orang-orang yang lemah, orang yang berpenyakit menahun sehingga tak dapat diharapkan kesembuhannya, para buruh yang harus mengeluarkan tenaga berat
untuk mencari penghidupannya, seperti buruh tambang dan orang-orang yang menjalani kerja paksa. Serta wanita hamil dan menyusui.
30
Seiring dengan berkembangnya zaman dan perubahan, kondisi tersebut diperluas dengan pengertian bahwa orang-orang yang tidak sanggup atau berat
berpuasa mencakup semua orang yang karena kesehatan, pekerjaan, atau usianya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Misalnya seperti profesi
pengemudi jasa angkutan darat yang dalam konteks kekinian termasuk orang yang diperbolehkan tidak berpuasa.
Belakangan ini sering teradi gejolak dan “perang wacana “ mengenai konsep puasa, antara komunitas Islam yang berpandangan liberal dengan
komunitas Islam yang berkarakter “normative-tradisionalis”.Gejolak ini semakin menjadi seiring dengan gencarnya pemikiran”kiri liberal”dalam Islam
yang banyak diusung oleh kalangan “santri baru”.
Oleh mereka, perintah puasa dalam Al-quran dikaji secara kritis, tanpa harus memandang perintah itu sebagai “instruksi paketan” dari Tuhan. Melainkan
harus dipahami latar belakangnya lengkap dengan “ide moral“yang tersimpan di balik perintah tersebut.
Pergeseran pandangan tersebut direpresentasikan oleh argumentasi yang kontradiktif dari seorang pemikir liberal asal Mesir bernama Mohammad
Syahrur.
31
Dalam bukunya yang bertajuk Islam Wa al-Iman 2001, beliau mencoba mengakomodasi nilai-nilai dasar manusiawi yang tersimpan dalam
perasaan manusia, untuk dijadikan sebagai landasan pola keberagamaan seseorang. Menurutnya, praktek beragama tak harus dipaksakan atau bahkan
memberatkan bagi para pelakunya. Beragama hendaknya dinikamati dan dijalankan sesuai dengan kadar kemampuan seseorang.
Berdasarkan logika berfikir tersebut, Syahrur menilai, praktek ibadah puasa telah bertolak belakang dengan nilai dasar kemanusiaan. Sederhananya, jika
manusia lapar hendaknya segera makan, sehingga menjadi tidak manusiawi bila harus menahan lapar dan haus. Sementara ada makanan dan minuman
yang bisa dikonsumsi.
Menurut Syahrur, praktek ibadah puasa dimasukan dalam kategori “memberatkan”. Syahrur menjustifikasi bahwa puasa “tidak wajib“
dilaksanakan. Puasa hanyalah kebutuhan, siapa yang berniat, maka tak menjadi masalah. Demikian interpretasi Syahrur terhadap Surat Al-Baqaarah:183.
32
2. Ramadhan Persfektif Sosiologis dan Ekonomis
30
Muhammad Thalib, 160 Tanya-Jawab Amaliah Ramadhan, Bandung:Irsyad Baitus Salam,1998 ,h. 75-76
31
. Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang tentang Puasa.” Artikel diakses tanggal 27 agustus 2007, dari Http:
www.media . Isnet.orgIslamEtcSyariah
32
Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang Tentang Puasa”, artikel diakses tanggal 27 Agustus 2007, dari Http:www. media.Isnet.orgIslamEtcSyariah
Ramadhan adalah rumah teduh bagi siapa saja yang ingin mencari pahala. Tiap putaran detik Allah menjanjikan ganjaran pahala yang berlipat bagi tiap ibadah
dan amalan soleh. Maka Aura Spirtual pun tergiur dan membuncah kuat di hati tiap muslim. Sehingga dalam pandangan masyarakat muslim bulan tersebut
merupakan momentum yang tepat untuk bertindak shaleh secara total. Pada bulan ini hampir sebagian besar masyarakat menyibukan diri berburu hal-hal
religi. Misalnya seperti pengetahuan religi. Maka kajian-kajian dan buku-buku religi, serta tayangan syiar agama banyak diminati masyarakat.
Ramadhan dalam lingkup sosiologis dimaknai sebagai waktu yang tepat untuk berlomba-lomba meningkat ibadah dan beramal shaleh. Bukan hanya ibadah
madlah sebagai wujud kesalehan ritual.Tetapi juga berlomba-lomba dalam meningkatkan derma terhadap kaum dhuafa sebagai wujud keshalehan sosial,
seperti berinfak, bersedekah, dan berzakat. Disamping itu, Ramadhan dianggap sebagai mediator dalam meningkatkan hablum minannas. Bulan simpati atau
berkasih sayang antar sesama manusia.
33
Dimana tingkat keshalehan sosial meningkat, maka untaian hubungan harmoni menyatukan masyarakat, baik
yang kaya maupun miskin. Dalam persfektif ekonomi, Ramadhan dimaknai sebagai media perangsang
bagi lonjakan harga-harga kebutuhan pokok. Adanya kenaikan harga kebutuhan pokok atau kenaikan harga-harga barang lainnya menjelang puasa
dan sampai nanti bulan Syawal memang setiap tahun terjadi, masyarakat juga sudah mafhum dan sadar setiap menjelang bulan puasa ada kenaikan harga.
Bagi masyarakat, hal tersebut adalah masalah klasik, bahkan sudah menjadi tradisi tiap tahunnya.
Namun, kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan tahun ini seolah-olah merupakan penyakit akut. Terhitung dari satu bulan menjelang
Ramadhan tahun ini, harga kebutuhan pokok cenderung naik 10 hingga 40 persen. Dan kenaikan diperkirakan masih dapat terjadi menjelang hari raya Idul
Fitri. Lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan dan Lebaran bukan hanya disebabkan karena kuranganya stok dan tidak jelasnya
sistem distribusi. Selain itu, ulah para pedagang akibat dimuluskannya mekanisme pasar membuat pemegang otoritas utama penentu harga adalah
pedagang atau ritel di pasar. Para pedagang menyadari selama bulan Ramadhan dan menjelang hari raya kebutuhan masyarakat meningkat, meski ada kenaikan
harga pada beberapa komoditi, permintaan akan tetap naik. Dan meskipun kebijakan dilakukannya operasi pasar untuk menekan harga dampaknya hanya
bersifat sementara.
34
C. Masyarakat Marginal