memungkinkan, para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa mereka kepada jasa-jasa baik, mediasi atau komisi penyidik untuk menyelesaikan sengketa mereka
secara diplomatik. Apabila cara diplomatik ini gagal, maka penyerahan sengketa kepada arbitrase
baru diperkenankan. Berdasarkan Pasal 38 Konvensi Den Haag 1907, penyerahan sengketa kepada arbitrase sifatnya tidak memaksa karena penyerahan kepada badan
ini baru akan dilakukan apabila keadaannya memungkinkan. Negara Indonesia belum meratifikasi konvensi ini.
132
6. Konvensi Den Haag 2005
Salah satu perjanjian Internasional mengenai pilihan forum penyelesain sengketa Internasional adalah Konvensi Den Haag 2005 dengan kata lain the Hague
Convention on Choice of Court Agreement. Sesuai dengan nama tempat Konvensi ditandatangani tanggal 30 Juni 2005 berdasarkan atas inisiatif dan hasil kerja lembaga
the Hague Conference on Private Internatinal Law.
133
Dilihat dari substansinya dan sisi historisnya pengaturan mengenai pengakuan putusan pengadilan asing, maka tampaknya muatan konvensi yang baik ini sulit juga
untuk dapat diterapkan. Dibutuhkan dua ratifikasi agar konvensi dapat berlaku. Meskipun tampaknya angka ini kecil, namun esensinya adalah sulit dalam
penerapannya.
134
Masalah atau pertimbangan utamanya adalah kedaulatan suatu negara, yakni kedaulatan yang direfleksikan ke dalam yurisdiksi negara, mencakup di
132
Ibid.
133
Huala Adolf., Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Loc. cit, hal. 99.
134
Ibid, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
dalamnya yurisdiksi pengadilannya. Sangat sulit bagi suatu negara untuk menggantungkan yurisdiksinya dengan harga yang harus dibayar yakni berupa
pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan arbitrase asing. Kendala yang mengganjal bagi Indonesia adalah unsur kedaulatan negara. Hal
ini dapat dilihat pada setiap kepala putusan pengadilan harus menyebutkan, ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, masalah lainnya adalah konvensi
tersebut akan mendapat resistensi dari negara-negara yang sedang berkembang, masalah lainnya juga bahwa Indonesia, masih tetap menganut ketentuan hukum lama,
bahwa putusan pengadilan yang dibuat di luar negeri tidak akan pernah dilaksanakan di tanah air.
135
Sampai saat ini negara Indonesia belum menjadi anggota the Hague Conference.
F. Peraturan Hukum Peninggalan Kolonial
Peraturan hukum yang berkenaan dengan transaksi bisnis Internasional bagi negara Indonesia merujuk kepada Het Herziene Indonesich Reglement HIR,
Rechtsreglement Buitengewesten Rbg, Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering Rv, dan Kitab Undang-Undnag Hukum Perdata KUH Perdata. Landasan hukum Indonesia berdasarkan hukum peninggalan Belanda yang
masih berlaku sekarang tentang arbitrase dalam Het Herziene Indonesich Reglement
135
Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya
sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa
”...keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.”
Universitas Sumatera Utara
HIR, Rechtsreglement Buitengewesten Rbg, Rechtverordering Rv
136
, dimana landasan hukum tersebut terdapat pada Pasal 317 HIR yang berbunyi, ”Jika orang
Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan yang mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bangsa Eropa”. Berdasarkan pasal tersebut, maka penulis memberikan batasan-batasannya
bahwa: 1.
Menyelesaikan sengketa melalui ”juru pisah” atau dikenal dengan lembaga arbitrase;
2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk
”keputusan”; dan 3.
Para pihak arbiter ”wajib” tunduk menurut peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.
Dalam Pasal 118 ayat 1 HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal woonplaats atau jika tidak
diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada werkelijk verbliff. Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah
suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal.
Yurisdiksi menurut Sudargo Gautama, merupakan ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dalam Pasal 118 ayat 3
136
M. Yahya Harahap., Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
HIR.
137
Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri
ditempat penggugat Forum Actoris. Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak benda tetap, gugatan diajukan kepada pengadilan
negeri dimana benda tetap itu terletak Forum Rei Sitae. Pasal 118 ayat 4 HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika
terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih tersebut Chice of Forum.
Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering Rv
138
mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar Indonesia
sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana
seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan
kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim.
139
Landasan Rv terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat dengan Rv. S 1847-52 jo 1849-63. hal
137
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II Buku 8, Alumni, Bandung, 1979. hal. 210.
138
Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah
tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan RV dapat dijadikan sebagai
pedoman.
139
Sudargo Gautama, Loc. cit, hal. 211.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dapat dibaca dalam kalimat, ”wajib menurut peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Penunjukan pada pasal-pasal Rv pada prinsipnya
adalah untuk mengisi kekosongan hukum tentang aturan arbitrase, karena pada HIR dan Rbg tidak membuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Sebagai pedoman aturan
umum arbitrase yang wajib ditaati golongan Bumiputra, Timur Asing, dan Eropa yang diatur dalam buku ketiga Reglement Acara Perdata, terbagi atas lima bagian
pokok yaitu:
140
1. Bagian Pertama Pasal 615-Pasal 623 mengenai, persetujuan arbitrase dan
pengangkatan arbitrator atau arbiter; 2.
Bagian Kedua Pasal 631-Pasal 640 mengenai, putusan arbitrase; 3.
Bagian Ketiga Pasal 631-Pasal 640 mengenai, upaya-upaya terhadap keputusan arbitrase; dan
4. Bagian Kelima Pasal 648-Pasal 651 mengenai, berakhirnya acara-acara
arbitrase. Reglemen Acara Perdata yang dibuat tahun 1849, mungkin sudah memenuhi
kebutuhan praktek pada jamannya. Namun belum dapat menjangkau permasalahan arbitrase untuk saat ini yang semakin komplek seperti arbitrase yang diputus di luar
negeri, karena dalam Reglemen Acara Perdata belum mengatur tentang pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing. Padahal, masalah putusan arbitrase asing pada
saat sekarang merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari terutama dalam era
140
Ibid, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
globalisasi dan interdepensi kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan penanaman modal asing maupun dalam lalulintas perdagangan dunia.
KUH Perdata masih tetap berlaku sebagai Peraturan hukum yang berkenaan dengan transaksi bisnis hingga saat ini, dan yang menjadi dasar masih berlakunya
KUH Perdata ini adalah merujuk kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi : ”Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. KUH Perdata pada Buku Ke III tiga mengatur tentang perikatan
verbintenis. Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Berdasarkan definisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam UU
No. 30 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa :
141
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam sauatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa, atau 2.
Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para piha setelah timbul sengketa.
Menurut penulis, sebagai salah satu bentuk perjanjian, baik dalam bentuk kláusula arbritrase atau perjanjian arbitrase tersendiri, sah tidaknya suatu perikatan
tergantung pada syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan syarat pokok sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat, yakni :
141
Gunawan Widjaja, Loc.cit, hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
1. Sepakat;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu; dan
4. Suatu sebab yang halal.
Para pihak umumnya sepakat untuk melaksanakan suatu perikatan yang mereka janjikan. Perikatan tersebut umumnya berupa melaksanakan sesuatu dan
memberikan sesuatu atas suatu prestasi perbuatan yang mereka janjikan. Perikatan tersebut umumnya dilakukan oleh para pihak yang berakal dan dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Prestasi tersebut merupakan suatu hal yang diperjanjikan dalam suatu kontrakperikatan yang telah disepakati oleh
para pihak, tentunya prestasi perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan nilai- nilai serta kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
yang telah ditetapkan. Perikatan ini menghasilkan hak dan kewajiban para pihak yang timbul dalam setiap perbuatannya atas suatu prestasi yang mereka perjanjikan dan
disepakati. Terhadap hal tersebut diatas setiap perikatan yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut erat kaitannya dengan timbulnya suatu hal yang mungkin saja terjadi
akibat dari suatu kealpaan kesalahan atau kelalaian dari salah satu pihak. Istilah tersebut kita kenal dengan perbuatan melawan hukum onrechtmatig daad. Hak-hak
dan kewajian para pihak dalam perikatan tersebut di atas dapat kita lihat juga dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata seperti Pasal 1320, 1330, 1338, 1339, 1340 dan
1353 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
G. Peraturan Hukum Setelah Indonesia Merdeka
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif