komersial yang dibuat berdasarkan perjanjian Internasional.
82
Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat resiko Indonesia di pasar modal
Internasional dan atas arus modal langsung.
83
2. Kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing
Terhadap timbulnya suatu sengketa transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional
melalui litigasi pengadilan, akan tetapi dampak kegiatan bisnis yang sangat pesat terhadap lembaga hukum berakibat terhadap pengadilan, dimana pengadilan dianggap
tidak profesional dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.
84
Akibatnya para investor dalam menyelesaikan sengketa bisnisnya memilih jalan lain yakni melalui penyelesaian sengketa arbitrase. Banyak faktor yang mendorong para
pelaku transaksi bisnis Internasional memilih arbitrase, di antaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding dan karenanya cenderung siap untuk
dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai national character.
85
Alasan tersebut di atas, selalu menjadi pertimbangan pihak asing melakukan transaksi bisnis di
Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah kepada aspek kepastian hukum, dan
82
Hikmahanto Juwana., ”Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007, diakses dari http:www.seputar-indonesia.comedisicetakopinikepastian-hukum-2html, diakses terakhir tanggal
25 September 2008.
83
Ibid.
84
United Kingdom Report, Departement of Trade and Industry, London: 1996, hal. 3.
85
Erman Suparman., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta: Tatanusa, 2004, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi penyempitan nasionalisme.
3. Kepastian hukum dalam kepailitan
Salah satu bidang hukum yang terkait dengan bisnis Internasional adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan mejadi salah satu faktor pertimbangan bagi para
investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Secara konvensional hukum kepailitan lebih banyak dibicarakan dalam konteks hukum nasional. Namun dengan
adanya transaksi bisnis Internasional, kepastian hukum dalam hukum kepailitan menjadi perhatian masyarakat bisnis Internasional dan dapat mempengaruhi iklim
investasi suatu negara.
86
Ketidakpastian Hukum dalam perkara PT. Prudential Life Assurance, dalam menghadapi gugatan dan permohonan pailit yang diajukan Lee Bon Siong warga
negara Malaysia yang berbuntut dengan pailitnya perusahaan yang tergolong top five tersebut di Indonesia. Namun, kepailitan Prudential tidak berlangsung lama karena
Mahkamah Agung, tidak sampai 30 hari membatalkan putusan pengadilan niaga.
87
Berdasarkan perkara tersebut di atas, dapat dipahami bahwa hukum kepailitan di Indonesia tidak jelas mengatur tentang konsep insolvensi dan tidak mengenal
konsep insolvensi test, sehingga sulit dibedakan peristiwa berhenti membayar karena tidak mampu membayar. Peristiwa pertama mengarah kepada terjadinya keadaan
86
Jurnal Hukum Bisnis, Loc. cit, hal. 64.
87
“Sepuluh Perkara Litigasi Komersil Paling Menghebohkan 2004”, Sumber, http:www.hukumonline.com, diakses terakhir tanggal 23 September 2008.
Universitas Sumatera Utara
pailit sedangkan peristiwa kedua lebih mengarah kepada perbuatan cidera janji yang
semestinya diselesaikan melalui gugatan perdata biasa. G.
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebagai Alternatif
Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat.
Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Oleh
karena hal tersebut, diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution yang tidak membuat masyarakat tergantung pada
dunia hukum peradilan yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah.
Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun
muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” lost- lost atau “menang-kalah” win-lost
88
. Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau patuh pada hukum ataupun
yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak
mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya
88
Teguh Soedarsono., Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi Makalah mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam
Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006.
Universitas Sumatera Utara
adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” win-win antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan
lebih menyembuhkan healing terkait para pihak yang terlibat khususnya korban, serta lebih resolutif sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan
sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”. Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang
kehilangan muka atau elegant solution
89
. Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan
lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions
selanjutnya disebut dengan ADR. Bagian dari Alternative Dispute Resolution ADR atau disebut juga dengan
Penyelesaian Sengketa Alternatif dan penerapan ADR di antaranya adalah mediasi, konsiliasi, negosiasi, telah berkembang lama. Misalnya, di Jepang pada zaman
Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi chotei sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dibentuk Undang-Undang Konsiliasi Perdata atau “Minji
Chotei Ho” pada tahun 1951.
