commit to user lviii
Pemberian informasi yang sangat penting bagi perempuan tentang kesehatan reproduksinya sering kali terganjal oleh faktor-faktor budaya yang
ada. Bagi para remaja dan perempuan pelayanan dan informasi tentang masalah seks dan kesehatan reproduksi masih jauh dari harapan, bahkan
menjadi “barang haram” karena dianggap hanya akan menyuburkan seks diluar nikah. Nampak jelas ketidakjelasan perlindungan ini adalah
ketidakjelasan kebijakan dan peraturan perundangan. Dalam Dokumen ICPD yang hingga kini dipergunakan sebagai rujukan pelayanan kesehatan
reproduksi bagi siapa saja tidak memberikan perlakuan khusus maupun mendiskriminasi, baik berdasarkan status sosial, ekonomi, budaya, ataupun
politik tertentu. Yang selama ini kita dapati, pelayanan kesehatan reproduksi cenderung diutamakan untuk mereka yang dikategorikan sebagai kelompok
beresiko tinggi, seperti perempuan hamil dan melahirkan, atau kelompok yang terstigma seperti pekerja seks, anak jalanan, waria, dan lelaki gay Mohamad,
2007:99 .
a. Kesehatan Reproduksi Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa yang rentan terhadap berbagai masalah, termasuk masalah kesehatan reproduksi.
Hal ini karena secara seksual mereka sudah matang, tetapi belum tentu demikian secara mental. Status lajang mereka yang yang juga membuat
potensi seksual yang telah mereka miliki secara normatif tidak bisa teraktualisisi. Oleh berbagai sebab, penyimpangan dapat terjadi yaitu, ketika
commit to user lix
mereka terlibat perilaku seks aktif dengan seluruh konsekuensinya, seperti hamil diluar nikah atau tertulah penyakit seksual. Remaja terancam oleh
karena pengetahun mereka yang rendah tentang kesehatan reproduksi Darwin dan Tukiran, 2001:21.
Faktor utama yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak reproduksi perempuan dan remaja adalah karena tingkat pengetahuan yang kurang
tentang kesehatan reproduksi dan ketidakterjangkauan terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi, di samping pelayanan yang tidak memadai,
serta sikap negatif terhadap anak perempuan dan tentu saja tindakan deskriminatif terhadap mereka. Satu kenyataan yang tak terbantahkan,
seringkali informasi tentang seksualitas dan reproduksi didapatkan justru berasal dari sumber yang tidak bertanggung jawab, informasi yang tidak
lengkap dalam media massa, maupun melalui buku-buku, yang kadang- kadang informasi itu tidak bisa dipastikan kebenarannya. Padahal hak
mendapatkan informasi dan akses terhadap pelayanan merupakan hak kesehatan reproduksi yang utama. Sebab kebutuhan akan informasi mengenai
fungsi, system dan proses-proses reproduksi sangat terkait erat dengan diri perempuan, dan akan memiliki dampak sosial yang cukup berarti dalam
bersosialisasi di kalangan masyarakat pada umumnya Negara, 2005:18. Pengabaian terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi
bagi perempuan sejak usia remaja, sesungguhnya merupakan bentuk pelanggaran hak-hak reproduksi yang nyata. Tidak terpenuhinya hak-hak
commit to user lx
kesehatan reproduksi sejak masa remaja, tidak saja mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam menangani seksualitas mereka, tetapi juga
menjadi faktor yang sangat lemah dalam melawan para pelanggar hak-hak reproduksi Negara, 2005:18.
Pada remaja mulai berkembang rasa ingin tahu yang sangat besar. Mereka tertarik untuk berperilaku seksual tertentu. Memang perilaku ini
muncul karena keputusan yang sudah diambil. Akan tetapi keputusan tersebut tidak lepas dari aspek pengetahuan dan pengalaman remaja itu belum cukup
untuk mengambil keputusan tentang perilaku seksual tertentu. Akibatnya muncl masalah. Pada titik ini remaja sangat membutuhkan orang tempat
mereka bernagi rasa, bertanya, dan bahkan meminta bantuan mengenai persoalan kesehatan reproduksi Abrar dan Randhani, 2001:209.
Sikap para remaja digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu 1 secara terbuka bertanya kepada orang lain, dan 2 menarik diri dari hubungan dengan
orang banyak sambil menunggu dan memecahkan berbagai teka-teki yang memenuhi pikiran mereka. Khusus bagi remaja yang terbuka, biasanya
mereka bertanya kepada teman dan orang tua. Akan tetapi yang bertanya kepada orang tua sangat sedikit. Tempat pencarian bantuan menyelesaikan
masalah kesehatan reproduksi remaja secara berurutan, mulai dari yang paling sering hingga paling jarang adalah, teman, majalah, guru, dan orang tua
Abrar dan Randhani, 2001:212-213.
commit to user lxi
Keluarga adalah institusi pertama yang seharusnya memberikan pendidikan seks dan kesehatan reproduksi terhadap generasi muda. Namun,
pengaruh kebudayaan yang berakar sangat dalam pada konsep tabu dan sanksi sosial sangat mewarnai pemberian pendidikan seks secara terbuka dalam
keluarga. Selain itu adanya ketakutan secara moral tidak saja menjadi kendala terhadap pendidikan seks, tetapi juga menjadi oposisi terhadap
institusionalisasi pendidikan seks di tingkat nasional sebagaimana terimplementasikan pada system pendidikan di lembaga pendidikan formal.
Seberapa jauh orang tua mengkomunikasikan masalah seksual dan kesehatan reproduksi kepada anaknya sangat tergantung pada nilai-nilai budaya yang
mereka terima sebelumnya Abdullah dan Mudjajadi, 2001:232. Hingga saat ini, pendidikan seks yang isisnya informasi bagaimana
menjaga dan menggunakan organ reproduksi dan seksual secara sehat, seringkali disalah artikan sebagai pemberian informasi mengenai hubungan
seksual. Akibatnya, kemasabodohan remaja tentang seksualitas dan organ- organ seks mereka tidak pernah tertanggulangi karena segala sesuatu yang
berkaitan dengan seksualitas selalu ditabukan, bahkan diharamkan. Simak saja peraturan RUU APP yang hingga kini tidak kunjung selesai. Karena
hubungan seks dianggap hanya pantas dilakukan pasangan yang sudah menikah maka informasi kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual semakin
diharamkan bagi mereka yang masih remaja dan belum menikah Mohamad, 2007:95.
commit to user lxii
b. Kesehatan Reproduksi Pekerja Seks Komersial