahwa dirinya adalah pelindung inilah, yang kemudian yang membuat para laki-laki merasa bahwa perempuan yang berada dalam lindungan mereka commit to user lxxiv merupakan bagian dari harta mereka, dan dia berhak membuat aturan bagaimana perempuan harus bertindak bila ingin mendapat perlindungannya. Aturan-aturan itu kemudian menjadi norma, tradisi, hukum adat yang mengatur perilaku kaum perempuan dalam kelompok itu Mohamad, 1998:38.

b. Patriarkhi dalam Masyarakat Jawa