Potensi Hutan Rakyat Penerapan Pengaturan Hasil dan Pembentukan Unit Kelestarian Hutan Rakyat di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri

Indriyanto 2008 sebagai tindakan mengatur populasi hama atau penyakit agar tidak menimbulkan kerusakan yang dinilai secara ekonomi merugikan. 5. Penebangan Kegiatan penebangan dilakukan oleh petani hanya apabila terdapat kebutuhan mendesak dan memerlukan biaya besar, seperti keperluan untuk menyekolahkan anak, menikahkan anak, mengkhitankan anak, membangun rumah, dan lain sebagainya. Sistem tebang ini juga biasa disebut dengan sistem tebang butuh. Umur pohon saat tebang biasanya berkisar antara 10-15 tahun untuk jenis jati dan berkisar antara umur 10-14 tahun untuk jenis mahoni dengan diameter rata-rata minimal 20 cm. Untuk keperluan dijual, proses penebangan dilakukan sepenuhnya oleh pembeli menggunakan peralatan tebang, antara lain: chainsaw, kapak, dan tali tambang. Sedangkan untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah, maka kegiatan penebangan dilakukan sendiri oleh masing-masing petani. Penebangan tersebut juga menggunakan alat seperti chainsaw yang dipinjam dari tetangga apabila ia memiliki atau meminjamnya ke bakul. Bila penebangan dalam jumlah banyak, terkadang petani menyewa peralatan dari bakul. Bakul adalah orang yang biasa membeli kayu hasil tebangan dari petani.

5.2 Potensi Hutan Rakyat

Hutan rakyat yang dikembangkan di Desa Sumberejo berada di tegalan dan pekarangan. Tegalan lebih mengacu pada definisi hutan rakyat dalam UU No. 5 Tahun 1967 yang disempurnakan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan adalah hutan yang tumbuh pada tanah milik rakyat dengan luas minimum 0,25 ha. Sedangkan pekarangan mengacu pada definisi hutan rakyat menurut Djajapertjunda 1959, diacu dalam Ernawati 1995 adalah tanaman pohon-pohonan kayu tahunan dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Oleh karena itu, yang menjadi objek penelitian adalah tegakan jati dan mahoni yang tumbuh di tegalan dan pekarangan. Luas total dari masing-masing lahan hutan rakyat tersebut, yaitu: 426,71 ha dan 96,38 ha. Potensi menurut Departemen Pertanian 1976 merupakan massa tegakan hutan yang dinyatakan dengan rata- rata volume dan jumlah batang per hektar areal berhutan seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Potensi hutan rakyat Desa Sumberejo Jenis Potensi Riap diameter cmth Satuan Volume m 3 Kerapatan pohon batang I II III IV V Rata- rata Jati Per hektar 206,56 1.029 2,31 1,41 0,81 0,66 0,41 1,12 Per petani 140,61 811 Mahoni Per hektar 1.206,68 2.058 1,52 2,05 2,44 2,28 - 2,07 Per petani 708,61 2.943 Jumlah Per hektar 1.413,24 3.087 - Per petani 849,22 3.754 - Keterangan : Data pengukuran diolah I = 1-10 cm, II = 11-20 cm, III = 21-30 cm, IV = 31-40 cm, V = 41-50 cm. Pada Tabel 6 diinformasikan bahwa potensi berdasarkan jenis baik volume maupun kerapatan pohon per hektar dan per petani didominasi oleh jenis mahoni. Jenis ini banyak terdapat di lokasi sebab jenis lainnya yaitu jati telah banyak ditebang pada tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, pertumbuhan mahoni yang relatif lebih cepat dibanding jati membuat jumlahnya lebih mendominasi. Hal ini juga dapat dilihat pada riap yang mengalami peningkatan hingga kelas diameter 21-30 cm dan mengalami penurunan setelah kelas diameter tersebut. Sedangkan jati terus mengalami penurunan seiring bertambahnya kelas diameter. Informasi lain terkait data potensi berdasarkan lokasi untuk potensi volume didapatkan hasil perhitungan sebesar 482,72 m 3 ha dan 1.780,36 m 3 petani. Untuk potensi kerapatan pohon yaitu sebanyak 5.443 pohonha dan 1.388 pohonpetani. Kelengkapan dari informasi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil yang ditampilkan Tabel 6, angka 1,12 cmth dan 2,07 cmth pada riap jenis jati dan mahoni merupakan rata-rata riap diameter pada tegakan hutan rakyat Desa Sumberejo. Dalam Harbagung 2008 disebutkan bahwa hasil-hasil penelitian terkait riap diameter di beberapa lokasi untuk jenis jati dan mahoni, diantaranya adalah riap untuk jenis jati yang dilakukan di wilayah Madiun dengan nilai sebesar 0,7 cmth, di wilayah Kediri sebesar 1 cmth, di wilayah Wonogiri sebesar 0,5 cmth, dan di wilayah Papua sebesar 1,9 cmth. Sedangkan untuk jenis mahoni, telah dilakukan penelitian di wilayah Ciamis dengan nilai sebesar 1,7 cmth, di wilayah Tasik sebesar 3,4 cmth, di wilayah Kediri sebesar 1,2 cmth, dan di wilayah Papua sebesar 1,7 cmth. Dari beberapa hasil penelitian tersebut termasuk hasil yang diperoleh peneliti dapat diketahui bahwa nilai riap berbeda untuk masing-masing wilayah. Hal ini menandakan bahwa riap dipengaruhi oleh lokasi pohon itu tumbuh. Lokasi berkaitan pula dengan kondisi fisik lingkungannya, mulai dari tanah hingga iklim seperti yang disebutkan oleh Tomey dan Korstian 1974, diacu dalam Rosa 2003, pertumbuhan pohon pada dasarnya dipengaruhi oleh sifat genetik dan kondisi lingkungan. Pada suatu jenis pohon dijumpai adanya keragaman baik secara geografis keragaman lokal, keragaman antar pohon, maupun keragaman di dalam pohon itu sendiri. Sedangkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan secara langsung menurut Soekotjo 1984, diacu dalam Rosa 2003, antara lain: radiasi matahari cahaya dan temperatur, air atmosfer dan tanah, karbon dioksida CO 2 , dan unsur hara. Hal-hal tersebutlah yang dapat menjelaskan mengapa riap yang dihasilkan bervariasi di beberapa wilayah. Dapat dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan oleh Harbagung 2008 bahwa riap hasil perhitungan peneliti untuk jenis jati yang sebesar 1,12 cmth berbeda hingga dua kali lipat dari hasil perhitungan penelitian yang juga dilakukan di Wonogiri. Hal ini selain dikarenakan perbedaan waktu yang dilakukan keduanya adalah dua tahun, juga ada faktor umur tanaman dan lokasi pengambilan sampel yang mempengaruhi. Umur tanaman yang diteliti pada hasil referensi tergolong masih muda, sedangkan umur tanaman pada lahan hutan rakyat yang diperoleh peneliti adalah bervariasi mulai dari umur muda sampai tua. Pengambilan lokasi sampel yang dilakukan oleh peneliti hanya di satu desa yang termasuk dalam Kabupaten Wonogiri. Sedangkan data hasil penelitian referensi yang dilakukan adalah dengan mengambil beberapa desa sebagai sampel lokasi. Hal ini mempengaruhi perhitungan rata-rata riap yang dihasilkan. Singkatnya, hasil perhitungan riap sebesar 1,12 cmth merupakan rata-rata riap untuk satu desa, seda untuk satu

5.3 Riap D