Namun tentunya permasalahan dalam arbitrase Internasional tidak terlepas dari proses adanya sengketa dan pembatalan putusan, hal ini juga diatur pada Bab VII perihal
pembatalan putusan arbitrase, dari Pasal 70 sampai dengan Pasal 72.
145
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan Atas Konvensi
Penyelesaian Perselisihan antar Negara dengan Warga Asing
Hadirnya penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia tentunya akan memberikan atau membawa akibat terhadap negara Indonesia,
sehingga dibutuhkan adanya suatu pengaturan yang seimbang agar penanaman modal khususnya penanaman modal asing di satu pihak dan Pemerintah di lain pihak dapat
memetik manfaatnya sehingga dapat menghindari terjadinya masalah nasionalisasi terhadap perusahaan yang menggunakan modal asing tanpa melalui prosedur dan
ganti rugi yang layak dan sesuai, tidak dipatuhinya perjanjian lisensi penanaman modal asing, tidak terlindunginya hak-hak intelektual Intelectual Property Right
serta adanya kemungkinan perselisihan antara penanam modal asing dengan Pemerintah Indonesia, maupun dengan investor lokal dikemudian hari.
Mengantisipasi hal tersebut diatas, Pemerintah Indonesia secara strategik secara dini telah meratifikasi Konvensi International Center for the Seetlement of
Investment Disputes Between States ICSID tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 LN. 1968 nomor 32 sebagai salah satu upaya untuk
145
Lihat, Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang tentang APS, menjelaskan proses pembatalan putusan arbitrase meliputi; pengajuan permohonan pembatalan, jangka waktu permohonan
pembatalan 30 hari, penetapan permohonan pembatalan oleh Pengadilan Negri Jakarta Pusat, dan pertimbangan permohonan banding oleh Mahkamah Agung.
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan kemungkinan timbulnya sengketa atau perselisihan antara penanaman modal asing dengan pihak Indonesia baik oleh Pemerintah sendiri maupun pihak
swasta. Kebijaksanaan Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ICSID didasarkan pada pertimbangan agar dapat menarik penanaman modal asing sebanyak mungkin ke
Indonesia, memberikan rasa aman serta mengupayakan terjadinya penyelesaian perselisihan lewat jasa Arbitrase.
Sejak diberlakukannya keleluasaan penanaman modal, khususnya penanaman modal asing, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, namun dikarenakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan
perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal maka UU tersebut diatas diamandemen dengan UU No. 25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Untuk lebih jelasnya pemahaman mengenai penyelesaian sengketa penanaman
modal yang terdapat dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada Pasal 32 dinyatakan sebagai berikut :
1. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan
penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tesrebut melalui musyawarah dan mufakat;
2. Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak
tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau
Universitas Sumatera Utara
alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan
penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ini tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
4. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah
dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.
Walaupun sudah terdapat Undang-undang Penanaman Modal yang baru yaitu Undang-undang No. 25 Tahun 2007, yang dapat memberikan jaminan hukum yang
cukup memadai, tetapi negara-negara pemilik modal masih menganggap perlu untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang khusus guna melindungi modal yang
ditanamkan di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena suatu alasan bahwa dalam bentuk apapun diberlakukannya suatu peraturan, sewaktu-waktu
peraturan tersebut dapat diubah oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Sedangkan jika diadakan suatu perjanjian internasional baik yang bersifat bilateral
maupun multilateral, maka pemerintah negara berkembang tetap akan terikat oleh kewajiban-kewajiban internasional.
Perjanjian bilateral yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan negara-negara investor seperti Amerika Serikat, Jerman, Belgia, Belanda, Norwegia
Universitas Sumatera Utara
dan Denmark adalah perjanjian jaminan penanaman modal asing atau Investment Guaranty Agreements. Sedangkan perjanjian multilateral yaitu dengan adanya
Konvensi Washington 1965 yang telah diratifikasinya oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi
tersebut. Secara otomatis Pemerintah Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuan Konvensi tersebut, walaupun tidak secara otomatis tunduk terhadap yurisdiksi
arbitrase ICSID yaitu badan arbitrase yang dibentuk oleh Konvensi tersebut. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 ini, pemerintah
Indonesia mempunyai kewenangan untuk memberi persetujuan agar perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dengan warga asing diputus
melalui konvensi yang dimaksud dan bertindak dalam perselisihan sebagai yang mewakili Republik Indonesia.
Walapun Negara Indonesia telah menyetujui konvensi tersebut, namun tidak dengan sendirinya setiap sengketa Penanaman Modal Asing PMA ini tunduk pada
konvensi dan diselesaikan melalui forum Dewan Arbitrase ICSID. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1968 yang diumumkan dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 2852. Meskipun konvensi berlaku untuk suatu negara, tidak ada suatu “kewajiban” bahwa
setiap perselisihan harus diselesaikan menurut konvensi.
146
Syarat mutlak untuk penyelesaian menurut konvensi tersebut adalah “persetujuan” kedua belah pihak yang
berselisih. Oleh karena itu, maka pemerintah Republik Indonesia berwenang
146
Ibid, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
menentukan bentuk dan jenis PMA yang bagaimana yang dapat disetujui dan diselesaikan perselisihannya melalui forum arbitrase ICSID.
Kewenangan yang demikian perlu dimiliki pemerintah Republik Indonesia, demi untuk menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI
dan tidak dapat dipaksa oleh pihak manapun termasuk penanam modal asing dalam menyelesaiakn setiap perselisihan sengketa PMA ke lembaga ICSID, inilah yang
menjadi pedoman bagi pelaksanaan PMA di Indonesia, agar semuanya dapat berjalan dengan transparan.
3. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention