Pengaturan Hasil Hutan Rakyat

wilayah Pegunungan Kapur Selatan yang tercantum dalam Buku Gurat Hutan Rakyat di Kapur Selatan, dapat diketahui tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat, yaitu: jati, akasia, dan mahoni. 2. Persiapan lahan. Kegiatan ini dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat teras bangku pada lahan yang miring. 3. Penanaman. Pada awalnya masyarakat menanam di sela-sela batu, sehingga tidak ada jarak tanam. Seiring dengan berkembangnya waktu dan bertambahnya pengetahuan masyarakat tentang tanaman keras, maka masyarakat melakukan penanaman dengan memperhatikan jarak tanam dan penanaman sesuai kontur. 4. Pemeliharaan tanaman berkayu. Pemeliharaan ini biasanya dilakukan pada tanaman yang masih muda dengan melakukan kegiatan pendangiran tanah dan terkadang disertai juga dengan pemagaran sederhana. 5. Perlindungan terhadap tanaman berkayu. Kegiatan perlindungan tanaman hutan yang biasa dilakukan masyarakat terhadap gangguan ternak dengan cara melarang penggembalaan ternak di areal hutan milik orang lain. 6. Penebangan. Penebangan biasanya dilakukan dengan sistem tebang pilih, sejumlah pohon yang ditebang tersebar dan tidak mengelompok dalam satu tempat, tergantung diameter dan kemudahan dalam pengangkutan. Kegiatan penebangan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dilakukan tidak dengan teresan kecuali untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam masyarakat, kegiatan teknis pengelolaan hutan rakyat biasanya dilakukan sendiri oleh pemilik lahan tingkat keluarga. Oleh karena itu, pada umumnya hutan rakyat tidak mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan, dan keragaman pola usaha tani. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan sendiri oleh pemilik hutan rakyat menyebabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat ditentukan oleh kebijakan masing-masing pemilik hutan rakyat Ma’rufi 2007.

2.3 Pengaturan Hasil Hutan Rakyat

Kelestarian hasil diharapkan dapat dicapai melalui pengaturan hasil. Pengaturan hasil hutan memang diperlukan untuk menghitung volume kayu yang boleh ditebang pada setiap tahun agar jumlah tebangan selama periode tertentu sama dengan jumlah riap dari seluruh tegakan. Pengusahaan hutan memerlukan waktu yang sangat panjang untuk mencapai saat pemanenan. Di lain pihak, pengelolaan hutan selalu didasarkan pada azas kelestarian sumberdaya. Pemungutan hasil hutan dalam azaz tersebut harus dilakukan melalui pengaturan hasil, sehingga tidak mengurangi potensi hutan di lapangan Departemen Kehutanan 1992. Hal ini mendorong perlunya pengaturan hasil agar kegiatan pemungutan hasil dapat dilakukan secara kontinu, tetapi tidak menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya hutan dan bahkan sedapat mungkin meningkatkan kualitas hutan. Pengaturan hasil itu sendiri didefinisikan oleh FAO 1998, diacu dalam Rosa 2003 sebagai penentuan kayu dan produk lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk di mana, kapan, dan bagaimana hasil seharusnya diekstraksi. Menurut Osmaston 1968, beberapa hal yang dibutuhkan dan harus dicakup dalam pengaturan hasil, yaitu: 1 Perhitungan jumlah hasil yang akan diperoleh, 2 Bagaimana hasil tersebut dapat dibagi dalam hasil akhir dan penjarangan, dan 3 Penyusunan suatu rencana penebangan yang dibatasi oleh kepadatan tegakan yang akan ditebang. Menurut Sopiana 2011, pengaturan hasil merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat yang memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Dengan kata lain, usaha pengelolaan hutan rakyat dapat terwujud dengan baik apabila dimensi hasil dapat dicapai melalui serangkaian strategi dan kegiatan manajemen yang tepat. Namun sangat disayangkan, kegiatan pengaturan hasil hutan rakyat yang dilakukan oleh petani selama ini tidak mempertimbangkan kelestarian hasil. Oleh karena itu dalam unit kelembagaan pengelolaan hutan rakyat, masalah yang berkaitan dengan pengaturan hasil hutan rakyat perlu mendapat perhatian yang serius. Departemen Kehutanan 1992 menyebutkan bahwa meskipun saat ini sudah banyak metode pengaturan hasil, namun semuanya dapat digolongkan menjadi dua kelompok saja, yaitu: metode berdasarkan luas dan metode berdasarkan volume. Metode pengaturan hasil berdasarkan volume ada tiga macam, yaitu: 1 berdasarkan volume growing stock tandon tegakan saja, 2 berdasarkan riap saja, dan 3 berdasarkan riap dan growing stock. Oleh karena itu, metode pengaturan hasil pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu: metode berdasarkan luas, metode berdasarkan volume, metode berdasarkan volume dan riap, dan metode berdasarkan jumlah pohon. Metode pengaturan hasil di hutan rakyat adalah metode berdasarkan jumlah pohon, berupa pengelolaan pohon demi pohon dari berbagai struktur tanaman pada lahan milik yang bertujuan untuk kelestarian pendapatan bagi setiap petani hutan rakyat. Dengan demikian, diharapkan rumusan dasar pengaturan kelestarian hasil ini dapat dimengerti dengan mudah oleh petani hutan rakyat. Pada metode pengaturan hasil ini tidak diperlukan perhitungan volume tegakan serta tidak memerlukan informasi yang teliti dari kualitas tempat tumbuh pohon. Suhendang 1995 menyebutkan bahwa terdapat beberapa catatan terhadap metode pengaturan hasil yang disarankan ini, sebagai berikut: 1. Penentuan AAC Jatah Tebang Tahunan dinyatakan dalam banyaknya pohon dengan satuan pohon per tahun, sehingga segala bentuk konsekuensi yang berhubungan dengan besarnya AAC dan produksi yang diperoleh harus dinyatakan dalam satuan per pohon. Cara ini selain lebih sederhana dan mudah dilaksanakan, diduga tidak akan memberikan hasil yang merugikan apabila dibandingkan dengan perhitungan berdasarkan volume pohon. Untuk keperluan pengawasan dalam pelaksanaan penebangan, cara ini akan jauh lebih mudah dibandingkan dengan apabila berdasarkan volume pohon. Dengan cara ini, perhitungan banyaknya pohon dalam tegakan hutan sebelum ditebang sangat memungkinkan. Cara perhitungan demikian akan sangat menguntungkan baik bagi pendapatan pemerintah maupun dampaknya terhadap lingkungan. Dalam jangka panjang, dampak bagi pengusaha pun sangat baik. Oleh karena itu, akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai modal usahanya. 2. Penentuan AAC berdasarkan kombinasi antara kelompok jenis dan kelas diameter pohon memiliki dua keuntungan pokok, sebagai berikut: a. Memberikan ketelitian yang sangat tinggi apabila dikehendaki perkiraan besarnya volume kayu yang akan dihasilkan. b. Dapat mengatur pohon yang boleh ditebang untuk setiap kelompok jenis, sesuai dengan tingkat kesediaan dan kemampuan regenerasi. Dalam menerapkan metode pengaturan hasil ini perlu diperhatikan beberapa anggapan asumsi dasar sesuai dengan keadaan yang berlaku di lapangan, salah satunya adalah anggapan dasar yang dipakai oleh Lembaga Penelitian IPB 1990, diacu dalam Ernawati 1995, sebagai berikut: 1. Tingkat pemanfaatan lahan pada petani hutan rakyat untuk penanaman kayu rakyat yang ada sekarang dianggap yang terbaik bagi para petani, sehingga tidak diperlukan lagi perubahan tingkat pemanfaatannya. Pengaturan hasil kayu rakyat semata-mata bertujuan untuk mengatur agar hasil dapat diperoleh secara berkesinambungan selama daur. 2. Pengurangan jumlah pohon per hektar dalam tegakan hanya terjadi sampai pada umur tertentu saja, dikarenakan setelah mencapai umur tersebut petani cenderung mempertahankannya hingga dapat dipanen. Adapun besarnya umur tanaman yaitu umur tiga tahun untuk tanaman berdaur pendek 10 tahun dan umur sebelas tahun untuk tanaman berdaur panjang 10 tahun. 3. Besarnya daur bagi setiap petani dianggap dapat diatur, sesuai dengan prinsip- prinsip yang dikehendaki. Untuk mencapai kebenaran anggapan ini, dalam pelaksanaannya diperlukan mekanisme tertentu yang perlu diatur dalam kelembagaan. Mekanisme tersebut merupakan pengaturan penyediaan dana yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan petani yang bersifat insidental.

2.4 Pertumbuhan dan Riap