90
Negara Cina dan Jepang sudah lama mengenal mediasi yang juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina yang
89
Mas Achmad Santosa, Wiwiek Awiati., ”Alternative Dispute Resolution Negosiasi Mediasi”, Naskah Presentasi, ICEL, Jakarta: tanpa penerbit dan tanpa tahun, hal. 5.
90
Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, Tokyo: University of Tokyo Press, 1988, hal. 492.
Universitas Sumatera Utara
tidak suka pada lembaga Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Pada saat itu sengketa-sengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Pengalaman Jepang
setelah Tokugawa, tepatnya pada era Restorasi Meiji tahun 1868 Jepang telah berhubungan dengan dunia Barat, dimana orang-orang Jepang berangkat untuk
belajar, misalnya ke Jerman mempelajari perdagangan maritim. Tahun 1895 Jepang menjadi negara Modern dan telah menganut sistem hukum modern.
91
Namun, pada saat sekarang ini Jepang dihadapkan dengan gelombang globalisasi, yang merupakan
gelombang ketiga reformasi hukum secara besar-besaran setelah modernisasi Meiji. Globalisasi ekonomi Jepang membuat ”sistem” tradisional menjadi besar dan juga
kini membutuhkan sistem baru yang menunjukkan standar global. Aktivitas perdagangan dan bisnis Jepang, baik di dalam dan luar Jepang, telah membuat makin
banyak sengketa perdagangan dalam lingkup cross-border. Oleh karena itu, metode penyelesaian sengketa dalam perdagangan harus dikaji sesuai dengan standar
global.
92
Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultur konsiliatori conciliatory
culture, dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang
91
Dan Fenno Henderson., Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, Tokyo: University of Tokyo Press, 1965, hal. 47.
92
Yasunobu Sato., “The Japanese Model of Dispute Processing”, Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” 19-20 November
2001, Bangkok, hal. 152.
Universitas Sumatera Utara
menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi.
93
Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda oleh setiap kultur dan
arbitrase tidak dapat ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural.
94
Penerapan ADR di Amerika Serikat yang pada umumnya merujuk kepada alternatif-alternatif adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti negosiasi, mediasi,
arbitrase, mini-trial dan summary jury trial,
95
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam
bidang hukum dan masyarakat akademis mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari litigasi. Legislasi yang dilaksanakan pada
tahun 1960 telah menjamin berbagai perlindungan individu dari hak-hak konsumen sampai hak sipil. Namun, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak tersebut melalui
sistem hukum sudah menjadi beban yang rumit. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif terhadap ajudikasi pengadilan atas konflik, seperti court coungestion, biaya
hukum yang tinggi dan waktu menunggu di pengadilan telah menjadi cara hidup bagi
93
Miwa Yamada, “A Perspective On Comparative Study of DisputeSettlement Institutions and Sicioeconomic Development,” Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and
Socio-Economic Changes in Asia II,”hal. 19-20.
94
Ibid, hal. 156.
95
Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
orang Amerika yang mengupayakan keadilan baik secara sukarela voluntarily maupun tidak sukarela involuntarily.
96
Berdasarkan latar belakang munculnya ADR, baik di Amerika yang didasarkan atas ketidakpuasan dissatisfaction masyarakat pada administrasi
pengadilan, maupun di negara-negara Asia Timur yang didasarkan pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia yang juga
mempunyai kultur yang mendukung ADR tersebut. Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang.
Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999
97
menyebutkan, bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
H. Arbitrase Sebagai Pilihan yang Paling Populer
Berbagai macam bentuk penyelesaian sengketa baik melalui proses litigasi pengadilan, mediasi, negosiasi, maupun konsiliasi tentu mempunyai kelebihan dan
kekurangan dalam hal pelaksanaannya, baik pengambilan keputusannya maupun pelaksanaan keputusannya. Dari semua proses penyelesaian sengketa transaksi bisnis
internasional diatas ternyata forum arbitrase dipandang sebagai forum yang paling
96
Ibid, hal. 4.
97
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Universitas Sumatera Utara
diminati dan disukai oleh para pihak yang bersengketa. Forum arbitrase ini merupakan ”pengadilan pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa diantara kalangan pengusaha dan sesuai kebutuhan atau keinginan mereka. Hal ini dikarenakan arbitrase memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan
sistem peradilan formal di pengadilan.
1. Kelebihan arbitrase