Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya setiap manusia adalah makhluk religius. Percaya terhadap sesuatu yang bersifat supranatural adalah sifat naluri alamiah yang dimiliki setiap manusia. Sebagai homo religius, manusia meyakini bahwa melalui agama seorang individu dapat berhubungan dengan “Yang Sakral”. 1 Maka agama merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia. Sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu dibayang-bayangi oleh keberadaan agama. Bagaimana pun majunya pengetahuan dan teknologi, kehidupan manusia tak luput dari persoalan agama. Agama telah ada sejak manusia ada. Agama telah menjadi sistem nilai yang dianut baik oleh individu maupun kelompok yang telah memberikan corak tersendiri dalam kehidupan manusia. Agama merupakan sarana manusia untuk membentengi diri dari segala kekacauan yang melanda dalam realitas kehidupannya. Karena melalui agama manusia bukan hanya dapat memperoleh ketenangan batin atau jiwa, memberikan jawaban terhadap segala kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat diperoleh melalui pengetahuan empirik, namun agama juga memberikan pedoman dalam berinterkasi dengan masyarakat sehari-hari, guna terciptanya ekuilibrium dalam masyarakat. Menurut persfektif sosiologis, agama merupakan kategori sosial dan tindakan empiris. Dalam konteks ini, agama dirumuskan dengan ditandai oleh 1 Hendro Puspito, Sosiologi Agama Yogyakarta: Kanisius, 1983 , hal 41 corak pengungkapan universal: pengungkapan teoritis berwujud kepercayaan belief system, pengungkapan praktis sebagai sistem persembahan system of worship, dan pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan masyarakat system of social relation . 2 Modernisasi yang melanda kota-kota besar menggiurkan masyarakat rural menjadi tertarik untuk mengadu nasib ke kota demi mewujudkan segudang harapan untuk dapat memperbaiki taraf hidup. Sehingga, arus urbanisasi tak dapat dibendung dan terus meningkat. Namun, hampir semua diantara mereka tidak membekali diri dengan keterampilan dan keahlian dalam menghadapi persaingan hidup di kota. Maka kehadiran mereka hanya mempertinggi angka pengangguran di wilayah urban. Umumnya mereka hanya berprofesi sebagai manual work, dengan penghasilan minim dan berada dalam taraf hidup sebagai kategori miskin. Dengan kondisi perekonomian tersebut mereka memunculkan daerah kantong- kantong kumuh di kawasan pingiran urban sebagi tempat pemukiman mereka. Gambaran sederhana tersebut adalah karakteristik masyarakat marginal. Masyarakat marginal adalah masyarakat yang identik sebagai masyarakat miskin kota, yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis, gelandangan, atau pun buruh pekerja kasar. David Berry menyatakan bahwa marginal adalah suatu situasi dimana orang yang bercita-cita atau berkeinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya. 3 2 Drs. H.Muhammad Sayuthi Ali ,Metode Penelitian Agama:Pendekatan Teori dan Praktek,Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ,h.8 3 David Barry, Pikiran Pokok Dalam Sosiologi Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995 hal. 14 Ketidakberdayaan kaum marginal yang telah terasingkan oleh kebudayaan dan kehidupan kota yang modern membuat mereka menerima nasib seperti yang dialaminya sekarang, sehingga cita-cita hanyalah sebuah impian yang tak akan terwujud selamanya. Kaum marginal termasuk kaum miskin yang bercirikan miskin dari segi pangan, ekonomi, pendidikan, dan tingkat kesehatan yang rendah. Menurut Pasurdi Suparlan, bahwa kaum marginal adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tak layak seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya. 4 Realitas sosial Indonesia memang telah terstruktur melalui proses panjang. Secara sistematis merasuk dalam sendi-sendi kehidupan dan mewujud dalam kultur. Realitas struktur sosial di Indonesia cerminan dari sebuah bentuk piramid, dimana bagian atas kategori masyarakat kaya, bagian tengah untuk kategori masyarakat menengah, dan bagian bawah untuk kategori masyarakat miskin. Namun mayoritas penduduk Indonesia berada di lapisan bawah, yang termasuk dalam kategori ini adalah masyarakat marginal. Masyarakat marginal dikatakan sebagai masyarakat miskin kota, mereka miskin karena adanya struktur ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Kemiskinan dikalangan masyarakat Indonesia telah menjadi suatu realitas kultural yang berbentuk sikap menyerah pada keadaan. Mereka miskin bukan hanya karena keterbatasan lapangan pekerjaan, namun karena mereka tidak mempunyai potensi untuk mempergunakan kesempatan yang tersedia. Sehingga pengangguran dan profesi manual work yang mau tak mau jadi pilihan mereka. 4 Pasurdi Suparlan, Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin dalam Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hal 179 Beragama adalah sifat naluriah tiap individu. Hampir setiap manusia di dunia ini pasti mempunyai agama, baik itu pejabat, orang kaya, selebrirtis, bahkan orang miskin sekalipun. Agama telah menjadi hal yang sangat fundamental bagi masyarakata apapun. Agama telah menjadi aspek universal yang berhasil menembus stuktur sosial dalam masyarakat. Namun, latar belakang sosial yang berbeda dalam masyarakat, menyebabkan setiap masyarakat memiliki sikap, perilaku, kebutuhan dan nilai yang berbeda pada agama. 5 Karena latar belakang sosial dan ekonomi yang buruk, sering kali stigma dekatnya kekufuran melekat pada kaum miskin. Dalam penelitian N.J. Demearth mengenai agama dan pelapisan sosial di Amerika menunjukan bahwa kelas sosial yang paling bawah lebih bersikap apatis dan disposisi terhadap agama. 6 Begitu pula halnya yang dijelaskan dalam karya Marx Weber, bahwa analisanya mengenai keberagamaan masyarakat yang kurang beruntung lebih mendisposisikan agama. Maksud dari masyarakat yang berstrata rendah dan kurang beruntung adalah mereka yang berprofesi sebagai pekerja kasar, berpenghasilan rendah atau mereka yang tergolong dalam kaum proletar. Dalam realitas kehidupan beragama sikap hipokrit para penganutnya telah memicu kesenjangan sosial antara penganut suatu agama, yang secara nyata telah memisahkan antara kelompok yang berutung dan kelompok yang kurang beruntung. Akhirnya tumbuhlah sikap fatalistik, rasa malu, dan rasa terasing di dalam diri mereka yang kurang beruntung. Karena dengan kondisi tersebut, 5 H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002 ,hal 1 6 Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,Jakrta: Rajawali Press h. 410 seringkali membuat hati si miskin menjadi ragu akan kebijaksanaan Ilahi, terutama dalam hal pembagian rezeki. Sehingga membuat mereka enggan untuk menghadiri atau melaksanakan ajaran-ajaran agama. 7 Secara ontologis umat manusia adalah Abd-Allah, hamba Tuhan. Sebagai kebenaran absolut, adalah kewajiban Tuhan untuk disembah dan ditaati oleh setiap manusia, dalam bentuk beribadah. Maka Tuhan mewahyukan berbagai macam agama di muka bumi ini sebagai sarana mediasi untuk menyalurkan ketaatan terhadap-Nya, melalui ritual dan amalan kebajikan yang dikategorikan sebagai ibadah. Bagaimanapun setiap agama yang ada mempunyai sistem peribadatan dan perayaan waktu-waktu yang disakralkan. Sebagai kategori agama samawi, Islam sendiri mempunyai sistem ibadah yang diwajibkan kepada pemeluknya. Melalui ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji adalah sarana bagi para pemeluknya untuk menyalurkan sikap taatnya terhadap ajaran-ajaran agamanya. Bagi setiap muslim, Ramadhan merupakan bulan eksklusif. Dikatakan eksklusif karena di dalamnya terdapat banyak keistimewaan-keistimewaan. Bulan yang di dalamnya mengandung keberkahan, kemulian, ampunan dan pahala dari Allah. Hampir seluruh umat Islam selalu mengharapkan dan merindukan kedatangan bulan Ramadhan. Namun dalam realitanya, adanya hukum kausalitas tetap berlaku. Rahmat, ampunan, dan berkah Tuhan bisa didapatkan bagi orang yang berusaha meraihnya. Untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dapat dilakukan dengan 7 Eri Sudewo, Keresahan Pemulung Zakat, Jakarta Kahirul Bayan-Sumber Pemikiran Islam, 2004,h 46 beribadah, sedangkan untuk mendapatkan keberkahan rezeki dapat dilakukan dengan tetap semangat dalam aktivitas kerja. Sejatinya predikat eksklusif yang disandang Ramadhan juga tidak terlepas dari ibadah dan amalan khas yang diperintahkan pada bulan tersebut, yakni puasa, taraweh, dan zakat fitrah. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, Ramadhan diyakini telah menstimulasi tiap jiwa sritual muslim untuk larut dalam kondisi shaleh. Maka dalam bulan ini ditemukan nuansa keberagamaan yang berbeda dalam masyarakat. Dimana pada bulan tersebut setiap individu belomba- lomba meningkatkan ibadah mahdlah dan ibadah sosialnya untuk sampai ada kondisi shaleh. Namun, ibadah-ibadah khas tersebut menuntut kondisi yang fasilitatif dan akomodatif dari masyarakat, maka seringkali kondisi kekurangan yang dialami masyrakat marginal dianggap sebagai penyebab mengapa mereka mengabaikan perintah agama dan moment-moment keagamaan. Misalnya seperti Ramadhan. Adalah pemulung sebagai salah satu kategori masyarakat marginal, dimana suatu profesi yang memusatkan kegiatannya berkeliling dari satu tempat pembuangan sampah ke tempat pembuangan sampah lainnya untuk mengumpulkan barang bekas dan sampah. Kemudian dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup. Faktor cuaca dan jam kerja tidak diperhitungkan mereka dalam mengais rezeki. Namun sekeras apapun mereka bekerja, mereka tetap hidup dalam kondisi yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Memasuki bulan Ramadahan, dapat dibayangkan betapa berat kondisi yang harus mereka lewati. Terlebih dengan tuntutan pelaksanaan kewajiban ibadah puasa. Sangat berat bagi mereka untuk menjalankan ibadah puasa semenatara mereka harus melakukan aktivitas kerja yang menuntut energi ekstra. Yang persiapannya hanya ditopang dengan asupan kalori yang minim. Disamping itu, kondisi atau areal aktivitas kerja mereka yang tak layak, seperti bau sampah, dan panasnya matahari merupakan hal yang sangat menganggu sensitifitas atau kondisi yang tidak mendukung bagi sesorang yang berpuasa. Namun di sisi lain tak mungkin mereka meninggalkan aktivitas kerjanya. Terlebih dalam bulan Ramadhan, dimana jumlah kapasitas barang bekas dan sampah meningkat. Meninggalkan aktivitas kerja sama dengan menyia-nyiakan berkah rezeki dalam bulan tersebut. Maka kondisi tersebut menghantarkan mereka pada kondisi dilematis. Dimana mereka di hadapkan pada pilihan untuk beribadah atau bekerja. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang fenomena tersebut dengan judul: “Ramadhan Di Mata Masyarakat Marginal”: Studi Kasus Komunitas Pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, Kedaung, Ciputat-Tanggerang, sebagai judul penelitian dalam skripsi ini.Yang lebih memfokuskan diri pada aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan. Kebaragamaan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan, dan pengaruh Ramadhan terhadap keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan sesudahnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah