Rumusan Masalah Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri

menjamin kelestarian sumberdaya alam baik untuk kepentingan pemilik hutan rakyat maupun kepentingan lingkungan sekitar Awang 2007. Namun, yang lebih berinteraksi langsung dengan para petani hutan rakyat adalah unit kelestarian hutan rakyat. Tingkat kelestarian dalam unit tersebut harus terjaga, salah satunya dengan cara tidak diperkenankan terjadi penebangan yang berlebih. Gabungan dari beberapa unit kelestarian ini akan membentuk suatu unit manajemen hutan rakyat yang satuannya bisa saja per desa ataupun per kabupaten. Dalam hal ini, penulis ingin meneliti kesediaan para petani hutan rakyat di Desa Sumberejo untuk menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat. Desa Sumberejo yang berada di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri telah memperoleh sertifikasi PHBML LEI pertama kali di Pulau Jawa pada tahun 2004. Oleh karena itu, apabila unit kelestarian hutan rakyat dapat dibentuk dan pengaturan hasil dapat diterapkan di desa ini, maka diharapkan dapat menjadi contoh dan modal motivasi bagi hutan rakyat lain untuk juga melakukan sertifikasi. Dengan begitu, diharapkan akan semakin banyak hutan rakyat yang lestari tanpa melakukan penebangan berlebih. Selain itu, diharapkan pula dapat menjadi modal bagi hutan rakyat untuk mengikuti budaya bisnis industri yang selalu berkembang. Untuk itu dilakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri”.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut Mustari 2000, kelestarian pengelolaan hutan rakyat dapat diukur menggunakan parameter struktur tegakan. Hutan rakyat yang tersusun dari tegakan pohon dengan sebaran kelas diameter yang merata adalah hutan rakyat yang dikelola secara lestari, sehingga produksi kayu dapat dilakukan secara berkesinambungan. Namun pada kenyataannya, penebangan daur pendek yang dilakukan petani menyebabkan struktur tegakan tidak merata dan didominasi oleh kelas diameter kecil. Pengelolaan ini dapat dicapai melalui pengaturan hasil. Osmaston 1968 menyebutkan beberapa metode pengaturan hasil, antara lain: metode berdasarkan luas, metode berdasarkan volume, metode berdasarkan volume dan riap, dan metode berdasarkan jumlah pohon. Departemen Kehutanan 1992 menambahkan dua metode pengaturan hasil, yaitu: metode berdasarkan riap dan metode kombinasi luas dan volume. Berdasarkan macam pengaturan hasil yang dijelaskan oleh Departemen Kehutanan 1992, dengan kondisi struktur tegakan hutan rakyat yang hampir menyerupai hutan tidak seumur, maka pengaturan hasil hutan rakyat yang memungkinkan untuk dilakukan adalah metode berdasarkan jumlah pohon atau yang biasa disebut dengan metode berdasarkan jumlah batang. Disebutkan oleh Osmaston 1968 bahwa metode ini mengusahakan agar besarnya hasil volume yang dipanen untuk ukuran diameter di atas batas diameter minimal yang ditetapkan limit diameter harus sama untuk setiap tahunnya sepanjang daur. Terkait hal tersebut, Sopiana 2011 dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa diperlukan suatu bentuk unit kelembagaan yang dapat mengatur pengelolaan hutan rakyat secara optimal, sehingga dapat memberikan keuntungan besar bagi petani hutan rakyat. Adapun salah satu yang diatur di dalamnya adalah pengaturan hasil guna mencapai suatu kelestarian. Sopiana 2011 juga menyebutkan bahwa kelembagaan yang akan dibentuk dalam pengelolaan hutan rakyat ini terdiri dari gabungan beberapa pemilik hutan rakyat. Setiap anggota diberi kesempatan untuk memilih dua cara berpartisipasi, yaitu: berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan pengelolaan hutan dan berpartisipasi secara tidak langsung melalui perantara buruh atau penggarap untuk mewakili kehadirannya dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Menurut Awang et al. 2005 unit kelembagaan tersebut merupakan unit kelestarian hutan rakyat yang berfungsi sebagai unit pengelolaan dan berkewajiban untuk mengelola hasil hutan rakyat agar memperoleh keuntungan ekonomis dan ekologis. Hal itu dilakukan dengan melaksanakan kegiatan yang berkesinambungan untuk mencapai kelestarian hutan rakyat. Unit kelestarian tersebut berhubungan langsung dengan masing-masing pemilik hutan rakyat. Oleh karena itu, perlu diketahui kesediaan petani hutan rakyat selaku pemilik lahan hutan rakyat yang sah untuk menerapkan pengaturan hasil dan kesediaannya membentuk suatu unit kelestarian hutan rakyat. Untuk itu, timbul beberapa pertanyaan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Apakah petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat terhadap hutan rakyatnya? 2. Hal-hal apa saja yang menjadi bahan pertimbangan petani dalam kesediaannya menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian tersebut? 3. Solusi atau alternatif apa yang dapat diberikan agar petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat?

1.3 Tujuan Penelitian