Sejarah Hutan Rakyat Desa Sumberejo

pun setiap individu di Desa Sumberejo memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Budaya gotong-royong dan saling membantu masih terasa kental.

4.4 Sejarah Hutan Rakyat Desa Sumberejo

Kondisi hutan rakyat Desa Sumberejo yang saat ini sudah banyak dipenuhi oleh pepohonan sangat berbeda dengan kondisi sebelumnya. Dahulu, lahan di desa ini termasuk lahan kritis yang gersang, gundul, tandus, dan terdiri dari batuan bertanah dengan kelerengan yang cukup curam. Menurut Mulyadi dan Soepraptohardjo 1975, diacu dalam Rosa 2003, lahan kritis sering diartikan sebagai lahan-lahan yang secara potensial tidak mampu berperan dalam salah satu atau beberapa fungsi, yaitu: 1 Unsur produksi pertanian fungsi pertanian, 2 Media pengatur tata air fungsi hidrologi, dan 3 Media pelindung alam lingkungan fungsi orologi. Dengan kondisi demikian, petani menjadi tidak mau memanfaatkan lahan, sehingga banyak ditumbuhi alang-alang dan lambat laun kelangkaan lahan pertanian produktif mulai dirasakan seiring bertambahnya jumlah penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut, mereka mulai menanami lahan dengan tanaman pangan, antara lain: padi, jagung, dan kedelai pada musim penghujan. Namun dengan keadaan lahan yang kurang mendukung tanpa diiringi tindakan silvikultur dan konservasi tanah, membuat usaha tersebut menjadi sia-sia dan hanya menghasilkan erosi serta penurunan produktivitas tanah. Oleh karena itu, usaha untuk menanami lahan dengan tanaman pangan dihentikan sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, kondisi pun semakin parah karena tidak hanya kelangkaan pangan yang terjadi tetapi juga kesulitan mendapatkan air terutama saat musim kemarau tiba. Pada tahun 1972, ada proyek WFP World Food Program sebagai upaya bantuan pangan dalam rangka memperbaiki lingkungan melalui rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi tersebut berupa penanaman pohon dengan jenis eukaliptus Eucalyptus alba, akasia Acacia auriculiformis, dan kaliandra Caliandra calothyrsus pada lahan kritis seluas ± 50 ha. Namun, karena belum terbentuk suatu kesadaran terhadap arti penting hutan dan karena konsentrasi utama petani hanya pada tanaman pangan, maka program ini dapat dikatakan tidak berhasil. Pohon-pohon yang telah ditanam tidak dipelihara bahkan ada juga beberapa yang dicabut. Hal ini terjadi karena pengetahuan mereka yang rendah sehingga tidak sedikit dari mereka beranggapan bahwa tidak akan ada yang bisa dimakan bila lahannya ditanami kayu. Respon yang kurang baik ini tidak menyurutkan semangat para penggiat desa yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya pohon bagi kelangsungan hidup mereka. Akhirnya, sedikit demi sedikit para penggiat desa yang dipelopori oleh Pak Sularjo selaku Kepala Dusun Wates Wetan saat itu, mendekati warga dengan memberi pandangan pentingnya menanam pohon sekaligus melakukan penyulaman dengan jenis jati, mahoni, dan akasia pada pohon hasil proyek yang tidak tumbuh. Usaha itu pun berbuah manis dengan seiring berkembangnya kesadaran warga. Mereka menyadari bahwa dengan tidak mencabut pohon dan membiarkannya hidup hingga besar, ternyata dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka, diantaranya yaitu sebagai bahan bangunan rumah atau untuk dijual. Pada tahun 1976-1977 pemerintah mengadakan program penghijauan di Kabupaten Wonogiri melalui proyek Reboisasi dan Penghijauan INPRES dengan memberikan bantuan bibit tanaman akasia Acacia auriculiformis sebanyak 400 batangha, pupuk, dan upah penanaman, serta biaya pemeliharaan selama satu tahun. Desa Sumberejo yang juga termasuk penerima program tersebut, sejak saat itu mulai menanam dengan lebih terarah dan terprogram. Kegiatan ini meliputi seluruh wilayah desa pada lahan-lahan yang tidak lagi produktif, ditinggalkan, dan liar. Melalui kegiatan ini, petani juga dibekali dengan penyuluhan tentang pengetahuan konservasi tanah, sehingga lahan yang mulanya berbatu diubah menjadi petak-petak berteras guna mencegah erosi. Untuk mempermudah pengaturan dalam mengelola hutan rakyat yang sudah mulai berkembang tersebut, dibentuklah suatu kelompok tani pada tahun 1985 bernama Gondangrejo yang menaungi Dusun Wates Wetan dan Wates Kulon. Melalui kelompok tani ini, tegakan hutan rakyat menjadi semakin rapat, hijau, dan asri. Pembentukan kelompok tani pun diikuti oleh dusun-dusun lain di Desa Sumberejo, sehingga terbentuklah kelompok tani hutan rakyat di setiap dusun. Hingga pada akhirnya, atas fasilitas LSM PERSEPSI dan dukungan WWF World Wide Fund for Nature, kelompok tani di Desa Sumberejo bersama dengan Kelurahan Selopuro berhasil memperoleh dan meraih sertifikasi PHBML LEI yang pertama di Pulau Jawa pada tahun 2004.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Teknik Pengelolaan Hutan Rakyat