1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia di dalam kehidupan sehari-harinya banyak penyesuaian yang harus dilakukan, mulai ketika menghadapi kejadian ringan seperti
perubahan jadwal kerja, sampai yang berat pada saat mengalami kesulitan finansial, musibah atau bencana alam.
Individu menggunakan caranya sendiri untuk mengatasi masalah, cobaan dan perubahan dalam hidupnya. Misalnya; ketika seseorang berada
dalam kemiskinan, kegagalan, ataupun menyandang kecacatan sejak lahir maupun karena musibah kecelakaan dan lainnya.
1
Berdasarkan keterangan di atas, salah satu cobaan atau perubahan hidup yang terasa berat adalah menyandang kecacatan khususnya
kecacatan fisik. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kecacatan harus disembunyikan, jangan sampai diketahui oleh orang banyak. Bahkan ada
juga orang tuanya sendiri merasa malu mempunyai anak yang cacat. Anggapan tersebut membuat si penyandang cacat “dikucilkan” dari
keluarganya padahal masih ada harapan bagi mereka untuk menikmati hidup yang lebih baik.
Orang-orang yang beriman tidak boleh membiarkan anak-anak mereka memiliki fisik, tubuh, atau badan yang lemah. Orang tua mereka
harus memperhatikan kualitas kesehatan anak-anak mereka dengan
1
Istiqomah Wibowo, dkk., Psikologi Komunitas Depok: LPSP3 UI, 2011, h. 33.
2
memberikan makanan dan minuman yang bergizi. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat: 9
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar”.
2
Q.S An-Nisa ayat:9 Anak sangat membutuhkan perlindungan hukum dalam berbagai
aktivitas mereka. Orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam
mengupayakan kesejahteraan,
perlindungan, peningkatan,
kelangsungan hidup dan mengoptimalkan tumbuh kembangnya anak. Kita semua melihat dan menyadari tidak semua
anak terlahir dengan normal secara fisik maupun mental, baik anak yang terlahir
normal atau terlahir tidak normal berhak mendapatkan perhatian dan perlindungan yang sama dari orang tuanya. Bahkan anak yang terlahir
tidak normal sangat membutuhkan sekali perhatian dan perlindungan yang khusus.
Berdasarkan data dari Pusdatin Departemen Sosial tahun 2004 dalam Jurnal Tazkiya of Psychology karya Ardian Adi Putra dan Fuad
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Disertai Tanda-tanda Tajwid dengan Tafsir Singkat
, Jakarta: Bayan Qur’an, 2012, h. 78.
3
Nashori Kebahagiaan Pada Penyandang Cacat Tubuh sebuah Penelitian Kualitatif:
“Menunjukkan jumlah penyandang cacat sebanyak 1.847.692 orang, sedangkan jumlah penyandang cacat eks penderita penyakit kronis
sebanyak 216.148 orang. Banyak perempuan dan anak perempuan penyandang cacat belum terjangkau program pemberdayaan perempuan.
Anak-anak dan pemuda yang menyandang cacat seringkali mengalami kesulitan untuk mengikuti proses pendidikan. Kecacatan dapat terjadi
karena malnutrsi yang terkait dengan buruknya kualitas makanan yang dikonsumsi. Pada tahun 2003 di Indonesia terdapat 8,3 persen balita yang
mengalam gizi buruk. Dampak konflik sosial dan peperangan yang terjadi disuatu wilayah juga dapat menyebabkan kelompok penduduk tertentu
mengalami kecacatan. Penduduk sipil, terutama anak-anak dan perempuan termasuk diantara mereka yang sering menjadi korban, selain mereka yang
terlibat langsung dalam konflikpeperangan tersebut”.
3
Perilaku masyarakat yang mengucilkan penyandang cacat sangat berdampak pada kondsi psikis penyandang cacat itu terutama kepercayaan
dirinya. Dalam kondisi tidak dikucilkan pun sebagian para penyandang cacat sering merasa minder atau tidak percaya diri yang berlebihan dalam
setiap aktifitas karena status kecacatannya. Masalah kepercayaan diri ini menjadi lebih berat ketika dirasakan oleh para penyandang cacat dan salah
satu penyandang kecacatan yang mempunyai masalah kepercayaan diri adalah penyandang tunadaksa.
Pengertian tunadaksa itu sendiri adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang,
otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat
3
Ardian Adi Putra dan Fuad Nashori, Kebahagiaan Pada Penyandang cacat tubuh Sebuah Penelitian Kualitatif, Jurnal Tazkiya of Psychology, 2007, h. 293 – 295.
4
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
4
Menurut penulis, individu yang memiliki kepercayaan diri baik akan lebih mudah meraih keberhasilan. Hal tersebut dikarenakan dengan
rasa percaya diri seseorang dapat berbuat sesuatu yang diinginkannya dengan keyakinan yang mantap. Ada anggapan bahwa orang yang percaya
diri adalah jenis orang yang lantang, berani, dan terbuka, yang bisa menangani segala masalah, baik pribadi maupun pekerjaan, tanpa banyak
bicara tapi pasti.
5
Kepercayaan diri memberikan arti yang sangat penting bagi perkembangan kehidupan seseorang. Rasa percaya diri merupakan
kunci untuk belajar segala sesuatu.
6
Selanjutnya, respon individual dalam menanggulangi perubahan hidup dikenal dengan nama perlakuan coping coping behavior. Coping
yaitu berupa mekanisme yang digunakan orang dalam menghadapi dan mengatasi masalah.
7
Salah satu dari bentuk coping atau cara orang dalam menghadapi masalah dan perubahan hidupnya itu adalah berupa dukungan sosial.
Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal dan non verbal, bantuan yang nyata atau tindakan yang diberikan oleh orang lain
atau didapat karena hubungan mereka dengan lingkungan dan mempunyai
4
T. sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: PT Refika Aditama, 2012, h. 121.
5
Martin Perry, Confidence Boosters, Pendongkrak Kepercayaan Diri, Jakarta: Esensi Erlangga, 2006, h. 9.
6
Siswanto dan Dian Puspitasari, Efektivitas Graphotherapy terhadap Peningkatan Kepercayaan Diri pada Remaja dip anti Sosial dalam Jurnal Psikodimensia kajian Ilmiah
Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, 2009, h. 90.
7
Istiqomah Wibowo, dkk., Psikologi Komunitas Depok: LPSP3 UI, 2011, h. 33.
5
manfaat emosional atau efek perilaku bagi dirinya.
8
Hal semacam ini yang sangat diharapkan dapat membantu menumbuhkan rasa percaya diri para
penyandang tunadaksa. Selain faktor dukungan sosial seperti yang dijelaskan di atas,
manusia juga sebagai makhluk yang beragama homo religious, maka agama dapat menjadi metode yang dijadikan prediktor signifikan dari
keberhasilan seseorang dalam mengatasi masalah atau dalam penyesuaian perubahan hidupnya. Penjelasan bahwa manusia sangat membutuhkan
agama terdapat pada kutipan berikut ini: “Ahmad Yamani mengemukakan bahwa tatkala Allah membekali
insan itu dengan nikmat berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa bingung dan bimbang untuk memahami dan belajar mengenali alam
sekitarnya disamping rasa ketakutan terhadap rasa kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong insan tadi untuk mencari-
cari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan membimbingnya disaat- saat yang gawat. Insan primitif telah menemukan apa yang dicarinya pada
gejala alam itu sendiri, berangsur-angsur dan silih berganti menuju gejala- gejala alam tadi sesuai dengan penemuannya dan menetapkannya ke dalam
jalan kehidupannya. Dengan demikian timbullah penyembahan terhadap api, matahari, bulan, atau benda-benda lainnya dari gejala-gejala alam
tersebut.”
9
Maksud dari penjelasan di atas adalah di dalam ajaran agama Islam bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku
makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi fithrah yang dibawa sejak lahir. Salah satu fithrah tersebut adalah kecenderungan terhadap
agama.
10
8
Ibid., h. 33
9
Jalaluddin dan DR. Ramayulis, Pengantar lmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1993, cet. Ke-2, h. 70.
10
Ibid., h. 72.
6
Menurut Istiqomah Wibowo dkk. ada dua macam coping dapat digunakan dalam mengatasi masalah, yaitu: 1 problem-focused coping
dan 2 emotion-focused coping.
11
Problem-focused coping merupakan cara mengatasi masalah yang memfokuskan pada masalah itu sendiri
active coping. Sedangkan emotion-focused coping lebih menekankan pada emosi atau perasaan orang tersebut. Beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam menggunakan emotion-focused coping adalah meditasi, refleksi, berdoa, dan “curhat” mencari dukungan emosional. Strategi
emotion-focused coping ini lebih berfungsi jika stresornya merupakan hal yang diluar kendali kita atau tidak dapat dikontrol, seperti kehilangan
seseorang yang dicintai karena kematian, terkena musibah dan atau mengalami kecacatan fisik.
12
Maka dari itu, untuk mendorong strategi emotion-focused coping sangat perlu adanya bimbingan agama.
13
Dalam hal ini bimbingan agama sebagai bentuk kebutuhan juga yang dapat menyelesaikan masalah,
mengahadapi perubahan-perubahan hidup, dan terutama menjadi metode menumbuhkan kepercayaan diri para penyandang tunadaksa.
Yayasan Pembinaan Anak Cacat YPAC adalah yayasan yang telah melayani dan membantu banyak anak-anak penyandang cacat yang
sekarang disebut Anak Berkebutuhan Khusus dengan tujuan atau upaya kearah tercapainya kesejahteraan anak dengan kecacatan pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya. Sampai sekarang ini YPAC secara
11
Istiqomah Wibowo, dkk., Psikologi Komunitas Depok: LPSP3 UI, 2011, h. 33.
12
Ibid., h. 33-34.
13
Ibid., h. 36
7
konsisten dominan banyak menampung penyandang kecacatan tunadaksa yang awalnya dikenal dengan istilah kecacatan fisik. Selain itu hal yang
membuat penulis tertarik, penyandang tunadaksa di YPAC ini setelah penulis survey dan melakukan pengamatan, terlihat sangat antusias dan
semangat dalam
mengikuti setiap
kegiatan ditengah-tengah
ketunadaksaannya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti
kepercayaan diri penyandang tunadaksa dengan pengaruh dukungan sosial dan religiusitasnya dalam bentuk karya ilmiah skripsi yang berjudul
“Pengaruh Dukungan Sosial dan Bimbingan Agama Islam Terhadap Kepercayaan Diri Penyandang Tunadaksa di Yayasan Pembinaan
Anak Cacat YPAC Kebayoran Baru Jakarta Selatan
”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah