hanya tamatan sekolah dasar SD , karena itu hanya mulung yang kita bisa kerjakan untuk mencari rezeki”.
67
Meskipun kemiskinan lekat dalam kehidupan mereka, namun tak menghalangi mereka memiliki harapan untuk melakukan perbaikan dan mobilitas
pendidikan pada generasi mereka. Kini, secara praktis mereka berusaha keras merealisasikan harapan tersebut.
3. Agama
Secara kodrati manusia adalah makhluk yang memiliki naluri untuk menghambangkan diri pada sesuatu yang sakral. Manusia meyakini bahwa
melalui agama ia dapat memenuhi kebutuhan nalurinya tersebut. Maka beragama adalah pengejawantahan dari kodrat tersebut. Agama telah menjadi hal yang
sangat fundamen bagi masyakat apapun Sehingga, agama telah menjadi aspek universal yang berhasil menembus batas struktur yang ada dalam masyarakat.
Dalam bidang agama, mayoritas pemulung diwilayah ini beragama Islam. Hanya tiga orang diantara pemulung di wilayah tersebut yang bergama Kristen;
tak ada seseorang pun dari mereka yang menjadi pemeluk agama Hindu dan Budha
Berkenaan dengan fasilitas tempat ibadah, mereka tak mendirikan masjid atau mushalla tersendiri bagi komunitasnya. Dalam beribadah mereka
membaurkan diri dengan masyarakat sekitar dalam satu jamaah di masjid wilayah tersebut. Di masjid tersebut juga tersedia sarana pendidikan agama, dimana
67
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang,27 September 2007
sebagaian besar pemulung mempercayakan pendidikan agama putra-putri mereka di TPA tersebut.
Mengenai kegiatan kerohanian, karena sifat hipokrit masyarakat setempat, umumnya para pemulung tersebut tidak terlibat dalam keanggotan kegiatan rohani
di wilayah tersebut. Mereka juga tidak memiliki kegiatan kerohanian tersendiri.
4. Latar Belakang Sosial
Fenomena urbanisasi berimplikasi pada teciptanya kondisi multikultural di wiliyah kota, yakni berkumpulnya masyarakat beragam kultur, namun dengan
keseragaman tujuan dalam rangka melakukan mobilitas kehidupan, terutama ekonomi. Tak semua masyarakat urban dapat merasakan jalan kemudahan dalam
melakukan perubahan hidup ke arah progress. Bagi kaum yang kurang beruntung dan tak berketrampilan, mereka tak enggan melakukan pekerjaan kasar demi
survive hidup di kota. Kondisi kurang beruntung yang dialami masyarakat urban telah menstimulasi terciptanya tenaga, usaha serta lahan pekerjaan kasar dan tak
layak. Mulai dari profesi buruh bangunan, pedagang asongan, pemulung sampai pengemis merupakan anak kandung dari fenomena masyakat urban yang kurang
beruntung dan terasingkan dari pekerjaan dan kehidupan yang layak di kota. Persamaan nasib yang dimiliki oleh sebagian masyarakat urban yang
kurang beruntung, justru telah mengikat mereka dalam kesatuan profesi sebagai pekerja kasar, tanpa memperhitungkan perbedaan latar belakang sosial yang
dimiliki. Situasi tersebut tergambar jelas dalam kehidupan komunitas pemulung di Kedaung. Latar belakang sosial yang berbeda tak menyurutkan mereka untuk
hidup berdampingan dan mencari rezeki dalam kesatauan profesi sebagai
komunitas pemulung. Meskipun di wilayah tersebut terdapat tiga lapak yang tiap lapak umumnya dihuni oleh mayoritas pemulung yang berlatar belakang daerah
dan budaya yang sama, namun mereka tak enggan menerima angota pemulung dari daerah dan budaya yang berlainan. Hal tersebut dituturkan oleh Edi
Sudewo:
68
“Karena saya sebagai ketua berasal dari Banyumas dan istri saya berasal dari Losari, para pemulung di sini umumnya juga berasal dari
Banyumas dan Losari. Namun, kita semua di sini tidak menutup diri bagi para pemulung yang berlainan daerah yang mau bergabung dengan kita.
Seperti Siti Fatimah yang berasal dari lampung dan Dadan dari Tangerang, kita terima dan kita tidak bedakan keberadaannya di sini. Dan sepertinya
juga begitu dengan lapak di sebelah dan lapak dibelakang itu
.”
Karena latar belakang daerah asal yang berbeda maka budaya yang dimiliki juga berbeda. Perbedaan latar belakang yang dimiliki oleh komunitas
pemulung telah menimbulkan keragaman budaya yang dimiliki oleh masing- masing individu. Para pemulung yang berada di wilayah ini berasal dari berbagai
suku bangsa seperti Jawa, Sunda, Madura, Lampung dan Medan. Keragaman tersebut juga memberikan pada perbedaan watak maupun sifat yang dimiliki oleh
tiap individu. Namun perbedaan tersebut tidak menyebabkan mereka mengisolasikan diri dalam pergaulan sehari-hari.
Meskipun telah hidup dalam kondisi multikultural, tetap saja setiap pemulung masih membawa cultural Baggage, yakni masih mengaplikasikan
sebagian adat dan kebudayaannya yang sudah mendarah daging. Seperti tradisi mistik dan kebatinan yang masih kental bagi mereka yang berasal dari Jawa; sikap
egaliter, rasional dan berwatak keras bagi mereka yang berasal dari Sumatra.
68
Wawancara pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang ,29 September 2007
Namun kondisi tersebut tidak menghalangi terciptanya kerukunan dalam kehidupan mereka.
Rasa tersingkan dari megahnya kehidupan kota dan kesamaan profesi sebagai pemulung merupakan faktor pemersatu diantara mereka. Persamaan nasib
dan keseragaman tujuan bukan hanya telah mengukuhkan ikatan primordial, namun telah berhasil melunturkan sifat-sifat etnosentris. Hal ini tampak dari
keakraban yang terjalin, dan dapat dilihat sikap saling tolong-menolong diantara pemulung di wilayah ini. Jika ada pemulung yang mendapat musibah secara
serentak mereka membantunya tanpa memperhitungkan dari mana pemulung itu berasal dan agama apa yang dipeluknya. Ketika ada yang sakit atau meninggal
dunia, mereka saling membantu dengan tenaga dan iuran yang dikumpulkan dari sumbangan para pemulung.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Misti: “…Para pemulung di sini bukan cuma baik, tapi juga kompak. Mereka bukan cuma nolong orang yang sakit
dan meninggal dunia saja. Waktu saya ketangkap polisi akibat mabuk, pemulung- pemulung di sini termasuk pemulung di lapak sebelah beramai-ramai
mengumpulkan uang untuk bantu biaya tebusan saya….”
69
Dalam hal goncangan atau konflik sangat jarang terjadi. Jika terjadi konflik hanya sebatas pada goncangan relasi antar individu dalam keluarga, dan
hal tersebut dapat segera diredam melalui peran ketua lapaknya sebagai mediator perdamaian bagi keduanya. Sedangkan untuk konflik lintas etnis ataupun
komunitas hampir tidak pernah terjadi. Sebaliknya suasana kerukunan dan
69
Wawancara Pribadi dengan Misti, Tangerang, 30 September 2007
kebersamaan tergambar jelas dalam pergaulan sehari-hari. Berkenaan dengan hal ini juga dituturkan oleh Wasni
70
: “…Pergaulan pemulung-pemulung di sini sangat baik, tampak dari sikap tolong menolong seperti dalam pembuatan gerobak bagi
pemulung baru. Untuk keributan antar kelompok, di sini tak pernah ada. Kalau pun ada keributan hanya terjadi pada suami-istri atau anak dan orang tua yang
cekcok. Itupun tidak berlangsung lama. Kalau pihak keluarga tidak bisa mengatasi, turunlah pak Edi sebagi ketua lapak untuk mendamaikannya”.
Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahawa solidaritas dalam komunitas pemulung tersebut terjalin sangat baik. Dengan bukti adanya hubungan
yang harmonis lintas etnis dan agama, yang nampak nyata dalam rasa saling memahami, tolong-menolong, dan pengertian antar sesama anggota komunitas
pemulung
C. PROFIL INFORMAN PENELITIAN