laki-laki, penghasilan yang mereka dapatkan dalam tiap harinya berkisar antara Rp.10.000-Rp.30.000, sedangkan para pemulung perempuan mendapatkan
penghasilan antara Rp. 5.000-Rp. 15.000 dalam tiap harinya. Deskripsi mengenai seputar kehidupan ekonomi pemulung di wilayah ini,
hampir sama seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septiarti yang dikutip dari pendapat Rodger. Ia mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan
ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan memperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain tergolong sebagai unskilled labor.
Akibatnya perolehan penghasilan mereka menjadi minim dan tidak tetap sama sekali serta tidak mempunyai jaminan sosial.
64
Itulah deskripsi mengenai seputar kehidupan perekonomian komunitas pemulung di wilayah tersebut, yang memang tergambar dalam realita keseharian
hidup mereka. Kemudian, untuk kondisi pendidikan komunitas pemulung di wilayah ini akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
2. Pendidikan
Era globalisasi menuntut tiap individu untuk tampil terampil, efektif dan efisien. Melalui pendidikan tiap individu dapat membangun, mengembangkan dan
mengefisiensikan potensi sumber daya yang ada pada dirinya. Maka, kini pendidikan menjadi hal yang sangat urgen bagi masyarakat di belahan dunia
manapun. Meskipun sebagian besar masyarakat telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, tetap saja secara praktis aspek tersebut masih terabaikan
64
S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidkan”, H. 11-12
dalam kehidupan, terutama masyarakat yang secara struktur berada di lapisan bawah atau masyrakat marginal.
Adalah faktor ekonomi yang menjadi hambatan dan rintangan terbesar bagi masyarakat lapisan bawah untuk mengefisiensikan potensi sumberdayanya.
Sehingga, aspek penting tersebut terkesan diacuhkan dalam kehidupan mereka. Seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septriarti yang dikutip dari
pendapat Roger, untuk kelompok masyarakat marginal, dibidang sosial ada pada strata terendah dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah atau sama
sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.
65
Berkenaan dengan pendidikan komunitas pemulung di Kedaung, seperti yang telah digambarkan oleh Roger, umumnya pendidikan mereka terbilang
rendah. Sangat jarang diantara mereka yang dapat menamatkan sekolah lanjutan tingkat pertama SLTP maupun sekolah lanjutan tingkat atas SLTA. Mayoritas
dari mereka hanya mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar SD, namun ada juga diantara mereka yang tak menamatkannya, bahkan diantara mereka ada
yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Rata-rata untuk pendidikan pemulung di wilayah ini adalah sekolah dasar SD. Hal tersebut di ungkapkan
oleh Bapak Edi Sudewo, selaku salah satu ketua lapak.
66
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan Solihin:“…Faktor ekonomi menyebabkan pemulung di sini berpendidikan rendah, rata-rata pemulung di sini
65
S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidikan, h 11-12.
66
Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
hanya tamatan sekolah dasar SD , karena itu hanya mulung yang kita bisa kerjakan untuk mencari rezeki”.
67
Meskipun kemiskinan lekat dalam kehidupan mereka, namun tak menghalangi mereka memiliki harapan untuk melakukan perbaikan dan mobilitas
pendidikan pada generasi mereka. Kini, secara praktis mereka berusaha keras merealisasikan harapan tersebut.
3. Agama