kebebasan, kepercayaan, kedamaian, wasit atau arbiter memiliki keahlian, lebih cepat dan hemat biaya, bersifat rahasia, adanya kepekatan arbiter atau wasit, bersifat non
preseden, pelaksanaan putusannya lebih mudah dilakukan dan bersifat akhir dan mengikat.
2. Kekurangan arbitrase
Berkaitan dengan hal-hal diatas, penulis menyimpulkan bahwa terhadap kelebihan dari proses arbitrase tersebut ternyata arbitrase juga memiliki banyak
kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaannya, di antaranya adalah sebagai beikut : a
Arbiter mempunyai kekuasaan yang terbatas dibandingkan dengan hakim di pengadilan. Arbiter tidak dapat menarik pihak ketiga yang tidak secara
kontraktual menjadi pihak dalam arbitrase;
102
b Kualitas putusannya sangat tergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa
norma yang cukup untuk menjaga standar mutu putusan arbitrase. Oleh karena itu, sering dikatakan, ”an arbitration is as good as arbitrators”;
103
dan c
Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada dan semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.
104
Terhadap kelebihan dan kekurangan dalam proses abitrase tersebut di atas, hendaknya para pihak yang bersengketa yang memilih forum arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi
102
Erman Rajagukguk. Loc.cit, hal 194.
103
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 95.
104
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
setiap putusan yang dihasilkan oleh Arbiter dalam keputusannya, baik itu memberatkan ataupun meringankan para pihak yang bersengketa.
3. Kewenangan Kompetensi atau Yurisdiksi Arbitrase
Dalam sistem Common Law, terdapat beberapa kategori yurisdiksi pengadilan. Jika suatu gugatan berkaitan dengan hak-hak atau kepentingan-
kepentingan semua orang mengenai suatu hal atau benda, pengadilan dapat secara langsung menjalankan kekuasaannya terhadap suatu hal atau benda, meskipun
pengadilan mungkin tidak mempunyai yurisdiksi terhadap orang-orang yang kepentingannya terpengaruh. Yurisdiksi pengadilan semacam ini disebut yurisdiksi in
rem.
105
Yurisdiksi pengadilan di dalam Hukum Perdata Internasional merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu
permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan.
Yurisdiksi pengadilan di dasarkan pada lokasi atau tempat objek yang terletak di dalam wilayah yang akan diberlakukan yurisdiksi. Jika gugatan yang dimaksudkan
untuk meminta tanggung jawab seseorang atau membebankan kewajiban terhadap seseorang, maka pengadilan memberlakukan yurisdiksi in personam dan gugatan
tersebut merupakan gugatan in personam.
106
105
J.G. Castel, Op. Cit, hal. 59.
106
Ibid. hal. 60.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada Het Herziene Indonesiche Reglement HIR dan
Rechtsreglement Buitengewesten Rbg tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan yurisdiksi di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara
perdata yang mengandung elemen asing. Pasal 118 ayat 1 HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada
Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal woonplaats atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada werkelijk verbliff.
Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada
Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Pasal 118 ayat 4 HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika
terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih tersebut Chice of Forum.
Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara dimana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus
telah dilakukan. Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering RV
107
mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar
107
Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah
tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan RV dapat dijadikan sebagai
pedoman.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan
dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan
kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim.
108
Uraian di atas memberikan arahan untuk dapat disimpulkan, bahwa prinsip penyampaian gugatan harus dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat. Kewenangan
mengadili pertama-tama didasarkan pada asas the basis of presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang
dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan imunitas negara berdaulat dan staf diplomatik.
109
Para pihak yang bersengketa mempunyai kebebasan untuk memilih forum. Mereka dapat menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih Hakim lain.
Namun, sedemikian tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang
bersangkutan Hakim tidak berwenang adanya. Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih Hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada Hakim Belanda
yang relatif berwenang mengadili perkara itu.
110
Hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau
108
Sudargo Gautama, Op. cit, hal. 211.
109
Ibid, hal. 213.
110
Ibid, hal. 233.
Universitas Sumatera Utara
menunjuk kepada badan arbitrase lain tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka Hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
perkara tersebut. Misalnya dalam sebuah kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha Amerika Serikat di Indonesia, para pihak memilih
yurisdiksi District of Court di New York. Jika terjadi sengketa antara pihak-pihak, kemudian pengusaha Indonesia itu mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, maka seharusnya Hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
Para pihak di dalam substansi kontrak ternyata memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau
Badan Arbitrase Syari’ah Nasional, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan tersebut. Pilihan yurisdiksi arbitrase seperti tersebut di atas telah diakui dan diatur
dalam Konvensi New York tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards. Hasil konvensi tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Kepres Nomor 34 Tahun 1981.
Pengadilan Arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili
perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia
Universitas Sumatera Utara
mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi yang terdapat di dalam kontrak yang bersangkutan.
Badan-badan peradilan di Indonesia juga negara lainnya yang terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili suatu
sengketa dimana para pihak telah menentukan pilihan terhadap arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi mereka.
111
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak
yang terkait di dalam perjanjian arbitrase. Pilihan yurisdiksi berperkara juga secara strategis harus diperhitungkan
terhadap wilayah hukum dari mana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut dilaksanakan dan yang sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut
berada.
112
111
Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Bandung, Alumni, 1985, hal. 23.
112
Richardo Simanjuntak, Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional, Makalah dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 4 tahun 2003, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERATURAN HUKUM DI INDONESIA YANG MENGATUR
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
E. Peraturan Hukum Internasional
2. UNCITRAL Arbitration Rules
Salah satu pengaturan hukum dalam kekuatan hukum arbitrase di Indonesia adalah UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai Resolusi Sidang
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB tanggal 15 Desember 1976 Resolution 3198 Adobted by the General Assembly in 15 Desember 1976. Pemerintah Indonesia
termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani resolusi dimaksud. Dengan demikian, UNCITRAL Arbitration Rules telah menjadi salah satu sumber hukum
Internasional di bidang arbitrase.
113
Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL Arbitration Rules adalah untuk mengelaborasi serta menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase
dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam hubungannya dengan perdagangan Internasional. PBB telah memprakarsai terciptanya suatu aturan arbitrase arbitration
rules yang berwawasan Internasional melalui konsultasi-konsultasi oleh United Nations Commission on International Trade Law. Oleh karena aturan arbitrase yang
dikeluarkan berdasarkan Resolusi Umum PBB merupakan hasil kerja United Nations
113
M. Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
Commission on International Trade Law dalam penyebutan sehari-hari disingkat dengan UNCITRAL Arbitration Rules.
Putusan UNCITRAL Arbitration Rules pada prinsipnya dianut sistem mayoritas sebagai patokan prioritas utama dalam mengambil putusan sebagaimana
dapat dilihat pada Pasal 31 Ayat 1 UNCITRAL Arbitration Rules. Prinsip ini berlaku sebagai sistem dalam setiap mengambil putusan apapun. Patokannya adalah anggota
Mahkamah Arbitrase terdiri dari tiga orang arbiter, dan prinsip pokok dalam pengambilan putusan mesti berdasarkan suara mayoritas sebagai skala prioritas
utama. Tujuannya adalah untuk meletakkan landasan persamaan hak dan kedudukan di antara sesama anggota arbiter. Bahkan bukan saja sekedar itu, juga sekaligus dapat
memberikan landasan asas ”kebebasan” menyatakan pendapat bagi setiap anggota arbiter tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 31 Ayat 2 UNCITRAL Arbitration Rules, apabila anggota arbiter tidak berhasil memperoleh suara mayoritas, Ketua Majelis Arbiter
dapat memutus sendiri atas nama Mahkamah Arbitrase. Sistem pengambilan keputusan yang seperti inilah yang dimaksud dengan umpire.
Dalam sistem umpire, benar-benar diberikan hak yang sangat besar kepada Ketua Majelis Arbitrase untuk mengambil keputusan. Kedudukan itu memberikan
wewenang kepadanya untuk mengambil sendiri keputusan tanpa menghiraukan pendapat anggota arbiter yang lain, apabila tidak tercapai suara mayoritas. Ketua
Majelis Arbitrase adalah jalan keluar kegagalan sistem mayoritas.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan mengenai jumlah arbiter dalam UNCITRAL Arbitration Rules yang diatur dalam Pasal 5 jumlah anggota arbiter diperbolehkan tunggal dan paling banyak
tiga orang.
114
Dari penegasan Pasal 5 tersebut, para pihak boleh menyetujui arbiter tunggal. Akan tetapi jika dalam tenggang waktu tersebut belum juga tercapai
kesepakatan, maka harus menunjuk tiga orang arbiter. Kuasa dalam arbiter ini diatur dalam Pasal 4 UNCITRAL Arbitration Rules.
Menurut Pasal 4 para pihak dapat diwakili represented atau dibantu assisted oleh seseorang yang mereka pilih untuk itu. Apabila salah satu pihak menunjuk seorang
kuasa kuasa atau pembantu,penunjukan harus segera diberi tahu kepada pihak lawan dengan ketentuan harus memenuhi syarat.
Pemberian kuasa menurut UNCITRAL Arbitration Rules, dapat dilakukan dalam bentuk surat kuasa umum. Karena di situ tidak ditegaskan pemberian kuasa
mesti berbentuk a spesific representative atau a spesific assistant. Oleh karena itu, maka pemberian kuasa dapat dilakukan secara umum dalam surat kuasa.
Dalam UNCITRAL Arbitration Rules ini, juga dibatasi upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan arbitrase. Hal ini disebutkan dalam Pasal 32 Ayat 2
UNCITRAL Arbitration Rules, yaitu tertutup untuk upaya banding atau kasasi terhadap putusan arbitrase. Hal ini disebabkan karena, putusan dalam UNCITRAL
Arbitration Rules ini bersifat final and binding kepada para pihak.
114
Pasal 5 UNCITRAL Arbitration Rules Tahun 1976.
Universitas Sumatera Utara
3. Konvensi New York Tahun 1958