Agama Dalam Persfektif Sosiologis

BAB II KAJIAN TEORI .

A. Agama Persfektif Sosiologis

Tak dapat disangkal bahwa di dalam setiap individu terdapat benih kepercayaan terhadap sesuatu yang berporos pada yang sakral. Maka beragama hanya dimiliki oleh manusia. Karena manusia meyakini bahwa agama sanggup menghadirkan Yang Sakral atau Tuhan Yang Maha Suci. Pada tataran ini tak dapat dipungkiri bahwa agama telah menjadi bagian integral dalam kebutuhan manusia. Robert Nurtin mengatakan bahwa agama adalah salah satu kebutuhan manusia, individu yang beragama berarti telah memenuhi kebutuhannya, sehingga puas, tentram dan aman. Individu yang demikian adalah individu yang sehat. 10

1. Agama Dalam Persfektif Sosiologis

Bagi banyak sarjana sosiologi penjelasan yang bagaimanapun tentang agama yang ditersedia saat ini masih dirasakan belum memuaskan. Hingga kini hal tersebut masih menjadi agenda besar bagi para pemikir sosial-keagamaan Sebab penjelasan dan definisi yang tersedia dirasakan hanya bersifat dogmatis, belum memuat manusia sebagai penganut, pelaku, dan pendukung agama. Dalam konteks ini, perhatian yang berkenaan dengan kehidupan keberagamaan, baik secara individual maupun kelompok atau masyarakat tidak nampak tercakup di dalamnya Berdasarkan sudut pandang bahasa, “agama” berasal dari bahasa sansekerta, “a” yang berarti “tidak” dan “gama”yang berarti kacau. Hal ini mengacu pada sebuah pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. 11 Kata Agama Dalam bahasa Inggris disamakan dengan kata religion, sedangkan dalam bahasa Belanda disamakan dengan kata religie. Keduanya berasal dari bahasa Latin religio, dari akar kata religure yang berarti mengikat. 12 Menurut Pasurdi Suparlan, agama adalah seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam gaib khususnya dengan Tuhannya , mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya. 13 Sedangkan J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dimana 10 Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, Yogyakarta:Kanisius,1993, h.253 11 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 . h.13 12 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.13 13 Rolan Robrtson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT. Rajawali Press,1998, h.V suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah dalam hidup. 14 Adapun agama dalam pengertian sosiologi dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ini berkaitan dengan pengalaman manusia, sebagai individu maupun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang dibesarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. 15 Agama menurut aliran fungsionalisme merupakan suatu bentuk tindakan manusia yang dilembagakan, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku penganutnya baik lahiriah maupun batiniah. Dalam pandangan ini, agama dilihat sebagai satu institusi yang mengemban tugas agar masyarakat berfungsi dengan benar, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, nasional, dan mondial. Sehingga eksistensi dan fungsi agama diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kondisi ekuilibrium dalam masyarakat. Dalam persfektif interksionisme simbolik, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan, sistem makna, yang muncul dan terwujud dalam tindakan- tindakan kehidupan sosial melalui interaksi-interaksi, yang responsif terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya. Sistem keyakinan tersebut menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai dalam masyarakat yang terwujud dalam simbol-simbol suci yang maknanya bersumber dari ajaran- ajaran agama yang menjadi kerangka dasar acuannya. Dalam keadaan demikian maka secara langsung atau tidak langsung dijadikan pedoman dari eksistensi dan aktivitas berbagai pranata yang ada dalam masyarakat. 16 Agama dalam pendekatan evolusi dinyatakan bahwa suatu kondisi dimana meningkatnya diferensiasi atau kompleksifitas suatu agama. Dalam hal ini bukan manusia yang beragama, dan juga bukan struktur situasi keberagamaan akhir dari manusia yang berevolusi, melainkan agama sebagai sistem simbol yang berevolusi. Sehingga melahirkan suatu kondisi yang kompleks dan terdeferensiasi. 17 Sedangkan, menurut teori konflik, agama dipandang sebagai pemecah belah. Karena agama sering mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu-individu. Isu-su keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap anti toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan lainnya. 18 14 Robert W. Crpps, Dialog Psikologi Agama Sejak William James hingga Gordin. W. Allport, Yogyakarta:1993 , h. 17 15 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 53 16 Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, h.VII 17 Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiaologis, h. 305 18 Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 , h. 61 Bagi Elizabeth K. Nothingham, Agama merupakan unsur yang abstrak dan trasenden yang hanya bisa dirasakan oleh masyarakat pemeluknya. Namun, dapat dilihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan atau pun berupa ritus-ritus yang dijalankan masyarakat sebagai pemeluknya. Adapun fungsi agama menurut Elisabeth K. Nothingham adalah sebagai berikut: 19 a. Agama memelihara masyarakat dengan membantu menciptakan sistem- sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh serta memberikan kekuatan memaksa yang mendukung, serta memperkuat adat istiadat. b. Agama mengkoordinasikan banyak nilai yang bermacam-macam yang tampak tidak bertalian dan tidak berarti menjadi sistem-sistem yang terpadu. c. Sebagai sesuatu yang sakral, agama memiliki kekuatan memaksa dalam mengatur tingkah laku manusia serta kekuatan yang mengukuhkan nilai- nilai moral kelompok pemeluk.

2. Keberagamaan dan Dimensi-Dimensinya