MEDIA DAN KEAMANAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

(1)

commit to user

i

MEDIA DAN KEAMANAN KESEHATAN REPRODUKSI

PEREMPUAN

(Analisis Wacana Keamanan Kesehatan Reproduksi Perempuan yang

Direpresentasikan dalam Film Perempuan “Pertaruhan”, Produksi Kalyana Shira Film Tahun 2008)

Oleh:

Aang Wahyu Ariesta Sari D 0206026

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user

iii

PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul:

MEDIA DAN KEAMANAN KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

(Analisis Wacana Keamanan Kesehatan Reproduksi Perempuan yang

Direpresentasikan dalam Film Perempuan “Pertaruhan”, Produksi Kalyana Shira Film Tahun 2008)

Oleh:

Nama : Aang Wahyu Ariesta Sari

NIM : D0206026

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta, Mei 2011


(4)

commit to user

iv Dra. Prahastiwi Utari, Ph. D

NIP.19600813 198702 2 001

PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari :

Tanggal :

Panitia Penguji :

Ketua : Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D (……….)

NIP. 19710217 199802 1 001

Sekretaris : Mahfud Anshori, S.Sos, M.Si (………...)

NIP. 19790908 200312 1 001

Penguji : Dra. Prahastiwi Utari, MSi, Ph.D (……….)

NIP. 19600813 198702 2 001

Mengetahui, Dekan,


(5)

commit to user

v Drs. H. Supriyadi SN, SU


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Karya kecil ini aku persembahkan untuk: Allah SWT, sumber segala Kehidupanku Ayahku tersayang yang selalu memandangku dari Surga Mama tersayang yang sangat sabar dan bijaksana dalam mengasuhku

Tiga jiwa satu hati, mbak Iing, Mas Oky dan diriku sendiri Serta Untuk Agusta yang selalu memberiku semangat


(7)

commit to user

vii

MOTTO

Imajinasimu merupakan cuplikan dirimu dimasa mendatang (Albert Einstein)


(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, karena hanya atas kehendak-Nya, skripsi dengan judul MEDIA DAN KEAMANAN KESEHATAN REPRODUKSI

PEREMPUAN

(Analisis Wacana Keamanan Kesehatan Reproduksi Perempuan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan Perempuan “Pertaruhan”, Produksi Kalyana Shira Film Tahun 2008)dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.

Penelitian untuk skripsi ini bermula dari keprihatinan penulis melihat kasus-kasus tentang perempuan. Penulis melihat perempuan sebagai makhluk yang selalu dikuasai laki-laki di semua sektor. Konstruksi gender oleh budaya masyarakat membuat perempuan secara tidak sadar jika mengalami diskriminasi. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mempelajari seputar feminisme dengan membaca artikel, jurnal, buku-buku serta melihat film yang bertemakan pemberdayaan perempuan. Sampai suatu saat penulis berdiskusi dengan Ibu Prahastiwi Utari selaku dosen Kapita Selekta serta dosen yang fokus dibidang gender. Akhirnya penulis menemukan film ”Pertaruhan/at Stake” yang membahas tentang diskriminasi perempuan dari sisi reproduksi dan seksualnya. Film ini menginspirasi penulis sehingga membuat penulis ingin meneliti lebih dalan dengan penelitian komunikasi.


(9)

commit to user

ix Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi yang sekaligus Dosen Pembimbing skripsi, Dra. Prahastiwi Utari, MSi. Ph.D yang telah bersedia memberikan banyak ilmu, arahan, dan masukan. Tidak kalah penting beliau telah mengajarkan tentang arti sebuah kesabaran dan perjuangan untuk sebuah keberhasilan. Mohon maaf ibu, atas ”kebawelan” penulis selama ini.

2. Ibu Sri Winarni dan Alm. Bapak Samsul Bahar selaku orang tua penulis yang membesarkan penulis dengan sepenuh jiwa dan raganya.

3. Mas Oky, kakak penulis yang menggantikan peran Ayah dalam hidup penulis, mbak Iing yang selalu memberi semangat dan doanya, serta si kecil Maira.

4. Agusta, yang selalu memberi semangat pada penulis.

5. Semua staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Terima kasih atas kesediaannya memberikan banyak ilmu. Mohon maaf atas segala kesalahan penulis selama ini. Semoga semua ilmu yang telah diberikan bermanfaat dunia akhirat dan menjadi amal jariyah bapak/ibu.

6. Drs. Argyo Dermantoto yang bersedia meminjamkan banyak buku dan

meluangkan waktunya untuk berdiskusi tentang permasalahan gender dengan penulis.

7. Kakak tingkat yang memberikan pencerahan dan bersedia meminjamkan


(10)

commit to user

x 8. Teman sebimbingan, perjyang selalu berjuang bersama.

9. Dadu Rangers, Dian Dewi, Adinda dan teman-teman sepermainan komunikasi

2006 yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari akan kurang sempurnanya skripsi ini, namun penulis berharap bahwa skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak.

Surakarta, April 2011


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

ABSTRAK ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Kajian Pustaka 1. Komunikasi ... 14


(12)

commit to user

xii

b. Elemen-elemen Komunikasi... 18

c. Produksi dan Pemaknaan Pesan ... 19

2. Film ... 22

a. Film Dokumenter ... 26

b. Film Perempuan ... 29

3. Kesehatan Reproduksi ... 35

a. Kesehatan Reproduksi Remaja ... 42

b. Kesehatan Reproduksi Pekerja Seks Komersial ... 45

4. Gender ... 50

5. Patriarkhi ... 53

a. Mitos Keperawanan dalam Budaya Patriarkhi ... 56

b. Patriarkhi dalam Masyarakat Jawa... 58

c. Khitan Perempuan dalam Budaya Patriarkhi ... 62

6. Wacana ... 68

F. Kerangka Pikir ... 71

G. Konsep 1. Kesehatan Reproduksi Perempuan ... 72

2. Film Perempuan ... 73

3. Analisis Wacana ... 74

H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian ... 74


(13)

commit to user

xiii

3. Sumber Data ... 77

4. Teknik Pengumpulan Data ... 77

5. Teknik Validitas Data ... 79

6. Validitas Data ... 85

BAB II. DESKRIPSI FILM ”PERTARUHAN” A. Latar Belakang Pembuatan Film ”Perempuan”/”At Stake” ... 87

B. Sinopsis 1. Mengusahakan Cinta ... 91

2. Nona Nyonya ... 92

3. Untuk Apa? ... 93

4. Ragat’e Anak ... 94

C. Catatan Produksi 1. Tim Produksi ... 95

2. Data Teknis ... 96

D. Profil Produser dan Sutradara 1. Nia Dinata (Produser Film ”PERTARUHAN”) ... 96

2. Ucu Agustin (Penulis dan Sutradara ”Ragat’e Anak) ... 97

3. Lucky Kuswandi (Penulis dan Sutradara ”Nona Nyonya”) ... 98

4. Iwan Setiawan dan M.Ichsan (Penulis dan Sutradara ”Untuk Apa?”) . 98 5. Ani Ema Susanti (Penulis dan Sutradara ”Mengusahakan Cinta”) ... 99


(14)

commit to user

xiv F. Kalyana Shira Foundation ... 100

BAB III. ANALISIS WACANA TEKS FILM “PERTARUHAN”

A. Topik ... 104 B. Sub Topik ... 107

I. Film I: ”Mengusahakan Cinta”

1) Subtopik I: Pengetahuan Perempuan terkait

Keamanan Kesehatan Reproduksi ... 109

2) Subtopik II: Penggunaan Peralatan terkait

Masalah Keamanan Kesahatan Reproduksi ... 111 3) Subtopik III: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perempuan terkait Keamanan Kesehatan

Reproduksi ... 116 II. Film II: ”Untuk Apa?”

1) Subtopik I: Pengetahuan Perempuan terkait

Keamanan Kesehatan Reproduksi ... 133

2) Subtopik II: Penggunaan Peralatan terkait

Masalah Keamanan Kesahatan Reproduksi ... 144 3) Subtopik III: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perempuan terkait Keamanan Kesehatan

Reproduksi ... 161 III. Film III: ”Nona Nyonya”


(15)

commit to user

xv

1) Subtopik I: Pengetahuan Perempuan terkait

Keamanan Kesehatan Reproduksi ... 196

2) Subtopik II: Penggunaan Peralatan terkait

Masalah Keamanan Kesahatan Reproduksi ... 204 3) Subtopik III: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perempuan terkait Keamanan Kesehatan

Reproduksi ... 221 IV. Film IV: ”Ragat’e Anak”

1) Subtopik I: Pengetahuan Perempuan terkait

Keamanan Kesehatan Reproduksi ... 241

2) Subtopik II: Penggunaan Peralatan terkait

Masalah Keamanan Kesahatan Reproduksi ... 248 3) Subtopik III: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perempuan terkait Keamanan Kesehatan

Reproduksi ... 259

BAB VI. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 274 B. Saran ... 279


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR BAGAN

BAGAN HALAMAN

Bagan 1. Pesan dan Makna ... 21

Bagan 2. Kerangka Pikir ... 49

Bagan 3. Model Analisis Wacana Teun A. Van Dijk ... 56


(17)

commit to user

xvii

DAFTAR TABEL

TABEL HALAMAN

Tabel 1. Tabel Kasus Film ”Mengusahakan Cinta” ... 103

Tabel 2. Tabel Kasus Film ”Untuk Apa?” ... 156

Tabel 3. Tabel Kasus Film ”Nona Nyonya” ... 199


(18)

commit to user

xviii

ABSTRAK

Aang Wahyu Ariesta Sari, D0206026, MEDIA DAN KEAMANAN KESEHATAN REPRODUKSI (Analisis Wacana Keamanan Kesehatan Reproduksi Perempuan yang Direpresentasikan dalam Film Perempuan “Pertaruhan”) 233 halaman.

Film Perempuan adalah film yang dibuat dari sudut pandang perempuan, untuk perempuan, dan ditujukan untuk perempuan. Film perempuan menggambarkan perempuan yang menjadi korban dari adanya diskriminatif dalam lingkungannya. Namun perempuan tersebut berusaha bangkit dengan caranya sendiri agar tidak menjadi lebih terpuruk.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana wacana representasi keamanan kesehatan reproduksi dalam film “Pertaruhan” dengan melihat bagaimana wacana pengetahuan perempuan tentang keamanan kesehatan reproduksi, peralatan apa yang digunakan perempuan terkait masalah keamanan kesehatan reproduksi, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perempuan terkait dengan keamanan kesehatan reproduksi perempuan dalam film “Pertaruhan”.

Metodologi digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisis wacana, dengan teknik pengumpulan data melalui pemilihan beberapa scene pada film “Pertaruhan” yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang berkaitan dengan pengetahuan perempuan, peralatan yang digunakan perempuan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan terkait dengan keamanan kesehatan reproduksi.

Teknik analisis data adalah dengan menggunakan model analisis wacana Teun A Van Dijk. Penulis melihat topik utama dari dialog film, gambar visual film, dan tokoh yang masuk dalam film. Setelah itu lokal dari suatu teks diamati dari dialog yang diungkapkan para tokoh di dalam film tersebut.

Kesimpulan penelitian ini adalah film “Pertaruhan” merupakan potret yang menampakkan keamanan kesehatan reproduksi perempuan yang belum diperhatikan. Hal tersebut dapat dilihat dari penggambaran scene-scene yang menunjukkan bagaimana kesehatan reproduksi perempuan benar-benar terabaikan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Semua tokoh utama dalam film ini belum memiliki pengetahuan tentang keamanan kesehatan reproduksi, kalaupun mereka memiliki mereka terganjal oleh tradisi yang ada didaeranh sehingga keamanan kesehatan reproduksi menjadi terabaikan. Penggunaan peralatan terkait keamanan kesehatan reproduksi yang aman belum tentu menimbulkan rasa aman dan penggunaan peralatan tidak aman juga belum tentu mendatangkan rasa tidak aman pula bagi pengguanya ada juga yang sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan terkait dengan keamanan kesehatan reproduksinya ada tiga faktor yaitu faktor budaya patriarkhi, faktor ekonomi dan faktor pendidikan, namun diantara ketiganya faktor budaya patriarkhilah yang paling besar mempengaruhi perempuan.


(19)

commit to user

xix

ABSTRACT

Aang Wahyu Ariesta Sari. D0206026, THE MEDIA AND THE HEATH SAFETY OF WOMAN REPRODUCTIVE (A Discourse Analysis of the Woman Reproductive Health Safety represented in Feminist Film entitled “Pertaruhan” by Kalyana shira film 2008,), 233 pages.

Feminist Film is one produced from the woman perspective, for woman, and intended to the woman. The Feminist Film represents the woman becoming the victim of discrimination in her neighborhood. However, the woman tries to get up in her own way in order not to be plunged further into misery.

This research aim to find out how the discourse of reproductive health safety representation is in “Pertaruhan” film, with find out the woman’s knowledge of perspective health safety, and factors affecting the woman relating to the reproductive health safety in “Pertaruhan” film.

The methodology was a descriptive qualitative one with discourse analysis approach. Technique of collecting data used was to select several scene in “Pertaruhan” film, within which there are some elements relating to the woman knowledge, the tools the woman uses and factors affecting the woman relating to the reproductive health safety.

Technique of analyzing data used by the writer was Teun A. Van Dijk’s discourse analysis model. The writer watched the main topic of movie dialog, movie visual picture, and the characters entering the movie. Thereafter, the location of a text observed from the dialog uttered by the characters of film.

The conclusion is “Pertaruhan” film is portrait revealing the female reproductive health safety so fat ignored. It can be seen from the scenes representation showing how the female reproductive health is actually ignored by the factors affecting it. All main characters of this movie has not had knowledge of reproductive health safety, if they do, they are still inhibited by local tradition existing so that the reproductive health safety becomes neglected. The used tools related to safe reproductive health does not certainly evoke the secured feeling for the user, and the use of unsafe reproductive health does not certainly evoke the unsecured feeling for the user. There are three factors affecting the woman relating to her reproductive health safety: patriarchal culture, economic and education, among them, it is the patriarchal culture that has a largest effect the woman.


(20)

commit to user

xx

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film merupakan salah satu media massa yang digemari karena keunggulannya yang dapat menghadirkan unsur audio visual secara bersamaan. Suatu film dapat menceritakan kepada kita tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan, baik tentang sosial, ekonomi, politik, maupun ilmu pengetahuan.

Karena perkembanganya kini film menjadi sebuah produk kebudayaan yang dinilai efektif untuk menyampaikan pesan serta merefleksikan realitas sosial. Oleh karena itu, film mempunyai dampak yang besar terhadap masyarakat menyangkut nilai-nilai, norma dan budaya yang ada didalamnya.

Marselli Sumarno menyebutkan jika film adalah satu dari berbagai media yang membanjiri manusia dengan berbagai informasi. Film yang merupakan media komunikasi sosial dipandang paling efektif, karena dapat diterima oleh semua orang dengan mengabaikan pendidikan, usia dan kecerdasan, latar belakang budaya. Dan menyampaikan ide secara langsung, yaitu dengan memperlihatkan benda atau obyek konkretnya (Sumarno, 1996: 29). Jika pada media lain seperti pada radio dan media cetak, orang perlu membayangkan atau berimajinasi tentang isinya. Dalam media radio orang harus memiliki ruang imajinasi tentang suara dari penyiarnya dan dalam media cetak orang berimajinasi tentang isi dari tulisannya. Namun, dalam media film


(21)

commit to user

xxi orang disuguhi langsung antara suara dan gambar bergerak sehingga tidak perlu berimajinasi tentang isinya.

M. Alwi Dahlan menyebutkan keunggulan film sebagai media komunikasi massa karena film bersifat memberikan informasi. Film lebih dapat menyajikan informasi yang matang dalam konteks yang relatif lebih butuh dan lengkap. Pesan-pesan film tidak bersifat topikal dan terputus-putus tetapi dapat ditunjang oleh pengembangan masalah yang tuntas (Dahlan, 1981:19). Situasi komunikasi film dan keterlibatan emosional penonton dapat menambah kredibilitas pada satu produk film. Karena penyajian film disertai oleh perangkat kehidupan yang mendukung pranata sosial manusia, membuat penonton dengan mudah mempercayai keadaan yang digambarkan walaupun kadang-kadang tidak logis atau tidak berdasarkan kenyataan.

Film juga bisa menjadi refleksi atas kenyataan dan menjadikan masyarakat menjadi kritis terhadap budayanya. Film sebaiknya menjadi cerminan bagi seluruh atau sebagian masyarakatnya. Selain itu film juga bisa menjadi arsip sosial yang merepresentasikan jiwa masyarakat pada saat itu.

Himawan Pratista membagi jenis-jenis film dalam tiga jenis, yakni: film dokumenter, fiksi, dan eksperimental. Pembagian ini didasarkan atas cara bertuturnya, yakni, naratif (cerita) dan non-naratif (non cerita). Film fiksi memiliki struktur naratif yang jelas, sementra film dokumenter dan eksperimental tidak memililiki struktur naratif. Film dokumenter yang memiliki konsep realisme (nyata) berada dikutub yang berlawanan dengan film eksperimental yang memiliki konsep


(22)

commit to user

xxii formalisme (abstrak). Sementara film fiksi berada persis ditengah-tengah dua kutub tersebut (Pratista2008:4).

Nia Dinata mengungkapkan film dokumenter di Indonesia masih berada di ranah pinggiran. Meski dari segi jumlah bisa jadi film dokumenter Indonesia lebih banyak dari film cerita, berbeda dengan film cerita yang telah mulai mendapatkan spot light, film dokumenter masih jauh dari berbagai segi seperti jumlah penonton yang dapat dijangkau, tempat eksebisinya yang sangat terbatas, coverage media dan perhatian publik yang minim. Hal ini terjadi karena salah satu alasannya, film dokumenter masih banyak diidentikkan dengan reportase investigatif. (

www.fahmina.or.id/.../543-ketika-persoalan-perempuan-dibaca-dari-perspektif-nurani.html, diakses pada tanggal 20 maret 2010)

Himawan Pratista mengklasifikasikan lagi film berdasarkan genre. Dalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas) seperti setting, isi dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre populer seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horor, western, thriller, film noir, roman, dan sebagainya. Fungsi dari genre adalah untuk memudahkan klasifikasi dalam film. (Pratista 2008:10)

Dalam penelitian ini penulis memilih film “Pertaruhan” yang merupakan film dokumenter bergenre feminis. Film feminis atau film perempuan adalah film yang mengangkat permasalahan perempuan atas kelas yang berkuasa.


(23)

commit to user

xxiii Aquarini mendefinisikan Film perempuan adalah film yang menampilkan perempuan didalam ruang “pribadi”nya sendiri, sebagai istri, ibu, anak perempuan, dan kekasih. Citra yang ditampilkan pada ruang ini krusial karena disrupsi terhadap nilai-nilai patriarkal dikembangkan justru didalam ideologi patriarkal itu sendiri. Dalam film perempuan, tokoh perempuan harus diberikan peran yang berbeda daripada stereotipe di “dunia nyata” (Prabasmoro, 2006:335). Dalam hal ini film feminis diharapkan dapat menjadi perangkat untuk melakukan pemikiran serta penilaian ulang atas stereotipe peran tradisional berdasarkan jenis kelamin.

Karena film perempuan adalah tentang permasalahan perempuan maka film perempuan memiliki kekuatan untuk memberikan inspirasi kepada penontonnya. Seperti yang diungkapkan oleh Aquarini di pihak pembuat film, gagasan feminis tidak selalu berarti tuntutan untuk membuat film yang menampilkan “perempuan yang luar biasa mandiri” yang tidak memerlukan orang lain, apalagi laki-laki. Film feminis menampilkan citra perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakat sendiri tetapi kemudian bangkit dan menjadi luar biasa dalam artian memperoleh kekuasaan dan kendali tertentu atas hidupnya (Priyatna, 2006: 337).

Molly Haskell juga menyatakan, “film perempuan yang lebih baik memberikan aspirasi. Fiksi tentang ‘perempuan biasa yang menjadi luar biasa’ , perempuan yang mulai sebagai korban lingkungan yang diskriminatif tetapi kemudian bangit melalui rasa sakit, obsesi atau penyimpangan, untuk menjadi penentu nasibnya sendiri (Priyatna, 2006:336). Maria LaPlace juga mengungkapkan jika film perempuan dibedakan oleh tokoh utamanaya yang perempuan, pandangan


(24)

commit to user

xxiv perempuan dan narasinya yang sering kali berkutat disekitar realisme tradisional pengalaman perempuan: keluarga, rumah tangga, dan percintaan, emosi, dan pengalaman yang memunculkan suatu tindakan (Hollows 2010:53)

Peneliti memilih film “Pertaruhan” dimana dalam film tersebut terdapat empat film dokumenter yang semua bercerita tentang permasalahan perempuan. Keempat film tersebut yang pertama berjudul “Mengusahakan Cinta”. Dalam “Mengusahakan Cinta”, Ruwati dan Riantini memilih menjadi buruh migran di Hongkong karena pendapatan yang lebih memadai daripada di Indonesia. Selain itu, di Hongkong mereka juga mendapatkan kebebasan dalam otonomi terhadap tubuh. Rian yang seorang lesbian, takut membawa hubungan cintanya saat ia kembali ke Indonesia. Adapun Ruwati, kerap gamang karena keperawanannya dipertanyakan oleh calon suami yang menunggunya. Ruwati yang menderita miom harus diopersi melalui vagina, namun ia menjadi gamang karena keperawanannya akan hilang sebelum ia menikah.

Film kedua berjudul “Untuk Apa?”. Di Indonesia, praktek sunat pada perempuan diterima secara luas oleh berbagai kalangan dengan alasan untuk “membersihkan” anak perempuan dari spirit setan yang akan mengarahkannya menjadi liar. Meski demikian, sampai sekarang masih banyak orang yang tidak sadar jika khitan perempuan adalah tindak kekerasan terhadap perempuan. Mengakarnya budaya khitan membuat perempuan yang sadar tentang kesehatan pun harus rela menjadi korban, mereka dibuat tak berdaya dengan kuasa tradisi.


(25)

commit to user

xxv Film ketiga berjudul “Nona Nyonya?”. Di Indonesia, persepsi perempuan lajang adalah mereka yang tidak berhubungan seksual. Status “tidak menikah” ini menjadi kendala ketika mereka berusaha memeriksakan kesehatan reproduksinya. Mereka kerap kali terbentur dengan persepsi moral yang dituduhkan oleh pihak obstetri dan ginekologi / SpOG. Untuk melakukan tes papsmear yang dengan memasukkan alat kedalam organ vital perempuan, sering kali dokter mempermasalahkan status sosial perempuan belum menikah. tindakan dokter yang seperti ini membuat para perempuan seks aktif yang belum menikah enggan untuk memeriksakan diri kedokter.

Film keempat berjudul “Ragat’e Anak”. Berkisah tentang kehidupan Nur dan Mira, mereka adalah pemecah batu yang malamnya menjadi pekerja seks di Gunung Bolo. Sepanjang hari mereka bekerja keras namun pendapatan mereka tidak pernah mencukupi. “Ragat’e Anak” menggambarkan betapa kerasnya perjuangan Ibu untuk membiayai anaknya. Keamanan kesehatan reproduksi perempuan dalam film ini sangat terancam dengan adanya penyakit menular seksual. Namun apadaya demi untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, perempuan pekerja seks komersial ini menggunakan obat seadanya untuk mengatasi gangguan kesehatan reproduksinya.

Keempat film dokumenter ini mengangkat permasalahan yang berbeda-beda namun masih diikat bersama oleh satu premis, yaitu permasalahan keamanan kesehatan reproduksi perempuan. Nia Dinata, sang Produser menyatakan bahwa dalam Pertaruhan, dapat terlihat dan terasa bagaimana sebuah pertaruhan yang sebenarnya. Gambaran Pertaruhan yang biasanya selalu mencoba dibaca dari


(26)

commit to user

xxvi berbagai perspektif, namun film persembahan Kalyana Shira Films dan Kalyana Shira Foundation, ini mencoba mengajak penontonnya dari perspektif nurani. Film ini mengajak penonton untuk resah di lingkungan sekitarnya. Kian resah, kian peka, kian care, hingga berinisiatif melakukan pergerakan untuk kaum perempuan. Film yang mengangkat sebuah wacana tentang perempuan dan hak atas tubuhnya adalah sesuatu yang berani dan jujur. Para subyek dalam film ini, juga membagi masalah kepada masyarakat untuk memahami apa yang terjadi pada tubuhnya dan bagaimana

masyarakat memandang mereka. (http:

//www.kabarindonesia.com/gbrberita/Ucu%2520Agustin.jpg&imgrefurl, diakses

pada 15 April 2010)

Berdasarkan Konferensi Wanita sedunia di Beijing pada tahun 1995 dan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994 sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi . Dalam hal ini menyimpulkan bahwa terkandung empat

hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu

(http://creasoft.wordpress.com/2008/04/18/kesehatan-reproduksi-wanita/ diunduh

pada 3 Maret 2010) :

1. Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health) 2. Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making) 3. Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women) 4. Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security)


(27)

commit to user

xxvii Poin pertama dan ke empat yang berisi tentang kesehatan dan keamanan reproduksi dan seksual menjadi poin yang akan digunakan peneliti dalam melakukan penelitian terhadap film “Pertaruhan” ini. Penulis memilih kedua poin tersebut karena penulis melihat kondisi masyarakat, terutama bagi perempuan yang dengan kelebihannya melahirkan anak kurang mendapatkan akses informasi tentang kesehatan reproduksi baik cara pemeliharaan ataupun penanganan jika ada keluhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi serta pelayanan kesehatan reproduksi yang memadahi. Bukan hanya masalah klinis, namun permasalahan tradisi dan budaya masyarakat sering menjadi kendala. Salah satu contohnya adalah khitan perempuan yang telah dilarang oleh departemen kesehatan masih dilakukan diberbagai daerah dengan alasan sudah menjadi tradisi.

Film ini layak diteliti karena banyak prestasi yang didapatkannya. ”Pertaruhan” menjadi bagian dari ”Women Section” pada Jakarta International Festival (JiFFest) 2008. Film ini masuk dalam nominasi festival film perempuan “V Film Festival, 1st International Woman Film Festival” yang diselenggarakan pada 21-26 April 2009. Empat karya lima sutradara muda tersebut muncul sebagai sebuah karya kolektif dari Workshop Project Change 2008 yang diselenggarakan oleh Kalyana Shira Foundation bekerja sama dengan Hivos. ”Pertaruhan” juga terpilih sebagai film animasi dokumenter Indonesia pertama yang diputar pada ”Panorama Section” dalam Berlin International Film Festival 2009. Selain itu ”Pertaruhan” juga menjadi bagian dalam ajang Hongkong International Film Festival 2009 untuk


(28)

commit to user

xxviii ”Reality Bites Section” pada Maret 2009 lalu

(http://film.infogue.com/mengungkap_masalah_perempuan_lewat_film diunduh pada

5 Februari 2010)

Selain banyaknya prestasi yang didapatkan film ini juga memiliki keunggulan dibidang sosial responsibilitynya. Kalyanashira Film bekerjasama dengan Kalyanashira Foundation memutar film “Pertaruhan” diputar 12 kota di Indonesia secara gratis dan dilanjutkan dengan diskusi bersama. Kota-kota tersebut antara lain Bogor, Cirebon, Yogyakarta, Malang, Batam, Lampung, Bengkulu, Bali, Pontianak, Jambi, Aceh, dan Makasar. Pemutaran film tersebut bekerjasama dengan sejumlah asosiasi perempuan yang ada disetiap daerah tersebut. Dalam pemutaran film dan diskusi di sejumlah tempat ini juga dihadiri oleh berbagai kelompok massa, seperti Aktivis Perempuan, Perwakilan Partai Politik dan Anggota Dewan, serta Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender. Pemutaran film ini bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat kepada kaum yang biasanya termarginalkan melalui sebuah film.

Dari perspektif komunikasi, peneliti ingin melihat bagaimana isu-isu permasalahan perempuan diwacanakan melalui pesan-pesan yang terkandung dalam film dokumenter “Pertaruhan”. Kelima sutradara film ini tentu memiliki maksud tersendiri dari atas film yang mereka buat, mulai dari pemilihan tema hingga jalan ceritanya.


(29)

commit to user

xxix Adanya pesan tertentu dalam sebuah film akan mempengaruhi penangkapan makna yang dikandung oleh film tersebut. Sering kali masalah yang muncul adalah ketika pesan dalam film dimaknai berbeda oleh penonton. Hal ini disebabkan seberapa jauh penonton dapat menangkap arti dan isi film yang dilihatnya, sangat tergantung dari latar belakang kebidayaannya, pengalaman hidup, pendidikan, pengetahuan dan perasaan film, kepekaan artistik, dan kesadaran sosial mereka (Mangunhardjana, 1995:10).

Dalam mengintepretasikan makna, sering terjadi ketidakpastian atau kekaburan makna. Untuk mengartikan pesan, dibutuhkan kemampuan untuk memahami makna yang ada dalam pesan tersebut yang menyangkut pikiran, gagasan, perasaan, emosi dan lain sebagainya yang menyertai proses komunikasi. Oleh karena itu peneliti menggunakan analisis wacana untuk mengungkapkan makna-makna tersirat yang terkandung dalam film ini.

Analisis wacana melihat pada ‘bagaimana’ dari suatu pesan atau teks komunikasi. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Selain itu, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari sebuah teks melalui struktur kebahasaannya (Eriyanto, 2000:5).


(30)

commit to user

xxx Dari uraian tersebut menarik untuk dikaji dan dapat dirumuskan untuk melakukan penelitian tentang film “Pertaruhan”, maka rumusan masalah yang akan diangkat disini adalah :

1. Secara Umum:

Bagaimana wacana keamanan kesehatan reproduksi perempuan yang direpresentasikan dalam film “Pertaruhan”?

2. Secara Khusus:

a. Bagaimana wacana pengetahuan perempuan terkait keamanan kesehatan reproduksi dalam film “Pertaruhan”?

b. Bagaimana wacana penggunaan peralatan terkait keamanan kesehatan

reproduksi perempuan dalam film “Pertaruhan”?

c. Wacana faktor-faktor apa yang mempengaruhi perempuan terkait

keamanan kesehatan reproduksi dalam film “Pertaruhan”?

C. Tujuan Penelitian

1. Secara Umum:

Untuk mengetahui wacana keamanan kesehatan reproduksi perempuan yang direpresentasikan dalam film “Pertaruhan”

2. Secara Khusus:

a. Untuk mengetahui wacana pengetahuan perempuan terkait keamanan


(31)

commit to user

xxxi

b. Untuk mengetahui wacana penggunaan peralatan terkait keamanan

kesehatan reproduksi perempuan dalam film “Pertaruhan”.

c. Untuk mengetahui wacana faktor-faktor apa yang mempengaruhi

perempuan terkait keamanan kesehatan reproduksi dalam film “Pertaruhan”.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi perempuan

Penelitian ini diharapkan mampu untuk menginspirasi perempuan untuk lebih memperhatikan peduli dan terhadap keamanan reproduksinya serta tidak menstereotipkan perempuan-perempuan yang bermasalah dengan status reproduksi dan seksualnya.

2. Bagi peminat film

Penelitian ini diharapkan mampu untuk mengajak peminat film untuk lebih mengerti terhadap permasalahan perempuan serta mengajak peminat film untuk tidak memarjinalkan perempuan atas permasalahannya. Selain itu juga, agar peminat film mampu mengambil dan menangkap pesan moral yang terdapat dalam sebuah film, bukan hanya sekedar menonton dan untuk hiburan semata. 3. Bagi pembuat film

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memotivasi para sineas film untuk membuat film-film yang selain untuk menghibur juga mengusung nilai-nilai


(32)

commit to user

xxxii moral dan sosial dalam film tersebut. Karena hal seperti itu sudah selayaknya dilakukan, untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat. Sebagaimana salah satu fungsi media adalah memberikan edukasi kepada khalayak.

4. Bagi Pemerintah

Diharapkan pemerintah dapat lebih serius memperhatikan hak-hak perempuan sebagai warganegara agar kesetaraan gender dapat tercapai.

5. Bagi Insan Akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat di bidang akademik, yaitu sebagai salah satu sumbangsih bagi perkembangan ilmu komunikasi, terutama perkembangan ilmu komunikasi tentang penggunaan metode analisis wacana terhadap film yang notabene adalah suatu bentuk penyampaian pesan.

E. Kajian Pustaka 1. Komunikasi

a. Definisi Komuniksai

Komunikasi merupakan salah satu aktifitas dari kehidupan yang tidak mungkin ditinggalkan. Kominikasi merupakan kebutuhan pokok manusia sejak manusia itu ada. Tanpa komunikasi kehidupan sosial manusia tidak dapat berjalan baik. Orang tidak bisa menyampaikan maksudnya kepada orang lain, karena komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari satu pihak kepada pihak lain.

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan berasal dari kata communis yang berarti


(33)

commit to user

xxxiii sama. Komunikasi akan berlangsung dengan lancar apabila terdapat kesamaan pengertian antara bentuk komunikasi yang digunakan dan makna yang dimaksud (Mulyana, 1999: 69)

Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi. John Fiske, membagi studi komunikasi dalam dua mahzab utama yaitu komunikasi sebagai proses dan komunikasi sebagai produksi pertukaran makna (Fiske 2004:8):

¾ Mahzab Proses

Dalam mahzab proses komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi

pesan. Bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan

menerjemahkannya (decode), dengan menggunakan media komunikasi. Dalam mahzab ini komunikasi dipandang sebagai suatu proses untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Komunikasi akan dianggap gagal, jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil daripada yang diharapkan. Dalam prosesnya pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan berjalan satu arah.

¾ Mahzab Produksi Pertukaran Makna

Mahzab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran

makna, berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan

orang-orang dalam kebudayaan. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Mahzab ini mendefinisikan interaksi sosial


(34)

commit to user

xxxiv sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu. Dengan tidak menganggap kesalahpahaman sebagai kegagalan dalam komunikasi, namun komunikasi lebih dipandang luas karena pemaknaannya dipengaruhi oleh kebudayaan yang berbeda.

“Bagi mahzab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, kemudian menghasilkan makna. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. (Fiske, 2004:9).

Kedua mahzab diatas memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan. Mahzab proses memfokuskan pada studi khalayak dan efek komunikasi dengan menekankan pada tahapan-tahapan dalam proses komunikasi sebagai suatu transmisi pesan. Mahzab ini melihat komunikasi sebagai suatu determinan sehingga memperbaiki komunikasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kontrol sosial. Pada mahzab ini lebih banyak membicarakan masalah kegagalan komunikasi, jika efek yang diterima komunikan tidak sesuai atau lebih kecil dari yang diharapkan maka komunikasi dianggap gagal

Sedangkan pada Mahzab produksi dan pertukaran makna menekankan pada teks dan interaksi teks dengan budaya yang memproduksi atau menerima teks tersebut. Mahzab ini memfokuskan pada peranan komunikasi dalam membentuk dan menjaga nilai-nilai serta pada cara nilai-nilai tersebut memungkinkan komunikasi menjadi bermakna (Fiske, 2010:187). Pada mahzab produksi dan pertukaran makna ini tidak memiliki konsep kegagalan dalam komunikasi dan tidak banyakan memperhatikan efisiensi dan akurasi


(35)

commit to user

xxxv komunikasi. Jika ada perbedaan makna pesan antara satu sama lain, maka hal tersebut dipandang sebagai penunjuk adanya perbedaan sosial atau kultural diantaranya, bukan sebagai sebuah kegalalan dalam berkomunikasi.

Pada penelitian ini menggunakan mazhab komunikasi yang kedua dengan melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Hasil temuan-temuan dalam film ini dianalisis berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam kebudayaan kita. Dalam mahzab ini, yang ditekanlah bukanlah pada komunikasi sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna. Semakin banyak kesamaan kode dan sistem tanda yang sama, maka makna atas pesan yang diperoleh juga semakin dekat.

Model-model dalam pemaknaan pesan dalam mahzab ini tidak bersifat linier seperti pada mahzab proses. Model-model dalam mahzab ini tidak mengandung anak panah yang menunjukkan arus pesan. Model-model tersebut adalah model struktural, dan setiap anak panah menunjukkan relasi antara unsur-unsur dalam penciptaan makna. Model-model tersebut tidak mengasumsikan adanya serangkaian tahap atau langkah yang dilalui pesan melainkan lebih memusatkan perhatian pada analisis serangkaian relasi terstruktur yang memungkinkan sebuah pesan menandai sesuatu (Fiske, 2010:60).


(36)

commit to user

xxxvi Karena penelitian ini menggunakan mahzab komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, maka elemen-elemen komunikasi bukanlah seperti apa yang disampaikan Harold Lasswell yang terdiri dari komunikator, pesan, media, komunikan dan efek. Dalam mahzab kedua ini komunikator tidak diperhatikan karena pesan dianggap sudah ada di depan komunikan tanpa harus mengetahui siapa yang membuat pesan itu. Yang diperhatikan disini adalah bagaimana pesan tersebut dimaknai antara satu komunikan dengan komunikan yang lain sesuai dengan referensi yang mereka miliki.

Elemen-elemen dari mahzab komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna ini berupa pesan, komunikan yang dalam mahzab ini disebut sebagai pembaca atau produser pesan, referent, dan makna.

- Pesan: pesan dalam hal ini berupa teks (bahasa, gambar, suara,

film,maupun tulisan) yang sudah ada dihadapan pembaca.

- Produser pesan atau pembaca: orang atau khalayak yang menerima

pesan teks yang selanjutnya akan memaknai pesan tersebut

- Referent: adalah referensi yang dimiliki oleh pembaca berupa

pengalaman, kebudayaan maupun pendidikan yang dimiliki oleh pembaca

- Makna: hasil pengartian pesan oleh pembaca pesan yang dipengaruhi oleh referent dan pesan.


(37)

commit to user

xxxvii Keempat elemen ini saling mempengaruhi satu sama lain mereka tidak berjalan secara linier yang menunjukkan arus pesan. Unsur-unsur tesebut merupakan kesatuan struktur yang menunjukkan asanya relasi didalamnya.

c. Produksi dan Pemaknaan Pesan

Stephen W.Little John membagi produksi pesan dan pemaknaan pesan menjadi 3 jenis pendekatan psikologi (Little John, 1999:101-102):

1. trait explanation , menjelaskan pesan diproduksi dan dimakanai dipengaruhi

oleh sifat dasar yang ada dalam diri manusia. Seperti orang yang mempunyai sifat kritis pasti akan suka untuk berdebat.

2. state explanation, menjelaskan jika pesan diproduksi dan dimaknai

dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dalam jangka waktu tertentu.

3. process explanation, menjelaskan jika produksi dan pemaknaan pesan

merupakan sebuah proses pengiriman dan penerimaan pesan. Bagaimana komunikator mengirimkan stimulus dan bagaimana komunikan menerima respon.

Dari teori tersebut, pesan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

state explanation, dinama pemaknaan dari film Pertaruhan dipengaruhi oleh

pengalaman-pengalaman yang telah peneliti miliki selama ini, baik berupa pengalaman pendidikan, budaya, lingkungan, maupun sosialnya. Namun, menurut Stephen W. Little John trait explanation dan state explanation dapat digunakan bersama-sama karena keduanya saling mempengaruhi. Didalam memproduksi


(38)

commit to user

xxxviii dan memaknai pesan trait explanation dan state explanation berjalan beriringan. Pengalaman dan budaya seseorang dipengaruhi oleh sifat dasar yang ada pada diri orang tersebut (Little John, 1999:101).

Walaupun dalam mahzab produksi dan pertukaran makna komunikator tidak diperhatikan, namun ia tetap memiliki peranan dalam memproduksi sebuah pesan. Robert Norton melihat Communicator Style atau gaya seorang komunikator dalam memproduksi pesan memiliki dua tingkatan, bukan hanya untuk memberikan informasi, tetapi kita juga menampilkan informasi secara jelas, karena dengan seperti itu orang lain akan dengan mudah merespon sebuah pesan (Little John, 1999:104).

Untuk memproduksi pesannya, komunikator dalam hal ini adalah seluruh pihak pembuat Film Pertaruhan awalnya melihat permasalahan-permasalahan perempuan sesuai dengan sudut pandang dan pengalamannya. Mereka mengganggap jika permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang mendiskriminasikan perempuan sehingga membuat adanya ketimpangan gender. Para film marker akhirnya menginformasikan apa yang mereka lihat tentang permasalahan perperempuan ini kepada khalayak melalui sebuah pesan. Informasi pesan akan disampaikan dengan jelas sehingga mudah dipahami dengan disampaikan melalui film. Film Pertaruhan diproduksi dengan teknik-teknik pembuatan film seperti pada umumnya. Namun, pesan di dalam film tersebut dibuat dengan sudut pandang dan referensi budaya yang dimiliki oleh para sutradaranya. Semakin banyak kesamaan referensi yang dimiliki antara sutradara


(39)

commit to user

xxxix dengan penontonnya maka pemaknaan pesan antar keduanyapun juga akan semakin mendekati.

Dalam penelitian ini, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini (Fiske, 2004:11). Model struktur ini digambarkan sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis.

Bagan 1

Pesan dan Makna

Sumber: Fiske, 2010:11

Dalam penelitian ini film Pertaruhan merupakan suatu teks yang dibuat oleh produser film yang didalamnya mengandung makna. Penulis diposisikan sebagai pembaca teks atau produser pesan yang memaknai pesan dari film Pertaruhan. Pemaknaan film Pertaruhan yang dihasilkan oleh peneliti dipengaruhi oleh referensi yang berupa pengalaman-pengalaman dan budaya dari penulis. Dalam pemaknaan pesan ini komunikator tidak terlihat karena


(40)

commit to user

xl dalam bagan pemaknaan pesan karena pesan teks yang berupa film tersebut dianggap sudah ada di depan mata, penonton hanya bertindak untuk memaknai pesan dari teks film tersebut tanpa memperdulikan siapa pembuatnya dan untuk apa film tersebut dibuat. Pemaknaan film antara penonton (pembaca teks) satu dengan yang lainnya akan berbeda karena dipengaruhi oleh referansi masing-masing individu, semakin banyaknya kesamaan referensi yang dimiliki satu penonton dengan penonton yang lain maka makna yang diterima juga akan semakin mendekati.

2. Film

Film adalah penemuan tekhnologi yang muncul pada akhir abad kesembilan belas. Pada masa itu film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian tekhnis lainnya kepada masyarakat umum (McQuail,1996 :13).

Marselli Sumarno memaknai film sebagai medium komunikasi massa, yaitu alat penyampai berbagai jenis pesan dalam peradaban modern ini. Dalam penggunaan lain, film film menjadi medium ekspresi artistik, yaitu menjadi alat bagi seniman film untuk mengutarakan gagasan, ide, lewat suatu wawasan keindahan (Sumarno, 1997:27).

Sementara Sutradara ternama Garin Nugroho menyebutkan film adalah penemuan komunal dari menemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll), dan ia bertumbuh seiring


(41)

commit to user

xli pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya seperti penemuan perekaman suara stereo, dan lain-lain (Nogroho 1998:77).

Dalam perspektif komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis yang memahami hakikat, fungsi, dan efeknya (Irawanto,1999:11). Perspektif ini memperlihatkan pendekatan yang terfokus pada film sebagai proses komunikasi. Dengan meletakkan film dalam konteks sosial, politik, dan budaya dimana proses komunikasi itu berlangsung, sama artinya dengan memahami preferensi penonton yang pada akhirnya menciptakan citra penonton film. Pendeknya, akan lebih bisa ditangkap hakikat dari proses menonton dan bagaimana film berperan sebagai sistem komunikasi simbolis.

Film bukan hanya sebagai media hiburan, namun kini film merupakan media komuniasi yang efektif dalam menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya. Dengan tampilannya yang menggabungkan audio dan visual dan dikemas secara dramatis dengan menggabungkan beberapa unsur seni penonton dibuat terlena saat menonton film, tanpa menyadari jika saat itu ia sedang menerima pesan-pesan atau terpengaruh oleh ideologi dari film yang dilihatnya.

Film merupakan potret dari masyarakat dan selalu merekam realitas yang ada dalam masyarakat tersebut. Selain itu, film sebagai refleksi dari masyarakatnya tampaknya menjadi perspektif yang secara umum lebih mudah disepakati. Karakteristik film sebagai media massa juga mampu membentuk


(42)

commit to user

xlii semacam konsensus publik secara visual ( visual public consensus), karena film selalu bertautan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera publik (Irawanto,1999: 14).

Memahami media komunikasi visual seperti halnya film lebih sederhana dan efektif karena dapat diterima oleh semua orang dengan mengabaikan tingkat pendidikan, usia, dan kecerdasan tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial budaya. Berbeda dengan media auditif (radio) dan media cetak (buku, koran) yang menggunakan kata-kata sehingga untuk memahami isi pernyataan harus melalui proses penafsiran atas kata-kata itu.

“Film merupakan karya seni yang lahir dari suatu kreativitas orang-orang yang terlibat dalam penciptaan film. Sebagai karya seni, film mempunyai kemampuan kreatif. Ia mempunyai kesanggupan untuk menciptakan realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas. Realitas imajiner itu dapat menawarkan rasa keindahan, renungan, atau sekadar hiburan” (Sumarno, 1996:26-29).

Dalam penyapaian pesannya film menggunakan unsur gambar dan suara yang ditampilkan secara bersamaan sehingga memudahkan penonton untuk dapat memahami. Penonton film tidak perlu berimajinasi layaknya media lainnya seperti radio yang hanya menampilkan suara ataupun media cetak yang hanya menampilkan tulisan dan gambar.

Himawan Pratista mengklasifikasikan lagi film berdasarkan genre. Dalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari


(43)

commit to user

xliii sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas) seperti

setting, isi dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode,

gaya, situasi, ikon, mood, serta karakter. Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre populer seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horor, western,

thriller, film noir, roman, dan sebagainya. Fungsi dari genre adalah untuk

memudahkan klasifikasi dalam film (Pratista 2008:10)

Dalam penelitian ini penulis memilih film “Pertaruhan” yang merupakan film dokumenter bergenre feminis. Film feminis atau film perempuan adalah film yang mengangkat permasalahan perempuan atas kelas yang berkuasa.

a. Film Dokumenter

Film dokumenter adalah film yang merekam adegan-adegan nyata dan faktual tidak boleh ada rekayasa di dalamnya. Semua unsur yang ada di dalam film dokumenter mulai dari tokoh, lokasi, dan peristiwa bukanlah rekayasa. Peristiwa nyata ini dikemas oleh film marker menjadi sebuah cerita menarik yang mengangkat sebuah tema didalamnya.

Kunci utama film dokumenter adalah penyajian fakta. Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa atau kejadian, namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik (Pratista 2008 : 4).


(44)

commit to user

xliv Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung subyektivitas pembuat. Subyektivitas diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa. Jadi ketika faktor manusia ikut berperan, persepsi tentang kenyataan akan sangat bergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu. Film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film dokumenter (Sumarno, 1996:14). Dalam film dokumenter tidak memiliki plot, namun memiliki struktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari sineasnya. Film dokumenter juga tidak memiliki tokoh protagonis dan antagonis, konflik serta penyelesaian seperti halnya film fiksi. Struktur bertutur film dokumenter umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan (Pratista 2008 : 4).

Walau film dokumenter menyajikan fakta, namun fakta-fakta tersebut diolah dan disusun berdasarkan ideologi pembuatnya. Sang sutradara film dokumenter akan membuat penonton memandang suatu permasalahan dalam film sesuai dengan sudut pandangnya, ia memasukkan pesan-pesan tersirat ataupun tersurat melalui fakta-fakta yang disajikan dalam film tersebut.

Film dokumenter memiliki beberapa karakter teknis yang khas yang tujuan utamanya untuk mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas, efektifitas, serta otentitas peristiwa yang akan direkam. Umumnya film dokumenter memiliki bentuk sederhana dan jarang sekali menggunakan efek


(45)

commit to user

xlv visual. Teknik-teknik produksi yang digunakan sama dengan film fiksi. Namun terdapat perbedaan yang mendasar yakni, para sineas fiksi umumnya meggunakan teknik tersebut sebagai pendekatan estetik (gaya), sementara sineas dokumenter lebih terfokus untuk mendukung subyeknya (isi atau tema). (Pratista 2008 : 4-5). Disini dapat dilihat jika film dokumenter bukanlah film yang menarik penonton dengan keindahan gambarnya entah itu dengan memberikan efek atau gambar atau dengan menggunakan pemain-pemain yang tampan atau cantik. Film dokumenter lebih mengutamakan bagaimana penonton tertarik dengan tema atau isi yang diangkat dari sebuah film dokumenter tersebut kerena tujuan dari film dokumenter yang bukan untuk menghibur namun untuk mencerdaskan penontonnya.

Seorang pembuat film dokumenter yaitu DA. Peransi mengatakan bahwa film dokumenter yang baik adalah yang mencerdaskan penonton. Sehingga kemudian film dokumenter menjadi wahana yang tepat untuk mengungkap realitas, menstimulasi perubahan. Jadi yang terpenting adalah menunjukkan realitas kepada masyarakat yang secara normal tidak terlihat realitas itu (Sumarno, 1996:15)

Gerzon R. Ayawaila dalam bukunya Dokumenter dari ide sampai produksi menyebutkan jika film dokumenter merupakan film non-fiksi yang memiliki empat kriteria (Ayawaila 2008:22):

- Pertama : setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman


(46)

commit to user

xlvi fiksi. Bila pada film fiksi latarbelakang (setting) adegan dirancang, pada dokumenter latar belakang harus spontan otentik dengan situasi dan kondisi asli (apa adanya)

- Kedua: yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan peristiwa

nyata (realita), sedangkan pada film fiksi isi cerita berdasarkan karangan (imajinatif). Bila film dokumenter memiliki intepretasi kreatif, maka dalam film fiksi yang dimiliki adalah interpretasi imajinatif.

- Ketiga: sebagai sebuah film non fiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata, lalu melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya, dan

- Keempat: apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau plot, dalam dokumenter konsentrasinya lebih pada isi dan pemaparan.

Dari keempat kriteria diatas diketahui jika film dokumenter merupakan film yang berdasarkan kisah nyata, seluruh adegan dan isinya tidak ada yang direkayasa, semua sesuai dengan kejadian yang dialami pada saat itu. Berbeda dengan film fiksi yang semua dibuat imajinatif untuk membuat film itu menarik penonton untuk mengikuti kisahnya.

b. Film Perempuan

Seperti yang telah diungkapkan diatas jika film merupakan suatu alat komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan dan informasi kepada masyarakat termasuk juga kritik sosial.


(47)

commit to user

xlvii Ashadi Siregar dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM mengungkapkan jika film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dan peran-peran sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan (Siregar 2004:374).

Dengan kekuatannya untuk bisa mempengaruhi masyarakat para pembuat film menggunakan film sebagai sarana untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Selama ini film yang disajikan menggunakan sudut pandang laki-laki dengan menampilkan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Perempuan yang selalu dicitrakan sebagai makhluk yang lemah lembut dan penurut. Pecitraan dari media ini ikut membentuk dan memperkuat adanya budaya paktriarki dalam masyakat. Untuk itu para pembuat film kini membuat trobosan baru dengan membuat film bergenre perempuan atau film feminis sebagai wujud untuk menciptakan kesetaraan gender dalam film.

Salah satu tokoh pelopor film perempuan dan teori tentang film perempuan adalah Laura Mulvey. Ia mengkritik sinema naratif klasik sebagai ekspresi dari cara ketidaksadaran masyarakat patriarkal telah menstrukturkan bentuk film. Melihat kenyataan seperti itu akhirnya Mulvey membuat Film Feminis dan teori film feminis dengan tujuan untuk menghancurkan bentuk-bentuk kenikmatan yang diasosiasikan dengan sinema Hollywood klasik


(48)

commit to user

xlviii (Mulvey 1989:14 dalam Brooks 1997:247). Dalam film Hollywood klasik perempuan selalu dijadikan obyek seksualitas dan eksploitasi. Perempuan juga dipandang sebagai makhluk yang lemah yang dikuasai oleh laki-laki. Tujuan utama Mulvey tidak hanya untuk menantang bentuk-bentuk dominan laki-laki dan eksploitasi tubuh perempuan namun juga mengubah cara pandang orang tentang perempuan dalam sebuah film. “Mulvey berusaha untuk membuat bagaimana film merefleksikan dan mengkultivasi interpretasi tentang perbedaan seksual yang sudah ‘dinormalisasi’ dan yang mengontrol representasi serta ‘cara pandang erotis’.”

Film perempuan adalah film yang dibuat oleh perempuan, untuk perempuan dan berhubungan perempuan atau kombinasi dari ketiganya. Film perempuan mengulas permasalahan seputar perempuan, unsur dalam film baik itu karakter pemain atau gambar ditampilkan dari sudut perempuan.”Women’s cinema’ can be defined in a number of ways – as films by women, made for women, or dealing with women, or all of these combined (de Lauretis 1987:1442 dalam Chaudhury, 2006:68).

Dalam film perempuan, sudut pandang untuk melihat permasalahan dalam film perempuan dengan menggunakan sudut pandang perempuan karena pembuat film menganggap penontonnya adalah kaum perempuan. Namun banyaknya isu kesetaraan gender membuat sebagian kaum laki-laki yang peduli tertarik untuk mewujudkan adanya kesetaraan. Untuk itu ada juga


(49)

commit to user

xlix laki-laki yang membuat film perempuan namun tetap mengarahkan pandangannya dari sudut pandang perempuan.

