menentukan bentuk dan jenis PMA yang bagaimana yang dapat disetujui dan diselesaikan perselisihannya melalui forum arbitrase ICSID.
Kewenangan yang demikian perlu dimiliki pemerintah Republik Indonesia, demi untuk menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI
dan tidak dapat dipaksa oleh pihak manapun termasuk penanam modal asing dalam menyelesaiakn setiap perselisihan sengketa PMA ke lembaga ICSID, inilah yang
menjadi pedoman bagi pelaksanaan PMA di Indonesia, agar semuanya dapat berjalan dengan transparan.
3. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award Konvensi New York 1958
Peraturan lain yang menjadi kekuatan hukum dalam arbitrase asing di Indonesia adalah Keputusan Presiden Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Dimana
dalam Keppres ini Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award Konvensi New York 1958. Prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam isi Keppres Nomor 34 Tahun
1981 tersebut adalah:
147
1 Pengakuan atau recognition atas putusan arbitrase asing, putusan arbitrase asing
dengan sendirinya memiliki daya self execution di negara Indonesia; dan 2
Namun demikian, sifat self execution yang terkandung dalam putusan arbitrase asing didasarkan atas asas ”resiprositas” atau ”reciprocity”, yang berarti
147
M. Yahya Harahap., Ibid, hal 18-19.
Universitas Sumatera Utara
penerapan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dalam suatu negara yang bersangkutan telah lebih dahulu mengikat hubungan bilateral
dan multilateral. Keppres Nomor 34 Tahun 1968 bertujuan untuk memasukkan Konvensi New
York 1958 ke dalam tata hukum intern Indonesia, dengan adanya Konvensi New York 1958 tersebut, diharapkan setiap warga negara supaya dapat mengakui
recognition dan melaksanakan enforcement setiap putusan yang dijatuhkan di luar negeri.
Jika dihubungkan dengan masalah pengakuan dan eksekusi recognition and enforcement putusan arbitrase asing terdapat perbedaan antara Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1968 dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981, jika dilihat dari segi jangkauannya. Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, recognition and
enforcement yang diatur di dalamnya, baru meliputi putusan arbitrase yang dijatuhkan ICSID, sepanjang mengenai perselisihan yang menyangkut PMA atau joint venture.
Lain halnya dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981, yaitu pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, pada prinsipnya meliputi segala
putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah hukum negara Republik Indonesia, artinya kesediaan negara Indonesia mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase
asing.
148
Sejak diberlakukannya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tersebut, negara Indonesia telah mengikat diri dengan kewajiban hukum, untuk mengakui dan
148
Huala Adolf., Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Loc. cit, hal. 98-99.
Universitas Sumatera Utara
mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing. Namun pada kenyataannya, pengakuan dan kewajiban hukum tersebut, tidak terlepas
penerapannya dari asas ”resiprositas” yakni asas timbal balik antara negara yang bersangkutan dengan Indonesia. Dengan penjelasan bahwa kesediaan negara
Indonesia mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase asing, harus berlaku timbal balik dengan pengakuan dan kerelaan negara lain mengeksekusi putusan arbitrase
yang diminta oleh pihak Indonesia. Sikap pengakuan dan kerelaan pihak Indonesia di sisi lain, Indonesia
mengeksekusi putusan arbitrase asing atas permintaan yang datang dari suatu negara lain, harus didasari dengan asas ikatan bilateral dan multilateral, dan tidak dapat
dipaksakan secara unilateral. Sekurang-kurangnya antara negara yang meminta pengakuan dan mengeksekusi putusan, sudah lebih dahulu memiliki ikatan perjanjian
dengan Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral. Pihak Indonesia dalam hal ini, tidak terikat untuk mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase asing , jika
pihak negara lain meminta tidak terikat secara bilateral atau multilateral dengan Pemerintah Republik Indonesia.
4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara