Inilah, sekelumit gambaran mengenai lokasi dan sejarah komunitas pemulung di wilayah Kedaung, peneliti berharap gambaran singkat tersebut dapat
membantu dalam mengetahui kondisi keberadaan mereka komunitas pemulung di wilayah tersebut
Sebagai uraian selanjutnya, di bawah ini penulis akan mendeskripsikan berbagai aspek kehidupan pada komunitas pemulung di wilayah tersebut.
1. Seputar Kehidupan Ekonomi
Fenomena urbanisasi merupakan konsekuensi logis dari pesatnya pembangunan di Ibu Kota. Masyarakat rural berbondong-bondong melakukan
migrasi ke Ibu Kota karena tergiur dengan kestrategisan wilayah tersebut yang menjanjikan perbaikan dalam bidang ekonomi. Namun, sebagian besar dari para
kaum urban tersebut tidak membekali diri dengan pendidikan dan skill yang memadai, yang sesungguhnya sangat dibutuhkan sebagai modal utama hidup di
ibu kota. Maka peran mereka di ibu kota hanya sebagai masyarakat marginal yang salah satu profesinya sebagai pemulung.
Bagi komunitas pemulung, “mulung” atau mencari barang bekas adalah tumpuan sektor mata pencaharian mereka. Dari mata pencaharian ini para
pemulung memenuhi kebutuhan nafkah jasmani keluarganya. Hal tersebut sama- sama dituturkan oleh informan Tasman dan Tamiri.
57
“…Mulung sudah menjadi kegiatan pekerjaan utama kita dalam mencari rezeki sehari-hari. Hasil mulung kita gunakan untuk menafkahi
anak dan istri. Kalau kita ‘ngga mulung sehari saja, berarti anak dan istri
57
Wawancara pribadi dengan Bapak Tasman dan Bapak Tamiri, Tangerang, 8 Oktober dan 28 September 2007
‘ngga makan hari itu. Hasil mulung cuma dari tangan ke mulut, maksudnya hasil hari ini juga akan habis untuk kebutuhan makan hari ini
juga.” Sementara berkenaan dengan faktor yang melatarbelakangi mereka
menjadi pemulung umumnya karena minimnya pendidikan dan skill yang mereka miliki. Sehingga mulung merupakan pekerjaan yang tepat bagi mereka, karena
tidak memerlukan keterampilan khusus dan modal yang besar seperti pekerjaan- pekerjaan lainnya yang ada di ibu kota ini. Seperti penuturan Solihin di bawah
ini.
“…
Saya datang ke Jakarta untuk mencari nafkah, ketika sampai di sini saya bingung mau kerja apa. Sebab saya cuma punya izasah SD dan
‘ngga punya keahlian apa-apa, sementara kebanyakan pekerjaan di Jakarta memerlukan tamatan sekolah yang tinggi. Akhirnya, mau ‘ngga mau jadi
pemulung, sebab mulung itu pekerjaan yang cuma memerlukan kerajinan dan bermodalkan karung dan ganco…”
58
Selain faktor tersebut, diantara mereka ada yang menjadikan pekerjaan
mulung ini sebagai pekerjaan sampingan atau sementara. Pekerjaan mulung dilakukan untuk mengisi kekosongan ketika pekerajaan utama tidak dapat
dilakukan. Seperti penuturan Trisno sebagai salah komunitas pemulung dari Banyumas yang telah tinggal sekitar empat tahunan, ketika ditanya tentang apa
mendorongnya jadi pemulung. Ia menuturkan, mulung baginya hanya pekerjaan sementara saja, yakni mengisi waktu menganggur, ketika tidak ada panggilan
sebagai pekerja buruh bangunan.
59
Hal yang tidak berbeda juga disampaikan oleh Timan. Namun, baginya pekerjaan mulung dilakukan saat musim paceklik di
58
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang 27 September 2007
59
Wawancara Pribadi dengan Bapak Trisno, Tangerang, 29 September 2007
kampung.
60
Sedangkan, faktor yanga melatarbelakangi para kaum wanita menjadi pemulung karena ingin membantu para suami dalam mencari nafkah.
Keuletan dan kerajinan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam setiap pekerjaan. Komunitas pemulung di daerah ini pun menanamkan sikap
demikian dalam melakoni pekerjaannya tersebut. Komunitas pemulung di daerah ini, rela untuk bangun lebih awal dan menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi
mencari barang-barang bekas sebagai tumpuan hidup dalam memenuhi nafkah. Berdasarkan wawancara mendalam, diantara mereka ada yang mulai berangkat
bekerja antara jam empat dan jam lima pagi, dan ada juga yang mulai bekerja dari jam tujuh dan jam delapan pagi. Hal tersebut, tergantung dari tempat yang
menjadi tujuan mereka dalam mencari barang bekas. Informan Tasman
61
menuturkan, ia biasanya mulai bangun sekitar jam tiga pagi dan mulai berangkat kerja pukul empat pagi, ketika ingin mencari barang di daerah BSD Bumi
Serpong Damai atau Pondok Labu. Namun, jika hanya berkeliling di daerah sekitar Ciputat dan Pamulang, ia berangkat kerja mulai jam tujuh pagi. Untuk
kepulangannya dalam bekerja adalah tidak tentu tergantung penghasilan yang mereka peroleh saat itu. Berbeda dengan Wasem, ibu paruh baya ini menuturkan,
ia bekerja mulai pukul delapan pagi setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan hanya berkeliling di daerah sekitar Kedaung dan pasar Ciputat.
Kemudian pulang pukul dua siang untuk kembali mengerjakan tugas rumah tangga.
62
60
Wawancara Pribadi dengan Bapak Timan, Tangerang, 27 September 2007
61
Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman , Tangerang, 8 Oktober 2007
62
Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem , Tangerang, 30 September 2007
Sebagian besar masyarakat memandang bahwa plastik, kertas, kardus, kaleng, dan paku karat merupakan barang tak memiliki nilai berharga. Namun,
dalam persfektif komunitas pemulung barang-barang bekas tersebut merupakan perantara penting bagi penyelamat perut dari kondisi lapar. Maka aktivitas
mengumpulkan barang bekas adalah urat hidupnya dalam sektor ekonomi. Barang-barang bekas yang mereka kumpulkan kemudian dijual kepada ketua
lapak yang bertindak sebagai agen dalam komunitas pemulung tersebut. Untuk gelas atau kemasan plastik dihargai sebesar Rp. 4500kg, Rp. 500 kg untuk koran
bekas, Rp.600 kg untuk kardus, dan RP.50kg-nya untuk beling, Rp. 1200kg untuk paku, Rp. 60.000kg untuk kabel; serta Rp. 3000kg untuk besi. Namun,
biasanya para pemulung wanita menjual barang bekas tersebut secara campur yang oleh agen dihargai Rp.1500 kg.
63
Khusus untuk penghuni lapak Brebes, mereka tidak mencari barang bekas dengan cara memulung berkeliling tempat, tetapi mereka hanya bertindak sebagai
agen penjualan barang bekas. Ketua lapak memberikan modal kepada para anak buahnya untuk membeli barang-barang bekas yang dijual oleh kantor-kantor atau
toko-toko dengan cara memborongnya dalam jumlah besar. Umumnya barang- barang bekas yang banyak ditemui di lapak ini adalah aneka kertas, perabot rumah
tangga, dan kabel. Berkenaan dengan penghasilan yang didapatkan dari mulung, para
informan menuturkan, penghasilan mereka setiap hari tidak menentu tergantung dengan barang- barang bekas yang mereka dapatkan hari itu. Bagi para pemulung
63
. Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
laki-laki, penghasilan yang mereka dapatkan dalam tiap harinya berkisar antara Rp.10.000-Rp.30.000, sedangkan para pemulung perempuan mendapatkan
penghasilan antara Rp. 5.000-Rp. 15.000 dalam tiap harinya. Deskripsi mengenai seputar kehidupan ekonomi pemulung di wilayah ini,
hampir sama seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septiarti yang dikutip dari pendapat Rodger. Ia mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan
ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan memperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain tergolong sebagai unskilled labor.
Akibatnya perolehan penghasilan mereka menjadi minim dan tidak tetap sama sekali serta tidak mempunyai jaminan sosial.
64
Itulah deskripsi mengenai seputar kehidupan perekonomian komunitas pemulung di wilayah tersebut, yang memang tergambar dalam realita keseharian
hidup mereka. Kemudian, untuk kondisi pendidikan komunitas pemulung di wilayah ini akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
2. Pendidikan