Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat

Untuk itu, timbul beberapa pertanyaan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Apakah petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat terhadap hutan rakyatnya? 2. Hal-hal apa saja yang menjadi bahan pertimbangan petani dalam kesediaannya menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian tersebut? 3. Solusi atau alternatif apa yang dapat diberikan agar petani bersedia menerapkan pengaturan hasil dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui sistem pengelolaan dan potensi hutan rakyat saat kini serta menyajikan alternatif pengaturan hasil menggunakan metode jumlah batang berdasarkan riap diameter di Desa Sumberejo. 2. Mengetahui kesediaan dan pertimbangan petani untuk menerapkan pengaturan hasil menurut jumlah batang dan membentuk unit kelestarian hutan rakyat.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan pihak-pihak terkait terutama bagi petani hutan rakyat dalam mengembangkan hutan rakyatnya guna meningkatkan taraf hidup dan kelestarian fungsi ekologi serta fungsi sosial budaya. Selain itu juga diharapkan dapat memberi masukan, informasi, serta saran kepada pengambil kebijakan terutama pemerintah daerah dalam usaha mengembangkan hutan rakyat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hutan dan Hutan Rakyat

Secara sederhana, ahli kehutanan mengartikan hutan sebagai suatu komunitas biologi yang didominasi oleh pohon-pohon tanaman keras. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan diartikan sebagai suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan. Kumpulan pohon tersebut mempunyai tajuk yang cukup rapat, sehingga merangsang pemangkasan alami dengan cara menaungi ranting dan dahan di bagian bawah serta menghasilkan serasah sebagai bahan organik. Arief 2001 menyebutkan karena hutan diartikan sebagai suatu asosiasi, maka antara jenis pohon satu dengan jenis pohon lain yang terdapat di dalamnya akan saling ketergantungan. Jenis-jenis tanaman yang tidak menyukai sinar matahari penuh tentu memerlukan perlindungan dari tanaman yang lebih tinggi. Tanaman yang suka sinar matahari penuh akan memperoleh keuntungan dari tanaman yang hidup di bawahnya karena mampu menjaga kelembaban dan suhu yang diperlukan oleh tanaman tinggi tersebut. Selain terjadi ketergantungan, di dalam hutan akan terjadi pula persaingan antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya: persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, sinar matahari, ataupun tempat tumbuh. Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang. Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi Arief 2001. Hutan bukan semata-mata kumpulan pohon yang hanya dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi hutan merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks dan terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan, dan alam lingkungannya. Keseluruhan tersebut memiliki kaitan dalam hubungan ketergantungan satu sama lain. Uraian tersebut dapat disimpulkan oleh Arief 2001 bahwa hutan dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan sistem ekologi lingkungan hidup, menyelamatkan semua makhluk hidup di dalamnya, menjadi gudang penyimpanan plasma nutfah, mempertahankan degradasi tanah dan erosi, menghasilkan sumber kayu industri dan penggergajian lokal, sumber hasil hutan ikutan bagi penduduk setempat, tempat wisata alam, dan terutama untuk kepentingan penelitian. Sedangkan Djajapertjunda 1959, diacu dalam Ernawati 1995 memberikan pengertian hutan rakyat sebagai tanaman pohon-pohonan kayu tahunan dari berbagai jenis baik tumbuh secara alami maupun sengaja ditanam dalam bentuk suatu kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang memiliki fungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya. Selanjutnya Lestarini 1991 mengemukakan bahwa dari segi pengelolaannya hutan rakyat sama dengan kebun rakyat atau agrohutani yang merupakan sistem tata guna lahan permanen dengan dicirikan unsur tanaman semusim dan tanaman tahunan. Miniarti 2007 menyebutkan bahwa esensi dari hutan rakyat itu sendiri adalah suatu bentuk hutan yang pengelolaannya berbasis rakyat, yakni rakyat memiliki wewenang penuh dalam pengelolannya tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, sehingga masyarakat dapat mandiri dan dapat mengambil manfaatnya dalam upaya meningkatkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini selaras dengan pendapat Awang et al. 2001 yang mengatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan oleh organisasi masyarakat, baik pada lahan individu, komunal dan lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Penelitian Hardjanto, diacu dalam Suharjito 2000 mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat, sebagai berikut: 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri. Dalam hal ini petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah. 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik. 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang diusahakan dengan cara-cara sederhana. 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih 10 dari pendapatan total. Secara fisik, hutan rakyat memiliki pola tanam yang beragam di setiap daerah baik pemilihan jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Menurut Suharjito 2000, keberagaman pola tanam struktur dan komposisi jenis tanaman hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Umumnya, pola tanam yang dikembangkan oleh petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu: murni monokultur dan campuran polyculture. 1. Hutan Rakyat Monokultur Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen monokultur. Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan, yaitu: lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan, dan pengawasannya. Menurut Hardjanto, diacu dalam Suharjito 2000, upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan jenis ini karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat. 2. Hutan Rakyat Campuran a. Hutan Rakyat Campuran polyculture dengan 2-5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik dibandingkan jenis monokultur, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis, dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil. b. Hutan Rakyat Campuran dengan Sistem AgroforestryWanatani. Pola ini merupakan kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya, yaitu: perkebunan, pertanian, peternakan, dan lainnya secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekonomis maupun ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis. Sedangkan Rahmawaty 2004, diacu dalam Hudiyani 2010 menyebutkan tiga pola hutan rakyat yang dikenal dalam pengembangan hutan rakyat, sebagai berikut: 1. Pola swadaya, hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan. 2. Pola subsidi, hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya, atau bantuan lainnya atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. 3. Pola kemitraan Kredit Usaha Hutan Rakyat, hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan dengan insentif permodalan berupa kredit kepada masyarakat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat.

2.2 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat