terdapat n elemen, maka akan diperoleh matriks pairwise comparison berukuran nxn. Banyaknya penilaian yang diperlikan dalam menyusun matriks ini adalah
nn-12 karena matriksnya reciprocal dan elemen-elemen diagonal sama dengan 1.
3.4.1.3. Synthesis of Priority
Dari setiap matriks pairwise comparison kemudian dicari bobot parsial eigen vector-nya untuk mendapatkan local priority. Karena matriks matriks-
matriks pairwise comparison terdapat pada setip tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority.
Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting
3.4.1.4. Logical Consistency
Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi.
Contohnya, anggur dan kelereng dapat dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika bulat merupakan kriterianya, tetapi tak dapat jika rasa sebagai
kriterianya. Arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Contohnya, jika manis merupakan kriteria
dan madu dinilai 5x lebih manis dibanding gula, dan gula 2x lebih manis dibanding sirop, maka seharusnya madu dinilai 10x lebih manis dibanding sirop.
Jika madu hanya dinilai 4x manisnya dibanding sirop, maka penilaian tidak
Universitas Sumatera Utara
konsisten dan proses harus diulang jika ingin memperoleh penilaian yang lebih tepat.
3.4.2. Hubungan Prioritas Sebagai Eigen Vector Terhadap Konsistensi
Terdapat banyak cara untuk mencari vektor prioritas dari matriks pairwise comparison. Tetapi penekanan pada konsistensi menyebabkan digunakan rumus
eigen value. Diketahui elemen-elemen dari suatu tingkat dalam suatu hirarki adalah
C
1
,C
2,...,
C
n
dan bobot pengaruh mereka adalah w
1
,w
2
,...,w
n
. Misalkan a
ij
= w
1
w
j
menunjukan kekuatan C
1
jika dibandingkan dengan C
j
. Matriks dari angka-angka a
ij
ini dinamakan matriks pairwise comparison, yang diberi simbol A. Telah disebutkan bahwa A adalah matriks reciprocal, sehingga a
ij
= 1a
ij
. Jika penilaian kita sempurna pada setiap perbandingkan, maka a
ij
= a
ij
, a
jk
untuk semua i, j, k dan matriks A dinamakan konsisten.
Kemudian ikuti manipulasi matematik berikut : a
ij
= w
1
w
2
dimana i,j = 1,...,n a
ij
= w
j
w
i
= 1 dimana i, j = 1,...,n konsekuensinya,
∑
= n
j 1
a
ij
.w
j
.1w
i
= n dimana i = 1,...,n atau
∑
= n
j 1
a
ij
.w
j
= nw
1
dimana i = 1,...,n.
Dalam bentuk matriks : Aw = nw Rumus ini menunjukkan bahwa w merupakan eigen vector dari matriks A dengan
eigen value n. Jika a
ij
tidak didasarkan pada ukuran pasti seperti w
1
,...,w
n,
tetapi
Universitas Sumatera Utara
pada penilaian subyektif, maka a
ij
akan menyimpang dari rasio w
i
w
j
yang sesungguhnya dan akibatnya Aw = nw tak dipenuhi lagi. Dua kenyataan dalam
teori matriks memberikan kemudahan. Pertama jika z1,...,zn adalah angka-angka yang memenuhi persamaan Aw
= Zw dimana Z merupakan dengan eigen value dari matriks A, dan jika a
ij
= 1 untuk i, maka :
∑
= n
j 1
Z
i
= n Karena itu, jika Aw = Zw dipenuhi, maka semua eigen value sama dengan nol,
kecuali eigen value yang satu, yaitu sebesar n. Maka jelas dalam kasus konsisten, n merupakan eigen value A terbesar.
Kedua, jika salah satu a
ij
dari matriks reciprocal A berubah sangat kecil, maka diagonal matriks A terdiri dari a
ij
= 1 dan jika A konsisten, maka perubahan kecil pada a
ij
menahan eigen value terbesar, Z
maks
, dekat ke n, dan eigen value sisanya dekat ke nol. Karena itu persoalannya adalah jika A merupakan matriks
pairwise comparison, untuk mencari vector prioritas, harus dicari w yang memenuhi :
Aw = Z
mak
. w Perubahan kecil a
ij
menyebabkan perubahan Z maksimum, penyimpangan Z maksimum dari n merupakan ukuran konsistensi. Indikator terhadap konsistensi
diukur melalui Consistency Index CI yang dirumuskan : CI = Z
maks
– nn-1 AHP mengukur seluruh konsistensi penilaian dengan menggunakan Consistency
Ratio CR, yang dirumuskan :
Universitas Sumatera Utara
CR = Index
y Consistenc
Random CI
Suatu tingkat konsistensi yang tertentu memang diperlukan dalam penentuan prioritas untuk mendapatkan hasil yang sah. Nilai CR semestinya tak lebih dari 10
. Jika tidak, penilaian yang telah dibuat mungkin dilakukan secara random dan perlu direvisi. Di bawah ini adalah tabel 3.2. yang merupakan Random Index RI.
Tabel 3.2. Random Index RI
N 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 RI
0,0 0,0
0,58 0,90
1,12 1,24
1,32 1,41
1,45 1,49
Sumber : Mulyono, Sri. SE., MSc., 1996, Teori Pengambilan Keputusan
Untuk lebih jelas mengenai AHP ini, berikut diberikan sebuah contoh sederhana. Misalkan seseorang ingin membandingkan sistem-sistem yang
mendukung hardware komputernya, yang terdiri dari sistem 1, sistem 2, dan sistem 3. Di mana matrik perbandingan berpasangan dapat dilihat pada tabel 3.3.
berikut :
Tabel 3.3. Matriks Untuk Membandingkan Tiga Sistem Hardware
Hardware Sistem 1 Sistem 2
Sistem 3 Sistem 1
1 3
9 Sistem 2
13 1
6 Sistem 3
19 16
1
Sumber : Mulyono, Sri. SE., MSc., 1996, Teori Pengambilan Keputusan
Untuk itu, ia menyusun dan mengisi matriks seperti di atas. Perlu diingat bahwa dari sembilan entri matriks di atas, tiga entri dari diagonal utama terisi oleh
bilangan 1 dan tiga entri matriks segitiga merupakan kebalikan, dan tiga matriks pertimbangan yang dibuat.
Universitas Sumatera Utara
Berikutnya, orang tersebut mensintesis berbagai pertimbangannya untuk memperoleh suatu taksiran menyeluruh dari prioritas relatif ketiga sistem ini
dikaitkan dengan hardware tersebut. Penjumlahan kolom mensintesis pertimbangan dapat dilihat pada tabel 3.4. berikut :
Tabel 3.4. Penjumlahan Kolom Mensintesis Pertimbangan
Hardware Sistem 1
Sistem 2 Sistem 3
Sistem 1 1
3 9
Sistem 2 13
1 6
Sistem 3 19
16 1
Jumlah 1.444
4.167 16.0
Sumber : Mulyono, Sri. SE., MSc., 1996, Teori Pengambilan Keputusan
Matriks normalisasi mensintesis pertimbangan juga dapat dilihat pada tabel 3.5. berikut :
Tabel 3.5. Normalisasi Mensintesis Pertimbangan
Hardware Sistem 1
Sistem 2 Sistem 3
Sistem 1 0.6923
0.7200 0.5625
Sistem 2 0.2300
0.2400 0.3750
Sistem 3 0.0796
0.0400 0.0625
Jumlah 1
1 1
Sumber : Mulyono, Sri. SE., MSc., 1996, Teori Pengambilan Keputusan
Nilai-nilai tersebut diperoleh dari : Untuk sistem 1 dengan sistem 1 : 11.444 = 0.6923
Untuk sistem 2 dengan sistem 1 : 0.3331.444 = 0.2300 Begitu juga untuk perhitungan berikutnya.
Kemudian diambil rata-rata entri sepanjang baris, yaitu : Baris pertama, rata-rata = 0.6923 + 0.7200 + 0.56253 = 0.6583
Baris kedua, rata-rata = 0.2300 + 0.2400 + 0.37503 = 0.2819 Baris ketiga, rata-rata = 0.0769 + 0.0400 + 0.06253 = 0.0598
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dihitung rasio konsistensi , di mana perhitungan konsistensinya sebagai berikut :
=
×
1799 .
8602 .
0423 .
2 0598
. 2819
. 6583
. 1
6 1
9 1
6 1
3 1
9 3
1
Lalu setelah diperoleh perhitungan konsistensinya, dilakukan perhitungan consistency vector sebagai berikut :
=
0086
. 3
0512 .
3 1025
. 3
0598 .
1799 .
2819 .
8602 .
6583 .
0423 .
2
Rata-rata dari ketiga entri kolom terakhir, yaitu :
0541 .
3 3
0086 .
3 0512
. 3
1025 .
3 =
+ +
=
maks
λ
n adalah jumlah orde matriks, pada kasus adalah matriks berorde 3, maka consistency index-nya adalah :
0270 .
1 3
3 0541
. 3
= −
− =
CI
Terakhir, kita menghitung consistency ratio CR, dimana random index RI dengan n = 3 adalah 0.58 diperoleh dari tabel random index, maka CR-nya
adalah : CR = 0.02700.58 = 0.0466
Ini menunjukkan bahwa konsistensi baik, karena nilai CR ≤ 0.1.
Ini menunjukkan bahwa kita konsisten dengan jawaban kita. Berikut ditunjukkan salah satu cara melakukan revisi penilaian. Pertama
adalah menyusun matriks rasio prioritas w
i
w
j
dan membuat matriks selisih
Universitas Sumatera Utara
absolut a
ij
-w
i
w
j
dan berusaha merevisi penilaian pada elemen elemen-elemen dengan selisih terbesar. Dalam hal ini tak perlu diperhatikan kenyataan bahwa
wi wj
dapat lebih besar dari 9.
Contoh :
1 5
7 1
5 1
1 9
1 7
9 1
Suatu matriks A =
Memiliki vektor prioritas w
1
w
2
w
3
= 0,77 0,06 0,17 dan CR=17,25 . Karena itu matriks A perlu direvisi. Selisih absolut terbesar adalah antara a
12
dan w
1
w
2
. Jadi kita ganti a
12
dengan w
1
w
2
= 13 dan perhitungan ulang vektor prioritas menghasilkan w
1
w
2
w
3
= 0,81 0,04 0,15 dan CR = 35 . Terlihat adanya perbaikan konsistensi.
Hati-hati terhadap revisi yang berlebihan dalam memaksa penilaian agar diperoleh konsistensi yang lebih baik. Karena pemaksaan demikian menyimpang
dari jawaban asli. Meskipun AHP menghendaki tingkat konsistensi tertentu, tetapi mengijinkan tidak berlakunya transitivity karena hal terakhir ini dianggap
phenomena natural. Ia sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan kita tidak dapat mencegah intransitivity.
3.4.3. AHP Dalam Kelompok