Representasi stereotype perempuan dalam film akan memudar ketika

lebih banyak perempuan yang membuat film. Perempuan digambarkan sebagai perempuan dengan hak-haknya bukan sebagai perempuan yang selalu menjadi subordinat (Mohanna, 1972:7 dalam Chaudhury, 2006:22). Jika perempuan membuat film maka ia akan mewakili seluruh kaum perempuan untuk menyuarakan perasaannya yang selama ini disudutkan oleh pandangan laki-laki. Film perempuan merupakan film alternatif yang mengangkat isu-isu perempuan yang terjadi lokal atau pada suatu kelompok masyarakat, namun dikemas dalam sebuah film yang akan diperlihatkan secara global untuk semua masyarakat diluar kelompok itu. Film perempuan tidak berorientasi pada keuntungan dengan banyaknya penonton, namun lebih pada perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam film.

Aquarini mengutarakan bahwa film feminis (film perempuan) menampilkan citra perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakatnya sendiri tetapi kemudian bangkit dan menjadi luar biasa dalam artian memperoleh kekuasaan dan kendali tertentu atas hidupnya (Prabasmoro 2006:337). Maria LaPlace juga mengungkapkan jika film perempuan dibedakan oleh tokoh utamanaya yang perempuan, pandangan perempuan dan narasinya yang sering kali berkutat disekitar realisme tradisional pengalaman


(50)

commit to user

l perempuan: keluarga, rumah tangga, dan percintaan, emosi, dan pengalaman yang memunculkan suatu tindakan. ( Joane 2010:53)

Marry Ann Doane menunjukkan bagaimana, di dalam genre klasik, tubuh perempuan adalah seksualitas, menyajikan obyek erotik bagi penonton laki-laki. Namun, dalam film perempuan tatapan harus di ubah karena penonton diasumsikan sebagai perempuan (Brooks, 2009:255). Dalam film perempuan, perempuan memang merupakan objek pandangan, tetapi perempuan juga merupakan penonton. Penonton perempuan bukanlah sekedar penonton pasif, ia memandang permasalahan yang yang ada pada dirinya yang dipresentasikan dalam film dengan menggunakan sudut pandang perempuan karena permasalahan tersebut merupakan yang terjadi dalam dirinya.

Annie N. Duru mahasiswa Howard University Washington DC, USA dalam jurnalnya berjudul Ideological Criticism of a Nigerian Video Film berpendapat bahwa kritik kaum perempuan film adalah sebuah metode analisis yang dapat diterapkan dalam menjelajahi makna tersembunyi dari retorika sebuah film dan memperlihatkan kegigihan/perjuangan perempuan. Film perempuan juga digunakan untuk memberikan hak berbicara kepada perempuan yang digambarkan sebagai sosok negatif dan tak pernah diberi kesempatan untuk berbicara. Dalam jurnalnya Annie menyebutkan:

Feminist criticism is an applicable method of analysis in discovering the underlying meaning of the rhetoric in the film and making visible the struggle of women. Additionally, feminist criticism also works to give a voice to women where women are negatively represented in a film and their voices suppressed. (Duru, Vol.10, No.2, 2010)


(51)

commit to user

li Penggambaran stereotipe perempuan dalam film dan kecenderungan yang didapat penonton dari ideologi patriarkhi memperingatkan kaum perempuan untuk menciptakan film balasan untuk menentang atau mengkritik produksi film yang menganut kultur patriarkhi. Beberapa kaum perempuan membuat film feminis untuk membalas ideologi yang dominan dalam hal ini adalah ideologi patriarkhi.

Di pihak pembuat film, gagasan feminis tidak selalu berarti tuntutan untuk membuat film yang menampilkan ‘perempuan yang luar biasa mandiri’ yang tidak memerlukan orang lain, apalagi laki-laki. Tidak juga itu berarti film feminis ialah film tentang perempuan seksual yang sangat bebas melakukan hubungan seksual. Molly Haskel mengemukakan bahwa (Prabasmoro 2006:337):

”Film perempuan yang lebih baik memberikan aspirasi... Fiksi tentang ’perempuan biasa yang menjadi luar biasa’, perempuan yang mulai sebagai korban lingkungan yang diskriminatif tetapi kemudian bangkit, melalui rasa sakit, obsesi atau penyimpangan, untuk menjadi penentu nasibnya sendiri”( Prabasmoro 2006:337).

Dari pernyataan Molly Haskel tersebut film perempuan merupakan film yang merepresentasikan

perempuan yang mampu mengatasi permasalahan perempuan yang dialaminya sehingga mempu menginspirasi

penonton perempuan untuk bisa bangkit dari keterpurukan yang dialaminya. Keterpurukan yang dialami perempuan

bukan hanya dari sisi fisik saja, namun juga dasi sisi psikologis yang membuat perempuan merasa termarginalkan.


(52)

commit to user

lii Kesehatan reproduksi saat erat kaitannya dengan perempuan. Perempuan yang dengan kelebihannya bisa melahirkan anak seringkali dianggap sebagai mesin reproduksi bagi sebagian kalangan yang tidak menghargai. Padahal untuk menjaga kesehatan reproduksi perempuan bukanlah hal yang mudah bagi perempuan. Bukan hanya masalah klinis dalam hal ini, namun permasalahan sosial dan kultur budaya masyarakat sering menjadi kendala bagi perempuan terkait dengan kesehatan reproduksinya.

Dalam Jurnalnya Kartono Mohamad menyebutkan isu tentang kesehatan reroduksi perempuan telah menjadi isu global. Dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 di Kairo. Chapter (Bab) VII dari Plan of Action hasil ICPD 1994 menyebutkan kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, kelaikan sosial secara menyeluruh dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi berikut fungsi-fungsi dan proses-prosesnya. Ditekankan bahwa manusia punya kemampuan bereproduksi dan punya kebebasan untuk menentukan jika, kapan, dan seberapa sering melakukannya (Mohamad, 2007: 9). Secara implisit disini adalah hak untuk laki-laki dan perempuan untuk mendapat informasi dan mendapat akses pada perencanaan keluarga yang aman, efektif, terjangkau dan layak, atas pilihan sendiri, sebagaimana juga cara-cara lain untuk mengatur kesuburan, yang tidak melanggar hukum, dan hak untuk mengakses pelayanan kesehatan yang akan memungkinkan perempuan untuk menjalani


(53)

commit to user

liii kehamilan dan persalinan dengan aman. Pelayanan kesehatan reproduksi juga termasuk kesehatan seksual, dengan tujuan perbaikan kehidupan dan hubungan pribadi.

Berdasarkan Konferensi kependudukan tersebut di, sudah disepakati perihal hak-hak reproduksi . Dalam hal ini menyimpulkan bahwa terkandung empat hal pokok dalam reproduksi wanita yaitu (http://creasoft.wordpress.com/2008/04/18/kesehatan-reproduksi-wanita/,

diakses pada 5 Desember 2010) :

1. Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health) 2. Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making) 3. Kesetaraan pria dan wanita (equality and equity for men and women) 4. Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security)

Kesehatan reproduksi banyak menyangkut masalah perempuan karena proses reproduksi dan gangguan kesehatan reproduksi lebih banyak dialami perempuan. Reproduksi merupakan salah satu masalah perempuan yang berkaitan dengan tubuh dan perannya dalam masyarakat. Atas hal ini perempuan sering mengalami penindasan sosial.

Mariana Amirudin membagi reproduksi memiliki dua definisi persoalan yaitu reproduksi biologis dan sosial (Amirudin, 2003: 5).


(54)

commit to user

liv

¾ Reproduksi biologis berkaitan dengan fungsi seksualitas tubuhnya

melahirkan anak untuk melakukan regenerasi.

¾ Sedangkan reproduksi sosial adalah fungsi seksualitas tubuh perempuan yang berhubungan dengan peran sosial masyarakat. Ketika masyarakat sudah terlibat dan mengontrol reproduksi biologis perempuan, seperti ditempatkan dalam peran tertentu dan penempatan peran ini disebut sebagai reproduksi sosial.

Selama ini masalah reproduksi lebih banyak dilihat dari aspek klinis, padahal persoalan ini tidak bisa lepas dari konteks sosial dimana reproduksi dipengaruhi dan mempengaruhi nilai, etika, agama, dan kebudayaan. Dalam penelitian ini lebih menyoroti reproduksi perempuan secara sosial yang menyangkut tentang hak-hak dan diskriminasi perempuan berdasarkan reproduksinya.

Berbicara tentang reproduksi adalah berbicara tentang perempuan sebagai bagian dari sumber daya manusia. Oleh karena itu perempuan sebagai sumber daya manusia perlu memiliki kesadaran atas reproduksinya secara biologis maupun sosial agar mereka lebih jauh memahami hak-hak tubuh dan peran sosialnya.

Pengertian reproduksi perempuan mencakup serangkaian proses sistem kerja reproduksi yang melibatkan alat dan fungsi reproduktif perempuan, serta aspek sosial yang menyertainya. Maka kasus mutilasi, pendidikan seksual, mitos-mitos tentang reproduksi perempuan (seperti


(55)

commit to user

lv keperawanan), adalah bagian dari persoalan reproduksi perempuan. (Amirudin, 2003: 6)

Permasalahan reproduksi tidak bisa terlepas dari masalah seksual. Meskipun secara anatomis ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan reproduksinya pada dasarnya mereka adalah sama. Mereka sama-sama memiliki hormon seks, sama-sama memiliki hormon libido, dan sama-sama saling mengharapkan untuk pemenuhan hormon libido dan reproduksi. Juga penempilan dorongan seksual mereka sama-sama dipengaruhi oleh emosi, kesehatan fisik dan mental, serta pikiran-pikiran mereka. Perbedaan anatomis tersebut hanya menjadi dasar dari perbedaan mekanisme dalam melaksanakan fungsi reproduksi.

Perilaku seksual manusia bukan hanya cerminan rangasangan hormon semata, melainkan menggambarkan juga hasil pengaruh antara hormon dan pikiran (mind). Pikiran itu sendiri dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, dan budaya. Sehingga meskipun dorongan birahi itu sendiri bersifat biologis, pola perilaku seksual seseorang akan sangat dipengaruhi oleh tata nilai dan adat istiadat yang berbeda-beda sesuai dengan etnis, agama, dan status sosio ekonominya (Mohamad, 1998:7-8). Namun, sering kali dalam hubungan seksual istri diperlakukan sebagai obyek seksual suami, bukan partner yang memiliki hak seksualitas yang setara. Fenomena inipun oleh masyarakat (termasuk oleh kaum perempuan) acapkali tidak dianggap sebagai sesuatu


(56)

commit to user

lvi yang problematis, tetapi merupakan suatu kodrat yang harus diterima dan dijalani perempuan dengan penuh rasa pasrah (Darwin dan Tukiran, 2001:5).

Masalah kesehatan reproduksi erat kaitannya dengan hak-hak reproduksi perempuan. Namun, saat ini di Indonesia, masih banyak persoalan reproduksi yang masih menghantui perempuan, antara lain : pengabaian hak untuk mendapatkan kebahagiaan seksual dan hak untuk memiliki orientasi yang berbeda, hak untuk bebas dari kekerasan dan pelecehan seksual, masalah kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman, angka kematian ibu yang masih tinggi, akses yang mudah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, pendidikan seks yang memadahi, kontrasepsi dan lain-lain. (Mohamad, 2007:4). Hasil penelitian di berbagai negara bahwa menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai korelasi yang tinggi dengan status kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi. Pendidikan yang tinggi merupakan sarana untuk memperoleh penghasilan yang tinggi. Dengan penghasilan yang tinggi seseorang akan mampu meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan keluarganya (Abdullah dan Mudjajadi, 2001:229).

Untuk menangani permasalahan reproduksi pada dasarnya perempuan harus memiliki pengetahuan tentang apa itu reproduksi dan segala informasi yang menyangkut keamanannya. Informasi merupakan bagian penting dari proses pemahaman supaya seseorang bukan saja mengetahui akan haknya tetapi juga mengetahui kewajibannya dalam menjaga kesehatan reproduksinya serta bagaimana mempertahankan haknya secara benar. Informasi mengenai


(57)

commit to user

lvii hak dan kesehatan reproduksi ini harus diberikan secara benar tanpa opini pemberi informasi sehingga memungkinkan setiap orang dapat mengambil keputusan yang benar atau baik bagi dirinya. Informasi yang diberikan mencakup pengetahuan tentang apa yang terjadi pada dirinya dalam hal reproduksi, bagaimana organ dan fungsi reproduksinya akan berkembang, bagaimana ia dapat mengambil pilihan yang sesuai dengan keinginannya, dan dimana serta bagaimana ia dapat memperoleh pelayanan kesehatan reproduksinya (Mohamad, 2007:15).

Dalam MDG’s Millenium Development Goals disebutkan bahwa: ”Seluruh Negara dipanggil untuk mengusahakan agar kesehatan reproduksi dapat diakses melalui sistem pelayanan kesehatan primer (menjadi standar), oleh semua individu yang berusia cukup, sesegera mungkin dan tidak lebih dari tahun 2015.”

Dari uraian itu lebih jelas disebutkan jika pelayanan tersebut harus mengikut-sertakan interalia (institusi terkait); konseling perencanaan keluarga, informasi, pendidikan , komunikasi dan pelayanan ; pendidikan dan pelayanan untuk perawatan kehamilan, persalinan dan paska persalinan, terutama pemberian ASI, serta pemeliharaan kesehatan ibu dan anak; penceahan dan perawatan infertilitas (ketidak-suburan), aborsi,perawatan infeksi peralatan reproduktif, penyakit menular melalui seks (STD), dan segala kondisi kesehatan reproduksi dan informasinya, pendidikan dan konseling atas seksualitas manusia, kesehatan reproduksi, dan tanggung jawab setelah menjadi orang tua (Mohamad, 2007:16).


(58)

commit to user

lviii Pemberian informasi yang sangat penting bagi perempuan tentang kesehatan reproduksinya sering kali terganjal oleh faktor-faktor budaya yang ada. Bagi para remaja dan perempuan pelayanan dan informasi tentang masalah seks dan kesehatan reproduksi masih jauh dari harapan, bahkan menjadi “barang haram” karena dianggap hanya akan menyuburkan seks diluar nikah. Nampak jelas ketidakjelasan perlindungan ini adalah ketidakjelasan kebijakan dan peraturan perundangan. Dalam Dokumen ICPD yang hingga kini dipergunakan sebagai rujukan pelayanan kesehatan reproduksi (bagi siapa saja) tidak memberikan perlakuan khusus maupun mendiskriminasi, baik berdasarkan status sosial, ekonomi, budaya, ataupun politik tertentu. Yang selama ini kita dapati, pelayanan kesehatan reproduksi cenderung diutamakan untuk mereka yang dikategorikan sebagai kelompok beresiko tinggi, seperti perempuan hamil dan melahirkan, atau kelompok yang terstigma seperti pekerja seks, anak jalanan, waria, dan lelaki gay (Mohamad, 2007:99 ).

a. Kesehatan Reproduksi Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa yang rentan terhadap berbagai masalah, termasuk masalah kesehatan reproduksi. Hal ini karena secara seksual mereka sudah matang, tetapi belum tentu demikian secara mental. Status lajang mereka yang yang juga membuat potensi seksual yang telah mereka miliki secara normatif tidak bisa teraktualisisi. Oleh berbagai sebab, penyimpangan dapat terjadi yaitu, ketika


(59)

commit to user

lix mereka terlibat perilaku seks aktif dengan seluruh konsekuensinya, seperti hamil diluar nikah atau tertulah penyakit seksual. Remaja terancam oleh karena pengetahun mereka yang rendah tentang kesehatan reproduksi (Darwin dan Tukiran, 2001:21).

Faktor utama yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak reproduksi perempuan dan remaja adalah karena tingkat pengetahuan yang kurang tentang kesehatan reproduksi dan ketidakterjangkauan terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi, di samping pelayanan yang tidak memadai, serta sikap negatif terhadap anak perempuan dan tentu saja tindakan deskriminatif terhadap mereka. Satu kenyataan yang tak terbantahkan, seringkali informasi tentang seksualitas dan reproduksi didapatkan justru berasal dari sumber yang tidak bertanggung jawab, informasi yang tidak lengkap dalam media massa, maupun melalui buku-buku, yang kadang-kadang informasi itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Padahal hak mendapatkan informasi dan akses terhadap pelayanan merupakan hak kesehatan reproduksi yang utama. Sebab kebutuhan akan informasi mengenai fungsi, system dan proses-proses reproduksi sangat terkait erat dengan diri perempuan, dan akan memiliki dampak sosial yang cukup berarti dalam bersosialisasi di kalangan masyarakat pada umumnya (Negara, 2005:18).

Pengabaian terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan sejak usia remaja, sesungguhnya merupakan bentuk pelanggaran hak-hak reproduksi yang nyata. Tidak terpenuhinya hak-hak


(60)

commit to user

lx kesehatan reproduksi sejak masa remaja, tidak saja mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam menangani seksualitas mereka, tetapi juga menjadi faktor yang sangat lemah dalam melawan para pelanggar hak-hak reproduksi (Negara, 2005:18).

Pada remaja mulai berkembang rasa ingin tahu yang sangat besar. Mereka tertarik untuk berperilaku seksual tertentu. Memang perilaku ini muncul karena keputusan yang sudah diambil. Akan tetapi keputusan tersebut tidak lepas dari aspek pengetahuan dan pengalaman remaja itu belum cukup untuk mengambil keputusan tentang perilaku seksual tertentu. Akibatnya muncl masalah. Pada titik ini remaja sangat membutuhkan orang tempat mereka bernagi rasa, bertanya, dan bahkan meminta bantuan mengenai persoalan kesehatan reproduksi (Abrar dan Randhani, 2001:209).

Sikap para remaja digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu 1) secara terbuka bertanya kepada orang lain, dan 2) menarik diri dari hubungan dengan orang banyak sambil menunggu dan memecahkan berbagai teka-teki yang memenuhi pikiran mereka. Khusus bagi remaja yang terbuka, biasanya mereka bertanya kepada teman dan orang tua. Akan tetapi yang bertanya kepada orang tua sangat sedikit. Tempat pencarian bantuan menyelesaikan masalah kesehatan reproduksi remaja secara berurutan, mulai dari yang paling sering hingga paling jarang adalah, teman, majalah, guru, dan orang tua (Abrar dan Randhani, 2001:212-213).


(61)

commit to user

lxi Keluarga adalah institusi pertama yang seharusnya memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi terhadap generasi muda. Namun, pengaruh kebudayaan yang berakar sangat dalam pada konsep tabu dan sanksi sosial sangat mewarnai pemberian pendidikan seks secara terbuka dalam keluarga. Selain itu adanya ketakutan secara moral tidak saja menjadi kendala terhadap pendidikan seks, tetapi juga menjadi oposisi terhadap institusionalisasi pendidikan seks di tingkat nasional sebagaimana terimplementasikan pada system pendidikan di lembaga pendidikan formal. Seberapa jauh orang tua mengkomunikasikan masalah seksual dan kesehatan reproduksi kepada anaknya sangat tergantung pada nilai-nilai budaya yang mereka terima sebelumnya (Abdullah dan Mudjajadi, 2001:232).

Hingga saat ini, pendidikan seks yang isisnya informasi bagaimana menjaga dan menggunakan organ reproduksi dan seksual secara sehat, seringkali disalah artikan sebagai pemberian informasi mengenai hubungan seksual. Akibatnya, kemasabodohan remaja tentang seksualitas dan organ-organ seks mereka tidak pernah tertanggulangi karena segala sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas selalu ditabukan, bahkan diharamkan. Simak saja peraturan RUU APP yang hingga kini tidak kunjung selesai. Karena hubungan seks dianggap hanya pantas dilakukan pasangan yang sudah menikah maka informasi kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual semakin diharamkan bagi mereka yang masih remaja dan belum menikah (Mohamad, 2007:95).


(62)

commit to user

lxii

b. Kesehatan Reproduksi Pekerja Seks Komersial

Tidak dapat disangkal bahwa masalah pelacuran sangat erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan masalah ketimpangan status sosial kaum perempuan. Perilaku seksual yang selalu berganti pasangan membuat para pelacur mempunyai risiko yang tinggi untuk tertular dan menularkan penyakit seksual. Tetapi status mereka yang tidak diakui secara resmi, walaupun ada di tempat yang disediakan pemerintah (lokalisasi), membuat program pemeliharaan kesehatan bagi mereka tidak pernah ada. Oleh karenanya jangan mengharapkan para Pekerja Seks Komersial atau yang biasa dikenal dengan pelacur ini mengerti masalah kesehatan seksual dan bersikap lebih aktif dalam menjaga kesehatannya, karena setidaknya harus ada program penyuluhan bagi mereka mengenai masalah ini (Mohamad, 1998:117).

Alasan klasik dari pelacuran masa sekarang adalah kemiskinan. Keadaan ini mungkin benar untuk kalangan masyarakat yang masih miskin baik di Negara berkembang maupun di Negara maju. Di masyarakat miskin dan masyarakat di daerah kumuh, nilai keperawanan mungkin tidak terlalu berarti bagi mereka, demikian pula makna sakral perkawinan. Ketika penghasilan sebagai pelacur jauh lebih tinggi daripada pekerjaan terhormat yang tersedia bagi mereka, menjadi pelacur merupakan pilihan terbaik bagi masyarakat demikian itu (Mohamad, 1998:111).

Tingkat pendidikan yang rendah, digabung dengan kemiskinan, membuat para perempuan remaja melihat pelacuran sebagai pekerjaan


(63)

satu-commit to user

lxiii satunya yang menjanjikan penghasilan yang tinggi dalam waktu yang relatif cepat. Ia tidak memiliki kepandaian atau ketrampilan yang diperlukan untuk bekerja di sektor industry, dan juga tidak memiliki modal untuk usaha sendiri. Satu-satunya “modal” yang ia miliki adalah tubuhnya (Mohamad, 1998:112).

Sementara itu pelacuran juga merupakan masalah kesehatan masyarakat dalam arti menyeluruh, yang meliputi kesehatan fisik, mental dan sosial. Pelacuran dapat menjadi ancaman bagi kesehatan fisik karena ia bisa menjadi tempat “transit” penyakit menular seksual sebelum menjalar ke pelanggan lain. Pelacuran dapat menjadi indikasi adanya keadaan sosial yang tidak sehat, dan juga dapat mengganggu kesehatan mental individu (baik pelacurnya, pelanggan dan keluarganya) karene menimbulkan kecemasan-kecemasan yang tidak seharusnya. Dari sisi pelacur, mungkin muncul juga masalah hubungan keluarga yang tidak serasi atau keluarga yang delinkuen, yang menjadi faktor pendorong seseorang menjadi pelacur. Karenanya, pelacuran memang merupakan public issue dan bukan merupakan private

issue sehingga menjadi kewenangan Negara untuk mengaturnya (Mohamad,

1998:119).

Prevalensi Penyakit Menular Seksual (PMS) di Indonesia cukup tinggi yang salah satunya ditularkan melalui kasus pelacuran. Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan dan Population Council pada tahun 1997 di Jakarta mengungkapkan bahwa ada 486 perempuan pengunjung


(64)

commit to user

lxiv klinik KB setidaknya menunjukkan gejala tertular PMS. Berdasarkan informasi dari 127 PSK dan 197 ibu rumah tangga berusia 25-40 tahun, diperoleh data bahwa 28 persen PSK dan 4 persen ibu rumah tangga terkena

gonorrhoe, 78 persen PSK dan 83 persen ibu rumah tangga terkena servistis mukopurulenta, 24 persen PSK dan 25 persen ibu rumah tangga terkena vaginosil bacterial, 17 persen PSK dan 1 persen ibu rumah tangga terkena pelvic inflammatory disease kondiloma, sedangkan 5 persen PSK dan 1 persen

ibu rumah tangga terkena herpes (Nurlaela dan Kusumanegara 2005:10).

Pelacuran sangat rentan dengan virus HIV/AIDS yang menjadi ancaman yang serius bagi umat manusia karena beberapa sebab. Pertama, virus HIV ditularkan terutama melalui hubungan seksual. Padahal tidak banyak masyarakat yang dapat membicarakan masalah seks secara jujur dan terbuka. Akibatnya, HIV/AIDS sulit didiskusikan dan sulit dikendalikan.

Kedua, di dalam tubuh manusia, HIV bersarang dalam sel limfosit CD4 yang

menjadi pengatur kekebalan tubuh dan tidak dapat dibunuh dengan obat-obatan yang ada sekarang. Selain itu, HIV cepat sekali bermutasi sehingga sulit sekali mengembangkan vaksinnya. Ketiga, masa inkubasi AIDS cukup lama, diperkirakan 10 tahun. Dalam masa inkubasi itu seorang yang tertular HIV tetap sehat, tapi dapat menularkan HIV kepada orang lain. Masa inkubasi yang lama juga menyusahkan penanggulangannya. Keempat, AIDS terutama


(1)

commit to user

clix Hampir setiap tokoh di dalam film ini kesehatan reproduksinya terabaikan. Hal tersebut dapat dilihat dari penggambaran scene-scene yang menunjukkan bagaimana keamanan kesehatan reproduksi perempuan benar-benar tidak diperhatikan.

Berbagai faktor lingkungan seperti budaya daerah setempat, pendidikan dan ekonomi membuat perempuan terganjal untuk melindungi kesehatan reproduksinya. Faktor-faktor tersebut membuat perempuan tidak memiliki akses untuk mendapatkan informasi seputar kesehatan reproduksinya. Jika tidak memiliki informasi dan pengetahuan tetang permasalahan keamanan dan kesehatan reproduksi tentunya akan membuat keamanan kesehatn reproduksi perempuan menjadi terabaikan.

Kasus-kasus tersebut bukanlah cerita fiktif dari pembuat film, melainkan kenyataan yang terjadi dimasyarakat yang terkemas dalam sebuah film dokumenter. Topik tersebut dimunculkan dalam film oleh sang pembuat film dilatarbelakangi realitas sosial dewasa ini dimana banyak perempuan menjadi korban dari lingkungan masyarakat yang “mengagungkan” laki-laki. Bukan hanya masalah penggolongan berdasarkan gender, namun kini telah meluas hingga membahayakan kesehatan perempuan. Untuk itu, dengan diangkatnya kasus-kasus perempuan dalam sebuah film dengan sudut pandang perempuan, diharapkan setiap orang yang melihat film ini terutama untuk perempuan menjadi terinspirasi untuk dapat mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.


(2)

commit to user

clx

2. Secara Khusus

a. Pengetahuan perempuan terkait keamanan kesehatan reproduksi perempuan

Dari sepuluh kasus dalam film “Pertaruhan” perempuan bisa dikatakan belum memiliki pengetahuan terkait keamanan kesehatan reproduksi. Kalaupun mereka telah memiliki pengetahuan, mereka akan terganjal oleh tradisi lingkungan yang membuat keamanan kesehatan reproduksi mereka menjadi kurang diperhatikan. Tradisi dalam lingkungan merekan merupakan bagian dari budaya patriarkhi yang berkembang hampir di seluruh wilayah Indonesia. Budaya patriarkhi yang menganggap tabu untuk membicarakan masalah reproduksi dan seksual membuat perempuan menjadi minim informasi. Perempuan seakan tidak memiliki kekuatan untuk melawan budaya tersebut, sering kali perempuan pasrah dengan keadaan dan meyakininya sebagai kodratnya sebagai perempuan.

b. Penggunaan peralatan terkait masalah keamanan kesehatan reproduksi

peremuan

Peralatan yang digunakan perempuan terkait penanganan keamanan kesehatan reproduksinya bermacam-macam terdiri dari peralatan medis maupun non medis. Namun peralatan medis dan dilakukan oleh tenaga medis yang tergolong aman sesuai prosedur pengobatan medis belum tentu


(3)

commit to user

clxi menciptakan rasa aman dan nyaman bagi perempuan, begitupula dengan peralatan non medis atau peralatan tradisional yang tidak dilakukan oleh orang yang mengetahui prosedur pengobatan yang tergolong tidak aman terkadang malah menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi perempuan. Jadi penulis menyimpulkan terdapat empat kolaborasi dari peralatan dan rasa aman yang dirasakan perempuan:

¾ Peralatan aman yang menimbulkan rasa aman dan nyaman

¾ Peralatan aman namun tidak menimbulkan rasa aman dan nyaman

¾ Peralatan tidak aman menimbulkan rasa aman dan nyaman

¾ Peralatan tidak aman dan tidak menimbulkan rasa aman dan nyaman.

Pengetahuan perempuan yang kurang tentang keamanan kesehatan reproduksi akan berakibat juga pada penggunaan peralatannya. Mereka yang minim informasi merasa aman dalam menggunakan peralatan non medis yang tidak sesuai dengan prosedur penggunaan dan kadang dilakukan oleh orang yang juga tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Namun adakalanya peralatan medis yang dilakukan oleh pihak yang telah mengetahui prosedur kesehatan reproduksi justru merasa belum aman karena pengaruh mitos-mitos yang berkembang di masyarakat akibat mengakarnya budaya patriarkhi.

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi perempuan terkait keamanan kesehatan


(4)

commit to user

clxii Terdapat tiga faktor besar yang dapat penulis simpulkan yang mempengaruhi perempuan terkait keamanan kesehatan reproduksi perempuan dalam film “Pertaruhan”:

1. Faktor budaya patriarkhi

Faktor budaya patriarkhi merupakan faktor terbesar dan hampir terjadi disetiap kasus adalah faktor budaya patriarkhi yang berkembang dan mengakar di masyarakat. Faktor budaya yang mengunggulkan kekuasaan laki-laki diatas perempuan dengan segala bentuknya membuat perempuan kehilangan hak-haknya termasuk masalah keamanan kesehatan reproduksinya. Disini perempuan dianggap sebagi makhluk kedua dibawah kuasanya yang bisa dikontrol sesukanya. Parahnya masyarakat yang sebagian juga perempuan telah menganut dan menjalankan budaya tersebut walau hanya dengan alasan agar tidak terkucilkan di masyarakat.

2. Faktor ekonomi

Faktor kedua adalah faktor ekonomi. Mahalnya biaya pengobatan membuat perempuan-perempuan enggan memeriksakan diri ke dokter. Jika ada keluhan dengan masalah reproduksinya mereka hanya membeli obat dipasaran dan meminumnya tanpa aturan yang jelas dari dokter. Padalah apa yang mereka keluhkan belum tentu sesuai dengan obat yang mereka beli. Peremuan Pekerja Seks Komersial misalnya, mereka melakukan pekerjaan


(5)

commit to user

clxiii yang sangat rentan dengan bahaya penyakit menular seksual itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang bisa dikatakan kurang mampu, sedangkan biaya pengobatan di dokter tidak terjangkau oleh mereka.

3. Faktor pendidikan

Perempuan yang memiliki pendidikan yang tinggi akan lebih memperhatikan keamanan kesehatan reproduksinya dibandingkan dengan perempuan yang berpendidikan rendah. Mereka yang berpendidikan tinggi tahu apa yang seharusnya mereka lakukan dan dimana mereka bertanya tentang permasalahan kesehatan reproduksi. Meskipun terkadang dalam perjalanannya untuk memperhatikan keamanan kesehatan reproduksinya tersebut terganjal oleh faktor tradisi. Faktor pendidikan memiliki hubungan yang sebanding dengan keamanan kesehatan reproduksi.semakin tinggi pendidikan seseorang maka ia akan semakin menjaga keamanan kesehatan reproduksinya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, terlihat jika selama ini keamanan

kesehatan reproduksi perempuan belum diperhatikan terurtama oleh perempuan sendiri. Untuk itu dengan adanya film perempuan “Pertaruhan” ini diharapkan perempuan akan terinspirasi dalam mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Perempuan diharapkan bisa mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya dan


(6)

commit to user

clxiv tidak menyerah dengan tradisi atau lingkungan yang menyudutkan dan merugikan perempuan.

Perempuan yang awalnya terpuruk oleh lingkungannya bisa menjadi

kembali bangkit dari keterpurukannya. Dengan demikian penulis menyarankan kepada para produser film untuk memproduksi lebih banyak lagi memproduksi dan menayangkan film-film bergenre perempuan dengan isu-isu seputar perempuan agar bisa menginspirasi perempuan dan mengatasi permasalahannya. Selain itu film perempuan diharapkan bisa mengubah pandangan masyarakat yang selama ini melihat suatu permasalahan dengan pandangan patriarkhi bisa menjadi lebih terbuka dalam melihat permasalahan perempuan dari kacamata perempuan.