Seperti pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menasionalisasi perusahaan tembakau Belanda, yang berakhir dengan kemenangan Republik
Indonesia karena digugat melalui pengadilan asing yang tidak memiliki kewenangan untuk menggugat sebuah negara berdaulat yaitu Pengadilan Negeri Bremen Jerman
Barat. Tindakan pemerintah Indonesia saat itu dibenarkan oleh hukum internasional, karena hukum internasional menganggap bahwa selama tindakan negara berdaulat
act of States dilakukan di wilayahnya sendiri dianggap merupakan tindakan yang sah dan tidak melanggar hukum internasional.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1968
ini berisi 5 pasal. Pasal 2 menyatakan bahwa sesuatu perselisihan mengenai penanaman modal antara Republik Indonesia
dengan warga negara asing diputuskan menurut konvensi ICSID dan mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak substitusi. Kemudian
dalam pasal 3 disebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase ICSID di wilayah Indonesia, maka diperlukan pernyataan Mahkamah Agung untuk
melaksanakannya.
5. Konvensi Hague
Konvensi ini sebenarnya bukanlah konvensi mengenai arbitrase komersial internasional, tetapi penting untuk dikemukakan secara singkat karena pada beberapa
konvensi Hague yang pernah dilakukan telah menyumbangkan proses perkembangan arbitrase. Konvensi Hague juga memiliki arti penting historik dalam pembentukan
dasar dan struktur modern arbitrase internasional, terutama dalam mendorong upaya kerjasama internasional untuk menyusun peraturan arbitrase. Hal ini diakui oleh
Universitas Sumatera Utara
Komisi Hukum Internasional pada tahun 1949, saat ketua komisi tersebut mengomentari bahwa masalah prosedur arbitrase ditangani secara cukup di dalam
Konvensi Hague. Sejak itu ketentuan-ketentuan konvensi tentang prosedur arbitrase telah berlaku secara luas. Namun Pengadilan Permanen Arbitrase di Hague didirikan
tahun 1899 jarang digunakan karena tersedia banyak fasilitas arbitrase lain modern dan fleksibel. Konvensi Hague berawal dari diselenggarakannya Konferensi Den
Haag tahun 1899 dan tahun 1907 atau The Hague Peace Confence Konferensi Perdamaian Den Haag. Konferensi perdamaian ini menghasilkan the Hague Peace
Confence Konferensi Perdamaian Den Haag. Konferensi perdamain ini menghasilkan the Conventoan of the Pacific Settlement of International Disputes
tahun 1907.
130
Negara-negara peserta konferensi adalah negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Konvensi ini memiliki dua arti penting yaitu:
131
1. Konferensi memberikan sumbangan penting bagi hukum perang sekarang hukum
humaniter Internasional; dan 2.
Konferensi memberikan sumbangan penting bagi aturan-aturan penyelesaian sengketa secara damai antar negara.
Dalam Konvensi Den Haag ini, mengenai penyelesaian sengketa internasional, para negara anggota berupaya maksimal untuk menyelesaikan sengketa
Internasional secara damai. Untuk itu, sepanjang keadaan masih mengizinkan atau
130
Huala Adolf., Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet. Pertama 2004 Bandung: Sinar Grafika, 2004, hal. 8.
131
Ibid, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
memungkinkan, para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mereka kepada jasa-jasa baik, mediasi atau komisi penyidik untuk menyelesaikan sengketa mereka
secara diplomatik. Apabila cara diplomatik ini gagal, maka penyerahan sengketa kepada arbitrase
baru diperkenankan. Berdasarkan Pasal 38 Konvensi Den Haag 1907, penyerahan sengketa kepada arbitrase sifatnya tidak memaksa karena penyerahan kepada badan
ini baru akan dilakukan apabila keadaannya memungkinkan. Negara Indonesia belum meratifikasi konvensi ini.
132
6. Konvensi Den Haag 2005