Ramadhan di Mata masyarakat marginal Studi: Komunitas Pemulung di Jl. Bulak II Kelurahan Kedaung Ciputat-Tangerang

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pada hakikatnya setiap manusia adalah makhluk religius. Percaya terhadap sesuatu yang bersifat supranatural adalah sifat naluri alamiah yang dimiliki setiap manusia. Sebagai homo religius, manusia meyakini bahwa melalui agama seorang individu dapat berhubungan dengan “Yang Sakral”.1 Maka agama merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia.

Sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu dibayang-bayangi oleh keberadaan agama. Bagaimana pun majunya pengetahuan dan teknologi, kehidupan manusia tak luput dari persoalan agama. Agama telah ada sejak manusia ada. Agama telah menjadi sistem nilai yang dianut baik oleh individu maupun kelompok yang telah memberikan corak tersendiri dalam kehidupan manusia. Agama merupakan sarana manusia untuk membentengi diri dari segala kekacauan yang melanda dalam realitas kehidupannya. Karena melalui agama manusia bukan hanya dapat memperoleh ketenangan batin atau jiwa, memberikan jawaban terhadap segala kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat diperoleh melalui pengetahuan empirik, namun agama juga memberikan pedoman dalam berinterkasi dengan masyarakat sehari-hari, guna terciptanya ekuilibrium dalam masyarakat.

Menurut persfektif sosiologis, agama merupakan kategori sosial dan tindakan empiris. Dalam konteks ini, agama dirumuskan dengan ditandai oleh

1


(2)

corak pengungkapan universal: pengungkapan teoritis berwujud kepercayaan (belief system), pengungkapan praktis sebagai sistem persembahan (system of worship), dan pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan masyarakat (system of social relation ).2

Modernisasi yang melanda kota-kota besar menggiurkan masyarakat rural menjadi tertarik untuk mengadu nasib ke kota demi mewujudkan segudang harapan untuk dapat memperbaiki taraf hidup. Sehingga, arus urbanisasi tak dapat dibendung dan terus meningkat. Namun, hampir semua diantara mereka tidak membekali diri dengan keterampilan dan keahlian dalam menghadapi persaingan hidup di kota. Maka kehadiran mereka hanya mempertinggi angka pengangguran di wilayah urban. Umumnya mereka hanya berprofesi sebagai manual work, dengan penghasilan minim dan berada dalam taraf hidup sebagai kategori miskin. Dengan kondisi perekonomian tersebut mereka memunculkan daerah kantong-kantong kumuh di kawasan pingiran urban sebagi tempat pemukiman mereka.

Gambaran sederhana tersebut adalah karakteristik masyarakat marginal. Masyarakat marginal adalah masyarakat yang identik sebagai masyarakat miskin kota, yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis, gelandangan, atau pun buruh pekerja kasar. David Berry menyatakan bahwa marginal adalah suatu situasi dimana orang yang bercita-cita atau berkeinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya.3

2

Drs. H.Muhammad Sayuthi Ali ,Metode Penelitian Agama:Pendekatan Teori dan Praktek,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ),h.8

3

David Barry, Pikiran Pokok Dalam Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995 ) hal. 14


(3)

Ketidakberdayaan kaum marginal yang telah terasingkan oleh kebudayaan dan kehidupan kota yang modern membuat mereka menerima nasib seperti yang dialaminya sekarang, sehingga cita-cita hanyalah sebuah impian yang tak akan terwujud selamanya. Kaum marginal termasuk kaum miskin yang bercirikan miskin dari segi pangan, ekonomi, pendidikan, dan tingkat kesehatan yang rendah. Menurut Pasurdi Suparlan, bahwa kaum marginal adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tak layak seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya.4

Realitas sosial Indonesia memang telah terstruktur melalui proses panjang. Secara sistematis merasuk dalam sendi-sendi kehidupan dan mewujud dalam kultur. Realitas struktur sosial di Indonesia cerminan dari sebuah bentuk piramid, dimana bagian atas kategori masyarakat kaya, bagian tengah untuk kategori masyarakat menengah, dan bagian bawah untuk kategori masyarakat miskin. Namun mayoritas penduduk Indonesia berada di lapisan bawah, yang termasuk dalam kategori ini adalah masyarakat marginal. Masyarakat marginal dikatakan sebagai masyarakat miskin kota, mereka miskin karena adanya struktur ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Kemiskinan dikalangan masyarakat Indonesia telah menjadi suatu realitas kultural yang berbentuk sikap menyerah pada keadaan. Mereka miskin bukan hanya karena keterbatasan lapangan pekerjaan, namun karena mereka tidak mempunyai potensi untuk mempergunakan kesempatan yang tersedia. Sehingga pengangguran dan profesi manual work yang mau tak mau jadi pilihan mereka.

4

Pasurdi Suparlan, Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin dalam Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal 179


(4)

Beragama adalah sifat naluriah tiap individu. Hampir setiap manusia di dunia ini pasti mempunyai agama, baik itu pejabat, orang kaya, selebrirtis, bahkan orang miskin sekalipun. Agama telah menjadi hal yang sangat fundamental bagi masyarakata apapun. Agama telah menjadi aspek universal yang berhasil menembus stuktur sosial dalam masyarakat. Namun, latar belakang sosial yang berbeda dalam masyarakat, menyebabkan setiap masyarakat memiliki sikap, perilaku, kebutuhan dan nilai yang berbeda pada agama.5 Karena latar belakang sosial dan ekonomi yang buruk, sering kali stigma dekatnya kekufuran melekat pada kaum miskin.

Dalam penelitian N.J. Demearth mengenai agama dan pelapisan sosial di Amerika menunjukan bahwa kelas sosial yang paling bawah lebih bersikap apatis dan disposisi terhadap agama.6 Begitu pula halnya yang dijelaskan dalam karya Marx Weber, bahwa analisanya mengenai keberagamaan masyarakat yang kurang beruntung lebih mendisposisikan agama. Maksud dari masyarakat yang berstrata rendah dan kurang beruntung adalah mereka yang berprofesi sebagai pekerja kasar, berpenghasilan rendah atau mereka yang tergolong dalam kaum proletar.

Dalam realitas kehidupan beragama sikap hipokrit para penganutnya telah memicu kesenjangan sosial antara penganut suatu agama, yang secara nyata telah memisahkan antara kelompok yang berutung dan kelompok yang kurang beruntung. Akhirnya tumbuhlah sikap fatalistik, rasa malu, dan rasa terasing di dalam diri mereka yang kurang beruntung. Karena dengan kondisi tersebut,

5

H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002 ),hal 1

6

Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,(Jakrta: Rajawali Press)h. 410


(5)

seringkali membuat hati si miskin menjadi ragu akan kebijaksanaan Ilahi, terutama dalam hal pembagian rezeki. Sehingga membuat mereka enggan untuk menghadiri atau melaksanakan ajaran-ajaran agama.7

Secara ontologis umat manusia adalah Abd-Allah, hamba Tuhan. Sebagai kebenaran absolut, adalah kewajiban Tuhan untuk disembah dan ditaati oleh setiap manusia, dalam bentuk beribadah. Maka Tuhan mewahyukan berbagai macam agama di muka bumi ini sebagai sarana mediasi untuk menyalurkan ketaatan terhadap-Nya, melalui ritual dan amalan kebajikan yang dikategorikan sebagai ibadah.

Bagaimanapun setiap agama yang ada mempunyai sistem peribadatan dan perayaan waktu-waktu yang disakralkan. Sebagai kategori agama samawi, Islam sendiri mempunyai sistem ibadah yang diwajibkan kepada pemeluknya. Melalui ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji adalah sarana bagi para pemeluknya untuk menyalurkan sikap taatnya terhadap ajaran-ajaran agamanya.

Bagi setiap muslim, Ramadhan merupakan bulan eksklusif. Dikatakan eksklusif karena di dalamnya terdapat banyak keistimewaan-keistimewaan. Bulan yang di dalamnya mengandung keberkahan, kemulian, ampunan dan pahala dari Allah. Hampir seluruh umat Islam selalu mengharapkan dan merindukan kedatangan bulan Ramadhan.

Namun dalam realitanya, adanya hukum kausalitas tetap berlaku. Rahmat, ampunan, dan berkah Tuhan bisa didapatkan bagi orang yang berusaha meraihnya. Untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dapat dilakukan dengan

7

Eri Sudewo, Keresahan Pemulung Zakat, (Jakarta Kahirul Bayan-Sumber Pemikiran Islam, 2004),h 46


(6)

beribadah, sedangkan untuk mendapatkan keberkahan rezeki dapat dilakukan dengan tetap semangat dalam aktivitas kerja.

Sejatinya predikat eksklusif yang disandang Ramadhan juga tidak terlepas dari ibadah dan amalan khas yang diperintahkan pada bulan tersebut, yakni puasa, taraweh, dan zakat fitrah. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, Ramadhan diyakini telah menstimulasi tiap jiwa sritual muslim untuk larut dalam kondisi shaleh. Maka dalam bulan ini ditemukan nuansa keberagamaan yang berbeda dalam masyarakat. Dimana pada bulan tersebut setiap individu belomba-lomba meningkatkan ibadah mahdlah dan ibadah sosialnya untuk sampai ada kondisi shaleh.

Namun, ibadah-ibadah khas tersebut menuntut kondisi yang fasilitatif dan akomodatif dari masyarakat, maka seringkali kondisi kekurangan yang dialami masyrakat marginal dianggap sebagai penyebab mengapa mereka mengabaikan perintah agama dan moment-moment keagamaan. Misalnya seperti Ramadhan.

Adalah pemulung sebagai salah satu kategori masyarakat marginal, dimana suatu profesi yang memusatkan kegiatannya berkeliling dari satu tempat pembuangan sampah ke tempat pembuangan sampah lainnya untuk mengumpulkan barang bekas dan sampah. Kemudian dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup. Faktor cuaca dan jam kerja tidak diperhitungkan mereka dalam mengais rezeki. Namun sekeras apapun mereka bekerja, mereka tetap hidup dalam kondisi yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Memasuki bulan Ramadahan, dapat dibayangkan betapa berat kondisi yang harus mereka lewati. Terlebih dengan tuntutan pelaksanaan kewajiban


(7)

ibadah puasa. Sangat berat bagi mereka untuk menjalankan ibadah puasa semenatara mereka harus melakukan aktivitas kerja yang menuntut energi ekstra. Yang persiapannya hanya ditopang dengan asupan kalori yang minim. Disamping itu, kondisi atau areal aktivitas kerja mereka yang tak layak, seperti bau sampah, dan panasnya matahari merupakan hal yang sangat menganggu sensitifitas atau kondisi yang tidak mendukung bagi sesorang yang berpuasa.

Namun di sisi lain tak mungkin mereka meninggalkan aktivitas kerjanya. Terlebih dalam bulan Ramadhan, dimana jumlah kapasitas barang bekas dan sampah meningkat. Meninggalkan aktivitas kerja sama dengan menyia-nyiakan berkah rezeki dalam bulan tersebut. Maka kondisi tersebut menghantarkan mereka pada kondisi dilematis. Dimana mereka di hadapkan pada pilihan untuk beribadah atau bekerja.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang fenomena tersebut dengan judul: “Ramadhan Di Mata Masyarakat Marginal”: Studi Kasus Komunitas Pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, Kedaung, Ciputat-Tanggerang, sebagai judul penelitian dalam skripsi ini.Yang lebih memfokuskan diri pada aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan. Kebaragamaan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan, dan pengaruh Ramadhan terhadap keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan sesudahnya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah kehidupan masyarakat marginal dalam menyikapi bulan Ramadhan, yang meliputi aktivitas kerja


(8)

masyarakat marginal dalam bulan Ramadhan, keberagamaan masyarakat marginal di bulan Ramadhan, meliputi dimensi keyakinan, dimensi praktek keagamaan, dimensi pengalaman, dimensi pengamalan, dan dimensi pengetahuan. Serta untuk mengetahui pengaruh bulan Ramadhan terhadap keberagamaan masyarakat marginal pada bulan setelahnya. Dan untuk memperdalam penelitian ini, secara geografis penelitian ini membatasi diri pada komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03 kelurahan Kedaung kecamatan Ciputat kabupaten Tangerang.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, yaitu:

“Bagaimana Ramadhan di mata masyarakat marginal?”

Untuk mempermudah analisa dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penelitian ini difokuskan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan? 2. Apa makna Ramadhan bagi komunitas pemulung ?

3. Bagaimana keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan ? 4. Bagaimana keberagamaan komunitas pemulung di bulan sesudah

Ramadhan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian.

Atas dasar uraian latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini secara spesifik adalah:


(9)

1. Untuk mengetahui aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan

2. Untuk mengetahui makna Ramadhan bagi komunitas pemulung

3. Untuk mengetahui bagaimana keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan

4. Untuk mengetahui adakah pengaruh bulan Ramadhan terhadap keberagamaan komunitas pemulung di bulan sesudahnya

2. Manfaat Penelitian.

1. Sebagai masukan (input) bagi kegiatan akademia, khususnya di bidang sosial-keagamaan

2. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan untuk mengubah dan mengembangkan literatur yang sudah ada sebelumnya

D. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian sosial yang dilakukan di lapangan ( field research), yaitu terjun langsung ke objek penelitian untuk memperoleh data primer. Yang menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analitik, yakni metode yang mengeksplorasi dan mengklarifikasi mengenai suatu fakta atau fenomena sosial, dengan cara mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang akan diteliti.


(10)

Jenis pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus ( case ) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi.8 Pendekatan ini dipilih agar diharapakan dapat menggambarkan atau menjelaskan suatu fenomena sosial secara lebih intens dan murni.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah:

a. Observation ( pengamatan ), yaitu pencatatan secara sistematik terhadap fenomena yang diselidiki.9 Observasi ini dilakukan dengan jalan pengamatan secara sistematis terhadap objek penelitian untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan masalah yang akan penulis teliti. Jenis observasi yang dilakukan dalam penelitian ini dalah observasi partisipatoris, yakni pengamat membaur atau melibatkan diri dalam aktivitas keseharian pemulung tersebut, dengan membantu mengklasifikasikan barang-barang bekas menurut jenisnya. Observasi jenis ini dilakukan agar terciptanya suasana yang lebih kondusif guna memudahkan penulis dalam mendapatkan informasi mendalam dari para Information supplyer.

8

Agus salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman dan Egon Guba (Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001 ), h. 93

9

Imam Suprayogo, Misi Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001),h. 13


(11)

b. Wawancara mendalam (Indepth Interview), yaitu peneliti melakukan “Interview” dengan informan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan kepada informan dikemukakan secara lisan, berdasarkan pedoman wawancara. c. Kepustakaan ( Libarary Research ), yaitu dengan membaca dan menelaah

literatur dan buku-buku yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini. 3. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, tape recorder, dan buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar lebih fokus menggali apa yang menjadi sasaran penelitian. Sedangkan tape recorder digunakan untuk merekam perkataan subjek penelitian, dan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang tidak terekam atau yang terlewati atau yang tidak jelas.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini data dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara, dan observasi. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah yang didapatkan dari bahan tertulis atau kepustakaan, yakni buku-buku, jurnal ilmiah, artikel, dan terbitan ilmiah yang ada hubungannya dengan pembahasan.

5. Subjek Penelitian

Istilah subjek penelitian merujuk kepada orang atau individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan ( kasus ) yang diteliti. Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, Kedaung, Ciputat-Tangerang. Jumlah komunitas pemulung di wilayah ini adalah


(12)

84 orang. Adapun subjek dalam penelitian ini hanya memfokuskan diri pada 10 orang informan. Sepuluh orang informan ini merupakan perwakilan dari 84 orang komunitas pemulung di wilayah tersebut, yang berkategori usia remaja, dewasa muda, madya, akhiir, yaitu antara (16-55 tahun).

6. Teknis Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yang bersifat korelasi, artinya penelitian yang bukan menggunakan angka atau statistik, tetapi dengan melakukan analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasan-penjelasan dan pandangan-pandangan. Dalam penelitian kualitatif korelasi, setiap catatan-catatan lapangan ( fieldnotes ) yang dihasilkan dalam pengumpulan data, baik dari hasil wawancara maupun hasil observasi, kemudian peneliti mereduksi (merangkum, menyeleksi, mengikhtisarkan) aspek-aspek penting yang muncul dan mencoba membuat ringkasan pada tiap-tiap kasus, yanag kemudian dikorelasikan dengan kerangka teori yang digunakan.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyusunnya ke dalam lima bab, yaitu:

1. Bab Pertama ( I ) membahas mengenai pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.


(13)

2. Bab dua ( II ) membahas mengenai kajian teoritik yang berisi mengenai definisi agama, dimensi-dimensi keberagamaan persfektif sosiologis, Ramadhan persfektif teologis yang di dalamnya memuat mengenai wacana perdebatan hukum puasa menurut teologi kaum konservatif dan kaum liberal, Ramadhan persfektif sosiologis dan ekonomis, definisi masyarakat marginal, profil kehidupan masyarakat marginal, dan kemiskinan dalam masyarakat marginal.

3. Bab tiga ( III ) membahas mengenai deskripsi umum daerah penelitian yang berisi gambaran mengenai letak geografis dan demografis daerah penelitian, subjek penelitian yang berisi mengenai kehidupan seputar ekonomi, agama; pendidikan, serta latar belakang sosial dan budaya. Dan profil informan penelitian

4. Bab empat ( IV ) merupakan analisa dari hasil penelitian dalam skripsi ini, berisi analisa dan pembahasan mengenai aktivitas kerja komunitas pemulung di bulan Ramadhan, makna Ramadhan bagi komunitas pemulung, sikap dan praktek ritual keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan. Dan keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan sesudah Ramadhan.

5. Bab lima ( V ) membahas mengenai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran


(14)

BAB II

KAJIAN TEORI.

A. Agama Persfektif Sosiologis

Tak dapat disangkal bahwa di dalam setiap individu terdapat benih

kepercayaan terhadap sesuatu yang berporos pada yang sakral. Maka beragama hanya dimiliki oleh manusia. Karena manusia meyakini bahwa agama sanggup menghadirkan Yang Sakral atau Tuhan Yang Maha Suci. Pada tataran ini tak dapat dipungkiri bahwa agama telah menjadi bagian integral dalam kebutuhan manusia. Robert Nurtin mengatakan bahwa agama adalah salah satu kebutuhan manusia, individu yang beragama berarti telah memenuhi kebutuhannya, sehingga puas, tentram dan aman. Individu yang demikian adalah individu yang sehat.10

1. Agama Dalam Persfektif Sosiologis

Bagi banyak sarjana sosiologi penjelasan yang bagaimanapun tentang agama yang ditersedia saat ini masih dirasakan belum memuaskan. Hingga kini hal tersebut masih menjadi agenda besar bagi para pemikir sosial-keagamaan Sebab penjelasan dan definisi yang tersedia dirasakan hanya bersifat dogmatis, belum memuat manusia sebagai penganut, pelaku, dan pendukung agama. Dalam konteks ini, perhatian yang berkenaan dengan kehidupan

keberagamaan, baik secara individual maupun kelompok atau masyarakat tidak nampak tercakup di dalamnya

Berdasarkan sudut pandang bahasa, “agama” berasal dari bahasa sansekerta, “a” yang berarti “tidak” dan “gama”yang berarti kacau. Hal ini mengacu pada sebuah pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. 11

Kata Agama Dalam bahasa Inggris disamakan dengan kata religion, sedangkan dalam bahasa Belanda disamakan dengan kata religie. Keduanya berasal dari bahasa Latin religio, dari akar kata religure yang berarti

mengikat.12

Menurut Pasurdi Suparlan, agama adalah seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam gaib ( khususnya dengan Tuhannya ), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya.13 Sedangkan J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dimana

10

Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, (Yogyakarta:Kanisius,1993), h.253 11

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 ). h.13 12

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.13

13

Rolan Robrtson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, ( Jakarta: PT. Rajawali Press,1998), h.V


(15)

suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah dalam hidup.14

Adapun agama dalam pengertian sosiologi dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ini berkaitan dengan pengalaman manusia, sebagai individu maupun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang dibesarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. 15

Agama menurut aliran fungsionalisme merupakan suatu bentuk tindakan manusia yang dilembagakan, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku penganutnya baik lahiriah maupun batiniah. Dalam pandangan ini, agama dilihat sebagai satu institusi yang mengemban tugas agar masyarakat berfungsi dengan benar, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, nasional, dan mondial. Sehingga eksistensi dan fungsi agama diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kondisi ekuilibrium dalam masyarakat.

Dalam persfektif interksionisme simbolik, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan, sistem makna, yang muncul dan terwujud dalam tindakan-tindakan kehidupan sosial melalui interaksi-interaksi, yang responsif terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya. Sistem keyakinan tersebut menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai dalam masyarakat yang

terwujud dalam simbol-simbol suci yang maknanya bersumber dari ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka dasar acuannya. Dalam keadaan demikian maka secara langsung atau tidak langsung dijadikan pedoman dari eksistensi dan aktivitas berbagai pranata yang ada dalam masyarakat.16 Agama dalam pendekatan evolusi dinyatakan bahwa suatu kondisi dimana meningkatnya diferensiasi atau kompleksifitas suatu agama. Dalam hal ini bukan manusia yang beragama, dan juga bukan struktur situasi keberagamaan akhir dari manusia yang berevolusi, melainkan agama sebagai sistem simbol yang berevolusi. Sehingga melahirkan suatu kondisi yang kompleks dan terdeferensiasi.17

Sedangkan, menurut teori konflik, agama dipandang sebagai pemecah belah. Karena agama sering mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan

masyarakat dan individu-individu. Isu-su keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap anti toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan lainnya.18

14

Robert W. Crpps, Dialog Psikologi Agama Sejak William James hingga Gordin. W. Allport, (Yogyakarta:1993 ), h. 17

15

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 53 16

Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, h.VII 17

Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiaologis, h. 305 18

Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 ), h. 61


(16)

Bagi Elizabeth K. Nothingham, Agama merupakan unsur yang abstrak dan trasenden yang hanya bisa dirasakan oleh masyarakat pemeluknya. Namun, dapat dilihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan atau pun berupa ritus-ritus yang dijalankan masyarakat sebagai pemeluknya. Adapun fungsi agama menurut Elisabeth K. Nothingham adalah sebagai berikut:19

a. Agama memelihara masyarakat dengan membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh serta memberikan kekuatan memaksa yang mendukung, serta memperkuat adat istiadat.

b. Agama mengkoordinasikan banyak nilai yang bermacam-macam yang tampak tidak bertalian dan tidak berarti menjadi sistem-sistem yang terpadu.

c. Sebagai sesuatu yang sakral, agama memiliki kekuatan memaksa (dalam mengatur) tingkah laku manusia serta kekuatan yang mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok pemeluk.

2. Keberagamaan dan Dimensi-Dimensinya

Kajian sosiologi agama berpusat pada bagaimana para pemeluknya memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai agama yang kemudian tergambar secara praktis dalam tingkah laku sehari-hari. Secara singkatnya, kajian ini

memfokuskan diri mengenai pengaktualisasian sikap keagamaan dalam masyarakat agama, atau lebih dikenal dengan keberagamaan.

Keberagamaan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah religiusitas. M. Djamaludin menganggap religiusitas sebagai manifestasi seberapa jauh penganut agama meyakini, memahami, dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Di semua aspek kehidupan.20

Sementara Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi berpendapat, keberagamaan yaitu lebih bersifat personal, melihat aspek-aspek yang berada di dalam hati nurani, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.21

Aspek terpenting dari keberagamaan adalah pemahaman terhadap nilai-nilai agama. Pemahaman tersebut didapat melalui rangkaian proses belajar, dan diinternalisasikan dalam pikiran dan hati, yang puncaknya dimanifestasikan dalam bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai agama.

Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi utama yang menjadi konsensus umum dalam sebuah agama dan lima dimensi tersebut adalah:22

1. Dimensi Keyakinan

19

Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat:Suatu PengantarSosiologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad, 1994 ), h. 27-28

20

M. Djamaluddin, Religisitas dan Sters Kerja Pada Polisi, (Jogyakarta: UGM Press,1995 ), h.44

21

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodelogi Penelitian Survei (Jakarta:LP3ES, 1989), cet.Ke-1,h.27

22


(17)

Dimensi ini mencakup tentang pengharapan-pengharapan dimana seorang individu berpegang teguh pada teologis tertentu dan mengakui doktrin-doktrin tersebut. Dengan kata lain, dimensi ini berisikan tentang keyakinan pemeluk suatu agama kepada ajaran-ajaran agamanya, terutama ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik.

2. Dimensi Praktek Agama (Ritualistik)

Dimensi ini mencakup pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang-orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek keagamaan ini terdiri dari dua bagian penting, yaitu:

a) Ritual, mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan dan praktek-praktek suci.

b) Ketaatan, seluruh agama mempunyai seperangkat persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi 3. Dimensi Pengalaman

Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama memandang pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika

dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir ( kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak langsung dengan Tuhan sebagai otoritas trasendental )

4. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi dalam agama yang dianutnya.

5. Dimensi Pengamalan

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang mengenai agamanya dari hari ke hari. Dimensi ini mengacu pada seberapa besar agama yang dipeluknya

mempengaruhi dan terwujud dalam bentuk nyata, khususnya dalam hubungan dengan sesama manusia di muka bumi ini.

B. Ramadhan

1. Ramadhan Persfektif Teologis


(18)

Bulan Ramadhan artinya adalah bulan untuk mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah. Ramadhan jamaknya Ramadlanat, armidla, maknanya sangat terik, atau yang panas karena terik. Orang-orang Arab dahulu ketika

memberikan nama-nama bulan didasarkan atas masa yang dilaluinya. Pada saat itu ketika Ramadhan datang masa yang dilaluinya sangat terik. Maka bulan tersebut diberi nama Ramadhan yang artinya sangat terik.23

Bulan Ramadhan merupakan bulan istimewa, bulan kebaktian, bulan karunia, rahmat; berkah, di mana amalan ( ibadah ) di bulan ini memberi manfaat istimewa bagi para pelakunya, baik itu di dunia maupun di akhirat.

b. Keistimewaan Bulan Ramadhan

Adapun Keutamaan Bulan Ramadhan yang dijelaskan Rasulullah Dalam sabda-sabdanya antara lain:

1) .Datangnya bulan Ramadhan disambut dengan penutupan pintu neraka dan pembukaan pintu surga serta pembelengguan setan-setan.

2) Demi menyambut bulan Ramadhan, surga senantiasa berbenah diri dengan segala kemegahannya dan para bidadari pun menanti orang-orang yang berpuasa.

3) Di bulan ini untuk pertama kali Al-qur’an Al-Karim diturunkan, yaitu pada malam lailatul qadar. Selain itu, bulan ini merupakan bulan keberkahan tidak hanya Al-qur’an yang diturunkan, namun juga kitab-kitab suci lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat :

Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama di bulan

Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan, dan injil di turunkan Pada hari Ketiga belas di bulan Ramadhan”. (HR. Ahmad).24

4) Ibadah bulan Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya merupakan penebus dosa yang terjadi diantara keduanya.

5) Puasa Ramadhan pemberi minum saat merasa haus di hari kiamat

23

H. Budiman Razi, Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, Dan Ramadhan , (Jakarta:Al-Mawardi, 2002 ),h.18

24


(19)

6) Ramadhan merupakan bulan karunia dan penuh rahmat dimana pahala amal kebaikan dilipat gandakan sampai 70 kali dari pada bulan lainnya. Bahkan ibadah sunat di bulan ini dibalas oleh Allah Swt dengan pahala ibadah fardu dan dilipatgandakan sampai 70 kali.

7) Ramadhan merupakan bulan rahmat, maghfirah, penyelamat dari api neraka.

8) Ramadhan merupakan anugerah yang besar bagi kaum Muslimin. Pada bulan ini umat Islam diberi lima hal yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW: tentang hal ini Rasulullah bersabda:

“Umatku telah diberi Pada bulan Ramadhan lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku. Pertama, bahwa apabila awal Ramadhan, Allah Swt melihat mereka. Siapa yang di lihat Allah, ia tidak akan disiksa selama-lamanya. Kedua, bahwa para malaikat memintakan ampun untuk mereka setiap siang dan malam. Ketiga, bahwa Alllah Swt Menyuruh surga-Nya dengan firman-Nya:” Berhiaslah untuk hamba-Ku yang berpuasa, meraka akan beristirahat dari kecapekan dunia ke rumah-Ku dan karamah-Ku.” Keempat, bahwa bau mulut mereka yang berpuasa saat berjalan menjadi lebih baik atau harum daripada misik. Kelima, bahwa apabila di akhir malam Ramadhan, Allah Swt mengampuni mereka semua. Sesungguhnya para pekerja melakukan tugasnya, maka apabila telah selesai dari pekerjaannya, mereka pun dipenuhi balasan atau upahnya”. ( HR. Thabarani).25

c. Amalan-Amalan Kebajikan Di Bulan Ramadhan

Pada dasarnya setiap amalan kebajikan pahalanya berlipat ganda lantaran bulan ini memiliki kelebihan dan keutamaan. Namun, ada beberapa amal kebajikan yang penting dan merupakan amaliah Ramadhan yang hendaknya dilakukan setiap muslim, yaitu:

1) Sedekah atau Infak

2). Qiyamu Ramadhan (Taraweh) 3). Tilawatil Quran (Tadarus)

25


(20)

4). I’tikaf

5). Lailatul Qodar

Lailatul Qadar adalah suatu malam di bulan Ramadhan yang memiliki arti dan nilai paling utama di antara malam-malam sepanjang tahun.

Keutamaan ini disandang karena pada malam tersebut Al-qur’an untuk pertama kali diturunkan. Sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah:

.

.

.

.

.

“Sesungguhnya kami telah menurunkan ( Al-Quran ) pada malam kemulian. Dan tahukah kamu apaka malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat jibril dengan izin Tuhanya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh kesejahteraan sampai terbitfajar ).”(QS. Al-Qadar: 1-5 ).26

Pada dasarnya tidak ada konsensus atau ketetapan tanggal yang pasti tentang malam lailatul qadar. Namun demikian, kita sebagai muslim sangat dianjurkan mencarinya pada sepuluh hari terakhir di bulan

Ramadhan. 6).Zakat Fitrah

Setiap muslim yang mampu diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan. Zakat fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Pada prinsipnya definisi di atas, mewajibkan setiap muslim mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun perempuan

Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai dengan penafsiran hadist adalah sebesar satu sha’atau kira-kira 3.5 liter atau 2.7 kg

26

Maulana Muhammad Zakariya Al-Khandawi, Fadhail A’mal Edisi RevisiIndonesia, (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2000),h. 487


(21)

makanan pokok ( tepung, kurma gandum, dan aqith ) atau yang biasa dikonsumsi di daerah yang bersangkutan. Zakat fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan, paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan salat Ied.

d. Puasa: Beda Pandang Antara Teologi Kaum Tradisional-Normatif dan Teologi Kaum Kiri-Liberal

Ramadhan adalah salah satu nama bulan dalam tahun hijriyah, dimana pada bulan ini kaum muslimin di wajibkan berpuasa satu bulan penuh. Kewajiban puasa ini untuk pertama kalinya dikeluarkan pada bulan bulan Sya’ban tahun kedua hijriah. Menurut Fiqh, Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang ditetapkan sebagai mufthirat (makan, minum, dan aktivitas seks) sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari yang ditandai dengan hilangnya mega merah di sebelah timur, yang diawali dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt.27

Hukum Puasa Ramadhan adalah wajib bagi tiap-tiap muslim dan muslimat yang telah memenuhi syarat. Kewajiban puasa ini didasarkan pada Al-Quran, Sunnah, dan ijma. Karena itu, orang yang mengingkari kewajiban untuk berpuasa dianggap kafir dan tidak beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. Adapun rincian landasan hukum kewajiban puasa Ramadhan ini adalah:

a) Al-quran Al-Karim. Allah Swt berfirman

“Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa ( QS. Al- Baqarah: 183 ).28

b) Sunnah Rasulullah SAW.Beliau bersabda

“Islam itu di bina atas lima perkara: pengkuan ( syahadat ) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah serta Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Mendirikan salat, menunaikan zakat, melakukan haji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadhan”.29( HR. Muslim) c). Ijma Ulama

Para ulama telah sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan dan ia merupakan salah satu pilar Islam yang ketetapannya pasti, serta orang yang tidak mengakui kewajibannya dianggap kafir atau keluar dari Islam.

Menurut Syekh Ahmad Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya berkenaan dengan orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa ialah: orang-orang lansia,

27

Salman Nano, Maka Berpuasalah, ( Jakarta: Al-huda, 2006 ), h. 9 28

Dedi Junaedi, Pedoman Puasa, h. 100 29


(22)

orang-orang yang lemah, orang yang berpenyakit menahun sehingga tak dapat diharapkan kesembuhannya, para buruh yang harus mengeluarkan tenaga berat untuk mencari penghidupannya, seperti buruh tambang dan orang-orang yang menjalani kerja paksa. Serta wanita hamil dan menyusui.30

Seiring dengan berkembangnya zaman dan perubahan, kondisi tersebut diperluas dengan pengertian bahwa orang-orang yang tidak sanggup atau berat berpuasa mencakup semua orang yang karena kesehatan, pekerjaan, atau usianya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Misalnya seperti profesi pengemudi jasa angkutan darat yang dalam konteks kekinian termasuk orang yang diperbolehkan tidak berpuasa.

Belakangan ini sering teradi gejolak dan “perang wacana “ mengenai konsep puasa, antara komunitas Islam yang berpandangan liberal dengan komunitas Islam yang berkarakter “normative-tradisionalis”.Gejolak ini semakin menjadi seiring dengan gencarnya pemikiran”kiri liberal”dalam Islam yang banyak diusung oleh kalangan “santri baru”.

Oleh mereka, perintah puasa dalam Al-quran dikaji secara kritis, tanpa harus memandang perintah itu sebagai “instruksi paketan” dari Tuhan. Melainkan harus dipahami latar belakangnya lengkap dengan “ide moral“yang tersimpan di balik perintah tersebut.

Pergeseran pandangan tersebut direpresentasikan oleh argumentasi yang kontradiktif dari seorang pemikir liberal asal Mesir bernama Mohammad Syahrur.31 Dalam bukunya yang bertajuk Islam Wa al-Iman ( 2001), beliau mencoba mengakomodasi nilai-nilai dasar manusiawi yang tersimpan dalam perasaan manusia, untuk dijadikan sebagai landasan pola keberagamaan seseorang. Menurutnya, praktek beragama tak harus dipaksakan atau bahkan memberatkan bagi para pelakunya. Beragama hendaknya dinikamati dan dijalankan sesuai dengan kadar kemampuan seseorang.

Berdasarkan logika berfikir tersebut, Syahrur menilai, praktek ibadah puasa telah bertolak belakang dengan nilai dasar kemanusiaan. Sederhananya, jika manusia lapar hendaknya segera makan, sehingga menjadi tidak manusiawi bila harus menahan lapar dan haus. Sementara ada makanan dan minuman yang bisa dikonsumsi.

Menurut Syahrur, praktek ibadah puasa dimasukan dalam kategori “memberatkan”. Syahrur menjustifikasi bahwa puasa “tidak wajib“

dilaksanakan. Puasa hanyalah kebutuhan, siapa yang berniat, maka tak menjadi masalah. Demikian interpretasi Syahrur terhadap Surat Al-Baqaarah:183.32

2. Ramadhan Persfektif Sosiologis dan Ekonomis

30

Muhammad Thalib, 160 Tanya-Jawab Amaliah Ramadhan, ( Bandung:Irsyad Baitus Salam,1998 ),h. 75-76

31

. Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang tentang Puasa.” Artikel diakses tanggal 27 agustus 2007, dari Http:// www.media. Isnet.org/Islam/Etc/Syariah

32

Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang Tentang Puasa”, artikel diakses tanggal 27 Agustus 2007, dari Http://www. media.Isnet.org/Islam/Etc/Syariah


(23)

Ramadhan adalah rumah teduh bagi siapa saja yang ingin mencari pahala. Tiap putaran detik Allah menjanjikan ganjaran pahala yang berlipat bagi tiap ibadah dan amalan soleh. Maka Aura Spirtual pun tergiur dan membuncah kuat di hati tiap muslim. Sehingga dalam pandangan masyarakat muslim bulan tersebut merupakan momentum yang tepat untuk bertindak shaleh secara total. Pada bulan ini hampir sebagian besar masyarakat menyibukan diri berburu hal-hal religi. Misalnya seperti pengetahuan religi. Maka kajian-kajian dan buku-buku religi, serta tayangan syiar agama banyak diminati masyarakat.

Ramadhan dalam lingkup sosiologis dimaknai sebagai waktu yang tepat untuk berlomba-lomba meningkat ibadah dan beramal shaleh. Bukan hanya ibadah madlah sebagai wujud kesalehan ritual.Tetapi juga berlomba-lomba dalam meningkatkan derma terhadap kaum dhuafa sebagai wujud keshalehan sosial, seperti berinfak, bersedekah, dan berzakat. Disamping itu, Ramadhan dianggap sebagai mediator dalam meningkatkan hablum minannas. Bulan simpati atau berkasih sayang antar sesama manusia.33 Dimana tingkat keshalehan sosial meningkat, maka untaian hubungan harmoni menyatukan masyarakat, baik yang kaya maupun miskin.

Dalam persfektif ekonomi, Ramadhan dimaknai sebagai media perangsang bagi lonjakan harga-harga kebutuhan pokok. Adanya kenaikan harga

kebutuhan pokok atau kenaikan harga-harga barang lainnya menjelang puasa dan sampai nanti bulan Syawal memang setiap tahun terjadi, masyarakat juga sudah mafhum dan sadar setiap menjelang bulan puasa ada kenaikan harga. Bagi masyarakat, hal tersebut adalah masalah klasik, bahkan sudah menjadi tradisi tiap tahunnya.

Namun, kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan tahun ini seolah-olah merupakan penyakit akut. Terhitung dari satu bulan menjelang Ramadhan tahun ini, harga kebutuhan pokok cenderung naik 10 hingga 40 persen. Dan kenaikan diperkirakan masih dapat terjadi menjelang hari raya Idul Fitri. Lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan dan Lebaran bukan hanya disebabkan karena kuranganya stok dan tidak jelasnya sistem distribusi. Selain itu, ulah para pedagang akibat dimuluskannya mekanisme pasar membuat pemegang otoritas utama penentu harga adalah pedagang atau ritel di pasar. Para pedagang menyadari selama bulan Ramadhan dan menjelang hari raya kebutuhan masyarakat meningkat, meski ada kenaikan harga pada beberapa komoditi, permintaan akan tetap naik. Dan meskipun kebijakan dilakukannya operasi pasar untuk menekan harga dampaknya hanya bersifat sementara.34

C. Masyarakat Marginal

33

Maulana Muhamad Zakariyya Al Kandalawi Rah.a., Fadhail A’mal, Edisi revisi Indonesia, (Bandung: Pustaka Ramadhan 2000), h. 450

34


(24)

Modernisasi yang tejadi di kota-kota besar telah merangsang tingginya tindak urbanisasi di kalangan masyarakat desa. Mereka berbondong-bondong menuju ke kota tanpa membekali diri dengan keterampilan dengan harapan agar dapat menciptakan taraf hidup yang layak. Maka kehadiran mereka hanya

memperbanyak daftar masyarakat miskin kota. Yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat marginal.

1. Definisi Masyarakat Marginal

Menuruta Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “marginal” diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan batas ( tepi ). Sedang kata “marginalisasi” diartikan sebagai pembatas. Jadi, kata marginal dapat didefiniskan sebagai yang berkaitan dengan batas atau pembatasan.35 Sedangkan dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Istilah “marginal” memiliki dua makna, yaitu, pertama, suatu kelompok yang terasimilasi tidak sempurna. Kedua, suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kedudukan rendah.36 Menurut istilah, marginal berarti adalah mereka yang tidak dapat

menyesuaikan dan melibatkan diri dalam proses pembangunan. Mereka masih berjuang melawan penderitaan, kelaparan, ketidakadilan, keterasingan dan diskriminasi.37 Pernyataan tersebut dengan kata lain dapat dirumuskan, yaitu mereka yang dikategorikan sebagai yang memiliki budaya pinggiran yang ditempatkan di luar sistem, apabila dikaitkan dan didasarkan pada persfektif pembangunan modern atau budaya modern.

David Berry mengartikan marginal sebagai suatu situsi dimana orang bercita-cita atau berkinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya.38 Secara singkat, definisi ini menggambarkan permasalahan relasi sosial-budaya yang ditanggung oleh kaum marginal. Sedangkan, Menurut Wini Septriarti, pengertian marginalitas menunjukan kepada status seseorang atau sekelompok orang yang berbeda kebudayaan. 39

2. Profil Kehidupan Masyarakat Marginal

Masyarakat marginal adalah masyarakat dalam kategori masyarakat miskin kota. Mereka miskin karena adanya hierarki atau struktur dalam masyarakat. Kemiskinan tersebut karena mereka berada di lapisan bawah struktur ekonomi. dan sosial. Ini sebagai konsekuensi logis dari sistem mata pencaharian mereka sebagai kategori unskilled labor, yang memiliki tingkat pendapatan rendah.

35

Depdikbud, Marginal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 14 36

Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi Aksara,1992),h. 244

37

Y. Argo Trikomo, Pemulung Jalanan Yogyakarta: Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan Hidupdalam Budaya-Budaya Dominan (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999 ), h.7

38

David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995 ), h. 14

39

S. Wisni septriarti, Masyarakat kelompok Marginal dan Pendidkannya, dalam CakrawalaPendidikan ,(Mei,1994), h. 11-12)


(25)

Masyarakat yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang berprofesi sebagai pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan buruh pekerja kasar. Dalam Penelitian, ini karena peneliti tidak mungkin dapat meneliti semua bentuk masyarakat marginal, maka penelitian ini memfokuskan pada salah satu bentuk masyarakat marginal. Masyarakat marginal yang menjadi perhatian peneliti adalah komunitas pemulung

Adapun definisi pemulung dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang memulung, memanfaatkan barang bekas ( seperti puntung rokok ) dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Selain itu memulung diartikan mengumpulkan barang-barang bekas (limbah) yang terbuang sebagai sampah umtuk dimanfaatkan sebagai bahan produksi dan sebagainya. 40

Sedangakan menurut Laurike dean Wempy, pemulung diartikan bahwa mereka sebagai pekerja pekerja sektor informal, datang secara individual atau

berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran. Yang bekerja sebagai pekerja sektor informal, mereka termarginalisasi secara ekonomi, politik, dan sosial.41

Profesi sebagai pemulung yang mengumpulkan barang-barang bekas

merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat marginal. Suatu komunitas yang dalam masyarakat diberi stereotif orang kotor, dan tak dapat dipercaya. Komunitas pemulung yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini adalah komunitas pemulung yang berada di Jl. Bulak Wangi II RT08, RW 03, Kedaung, Ciputat-Tangerang

a. Pemukiman

Kemungkinan bagi komunitas marginal untuk mempunyai tempat tinggal yang layak tipis sekali. Kelompok masyarakat ini hidup dan tinggal di gubuk-gubuk. Diantara gubuk-gubuk itu terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu “gubuk setengah permanent” (gubuk yang permanen, tetapi dengan bahan bangunan yang kebanyakan tidak tahan lama), dan “gubuk setengah sementara” (gubuk yang dibangun secara sederhana untuk tempat tinggal

40

Depdikbud, “Pemulung”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 797 41

Laurike Moeliono dan Wempy Anggal, Remaja Marginalitas di Kota Besar Korban Kemiskinan,dalam Atmanan Jaya, XII, Diterbitkan oleh Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, (Desember,2000)


(26)

sementara) .42Atau bagi mereka yang tidak mempunyai gubuk sama sekali dibagi dalam golongan mereka yang tidur dibawah atap langit. Namun, pada umumnya kelompok tersebut hidup dan tinggal di dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan rombeng. Yang memiliki tingkat kebersihan, kebutuhan akan air minum, dan sanitasi tidak memenuhi standar kehidupan.

Mc Gee berpendapat, munculnya masalah sosial dan kantong-kantong orang miskin dikota sebagai akibat urbanisasi semua atau urbanisasi yang kebanyakannya terjadi di dunia ketiga dan tidak berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang kemudian menimbulkan rakyat jelata ( Lumpen Proletariat) yang merupakan massa miskin kota. Ia juga menggambarkan lingkungan masyarakat marginal dengan kondisi-kondisi yang ada terdiri dari gubug-gubug lapuk tanpa fasilitas pokok yang mempermudah kehidupan seperti listrik, air, sanitasi dan jalan-jalan yang wajar. Perkampungan itu juga dicemari oleh kotoran-kotoran, sampah-sampah atau masalah lingkungan yang lainya. Kampung masyarakat marginal tumbuh secara tidak teratur, spontan dan tidak resmi. Di balik lingkungan tampak miskin infrastruktur yang masih kasar. Ketiadaan pelayanan kondisi kebersihan yang menyedihkan dan jalan-jalan serta gang-gang yang becek terdapat masyarakat kampung yang beragam dan heterogen. 43

Komunitas Pemulung ummunya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubug kertas, plastik dan papan rombeng. Pemukiman tersebut dikenal dengan istilah lapak. Di lapak tersebut bertimbun berbagai tumpukan barang bekas yang sudah

42

Pasurdi Suparlan,Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin, Dalam Kemiskinan di Perkotaan, h. 183

43

Zsu Zsa Baros, Prospek Perubahan Bagi Golongan Miskin Kota (Jakarta: Sianar Aharapan,1984 ),h.94


(27)

tidak terpakai lagi, mulai dari logam, aneka jenis plastik, alumunium, pecahan kaca, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas.

b. Mata Pencaharian

Bagi kelompok pemulung, tumpuan sektor mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan barang-barng bekas. Dalam komunitas pemulung sendiri ada dua cara dalam mengumpulkan barang bekas, mereka yang sudah memepunyai leveransir atau sumber tempat tetap mencari barang-barang bekas, dan mereka yang mencari barang bekas di mana-mana dengan cara sendiri-sendiri. Barang-barang bekas yang mereka cari dikelompokan sesuai dengan jenisnya, kemudian dijual kepada seseorang yang bertindak sebagai agen dalam lingkungan tersebut.

c. Kehidupan Beragama

Soelaiman menjelaskan bahwa karena latar belakang sosial yang berbeda di masyarakat agama, maka masyarakat agama akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan terhadap prinsip keagamaan berbeda-beda, kadangkala kepentingan terhadap agama dapat tercermin atau tidak sama sekali.44 Karena itu kebhinekaan dalam kelompok masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan agama.

Masyarakat marginal sebagai masyarakat strata bawah memiliki tingkat pemahaman dan refleksi ajaran agama yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada masyarakat ini, agamanya belum difahami sebagai way

44

M. Munandar Soelaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Teori dan Konsep Ilmu Sosial), (Bandung: Etersco, 1993), h, 51


(28)

of life (pedoman hidup) yang mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi. Namun, sebagai tata cara praktis atau resep jitu, yang mereka gunakan untuk memecahkan problem kehidupan. Misalnya ayat Al-quran tertentu dianggap mempunyai daya magis untuk menyembuhkan penyakit, mendatangkan rezeki, menjaga keselamatan, dan sebagainya. Pada umumnya ajaran agama dipahami secara sederhana dan praktis.45

Dalam praktik kehidupan, konsep halal dan haram, benar dan salah tidak mereka pahami sebagai adanya. Oleh karena itu, untuk memahami agama dalam kehidupan sosial, mereka ini perlu dikaitkan dengan konteks kehidupan sosial budaya, yaitu ajaran agama yang telah direduksi dan diseleksi oleh pemeluknya. Kemudian difungsikan dalam kehidupan sosial mereka sebagai instrumen dalam memecahkan berbagai persoalan hidup.46

3. Kemiskinan dalam masyarakat marginal

Kemiskinan merupakan masalah yang selalu memotivasai setiap orang untuk berupaya mencari jalan pemecahnya baik melalui pemikiran atau tindakan nyata. Hingga kini permasalahan tersebut masih menjadi agenda besar dunia yang menuntut sebuah penyelesaian. Sebab, implikasi hal tersebut melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia, walaupun kehadirannya seringkali tidak disadari bagi manusia bersangkutan.

Sar. A. levitan menjelaskan bahwa kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup layak. Karena standar hidup berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal.47

45

Surjanto, Keberagamaan Komunitas Pemulung di Lembah Sungai Gajah Wong Yogyakarta, dalm Jurnal Penelitian Agama, VIII, ( 21 Januari-April, 1999 ),h. 75

46

Surjanto, Keberagamaan Komunitas Pemulung di Lembah Sunagi Gajah Wong Yogyakarta, dalam Jurnal Penelitian Agama, VIII, ( 21 Januari-April, 1999 ),h. 75

47

Nabil Subhi al-Tahwil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-negara Berkembang, (Bandung; Mizan, 1985), h. 36


(29)

Menurut Pasurdi Suparlan, kemiskinan adalah suatu standar hidup rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan umum berlaku dalam

masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong miskin.48

Sedangkan Soerjono Soekanto, mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.49

Berdasarkan data sensus tahun 1998, meyatakaan bahwa semenjak krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia tahun 1997, jumlah penduduk miskin di Indonesia berjumlah 79, 4 juta jiwa ( 39, 1 % ) dari total penduduk indonesia. 50

Kondisi ekonomi nasional yang tidak membaik tiap tahunnya akan menyebabkan kemiskinan bertambah. Pada bulan Juli 2007 BPS

memperkirakan angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat menjadi 42-48 juta dari 39,01 orang pada tahun lalu. Hal ini terlihat dari pendapatan yang terus menurun.51

Menurut Adi Sasono Kemiskinan rakayat Indonesia tidak disebabkan sejak semula mereka tidak mempunayai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka terbelakang dan miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka atau mereka miskin oleh karena kesempatan-kesempatan telah

dihancurkan dari mereka. Keterbelakangan dan kemiskinan bangsa Indonesia di sebabkan oleh oleh proses penghancuran kesempatan yang terjadi sebagai akibat dari proses eksploitasi.

Sejak era kolonial hingga hari ini, eksploitasi merupakan penyebab utama kemiskinan di kepulauan Nusantara. Saat Ini, pintu investasi asing yang dibuka lebar yang semula bertujuan memperbaiki sistem perekonomian negara, justru lebih mempermulus proses eksploitasi dan memperkuat hegomoni asing dalam perekonomian dalam negeri. Sebagian sumber daya alam Indonesia justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas indonesia. Karena sistem ekonomi kapitalis yang berlebihan ini, kemiskinan terus laju meningkat tiap tahunnya.

Selain buruknya sistem ekonomi, masih terdapat beberapa faktor lain yang semakin memelihara kemiskinan di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain: tekanan internasional (melalui hutang luar negeri ), korupsi, serta

48

Pasurdi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1984 ), h.12

49

Soerjono Soekanto, sosiologi Suatu Pengantar, h. 406 50

Taufik Abdullah, Indonesia menapak abad 21 dalam Kajian Sosial dan Budaya, (Jakarta: Peradaban , 2001), h. 120

51

Aria Yudistira,”Kemiskinan Di Indonesia Diyakini Bertambah “, artikel diakses tanggal 5 Agustus 2007, dari http:// www.media_Indonesia.com


(30)

masyarakat yang telah lama terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan.

Kemiskinan dalam masyarakat marginal tidak cukup diterangkan sebagai konskuensi logis dari realitas ekonomi dan struktur. Akibat rentan waktu yang cukup panjang dalam lingkaran kebiasaan dan terabaikan. Kini ia sudah menjadi realitas budaya yang berbentuk sikap menyerah kepada keadaan. Kemiskinan yang telah mendarah daging dalam masyarakat marginal telah menjadikan mereka terbiasa dengan keadaan yang dijalaninnya. Sehingga kemiskinan dipandang sebagai kebudayaan yang umumnya terwariskan antara generasi. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan kaum marginal yang kebanyakan berprofesi sebagai pemulung, kemudian profesi mereka terwarisi kepada anak cucu sehingga menjadikan kehidupannya sukar untuk keluar dari garis


(31)

BAB III

PROFIL DAERAH PENELITIAN DAN SUBJEK PENELITIAN

A. Kondisi Geografis dan Demografis Daerah Penelitian

Kelurahan Kedaung merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Ciputat yang bernaung di bawah kesatuan kota Tangerang propinsi Banten. Wilayah Kedaung terletak pada jarak 3 km dari pusat pemerintahan kecamatan, 70 km dari kota kabupaten, 170 km dari ibu kota provinsi, dan 30 km dari ibu kota negara.

Secara geografis kelurahan Kedaung mempunyai luas wilayah 287.67 hektar, yang terdiri dari 212,37 hektar tanah darat dan 65,30 hektar sawah tadah hujan. Wilayah ini berada pada 35 m di atas laut, dengan curah hujan 2000/2500 mil, dan mempunyai suhu rata-rata 29 derajat celcius. Berdasarkan kelembagaan desa, wilayah kelurahan ini terbagi dalam 15 buah rukun warga ( RW ) dan 55 buah rukun tetangga (RT).

Berdasarkan data demografis, daerah yang mempunyai luas wilyah 287,67 hektar ini dihuni oleh 17.891 jiwa, yang terdiri 9.180 jiwa laki-laki dan 8.711 jiwa penduduk perempuan. Data demografi kelurahan Kedaung menujukan bahwa prosentase jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan. Secara lebih rinci data kependudukan ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini


(32)

Tabel 1

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis kelamin Frekunsi % 1 Laki-laki 9.180 51,31 % 2. Perempuan 8.711 48,69 %

Jumlah 17891 100 % Sumber : Buku Monografi Kelurahan Kedaung 2005

Sedangkan, mengenai jumlah komposisi pendududuk menurut usia didominasi oleh penduduk berusia 0-4 tahun, kemudian 5-9 tahun, dan 20-24 tahun. Prosentase terendah ada pada penduduk berusia 60-64 tahun. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2

Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia

No. Usia Frekuensi % 1. 0-4 tahun 3.108 17,37 % 2. 5-9 tahun 1.732 9,7% 3. 10-14 tahun 1.602 8,95 % 4. 15-19 tahun 1.550 8,66 % 5. 20-24 tahun 1.716 9,59 % 6. 25-29 tahun 1.577 8,8 % 7. 30-34 tahun 1.408 7,87 % 8. 35-39 tahun 796 4,45 %


(33)

9. 40-44 tahun 706 3, 95 % 10. 45-49 tahun 644 3, 60 % 11. 50-54 tahun 905 5, 06 % 12. 55-59 tahun 653 3, 65 % 13. 60-64 tahun 553 3, 09 % 14. 65 tahun keatas 941 5, 26 % Jumlah 17.891 100 % Sumber : Buku Monogarfi Kelurahan Kedaung 2005

Sementara itu dalam bidang pendidikan, rata-rata pendidikan masyarakat Kedaung saat ini adalah tamatan SLTA dengan prosentase mencapai 35,32 %. Berbeda dengan belasan tahun sebelumnya, dimana sebagian besar masyarakatnya hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang sekolah dasar ( SD ). Saat ini sebagian besar masyarakatnya sudah sangat sadar akan pentingnya pendidikan. Selain itu, kini sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam bidang pendidikan di wilayah ini kian meningkat. Lembaga pendidikan dari jenjang TK hingga tingkat SLTA sudah tersedia dalam wilayah ini, menurut catatan daftar isian potensi kelurahan daerah ini mempunyai 8 buah TK, 15 buah SD, 8 buah SLTP, 6 buah SLTA, dan 3 buah Pondok Pesantren.

Secara lebih terinci jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.


(34)

Tabel 3

Komposisi Jumlah Penduduk berdasarkan Pendidikan

No. Pendidikan Frekuensi % 1. Belum dan tidak sekolah 992 12,68 % 2. Pernah Sekolah tapi tidak

tamat SD

115 1,47 %

3. SD 1306 16,69 %

4. SLTP 2.452 31,35 % 5. SLTA 2.762 35,32 % 6. Diploma 109 1,39 % 7. Strata I 85 1,1 %

Jumlah 7821 100 % Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005

Pesatnya pertumbuhan dan pembangunan di ibu kota Jakarta melambungkan tingkat migrasi, yang membawa pengaruh cukup signifikan bagi wilayah Kedaung. Sebagai bagian dari daerah penyangga ibu kota, kelurahan Kedaung merupakan bagian wilayah dalam hitungan strategis dalam aspek ekonomi. Pembangunan yang kian meningkat di wilayah ini cukup mempunyai daya tarik bagi kaum urban untuk menetapkan daerah itu sebagai pilihan dalam melakukan mobilitas ekonomi. Walaupun tidak semua sarana, prasana dan lokasi perekonomian di daerah ini, yakni kebanyakan di wialayah sekitar Ciputat dan Pamulang, namun cukup memberi keuntungan bagi penduduknya, karena secara geografis masih berada dalam satu wilayah kecamatan.


(35)

Dalam aspek mata pencaharian, catatan isian potensi kelurahan menunjukan data yang cukup variatif dalam hal mata pencaharian penduduk kelurahan Kedaung. Karena secara geografis sebagian pasar Ciputat berada dalam naungan kelurahan Kedaung dan lokasinya berdekatan, maka kebanyakan penduduk kelurahan Kedaung memusatkan mata pencahariannya sebagai pedagang di pasar tersebut. Prosentase terbesar kedua dalam aspek mata pencaharian masyarakat kedaung adalah Pegawai Negeri Sipil ( PNS ). Karena wilayah tersebut memiliki dan berdekatan dengan asrama dan markas POLRI, maka profesi TNI/ POLRI menjadi prosenatase terbesar ketiga dalam aspek mata pencaharian masyarakat kelurahan Kedaung. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4

Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No. Mata Pencaharian Frekuensi % 1. Petani 92 1,246% 2. Karyawan

a. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

b. TNI / POLRI c. Buruh

1.603 1.406 1.301

21,723 % 19,05 % 17,63%

3. Wiraswasta a. Pedagang b. Penjahit

1.994 162

27,022 % 2,195 %


(36)

4. Peternak 103 1,395 % 5. Jasa Angkutan

a. Pengemudi Becak b. Sopir

c. Ojek

93 186 122

1,26 % 2,52 % 1,65 % 6. Pensiunan 146 1,98 %

7. Lainnya 171 2,317 %

Jumlah 7.379 100 %

Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005 Berkenaan dengan aspek religi, mayoritas penduduk kelurahan Kedaung beragama Islam. Jumlah pemeluk agama Islam di daerah ini mencapai 12.595 orang dengan posisi berikutnya Katholik, Protestan, Hindu, Budha. Untuk sarana ibadah yang ada di wilayah ini terdapat 15 masjid, 28 mushalla, dan 1 gereja. Secara lebih rinci data mengenai kompisisi jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 5

Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No. Agama Frekuensi % 1. Islam 12.595 70,4 % 2. Katholik 2.337 13,06 % 3. Protestan 2.062 11,53 % 4. Hindu 560 3,13 % 5. Budha 337 1,88 % Jumlah 17.891 100 % Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005


(37)

B. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah komunitas pemulung yang berlokasi di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, kelurahan Kedaung, kecamatan Ciputat, kabupaten Tangerang. Pemukiman mereka terletak di sebelah utara kantor pemerintahan kelurahan Ciputat, yakni berjarak 1,5 km. Untuk mencapai jalan raya atau pusat kota pemukiman mereka dihubungkan dengan jalan pendidikan. Sepanjang jalan tersebut terdapat kompleks lembaga pendidikan, dimana lembaga pendidikan dari jenjang TK, SD, SLTP hingga SLTA berjajar di jalan tersebut. Ojek menjadi sarana transportasi utama di jalan tersebut.

Lokasi pemukiman pemulung ini terletak dalam perkampungan Betawi Agung di Jl. Bulak Wangi II. Wilayah perumahan di RT 08 RW 03 tersebut di huni oleh sekitar 124 kepala keluarga, yakni sekitar 645 orang. Penduduk di wilayah tersebut di dominasi oleh masyarakat Jawa urban dan Suku Betawi yang memang penduduk asli.52

Berdasarkan Informasi yang didapatkan penulis, areal pemukiman pemulung di daerah tersebut seluas 2150 m. Di areal tanah seluas 2150 m terdapat tiga lapak yang berasal dari daerah asal yang berbeda. Ada lapak yang berasal dari daerah Stanggal, Banyumas serta Brebes. Untuk setiap lapak ada yang menempati areal seluas 600 an samapai 700 an meter. Areal tanah seluas 2150 m tersebut dimilki oleh tiga orang, yakni Bapak Supandi seluas 785 m, Bapak Abdul Haris seluas 725 m, dan Ibu Nyai seluas 650 m. Masing-masing dari pemilik tanah tersebut menyewakan tanahnya pada komunitas pemulung.

52

Wawancara Pribadi dengan Bapak Udin Selaku Ketua RT 08/03 di Jl Bulak Wangi II, Tangerang, 30 September ,2007


(38)

Menurut beberapa sumber yang peneliti wawancarai, komunitas pemulung di wilayah ini sudah ada sejak 7 tahun yang lalu terhitung dari tahun 2000. Sedangkan, berkenaan dengan sejarah terbentuknya komunitas pemulung di daerah tersebut, berawal dari salah satu pemilik tanah yang menyewakan tanahnya untuk menghentikan pembuangan sampah yang dilakukan masyarakat sekitar di tanah miliknya. Hal ini dituturkan oleh Bapak Supandi sebagai salah satu pemilik tanah:

“ …Semua bermula dari saya yang menyewakan tanah seluas 785 meter kepada bapak Edi dengan biaya sewa 1.500.000 / bulannya, yang ingin membagun kembali usaha mulungnya yang terkena gusur di daerah Pamulang. Sedangkan tujuan saya sendiri adalah untuk menghentikan pembuangan sampah yang dilakukan masyarakat perumahan sekitar. Lebih baik saya sewakan dengan harga murah kepada tukang pulung dari pada tanah milik saya dijadikan tempat pembuangan sampah. Meskipun demikian setidaknya tanah saya sedikit terawat, kemudian beberapa bulan berikutnya diikuti oleh pemilik tanah lainnya . …”53

Dalam Areal tanah seluas 2150 m ini berdiri puluhan bangunan sangat sederhana tempat bermukim bagi komunitas pemulung tersebut. Diantara bangunan-bangunan yang sangat sederhana tersebut terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, yakni gubuk setengah permanen dan gubuk setengah sementara. Bangunan atau gubuk setengah permanen didirikan dari bahan bangunan yang kebanyakan tidak tahan lama, seperti triplek bekas dan papan rombeng. Sedangkan gubuk setengah sementara didirikan dari kumpulan kardus dan plastik. Deretan hunian di wilayah ini tertata cukup rapi. Layaknya sebuah pemukiman, tiap bangunan dihubungkan oleh jalan-jalan kecil, yang dapat dilalui gerobak-gerobak pengangkut barang bekas yang mereka miliki. Setiap

53


(39)

sudut didepan bangunan tertumpuk onggokan barang bekas yang mereka kumpulkan.

Gambaran lebih detail mengenai pemukiman komunitasa pemulung di wilayah ini, sama dengan apa yang telah dideskripsikan oleh Jacob Rebong. Ia mendeskripsikan bahwa kelompok yang satu ini, umumnya hidup dan bermukim dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan rombeng, namun memiliki kegiatan. Di sana, ada usaha mengumpulkan barang bekas.54

Jumlah pemulung di wilayah ini diperkirakan mencapai 87 orang, yang terdiri dari 58 jiwa laki-laki dan 29 jiwa perempuan, dengan jumlah 19 kepala keluarag ( KK ). Jumlah ini dalam tiap waktunya dapat berubah, karena umumnya mereka datang-pergi (bolak-balik) dan jarang yang tinggal menetap.

Berkenaan dengan identitas kependudukan, dari 87 orang yang menghuni lapak-lapak di wilayah tersebut, 65 jiwa yang termasuk dalam kategori usia yang wajib memiliki kartu tanda penduduk. Sedangkan jumlah sisanya, yakni 22 jiwa yang termasuk dalam kategori usia anak-anak dan remaja awal, yang belum diwajibkan memiliki kartu tanda penduduk. Dari 52 jiwa tersebut, sebagian besar dari mereka dipastikan tidak atau belum memiliki kartu tanda penduduk setempat. Mereka hanya memiliki kartu tanda penduduk daerah asal dan kartu tanda penduduk musiman, bahkan ada diantara mereka yang tidak memiliki kartu tanda penduduk. Hanya sebagaian kecil dari mereka yang memiliki kartu tanda penduduk setempat. Ini dapat tergambarkan dari 34 orang informan yang diwawancarai, hanya 9 orang yang menyatakan memiliki kartu tanda penduduk

54

Jacob Rebong, dkk, “Ekonomi Gelandangan: Armada Murah Untuk Pabrik, dalam Kemiskinan diPerkotaan”, Pasurdi Suparlan, (ed), ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1995 ), h. 140


(40)

setempat. Minimnya kepemilikan kartu tanda penduduk setempat dikalangan pemulung di wilayah tersebut diungkapkan oleh Edi Sudewo, ajat dan Yanto selaku ketua lapak. Mereka sama-sama menyatakan bahwa para pemulung tersebut sebagian besar tidak mempunyai kartu tanda penduduk setempat dikarenakan tidak mampu mengeluarkan biaya pembuatan kartu tanda penduduk dan karena banyak dari mereka yang datang dan pergi atau tidak tinggal menetap di wilayah tersebut. Ini terlihat dari jumlah mereka yang selalu dapat berubah tiap waktunya. Sehingga sedikit sekali dari para pemulung yang memiliki kartu tanda penduduk setempat. Hanya para ketua lapak beserta keluarganya dan para pemulung yang sudah lama menetap di wilayah tersebut.55

Karena sebagian besar para pemulung di wilayah tersebut tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat, maka dalam hal penyelenggaran pesta politik mereka tidak dapat berpartisipasi. Sedangkan, bagi mereka yang memiliki hak suara dalam pelaksanaan pesta politik, cenderung mengabaikan hak tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh Tasman:”…Saya punya KTP sini. Tapi, kalo’ ada pemilihan presiden atau lainnya saya ‘ngga ikut nyoblos. Males…, ‘ngga ada duitnya sih….”56

Setiap komunitas pemulung hidup bermukim sesuai dengan persamaan daerah asal mereka. Setiap pemulung yang berasal dari Banyumas hidup satu lapak dengan para pemulung dari daerah yang sama, begitupun dengan komunitas pemulung lainnya. Umumnya antar pemulung tersebut masih mempunyai satu ikatan kekerabatan atau mereka hidup bertetangga di daerah asal.

55

Wawancara Pribadi dengan Bapak EdiSudewo dan Bapak Yanto, Selaku Ketua Lapak Banyumas dan Tegal, Tangerang 28 September

56


(41)

Inilah, sekelumit gambaran mengenai lokasi dan sejarah komunitas pemulung di wilayah Kedaung, peneliti berharap gambaran singkat tersebut dapat membantu dalam mengetahui kondisi keberadaan mereka (komunitas pemulung) di wilayah tersebut

Sebagai uraian selanjutnya, di bawah ini penulis akan mendeskripsikan berbagai aspek kehidupan pada komunitas pemulung di wilayah tersebut.

1. Seputar Kehidupan Ekonomi

Fenomena urbanisasi merupakan konsekuensi logis dari pesatnya pembangunan di Ibu Kota. Masyarakat rural berbondong-bondong melakukan migrasi ke Ibu Kota karena tergiur dengan kestrategisan wilayah tersebut yang menjanjikan perbaikan dalam bidang ekonomi. Namun, sebagian besar dari para kaum urban tersebut tidak membekali diri dengan pendidikan dan skill yang memadai, yang sesungguhnya sangat dibutuhkan sebagai modal utama hidup di ibu kota. Maka peran mereka di ibu kota hanya sebagai masyarakat marginal yang salah satu profesinya sebagai pemulung.

Bagi komunitas pemulung, “mulung” atau mencari barang bekas adalah tumpuan sektor mata pencaharian mereka. Dari mata pencaharian ini para pemulung memenuhi kebutuhan nafkah jasmani keluarganya. Hal tersebut sama-sama dituturkan oleh informan Tasman dan Tamiri.57

“…Mulung sudah menjadi kegiatan pekerjaan utama kita dalam mencari rezeki sehari-hari. Hasil mulung kita gunakan untuk menafkahi anak dan istri. Kalau kita ‘ngga mulung sehari saja, berarti anak dan istri

57

Wawancara pribadi dengan Bapak Tasman dan Bapak Tamiri, Tangerang, 8 Oktober dan 28 September 2007


(42)

‘ngga makan hari itu. Hasil mulung cuma dari tangan ke mulut, maksudnya hasil hari ini juga akan habis untuk kebutuhan makan hari ini juga.”

Sementara berkenaan dengan faktor yang melatarbelakangi mereka menjadi pemulung umumnya karena minimnya pendidikan dan skill yang mereka miliki. Sehingga mulung merupakan pekerjaan yang tepat bagi mereka, karena tidak memerlukan keterampilan khusus dan modal yang besar seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya yang ada di ibu kota ini. Seperti penuturan Solihin di bawah ini.

“…Saya datang ke Jakarta untuk mencari nafkah, ketika sampai di sini saya bingung mau kerja apa. Sebab saya cuma punya izasah SD dan ‘ngga punya keahlian apa-apa, sementara kebanyakan pekerjaan di Jakarta memerlukan tamatan sekolah yang tinggi. Akhirnya, mau ‘ngga mau jadi pemulung, sebab mulung itu pekerjaan yang cuma memerlukan kerajinan dan bermodalkan karung dan ganco…”58

Selain faktor tersebut, diantara mereka ada yang menjadikan pekerjaan mulung ini sebagai pekerjaan sampingan atau sementara. Pekerjaan mulung dilakukan untuk mengisi kekosongan ketika pekerajaan utama tidak dapat dilakukan. Seperti penuturan Trisno sebagai salah komunitas pemulung dari Banyumas yang telah tinggal sekitar empat tahunan, ketika ditanya tentang apa mendorongnya jadi pemulung. Ia menuturkan, mulung baginya hanya pekerjaan sementara saja, yakni mengisi waktu menganggur, ketika tidak ada panggilan sebagai pekerja buruh bangunan.59 Hal yang tidak berbeda juga disampaikan oleh Timan. Namun, baginya pekerjaan mulung dilakukan saat musim paceklik di

58

Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang 27 September 2007 59


(43)

kampung.60 Sedangkan, faktor yanga melatarbelakangi para kaum wanita menjadi pemulung karena ingin membantu para suami dalam mencari nafkah.

Keuletan dan kerajinan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam setiap pekerjaan. Komunitas pemulung di daerah ini pun menanamkan sikap demikian dalam melakoni pekerjaannya tersebut. Komunitas pemulung di daerah ini, rela untuk bangun lebih awal dan menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi mencari barang-barang bekas sebagai tumpuan hidup dalam memenuhi nafkah. Berdasarkan wawancara mendalam, diantara mereka ada yang mulai berangkat bekerja antara jam empat dan jam lima pagi, dan ada juga yang mulai bekerja dari jam tujuh dan jam delapan pagi. Hal tersebut, tergantung dari tempat yang menjadi tujuan mereka dalam mencari barang bekas. Informan Tasman61 menuturkan, ia biasanya mulai bangun sekitar jam tiga pagi dan mulai berangkat kerja pukul empat pagi, ketika ingin mencari barang di daerah BSD ( Bumi Serpong Damai ) atau Pondok Labu. Namun, jika hanya berkeliling di daerah sekitar Ciputat dan Pamulang, ia berangkat kerja mulai jam tujuh pagi. Untuk kepulangannya dalam bekerja adalah tidak tentu tergantung penghasilan yang mereka peroleh saat itu. Berbeda dengan Wasem, ibu paruh baya ini menuturkan, ia bekerja mulai pukul delapan pagi setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan hanya berkeliling di daerah sekitar Kedaung dan pasar Ciputat. Kemudian pulang pukul dua siang untuk kembali mengerjakan tugas rumah tangga.62

60

Wawancara Pribadi dengan Bapak Timan, Tangerang, 27 September 2007 61

Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman , Tangerang, 8 Oktober 2007 62


(44)

Sebagian besar masyarakat memandang bahwa plastik, kertas, kardus, kaleng, dan paku karat merupakan barang tak memiliki nilai berharga. Namun, dalam persfektif komunitas pemulung barang-barang bekas tersebut merupakan perantara penting bagi penyelamat perut dari kondisi lapar. Maka aktivitas mengumpulkan barang bekas adalah urat hidupnya dalam sektor ekonomi. Barang-barang bekas yang mereka kumpulkan kemudian dijual kepada ketua lapak yang bertindak sebagai agen dalam komunitas pemulung tersebut. Untuk gelas atau kemasan plastik dihargai sebesar Rp. 4500/kg, Rp. 500/ kg untuk koran bekas, Rp.600/ kg untuk kardus, dan RP.50/kg-nya untuk beling, Rp. 1200/kg untuk paku, Rp. 60.000/kg untuk kabel; serta Rp. 3000/kg untuk besi. Namun, biasanya para pemulung wanita menjual barang bekas tersebut secara campur yang oleh agen dihargai Rp.1500/ kg. 63

Khusus untuk penghuni lapak Brebes, mereka tidak mencari barang bekas dengan cara memulung berkeliling tempat, tetapi mereka hanya bertindak sebagai agen penjualan barang bekas. Ketua lapak memberikan modal kepada para anak buahnya untuk membeli barang-barang bekas yang dijual oleh kantor-kantor atau toko-toko dengan cara memborongnya dalam jumlah besar. Umumnya barang-barang bekas yang banyak ditemui di lapak ini adalah aneka kertas, perabot rumah tangga, dan kabel.

Berkenaan dengan penghasilan yang didapatkan dari mulung, para informan menuturkan, penghasilan mereka setiap hari tidak menentu tergantung dengan barang- barang bekas yang mereka dapatkan hari itu. Bagi para pemulung

63


(45)

laki-laki, penghasilan yang mereka dapatkan dalam tiap harinya berkisar antara Rp.10.000-Rp.30.000, sedangkan para pemulung perempuan mendapatkan penghasilan antara Rp. 5.000-Rp. 15.000 dalam tiap harinya.

Deskripsi mengenai seputar kehidupan ekonomi pemulung di wilayah ini, hampir sama seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septiarti yang dikutip dari pendapat Rodger. Ia mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan memperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain tergolong sebagai unskilled labor. Akibatnya perolehan penghasilan mereka menjadi minim dan tidak tetap sama sekali serta tidak mempunyai jaminan sosial. 64

Itulah deskripsi mengenai seputar kehidupan perekonomian komunitas pemulung di wilayah tersebut, yang memang tergambar dalam realita keseharian hidup mereka. Kemudian, untuk kondisi pendidikan komunitas pemulung di wilayah ini akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.

2. Pendidikan

Era globalisasi menuntut tiap individu untuk tampil terampil, efektif dan efisien. Melalui pendidikan tiap individu dapat membangun, mengembangkan dan mengefisiensikan potensi sumber daya yang ada pada dirinya. Maka, kini pendidikan menjadi hal yang sangat urgen bagi masyarakat di belahan dunia manapun. Meskipun sebagian besar masyarakat telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, tetap saja secara praktis aspek tersebut masih terabaikan

64

S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidkan”, H. 11-12


(46)

dalam kehidupan, terutama masyarakat yang secara struktur berada di lapisan bawah atau masyrakat marginal.

Adalah faktor ekonomi yang menjadi hambatan dan rintangan terbesar bagi masyarakat lapisan bawah untuk mengefisiensikan potensi sumberdayanya. Sehingga, aspek penting tersebut terkesan diacuhkan dalam kehidupan mereka.

Seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septriarti yang dikutip dari pendapat Roger, untuk kelompok masyarakat marginal, dibidang sosial ada pada strata terendah dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.65

Berkenaan dengan pendidikan komunitas pemulung di Kedaung, seperti yang telah digambarkan oleh Roger, umumnya pendidikan mereka terbilang rendah. Sangat jarang diantara mereka yang dapat menamatkan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Mayoritas dari mereka hanya mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD), namun ada juga diantara mereka yang tak menamatkannya, bahkan diantara mereka ada yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Rata-rata untuk pendidikan pemulung di wilayah ini adalah sekolah dasar (SD). Hal tersebut di ungkapkan oleh Bapak Edi Sudewo, selaku salah satu ketua lapak.66

Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan Solihin:“…Faktor ekonomi menyebabkan pemulung di sini berpendidikan rendah, rata-rata pemulung di sini

65

S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidikan, h 11-12.

66


(47)

hanya tamatan sekolah dasar ( SD ), karena itu hanya mulung yang kita bisa kerjakan untuk mencari rezeki”. 67

Meskipun kemiskinan lekat dalam kehidupan mereka, namun tak menghalangi mereka memiliki harapan untuk melakukan perbaikan dan mobilitas pendidikan pada generasi mereka. Kini, secara praktis mereka berusaha keras merealisasikan harapan tersebut.

3. Agama

Secara kodrati manusia adalah makhluk yang memiliki naluri untuk menghambangkan diri pada sesuatu yang sakral. Manusia meyakini bahwa melalui agama ia dapat memenuhi kebutuhan nalurinya tersebut. Maka beragama adalah pengejawantahan dari kodrat tersebut. Agama telah menjadi hal yang sangat fundamen bagi masyakat apapun Sehingga, agama telah menjadi aspek universal yang berhasil menembus batas struktur yang ada dalam masyarakat.

Dalam bidang agama, mayoritas pemulung diwilayah ini beragama Islam. Hanya tiga orang diantara pemulung di wilayah tersebut yang bergama Kristen; tak ada seseorang pun dari mereka yang menjadi pemeluk agama Hindu dan Budha

Berkenaan dengan fasilitas tempat ibadah, mereka tak mendirikan masjid atau mushalla tersendiri bagi komunitasnya. Dalam beribadah mereka membaurkan diri dengan masyarakat sekitar dalam satu jamaah di masjid wilayah tersebut. Di masjid tersebut juga tersedia sarana pendidikan agama, dimana

67


(1)

Berdasarkan wawancara mendalam, dalam hal ini peneliti menemukan jawaban yang cukup variatif. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan memaparkan hasil wawancara tersebut dalam uraian di bawah ini:

Edi Sudewo adalah pemulung yang berasal dari Banyumas. Ia tumbuh dan besar di Banyumas, hidup dalam lingkungan yang cukup agamis dan selama tiga tahun pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Dalam hal shalat merupakan ibadah yanag sudah rutin dijalaninya sejak dahulu. Ketika ditanyakan mengenai kondisi kebergamaannya setelah Ramadhan, ia menyatakan bahwa Ramadhan mempengaruhi semangat keberagamaannya di bulan lainnya, namun hanya bertahan dalam waktu yang relatif singkat. Dan setelah itu, ia kembali kepada kebisaannya. Sebagaimana yang diungkapkannya:”…Dalam Ramadhan biasanya saya berusaha memperbanyak ibadah, termasuk tadarus dan salat sunat. Biasanya kalo’ menjelang lebaran hati rasanya sedih dan dalam hati berniat setelah lebaran nanti mau tetap rajin ibadah kaya di bulan ini. Tapi niat itu cuma bisa dilaksanain selama masih dalam suasana Lebaran. Setelah itu kembali lagi kaya biasanya, ’kalo shalat cuma yang wajib. Ba’diyah , qobliyah, apalagi tahajud ‘ngga dikerjain lagi.”131

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Solihin, dan Siti Fatimah. Mereka menyatakan bahwa Ramadhan membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap pelaksanaan ritual ibadah mereka. Namun, tidak bertahan lama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:”…Ada, saat masih dalam keadaan lebaran. masih ngerjain salat sunat dan baca Al-qur’an. Seperti masih terbawa

131


(2)

suasana Ramadhan. Tapi, setelah itu kembali lagi seperti biasa. Kalo’ salat lima waktu ‘ngga ketinggalan, tapi salat sunat dan baca al-quran’ngga saya kerjain lagi…”132

Sedangakan, para informan lainnya menyatakan bahwa Ramadhan tidak membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi keberagamaan mereka di bulan sesudahnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”… Dalam hati sih selalu ada niat untuk rajin salat ‘ngga cuma di bulan Ramadhan, tapi juga dalam hari-hari biasa. Tapi cuma niat dong, kalo’ sudah Ramadhan, saya kembali seperti biasanya, kembali bolong-bolong lagi salatnya…”133

Hal senada juga diungkapkan oleh Wasni:”…Waktu bulan puasa rajin ngelaksanain shalat, dan suka timbul niat mau berubah. Tapi kalo’setelah itu tetap aja males, ngerjain salat. Bahkan kadang-kadang ‘ngga sama dalam bulan puasa..”134

Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Tamiri:”… Saya salat waktu Ramadhan aja. Setelah itu sih, jarang-jarang, bahkan ‘ngga sama sekali…”135

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Ramadhan telah mampu membangkitkan sensitifitas keagamaan mereka, untuk bertindak taat dalam bulan tersebut. Namun, Ramadhan hanya membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi naluri keberagamaan mereka, namun tidak pada sikap tertib dan taat pada pelakasanaan ibadah di bulan sesudahnya.

132

Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang 27 September 2007

133

Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007

134

Wawancaar Pribadi dengan Wasni, Tangerang, 3Oktober 2007

135


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah diuraikan secara mendalam dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Ramadhan tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi aktivitas dan semangat kerja komunitas pemulung. Dalam konteks ini, Ramadhan tidak menyurutkan kegairahan aktivitas kerja mereka. Justru kehadiran Ramadhan dengan segala kebutuhan khususnya telah mendorong dan memaksa mereka untuk semakin giat bekerja. Maka sebagian informan menambahkan waktu bekerja mereka di malam hari, supaya dapat memenuhi kebutuhan di hari raya Idul Fitri.

Dalam hal pembahasan mengenai makna Ramadhan bagi komunitas pemulung, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan terhadap Ramadhan yang diberikan komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW03 kelurahan Kedaung adalah pemaknaan yang bersifat kondisional. Dimana kondisi berkah rezeki dan pangan yang mereka alami dalam bulan tersebut dijadikan landasan dalam memberikan makna berkah terhadap bulan Ramadhan.

Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian mengenai pengetahuan dan pemahaman berkenaan dengan ibadah dan amalan khas, serta kistimewaan bulan Ramadhan, maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antar informan penelitian. Yang disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan pada tiap informan.


(4)

Berkenaan dengan hasil penelitian mengenai pelaksanaan ibadah ritual komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan, peneliti menemukan perbedaan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan ritual ibadah salat wajib di bulan Ramadhan. Dimana komunitas pemulung tersebut berupaya melakukan peningkatan intensitas pelaksanaan ritual ibadahnya dalam bulan Ramadhan. Selain itu juga, ditemukan perbedaan ketaatan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan ritual ibadah khas Ramadhan. Tak ada dari satu orang informan yang secara total meninggalkannya, mereka semua melaksnakannya. Namun hanya intensitas pelaksanaannya saja yang berbeda. Maka dari hasil penelitian tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03 kelurahan Kedaung memiliki responsi sikap keagamaan yang cukup baik dalam menyikapi pelakasanaan ritual ibadah di bulan Ramadhan.

Terlepas dari penilaian layak atau tidaknaya komunitas pemulung di wilayah tersebut dimasukan dalam kategori masyarakat shaleh atau tidak, pada pembahasan selanjutnaya peneliti mencoba menguraikan hasil penelitian keberagamaan pemulung setelah bulan Ramadhan. Maka penulias dapat menyimpulkan bahwa adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam hal keberagamaan pemulung dalam bulan Ramadhan dengan bulan sesudahnya. Ini terlihat dari adanya perbedaan intensitas pelaksanaan ibadah wajib yang dikerjakan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan dengan bulan sesudahnya. Tingkat intensitas pelakasanaan ibadah yang dilakukan dalam bulan sesudah Ramadhan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pelaksanaanya selama Ramadhan. Bahkan banyak diantara mereka yang cenderung mengabaikan


(5)

pelaksanaan ibadah salat wajib dalam bulan biasanya. Dalam artian mereka hanya bertindak taat dalam melaksanakan ritual ibadah wajib dalam bulan Ramadhan saja.

Berdasarkana hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan, bahwa Ramadhan telah mampu membangkitkan sensitifitas keagamaan komunitas pemulung, yang berpuncak pada sikap taat dan tertib ibadah dalam bulan tersebut. Namun, ketika Ramadahn berakhir, pengaruh signifikan tersebut hanya tinggal melekat pada naluri keberagamaan mereka, tetapi tidak pada sikap taat dan tertib pada pelaksanaan ibadah wajib di bulan sesudahnya.

B. Saran-saran

Dalam akhir tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis sampaikan kepada pihak-pihak tertentu, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kepada lembaga kewargaan setempat, yakni RT dan RW, ada baiknya untuk tidak melakukan pembedaan dalam hal sosial dan partisipasi politik Dan juga mengupayakan pembauran warga sekitar guna menghilangkan sikap hipokrit yang diterima komunitas pemulung di wilayah tersebut. 2. Kepada para ulama setempat, supaya mau memberikan pembelajaran

keagamaan kepada komunitas pemulung di wilayah tersebut agar memudahkan pemulung untuk mendapatkan pengetahuan agama yang selama ini tidak pernah mereka ketahui.


(6)

3. Bagi para komunitas pemulung, supaya rajin belajar menimba pengetahuan agama agar dapat mengetahui serta memahami ajaran, dan perintah agama. Sehingga diharapkan dapat taat dalam menjalankan segala bentuk ajaran dan perintah agama .