Hubungan Sosial Komunitas Pemulung Dalam Bulan Ramadhan

Dan sejak saat itu saya kembali untuk rajin salat lagi, walaupun suka diulur-ulur waktunya”. 128 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lasmidi dan Solihin. Mereka menyatakan pernah mendapatkan pengalaman religius dalam bulan Ramadhan dan mengakui bahwa pengalaman tersebut membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap ketaatan dan kekhusyuan dalam beribadah. Namun mereka kurang dapat memaparkannya dengan baik secara verbal.

5. Hubungan Sosial Komunitas Pemulung Dalam Bulan Ramadhan

Ramadhan tak hanya mampu menstimulasi setiap individu untuk mempererat tali hubungannya dengan Sang Maha Trasenden, namun Ramadhan juga mampu menstimulasi setiap individu untuk memperbaharui, dan mempererat tali hubungan sosialnya. Ini merupakan sutu bentuk aktualisasi dari amalan kebajikan yang sangat dianjurkan bulan Ramadhan, yakni menebar kasih sayang simpati terhadap sesama. Maka dalam bulan tersebut tercipta suatu realitas hubungan sosial yang harmonis. Pada bulan tersebut setiap individu rela melepaskan kesibukannya sejenak untuk memberikan waktu mempererat interaksi sosialnya. Areal-areal pemukiman yang biasanya lengang dari kebersamaan penduduknya dan aktivitas sosial, spontan menjadi riuh dengan kebersamaan penduduknya yang larut dalam aktivitas sosial maupun keagamaan. Maka sudah menjadi tradisi setiap tahunnya bila banyak kegiatan yang melibatkan kebersamaan direncanakan hanya untuk memperat tali hubungan sosial antar komunitas, atau bahkan aktivitas sosial yang bertujuan untuk meningkatkan tali simpati terhadap kaum dhaufa. 128 Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fatimah, Tangerang 2 Oktober,2007 Kondisi tersebut pun relevan dalam kehidupan komunitas pemulung. Ramadhan telah banyak menciptakan kondisi meningkatnya keakraban dan suasana kebersamaan dalam komunitas mereka. Seluruh informan menyatakan bahwa dalam bulan Ramadhan interaksi antar pemulung meningkat. Ini terlihat dari adanya perbedaan tingkat intensitas kebersamaan mereka dalam bulan Ramadhan dengan bulan lainnya. Dalam bulan Ramadhan secara spontan para pemulung banyak menyempatkan diri untuk berkumpul bersama, meskipun hanya untuk sekedar bersendau gurau menunggu tibanya adzan magrib, atau melepas lelah setelah berbuka puasa. Seperti yang diungkapkan oleh Wasem: ”...Ya, beda. Kalo’ bulan puasa itu justru lebih banyak waktu ngumpul- ngumpulnya sama orang-orang di sini. Siang hari biasanya ibu-ibu itu ngumpul-ngumpul sambil beresin barang-barang hasil mulung. Dan sore itu lebih rame lagi, dari bapak-bapak, ibu-ibu, sampai anak kecil pada ngombrol dan nugmpul bareng sambil waktu nunggu buka. Dan malamnya juga begitu lagi, bahkan sampe tengah malam. Dan begitu juga waktu habis sahur. Pokoknya beda ‘ngga seperti-seperti hari biasanya”. 129 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Edi Sudewo:”…Kalo’bulan puasa, pemulung-pemulung di sini lebih banyak waktu ngobrol bareng-barengnya. Biasanya sore, sambil nunggu waktu berbuka. Dan malam sampe waktu sahur. Ya, karena sering ngumpul jadi rasanya kalo’ bulan puasa itu hubunganya lebih akrab. Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Denti:”…Beda banget. Bulan puasa itu lebih rame, apalagi kalo’ sore dan malam. Dari yang tua sampe anak-anak kecil pada ngumpul, bercanda, ngobrol. Pokoknya akrab banget. ‘Ngga kaya hari biasa yang kalo’ udah malem sepi banget…” 130 129 Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang, 30 Septamber 2007 130 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang,5 Oktober 20007 Hal tersebut juga diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, Wasni, Lasmidi, Solihin, dan Sumarno. Mereka menyatakan makna pernyataan yang sama mengenai hubungan dan interaksi sosial mereka dalam bulan Ramadhan.

C. Keberagamaan Komunitas Pemulung Setelah Ramadhan