Konvensi Washington 1965 Analisis Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Bisnis Internasional

Dua alasan lainnya terdapat di Pasal V ayat 2 huruf b ini, yaitu tentang penolakan apabila pejabat yang berwenang di negara dimana pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut menemukan : 124 a. Materi yang dipersengketakan tidak dapat dilaksanakan oleh arbitrase menurut hukum negara tempat arbitrase berlangsung; atau b. Pengakuan dan pelaksanaan putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum public policy negara tersebut.

4. Konvensi Washington 1965

Salah satu instrumen arbitrase internasional penting adalah Konvensi Washington 1965, 125 yang berjudul lengkap The Convention on the Settlement of International Investment Disputes between States and Nationals of Other Status of 1965 Konvensi Penyelesaian Perselisihan Investasi Internasional antar Negara dengan warga negara lain tahun 1965. Konvensi ini dirumuskan oleh Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Bank Dunia yang diterima oleh negara-negara anggota Bank Dunia pada tanggal 18 Maret 1965 dan mulai berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966. Konvensi Washington ini melahirkan lembaga internasional untuk penyelesaian perselisihan investasi yang juga dikenal dengan International Center for Settlement of Investment Disputes ICSID. 124 Huala Adolf., Loc. cit, Cet. Pertama, 2007, hal. 96. 125 Broches Aron., Arbitration Under the ICSID Convention, dalam Pryles, Michael, Waincymer, Jeff and Davies, Martin ed, International Trade Law Commentary and Materials, LBC Information Service, 1996, hal. 664-672, lihat juga, Mo John, 1997, hal. 552. Universitas Sumatera Utara Konvensi Washington 1965 menegaskan yurisdiksi ICSID sebagai berikut; Pertama; ICSID berwenang menyelesaikan perselisihan yang berhubungan dengan investasi, baik langsung maupun fortofolio, termasuk investasi melalui kesepakatan perizinan, namun tidak berhak menyelesaikan perselisihan yang timbul dari hubungan komersial lainnya, Kedua, ICSID hanya boleh berurusan dengan perselisihan yang timbul antara pejabat atau lembaga pemerintahan dengan warga negara dari pihak pembuat kontrak. Lembaga arbitrase ICSID merupakan salah satu badan arbitrase pemerintah bukan swasta 126 yang ditandatangani oleh anggota Bank Dunia di Washington DC tanggal 18 Maret 1965 . Badan ini menyediakan jasa mendamaikan dan arbitrase bagi negara-negara pembuat perjanjian dan warga negara mereka yang terlibat sengketa. ICSID berkedudukan di Kantor Bank Dunia Washington DC. Ide pokok didirikannya ICSID ini adalah bagi negara-negara berkembang yang ingin menarik investor asing swasta akan setuju untuk menyerahkan perselisihan investasi kepada sebuah Mahkamah, sementara pemerintah dari negara investor asing akan setuju menahan diri dari apa yang disebut perlindungan diplomatik. 127 ICSID hanya berurusan dengan perselisihan yang timbul langsung dari suatu investasi antara negara atau lembaga negara pembuat kontrak dengan warga negara dari pihak pembuat kontrak lainnya. 128 126 Australia telah menandatangani konvensi ini namun belum mensahkannya, sementara Indonesia, Malaysia dan Singapura telah menandatangani dan mengesahkan konvensi ini. 127 Reisman W. Michael., The Breakdown of the Control Mechanism in ICSID Arbitration”, Duke Law Journal, September, 1989, No. 4, hal. 750. 128 Delaume, Georges R, Journal of International Arbitration, ICSID Arbitration: Prectical Cosideration, 1984, Vol. 1, hal. 101. Universitas Sumatera Utara Perlindungan yang paling kuat adalah menggabungkan Pasal 42 Konvensi ICSID, Internasionalisasi kontrak, dan bersandar pada teknik lex consensual. Pasal 42 Konvensi ICSID memberi wewenang kepada Mahkamah Arbitrase untuk mengambil keputusan yang sesui dengan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat disetujui oleh para pihak. Apabila kesepakatan seperti itu tidak ada, Mahkamah Arbitrase akan menerapkan hukum negara tuan rumah, serta peraturan-peraturan hukum Internasional yang mungkin dapat diberlakukan. 129 Konvensi Washington 1965 dirancang untuk menangani masalah-masalah sulit yang timbul dari perselisihan investasi antara satu negara berdaulat dengan penanam modal asing yang menanamkan modal di negara tersebut. Kendati konvensi ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan para penanam modal dan negara tuan rumah, dan juga antar negara berkembang dan negara maju, namun konvensi ini juga dimaksudkan untuk menyediakan jalan keluar yang efektif bagi penanam modal perseorangan terhadap putusan atau aktifitas komersial suatu negara berdaulat dalam bidang investasi asing. Konvensi Washington 1965 telah diratifikasinya oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tersebut. Adapun yang menjadi dasarnya ialah agar tidak ada alasan lagi bagi investor meminta jaminan yang lebih dari negara penerima modal host country, karena tindakan pemerintah Indonesia terhadap para investor tidak perlu dikhawatirkan lagi. 129 Maqdir Ismail, Pengantar Praktek Arbitrase di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Australia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2007, hal. 14. Universitas Sumatera Utara Seperti pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menasionalisasi perusahaan tembakau Belanda, yang berakhir dengan kemenangan Republik Indonesia karena digugat melalui pengadilan asing yang tidak memiliki kewenangan untuk menggugat sebuah negara berdaulat yaitu Pengadilan Negeri Bremen Jerman Barat. Tindakan pemerintah Indonesia saat itu dibenarkan oleh hukum internasional, karena hukum internasional menganggap bahwa selama tindakan negara berdaulat act of States dilakukan di wilayahnya sendiri dianggap merupakan tindakan yang sah dan tidak melanggar hukum internasional. Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 ini berisi 5 pasal. Pasal 2 menyatakan bahwa sesuatu perselisihan mengenai penanaman modal antara Republik Indonesia dengan warga negara asing diputuskan menurut konvensi ICSID dan mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak substitusi. Kemudian dalam pasal 3 disebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase ICSID di wilayah Indonesia, maka diperlukan pernyataan Mahkamah Agung untuk melaksanakannya.

5. Konvensi Hague